I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Salah
satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah
kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang
81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena
merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi
biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang
dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara
sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya
pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang
dipengaruhi daratan dan lautan, yang
mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan
mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting
di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan
dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove
juga mempunyai fungsi ekonomis yang
tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan
ikan.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di
beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi
dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas
kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan
pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya
pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal seperti ini terutama
terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa, Sulawesi, Bali, dan
Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan
hutan mangrovenya, asalkan mengikuti
penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem
pesisir dan lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan
mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai,
pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu),
terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air laut. Salah satunya
model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah
sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan yang berbasis
masyarakat. Selama ini, kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya
selalu didelegasikan kepada pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil.
Pemerintah sepertinya kurang percaya bahwa rakyat mampu
mengelola sumberdaya alam yang ada di lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002).
2.1
Rumusan Masalah
Kurangnya pengetahauan masyarakat tentang
fungsi dan kegunaan hutan mangrove serta budidaya mangrove untuk pelestarian
pingir pantai di Desa Kasimbar Selatan Kecamatan Kasimbar Kabupaten Parigi
Moutong Sulawesi tangah.
3.1
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian
ini adalah untuk memberikan informasi tentang upaya pelestarian hutan
mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat di Desa Kasimbar
Selatan, Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong.
Kegunaan penelitian ini adalah dapat memberikan
pengetahuan tentang upaya pelestarian hutan mangrove agar hutan mangrove yang
berada di pinggir pantai Desa Kasimbar Selatan, Kecamatan Kasimbar, Kabupaten
Parigi Moutong.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari
kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum. 1983). Di
Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis
Rhizophora mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal,
kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal
untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk
mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk
individu tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson
(1986) dalam Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk
tumbuhan maupun komunitasnya, dan Davis
(1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan
istilah umum untuk pohon yang hidup di daerah yang berlumpur, basah dan terletak di perairan pasang surut daerah
tropis. Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham
(1985)dalam Wightman (1989) menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu
dikacaukan dalam penggunaan kontekstual dari kata-kata tersebut.
Beberapa ahli
mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982)
menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai,
biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1)
tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air
laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6)
jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp),
pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera
Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain.
Kusmana (2002), mengemukakan
bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang
naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah
suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang
dimaksud dengan “mangrove” adalah
vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut.
Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal
Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan
bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat
di daerah tropika (Saenger,1983)
2.2. Fungsi dan Manfaat Hutan
mangrove
Saenger (1983); Salim
(1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi
fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi
biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota
air; tempat bersarangnya burung; habitat alami
bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan
bakar (arang kayu bakar), pertambakan,
tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi
suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping
itu, ekosistem mangrove merupakan sumber
plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,
mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan
rendah, 118 jenis fauna laut dan
berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan
perlindungan pantai secara alami untuk
mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur,
menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26
joule (Pratikto dkk., 2002).
Karena karakter
pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam
gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga
merupakan penghasil detritus dan
merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding
ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.
Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut
Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983),
hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar,
arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci
hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa :
a. Bahan
bakar; kayu bakar, arang dan alkohol.
b. Bahan
bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api,
pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah.
Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
c. Makanan;
obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat- obatan.
d. Perikanan;
tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan
penyamak jaring dan lantai.
e. Pertanian,
makanan ternak, pupuk dsb.
f. Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove
merupakan sumber daya alam daerah tropis yang
mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi.
Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari
banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di
tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove
tersebut (Naamin, 1991). Manfaat
ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa
kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil
hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat
ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan
ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
• Sebagai
proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
• Pengendali
intrusi air laut
• Habitat
berbagai jenis fauna
• Sebagai
tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis
ikan dan udang
• Pembangun
lahan melalui proses sedimentasi
• Pengontrol
penyakit malaria
• Memelihara
kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
• Penyerap
CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe
hutan lain.
Lebih lanjut Dinas
Perikanan Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai
peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung
maupun tidak langsung, adalah sebagai berikut
1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya:
a. Lingkungan fisik, yaitu perlindungan
pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan sedimen,
pencegahan dan pengendalian intrusi air
laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
b. Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat
berkembang biak dan berlindung biota
perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta
jenis-jenis burung serta mamalia. c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi
(khususnya iklim makro).
