BAB I PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah
satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual
keagamaan yang di laksanakan dan di lestarikan oleh masing-masing pendukungnya.
Ritual keagamaan tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud
dan tujuan yang berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lainnya. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan
tempat tinggal, adat serta tradisi yang di wariskan secara turun temurun.
Upacara keagamaan dalam kebudayaan suku
bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling tampak lahir. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ronald Robertson,(1988:1) bahwa agama
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah
laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat
(setelah mati),yakni sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, baradab,dan
manusiawi yang berbeda dengan cara-cara hidup hewan atau mahluk gaib yang jahat
dan berdosa. Namun dalam agama-agama lokal atau primitif ajaran-ajaran agama
tersebut tidak di lakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk lisan
sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacara-upacara.
Sistem ritus dan upacara dalam suatu
religi berwujud aktifitas dan tindakan
manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa roh nenek
moyang,atau mahluk halus lain, dan dalam usahannya untuk berkomunikasi dengan
Tuhan dan mahluk gaib lainnya.Ritus atau upacara religi itu biasanya
berlangsung secara berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim atau
kadang-kadang saja.
Dalam pelaksanaan upacara keagamaan
masyarakat mengikutinya dengan rasa khidmat dan merasa sebagai sesuatu yang
suci sehingga harus di laksanakan dengan penuh hati-hati dan bijaksana,
mengingat banyaknya hal yang di anggap tabuh serta penuh dengan pantangan yang
terdapat di dalamnya. Dimana mereka mengadakan barbagai kegiatan berupa
pemujaan, pemudahan dan berbagai aktifitas lainnya seperti makan bersama,
menari, dan menyanyi serta di lengkapi pula dengan beraneka ragam sarana dan
peralatan.
Aktifitas upacara adat yang berkaitan
erat dengan sistem religi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling
sulit dirubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan yang laainnya.Bahkan
sejarah menunjukan bahwa aktifitas upacara adat dan lembaga-lembaga kepercayaan
adalah untuk perkumpulan manusia yang paling memungkinkan untuk tetap
dipertahankan.
Keadaan tersebut diatas, sangat
berkaitan erat dengan kepercayaan manusia dalam berbagai kebudayaan di dunia
gaib ini didiami oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai
oleh manusia dengan cara-cara biasa sehingga ditakuti oleh manusiaKepercayaan
itu biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu bentuk komunikasi dangan tujuan
untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah seperti atau untuk menjamin kesejatraan.
Dalam rangka masyarakat melaksanakan
aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup biasanya dipangaruhi oleh adanya
pepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya seperti nilai budaya, hukum,
norma-norma maupun aturan-aturan khusus lainnya.
Demikian pula bagi masyarakat Menui
dalam memenuhi kebutuhannya terutama pemenuhan kebutuhan akan keselamatan dan
ketentraman guna mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dipenuhi oleh
kepercayaan dan nilai-nilai yang terdapat dalam upacara keagamaan yang disebut
upacara Tolak Bala (mompopaka ). Anggapan masyarakat Menui terhadap upacara
Tolak Bala (mompopaka ) merupakan suatu
bentuk upacara keagamaan yang bersifat sakral ( suci ) yakni suatu kelakuatan
simbolis atau tindakan sekaligus sebagai wujud dari ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan vertikal
dengan penghuni dunia gaib.
Penyelenggaraan upacara Tolak Bala Bala
(mompopaka) mempunyai kandungan nilai yang penting bagi kehidupan masyarakat
pendukungnya, karena dianggap sebagai
suatu nilai budaya yang dapat membawa keselamatan diantara sekian banyak unsur
budaya yang ada pada masyarakat.Upacara Tolak Bala (mompopaka) sampai saat ini
masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Menui.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
tentang makna dari upacara tersebut bagi masyarakat. Mengapa sampai saat ini,
pada era globalisasi masyarakat masih tetap mempertahankan tradisi ini, dengan
judul “Upacara Tolak Bala (mompopaka) pada masyarakati Menui di Kelurahan Ulunambo Kabupaten
Morowali Sulawesih Tengah”.