2. Fungsi
Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai:
a. Sumber mata
pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan
hasil hutan ikutannya.
b. Tempat rekreasi atau
wisata alam.
c. Obyek pendidikan,
latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar
ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis
dan fungsi sosial ekonomi Dahuri
(2004).
Fungsi
ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
a.
Dalam ekosistem hutan mangrove
terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis
ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
b.
Dengan sistem perakaran yang kokoh
ekosistem hutan mangrove mempunyai
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari
abrasi, gelombang pasang dan taufan.
c.
Sebagai pengendalian banjir, hutan
mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi
untuk mengurangi bencana banjir.
d.
Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental
service), khususnya bahan-bahan organic.
e.
Sebagai
penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring
makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang
baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun
tersebut menjadi detritus. Selanjutnya
detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti : cacing,
udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan,
udang, kepiting dan hewan lainnya.
f.
Merupakan
daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage)
yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan
daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan
dan kerang-kerangan.
3. Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas
ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia
Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem
mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia.
Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa
terjadi degradasi hutan mangrove yang
cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak,
penebangan liar dan sebagainya (Dahuri,
2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis
yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis
yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis
epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar
47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove.
Dalam hutan mangrove, paling
tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora,
Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap
kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah
yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri
dari hutan atau vegetasi mangrove
yang merupakan komunitas pantai
tropis. Secara umum, karakteristik
habitat hutan mangrove tumbuh pada
daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut
secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi hutan mangrove. Hutan mangrove
menerima pasokan air tawar yang cukup
dari darat serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Habitat hutan mangrove memiliki air
bersalinitas payau (2-22 bagian per mil)
hingga asin (mencapai 38 bagian permil).
Hutan mangrove banyak ditemukan
di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung.
III. METODE
PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Waktu
penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus
- September 2012 dan bertempat di kawasan hutan
mangrove Desa Kasimbar Selatan, Kecamatan
Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuesioner,
dan observasi langsung kelapangan untuk melihat langsung keadaan hutan mangrove, keadaan masyarakat,
dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di lapangan oleh masyarakatyang terkait
dengan pemanfaatan hutan mangrove. Wawancara untuk memperoleh data primer
dan data sekunder juga dilakukan kepada pemerintah dan masyarakat terkait
rehabilitasi hutan mangrove dan manfaat ekonomi hutan mangrove. Wawancara
kepada masyarakat ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
kondisi aktual hutan mangrove pasca rehabilitasi dan besarnya WTP masyarakat
untuk tetap memperoleh manfaat dengan kondisi mangrove yang baik. Data sekunder
yang diperlukan meliputi kondisi geografis lokasi penelitian, keadaan
demografi, keadaan sosial ekonomi masyarakat, nilai potensi hutan mangrove
sebagai penghasil kayu, ikan, udang, dan kepiting. Data ini diperoleh dari
kantor Desa Kasimbar Selatan Kecamatan Kasimbar Kabupaten Parigi Moutong serta
instansi-instansi terkait lainnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyebab Rusaknya Ekosistem Mangrove
Seperti kita ketahui,
hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan darat dan laut yang mempunyai multi fungsi,
yaitu selain sebagai sumberdaya
potensial bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga merupakan pelindung pantai dari hempasan
ombak. Oleh karena itu dalam usaha
pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti lokasi
rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian pangan,
perkebunan, perikanan dan kehutanan harus
mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir pantai. Pertumbuhan
penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya
mangrove terus meningkat. Secara garis
besar ada dua faktor penyebab kerusakan
hutan mangrove, yaitu :
1.
Faktor
manusia
yang merupakan faktor
dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang
berlebihan.
2.
Faktor
alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama
penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah,
1994).