A.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang ada, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah yang melatar belakangi dilaksanakan upacara Tolak Bala (mompopaka) pada masyarakat Menui
di Kelurahan Ulunambo Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah ?
2.
Bagaimana proses pelaksanaan upacara Tolak Bala (mompopaka)
pada masyarakat Menui di kelurahan Ulunambo Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah?
3.
Apakah ada perubahan yang terjadi pada proses pelaksanaan
upacara Tolak Bala (mompopaka) pada Masyarakat Menui di Kelurahan Ulunambo Kabupaten
Morowali Sulawesi Tengah?
C.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1.
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
a.
Untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan upacara Tolak
Bala (mompopaka) yang dilaksanakan oleh masyarakat Menui di Kelurahan Ulunambo
Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
b.
Untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara Tolak Bala
(mompopaka) pada masyarakat Menui di Kelurahan Ulunambo Kabupaten Morowali
Sulawesi Tengah.
c.
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada proses
pelaksanaan upacara Tolak Bala (mompopaka) sebelum dan sesudah masuknya agama
Islam pada masyarakat Menui di Kelurahan Ulunambo Kabupaten Morowali Sulawesi
Tengah.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Dapat memberikan informasi penting kepada masyarakat secara
umum tentang proses pelaksanaan upacara Tolak Bala ( mompopaka )
b.
Dapat memberikan masukkan kepada pemerintah atau lembaga
selaku penentu kebijakan agar tetap membina, mengembangkan atau melestarikan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam upacara keagamaan yang bermuatan
positif.
c.
Dapat dijadikan sebagai bahan rujukkan bagi penelitian
sejenis.
D.
KERANGKA ACUAN TEORI
Teori fungsionalisme memandang agama
sebagai salah satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat, jelasnya
kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi yang
serba sementara. Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial (social
causation) yang dominan dalam terbentuknya lapisan (strata) sosial yang tubuh dalam masyarakat, dimana masing-masing
mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam
suatu wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka menganut suatu agama yang
sama ) namun perasaan religius dari agama yang berlainan dapat memisahkan
kelompk yang satu dengan yang lainnya (konflik yang bermotifkan keagamaan).
Disini dapat dijelaskan bahwa teori fungsionalisme
melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya
meresapi tingkah laku manusia penganutnya baik lahiriyah maupun batiniah
sehingga sistim sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah yang dibentuk oleh
agama (Hendropuspito ,( 1983: 27-28).
Dalam buku Max Weber yang dikenal berjudul The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism yang diterbitkan pada tahun 1904 dimana buku ini merupakan
langkah pertama baginya untuk memasuki bidang kajian sosiologi agama. Weber
membahas masalah hubungan antara sebagai kepercayaan agama dan etika praktik,
khususnya etika dalam kegiatan ekonomi di kalangan masyarakat barat sejak abad
ke-16 hingga sekarang. Persoalan ini dalam konteks agama memiliki peradaban
yang berbeda-beda. Namun demikian, meskipun masalah etika ekonomi ini merupakan
pusat perhatiannya dan lingkup kajiannnya sangat luas menjangkau seluruh
hubungan yang mungkin terjadi antara berbagai corak agama.
Pandangan weber dalam Betty R.
Scharf,(1995 : 177-178) bahwa fungsi agama merupakan penolakan terhadap tradisi
atau perubahan yang sangat cepat dalam metode dan evaluasi terhadap kegiatan
ekonomi tidak akan mungkin terjadi tanpa dorongan dari moral dan agama. Dalam
buku yang sama O”dea mengemukakan analisisnya mengenai agama dalam pengertian
fungsional bahwa berbagai emosi yang dialami oleh manusia pada titik rawan
kesatuannya, kelemahannya dan kesendiriannya merupakan bahan-bahan baku bagi
terciptanya agama.