Faktor-faktor yang
mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka
mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani
1994), antara lain : a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang
terbuka dengan harapan ekonomis dan
menguntungkan, karena mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk rumah tangga, karena
tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang. c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai
fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak
tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli
lahan yang sudah tidak rasional. Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal
dari dalam, disebabkan karena
pertumbuhan penduduk dan yang dari luar sistem karena reklamasi lahan dan
eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan
menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Dibeberapa tempat ekosistem mangrove telah
diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar
terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut
dari daerah yang mengalami tekanan baik
oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia
(UNDP/UNESCO 1984).
Menurut Soesanto dan
Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove
dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain :
1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat
atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan
lingkungan hidup.
Menurut Sugandhy (1994)
beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove yang berkaitan
dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :
1. Pemanfaatan Ganda Yang Tidak Terkendali
Pemanfaatan ganda antar
berbagai sektor dan Penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan
terjadi pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan mangrove
sebagai penahan ombak. Dibeberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove sudah
banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk
Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan
areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan. Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan
hutan mangrove Suwung, pembangunan
landasan udara Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang
menguntungkan ditinjau dari aspek
keseimbangan lingkungan, karena dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan wilayah pesisir. Disamping
itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur,
sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
Akibatnya banyak terjadi perusakan hutan mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali,
sehingga pemanfaatannya melampaui kemampuan
sumberdaya alam untuk meregenerasi.
2. Permasalahan Tanah Timbul
Akibat Sedimentasi Yang Berkelanjutan
Di daerah muara sungai
banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus-menerus terbawa
dari daerah hulu sungai. Permasalahan
utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya
umumnya berdekatan dengan lahan
kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi
kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status
tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus kawasan
di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa,
kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.
3. Konversi Hutan Mangrove,
Hampir semua bentuk
pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove.
Hutan mangrove sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan
bagian barat telah dikonversi menjadi kawasan permukiman, tambak, kawasan
industri, pelabuhan, lading garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan
mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belumbanyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan pembangunan, sehingga
menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan
dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena itu pemanfaatan hutan
mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasinya harus sesuai dengan potensi dan rencana
pemanfaatan yang lainnya dengan
mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi dan penguasaan
teknologi.
4. Permasalahan Sosial
Ekonomi
Meningkatkannya
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di
wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan Lampung menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan antara
permintaan kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumber daya alam pesisir yang ada . Upaya pengembangan
pertanian intensif (coastal
agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi
kelautan masih terbatas dikembangkan. Di
pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi
kawasan pemukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang berorientasi kepada
ekosistem daratan. Pemanfaatan sumber daya alam wilayah pesisir mestinya tidak
hanya terbatas pada hutan mangrove atau
tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui
batas, sehingga sulit dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di Bali Selatan, pantai utara
Jawa Tengah.
5. Permasalahan Kelembagaan
dan Pengaturan Hukum Kawasan Pesisir dan Lautan
Sering terjadi tumpang
tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur
perizinan untuk kegiatan pembangunan
pesisir dan lautan. Contahnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha
penggalian pasir laut, reklamasi, penangkapan
ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut
menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove.
6. Permasalahan Informasi
Kawasan Pesisir Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi
yang berkaitan dengan tipologi
ekosisitem pesisir Keanekaragaman hayati,
lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga,
sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir,
pembinaan dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta
rehabilitasinya.
4.2
Upaya
Pelestarian Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha
mengembalikan kondisi lingkungan kepada
kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin
terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu
menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian, usaha restorasi
semestinya mengandung makna memberi
jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri.
Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses
pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara
fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara langsung. Restorasi perlu dipertimbangkan
ketika suatu sistem telah berubah dalam
tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau
memperbaharui diri secara alami. Dalam
kondisi seperti ini, ekositem homeastatis telah berhenti secara permanen dan
proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah
kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Secara umum, semua habitat bakau dapat
memperbaiki kondisinya secara alami
dalam waktu 15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu,
dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau
terhalangi. Jika kondisi hidrologi
adalah normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati
daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau
dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka
rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut
yang terhalangi atau tekanan-tekanan
lain yang mungkin menghambat perkembangan
bakau (Kusmana, 2005). Dahuri dkk (1996) menyatakan, terdapat tiga
parameter lingkungan yang menentukan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai air tawar dan
salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam
(salinitas) mengendalikan efisiensi
metabolik dari ekosistem hutan
mangrove. Ketersediaan air tawar
tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari system sungai dan irigasi
dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer.
(2) Pasokan nutrien: pasokan nutrient bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh
berbagai proses yang saling terkait,
meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik
serta pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan
makanan berbasis detritus (detrital food web).
4.3 Pendekatan buttom up dalam rangka pelestarian hutan mangrove
Usaha pemulihan
ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi,
maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari
Departemen Kehutanan ataupun dari
Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak
sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam
pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli,
tersedia bibit yang cukup, pengawasan
cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya
kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya
pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat
masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing,
1995).
Dalam pelaksanaan
pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan
ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu
proyek apapun yang namanya rencana
itu senantiasa datangnya dari atas;
sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung
tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau
dengan istilah populer dengan pendekatan
top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang
memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang
harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut,
sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan
fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek
tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah
habis pula tanggung jawabnya.
Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut
memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut.
Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka
masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang
mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat
beranggapan bahwa hutan mangrove
tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal
mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah
pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan
mangrove yang telah mereka rehabilitasi
(Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove
adalah atas biaya pemerintah, sedangkan
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara
berkelanjutan semuanya dipercayakan
kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya
kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara
keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka
rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang
berada di daerah pesisir. Dengan
demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan,
penyulaman tersebut dilakukan oleh
masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap
sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka
merasa ikut merencanakan penanaman dan
lain-lain.
Masyarakat merasa
mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi
hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan
sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar
andaikata ada sekelompok orang yang bukan
anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja,
maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka
menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam
perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota
masyarakat lainnya yang bukan anggota
kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada
pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up (Gambar 4).
|
Gambar. Pendekatan Buttom-up
Menurut Sudarmadji
(2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan
masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang
mengawasinya; karena masyarakat sadar
bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama.
Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara
berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik
kepentingan dalam pengelolaan dalam
jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif
lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan
pemulihan ekosistem, selain itu
“pemerintah atau pemilik modal” tidak
terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses
pelaksanaan pemulihan tersebut, dan
pada masyarakat pesisir akan timbul rasa
ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan.
Dengan demikian pelaksanaan suatu proyek
dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan
adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan
proses pendidikan pada masyarakat secara
tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
2.
Bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove di Desa Kasimbar Selatan masih tergolong rendah
karena pengetahuan yang terbatas mengenai inovasi pemanfaatan produk mangrove
(kayu bakar, kayu konstruksi bagunan dan tambak).
3.
Hutan
mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air
laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang
rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove
5.2
Saran
Perlu
dilakukan kajian lanjutan tentang hutan mangrove untuk kelestarian mangrove
yang berada di Desa Kasimbar Selatan Kecamatan Kasimbar Kabupaten Parigi
Moutong sulawesi Tengah.
DAFTAR
PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Dahuri, R, J. Rais, S.P.
Ginting, M.J. Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R.
2002. Integrasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat:
Antara Harapan dan Kenyataa.
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Tengah. Indonesia.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan
Pantai Pasca Tsunami di NAD dan
Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan,
April 2005
Barlowe, R. 1978. Land Resource
Economics. The Economics of Real Estate. 3rd ed.
Printice-Hall, Inc. NJ.
Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif.
Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi
Kehutanan. Jakarta.
Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Economic Analysis at the Watershed Level. In. K.W.
Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt.
Watershed Resources Management.
An Integrated Framework with Studies
from Asia and the Pasific. Studies in
Water Policy and Mngt, No. 10. Westview
Press and Lond.
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992. Land
Resource Survey Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia.
Alih Bahasa.
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman
Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR
and DSIR. Hudson, N. 1971. Soil
Conservation. BT Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New
Consept and Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on
Steeplands. FAO Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.
nice
BalasHapusnice
BalasHapusmakasih.. atas komentarnya dik...
HapusMungkin di era 2016 dan selanjutnya, program reboisasi KTI dengan sengon solomon jaguar.
BalasHapus