Sejalan dengan itu Durkheim berpendapat
bahwa tidak dengan penuh keyakinan membahasnya sampai pada kesimpulan bahwa
hal-hal sakral dalam sistem agama apapun sebenarnya merupakan lembaga-lembaga
masyarakat yang mengamalkan agama tersebut. Emosi yang diekspresikan dengan
perbadingan demikian tehadap benda-benda yang dianggap sakral oleh kelompok
tersebut dan kemudian dinyatakan mamapu menimbulkan berbagai perasaan
kekhidmatan keagamaan ketika menghadapi suatu kekuatan yang religius. Sudut
pandang fungsional menyangkut agama menurut Durkheim yakni sebagai sesuatu
dengan tokoh menguatkan struktur sosial yang ada dengan mencegah terjadinya penyimpangan
dan membatasi perubahan dengan memberikan otoritas yang mutlak dan sakral
kepada aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dalam kelompk bersangkutan.
Dengan demikian agama bersumber dari solidaritas sosial yang paling gilirannya
akan diperkuatnya. Teori mengenai agama pada umumnya dijelaskan secara rinci
dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life( Betty R. Scharf,
1995:16-21).
Hal tersebut di atas juga didukung oleh
teori yang dikemukakan oleh W. Robertson Smith dalam Koentjaraningrat (1980:
67) yang menambah pengertian kita tentang azaz-azas religi dan agama pada
umumnya.
Gagasan pertama mengenai soal bahwa
disamping sistem keyakinan dan dokrin, sistem upacara juga merupakan suatu
perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisis yang
khusus, dan dalam hal upacara keagamaan itu tetap ada tetapi memiliki latar
belakang, keyakinan, maksud atau doktrin yang berubah.
Gagasan yang kedua bahwa upacara religi
atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk
religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk
mengidentifikasi solidaritas masyarakat. Sementara itu pada gagasan ketiga
menguraikan masalah upacara bersaji.
Berdasarkan kajian teori tersebut ,
dalam hal ini pelaksanaan upacaraTolak
Bala (Mompopaka) yang dilakukan oleh masyaarakat Menui yang berdomisili di
Kelurahan Ulunambo Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah dalam aktivitas tersebut
dimana peserta upacara diliputi atau dihinggapi oleh emosi keagamaan. Hal
inilah yang mendorong mereka melakukan upacara tersebut pada waktu tertentu,
seperti memeberikan sesajian berupa makanan dan minuman dan sebagainya.
A. Kerangka Konsep kebudayaan
1.
Konsep Kebudayaan
Kebudayaan merupakan seluruh cara
kehidupan dari masyarakat manapun dan
tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yakni sebagian oleh
masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup
masyarakat itu kebudayaan diterapakan pada cara hidup kita sendiri (Ihrcmi,
1999: 18). Sejalan dengan itu Koentjaraningrat, ( 1989: 72) berpendapat bahwa
dalam melakukan aktifitasnya manusia mempunyai aturan-aturan yang dijadikannya
sebagai pedoman dalam bertingkah laku, dimana pedoman tersebut adalah
kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri merupakan keseluruhan sistem gagasan, ide,
rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui belajar.
Sedangkan menurut Soekmono, (1987: 10) mengemukakan bahwa :”Kebudayaan
semata-mata tak dapat dimiliki oleh seseorang karena itu menjadi anak manusia
dia harus belajar, dia harus menjadikan kebudayaan itu miliknya , karunia yang
dilimpahkan kepada manusia untuk dapat belajar untuk itulah memungkinkan
kebudayaan itu dapat berlangsung secara teru menerus”. Kebudayaan telah menjadi
sistem pengetahuan secara terus menerus digunakan untuk dapat memahami dan
menginterprestasiakn berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam
lingkungan kehidupan mereka.
Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang yang
dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, dan bukan sesuatu yang kaku atau
statis. Dulu kata kebudayaan diartikan sebagai sebuah kata benda namun kini
kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (Van Peursen, 1988:
11).
2. Konsep Upacara Adat Tradisional
Menurut Anton Soemarman (2003: 15) bahwa adat
merupakan wujud idil dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam kebudayaannya
sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi lebih khusus dalam empat yakni
tingkat budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan aturan-aturan khusus.
Pendapat lain tentang pengertian ada juga dikemukakan oleh Arjono Suryono
(1985: 4) bahwa adat merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari
kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan aturan-aturan
yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau pengaturan
tradisional.
Upacara adat tradisional masyarakat
merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai universal yang dapat menunjang kebudayaan nasuonal.Upacara
tradisional ini bersifat kepercayaan dan dianggap sakral dan suci. Dimana
setiap aktifitas manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai,
termasuk kegiatan-kegiatan yang bersifat religious.
Dengan mengacu pada pendapat ini maka upacara
adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan
dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan untuk menghindarkan diri
dari gangguan roh-roh jahat.
Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa upacara adat tradisional merupakan
suatu bentuk trdisi yang bersifat turun- temurun yang dilaksanakan secara
teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu
permohonan, atau sebagai dari ungkapan rasa terima kasih.
3.
Proses Upacara Adat Tradisisonal
Melakukakan upacara kegiatan merupakan
suatu kegiatan yang bersifat rutin dimana dalam melakukan upacara tersebut
mempunyai arti dalam setiap kepercayaan. Menurut Koentjaraningat, (1992: 221)
dalam setiap sistem upacara keagamaan mengandung lima aspek yakni ( 1) tempat
upacara , ( 2) waktu pelaksanaan upacara , ( 3) benda-benda serta peralatan
upacara, (4) orang yang melakukan atau
memimpin jalanya upacara, ( 5) orang-orang yang mengikut upacarai.
Pada bagian yang sama Koentjaraningat
(1992 : 223) juga mengatakan bahwa sistem upacara dihadiiri oleh masyarakat
berarti dapat memancing bangkitnya emosi keagamaan pada tiap-tiap kelompok
masyarakat serta pada tiap individu yang hadir. Upacara yang diselengarakan
merupakan salah satu kegiatan yang mengungkapkan emosi keagamaan yang sudah
dianut oleh masyarakat.
Emosi keagamaan ini dalam oleh semua
manusia walaupun getaran ini mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik
saja kemudian akan hilang dan lenyap lagi. Dimana emosi keagamaan atau getaran
jiwa itulah yang mendorong seseorang untuk berbuat religi. Upacara keagamaan
tersebut melibatkan berbagai kalangan masyarakat seperti tokoh masyarakat,
tokoh agama , pendahulu adat, dan kelompok sosial masyarakat lainnya. Upacara keagamaan
yang bersifat rutin, dimana bagi masyarakat upacara tersebut mempunyai
perananan yang sangat berarti bagi kepercayaan mereka.
Apabila dikaji maksud dan tujuan dari
suatu upacara terkait dengan makna simbolik dari tiap komponennya yang terdiri
atas alat-alat upacara, waktu dan tempat upacara, manusia sebagai peserta
upacara, maka suatu upacara dalam sistem keagamaan dilakukan untuk mewujudkan
sesuatu atau sejumlah asas yakni asas pergantian staus sosial, asas regenerasi,
asas timbal-balik (reciprocity intervision, reversal), dan asas integrasi.
Menurut Abdurrauf Tarimana, (1993: 240)
bahwa asas-asas timbal-balik yang tampak dalam upacara tolak bala anatra
manusia dengan mahluk halus atau dewa atau Tuhan terjadi hubungan timbal balik
antara satu sama lain. Manusia dalam upacara itu mempersembahkan saji-sajian,
mantera dan doa-doa kepada mahluk halus, Tuhan karena hal itu diperlukan oleh
manusia, dan sebaliknya mereka memberi berkah dan pengampunan kepada manusia
atas segala dosanya.
3. Fungsi Upacara Adat Tradisional
Suatu upacara dan sistem simbol-simbol
yang ada mempunyai fungsi tertentu. Sehubungan dengan fungsi upacara adat
keagamaan Subur Budhisantoso, (1948 : 28) mengemukakan bahwa fungsi dari upacara yang
ideal dapat dilihat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya yaitu
adanya pengendalian sosial, media sosial serta norma sosial. Selain itu
seseorang ahli antropologi agama Clifford Geerts dalam Sitti Masnah Hambalai (2004
: 18 ) mengemukakan bahwa upacara dengan sistem-sistem simbol yang ada
didalamnnya berfungsi sebagai
pengintegrasian antara etos dan pandangan hidup, yang dimaksudkan dengan etos
merupakan sistem nilai budaya sedangkan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang menyangkut dirinya,
alam sekitar dan segala sesuatu yang ada dalam lingkungan sekitarnya.
Sedangkan menurut Suwandi Notosudirjo, (1990 : 330) fungsi sosial
upacara adat tradisional dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakatnya
yakni adanya pengendalian sosial, media sosial, norma sosial, serta
pengelompokkan sosial.
Bagi masyarakat tradisional dalam
rangka mencari hubungan dengan apa menjadi kepercayaan biasanya dilakukan dalam
suatu wadah dalam bentuk upacara keagamaan yang bisanya dilaksanakan oleh
banyak warga masyarakat dan mempunyai fungsi sosial untuk mengitensifkan
solidaritas masyarakat.
4. Konsep Perubahan
Manusia sebagai mahluk sosial yang
berakal budi tentu menggunakan akal pemikirannya untuk menciptakan berbagi
macam perubahan yang mengarah pada perkembangan dan kemajuan hidupnya.
Perubahan kebudayaan ditentukan oleh kebudayaan manusia dalam menghadapi
tantangan yang ada.
Menurut soekanto, (1990: 333) bahwa
perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, susunan lembga-lembaga kemasyarakatan,
kekuasaan dan wewenang, intetaksi sosial. Perubahan dalam masyarakat telah ada
sejak masa lampau, namun dewasa ini perubahan tersebut berjalan dengan sangat
cepat seolah-olah membingunkan manusia yang menjalaninnya. Dalam masyarakat,
kita lihat sering terjadi perubahan atau suatu keadaan dimana perubahan
tersebut berjalan secara konstan.
Perubahan tersebut memang terikat oleh
waktu dan tempat, akan tetapi sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut
berlansung walaupun kadang-kadang diselingi keadaan dimana masyarakat yang
bersangkutan mengadakan organisasi unsure-unsur struktur masyarakat yang
terkena proses perubahan tadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan dampak perubahan yang paling memperbaharui kehidupan
manusia. Dimana dengan adaanya perkembangan perubahan disegala bidang tersebut menyebabakan
manusia meninggalakn pola-pola kehidupan tradisional menuju kehidupan yang maju
dan modern.
Apalagi dalam era globalisasi saat ini
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, bidang perekonomian, dan lain
sebagainya, menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perubahan kebudayaan namun
perlu kita sadari bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya membawa
kemajuan tetapi juga akan membawa dampak negatif, dimana terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai sosial dan norma-norma yang sebelunya dijadikan
pedoman manusia untuk berprilaku mengalami perubahan sehingga menimbulkan
gangguan keseimbangan dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan defenisi dari
perubahan kebudayaan yang dikemukakan oleh Endang Supandi (2001: 115) bahwa
suatu keadaan di mana terjadi ketidak sesuain diantara unsur-unsur kebudayaan
yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi
kehidupan.
Perubahan dalam kebudayaan mencangkup
semua bagian yaitu: keenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan
seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan
organisasi sosial, Selain itu kebudayaan juga mencangkup segenap cara berfikir
dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif
seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan oleh karena warisan
yang berdasarkan keturunan.
D. METODE PENELITIAN
1. Dasar Dan Tipe Penelitian
a.
Dasar Penelitian
Dasar penelitian ini adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan
batasan terperinci,dan memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan
berbagai sumber informasi. penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat.
b.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deskriptif,kualitatif
penelitian terhadap masalah-masalah dan memberikan gambaran yang ilmiah atau fakta-fakta tentang proses upacara tolak bala
(mompopaka) pada masyarakat di Kelurahan Ulunambo Kecamatan Menui Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
2
. Tehnik Pengumpulan data
Untuk memperoleh informasi yang sesuai
dengan permasalahan yang diteliti maka teknik pengumpulan data sebagai berikut
:
a.
Studi pustaka (library research) mencari data yang
diperlukan melalui sumber-sumber
tertulis, catatan penelitian kepustakaan berupa buku-buku, tulisan - tulisan
(literatur, skripsi) dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan judul dan
masalah yang dikaji.
b.
Penelitian lapangan (Field research)
Penelitian lapangan
bertujuan untuk memperoleh data dilapangan baik bersifat primer maupun sekunder
sesuai permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
1) Observasi
Observasi ( pengamatan) secara langsung di lapangan proses pelaksanaan
upacara tolak bala ( mompopaka), mulai dari tahap persiapan, peralatan yang
akan digunakan dalam upacara, siapa-siapa yang terlibat dan proses
pelaksanaan upacara Tolak Bala.
2) Wawancara (interview)
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas
dua bagian:
a.
Wawancara pendahuluan, wawancara ini dilakukan dengan bebas
dan santai dengan tujuan untuk mengakrabkan diri dengan informan.
b. Wawancara mendalam, yaitu melakukan
kegiatan tanya jawab dengan menggunakan pedoman wawancara pada informan yang
dianggap dapat memberikan informasi yang memiliki pengetahuan tentang upacara
Tolak Bala, yang terdiri dari 9 (Sembilan) orang. Mereka adalah tokoh
masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan informan kunci yang memimpin upacara.
3) Koesioener yaitu Pengumpulan data
mengenai upacara Tolak Bala (mompopaka) yang diperoleh baik dari hasil
pengamatan (observasi) maupun (wawancara) kemudian dianalisis dengan menyusun data
mengolongkan sesuai dengan kategori-kategori diinterprestasikan untuk
menggambarkan kenyataan yang sebenarnya sesuai dengan ungkapan informan. Dimana
selanjutnya peneliti melukiskan sesuai dengan kenyataan yang ada untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
C.
Ruang Lingkup Penelitian
a.
Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis berlokasi di Kelurahan Ulunambo
Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah dengan mempertimbangkan
lokasi tersebut. Lokasi penelitian ini pun dipilih oleh penulis karena sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut
tentang apa makna dari upacara Tolak Bala tesebut bagi masyarakat.
b.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah penduduk masyarakat di Kelurahan Ulunambo Kecamatan Menui
Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah yang jumlah 2.272 jiwa dengan
perincian yang berasaal dari suku menui .
c.
Sampel
Penelitian dilakukan secara Purposive
sampling, yaitu memilih jumlah orang yang dianggap dapat memberikan informasi
yang relevan dengan objek penelitian. Adapun informasi yang dipilih dengan
sebanyak 9 orang diambil karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau
sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian.
d.
Teknik Analisis Data
Setelah mengumpulkan seluruh data yang
memiliki kesesuaian dengan objek penelitian, maka penulis kemudian mengolah
data tersebut untuk dijadikan jawaban dari penelitian dengan menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA
Aryono,Suryo. 1985.
Kamus Antropologi. Jakarta: Persindo
Budhisantoso, Suber. 1989. Tradisi
Lisan Sebagai Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Dalam Analisa
Kebudayaan, Jakarta: Depdikbud
Hendropuspito, B. 1983. Sosiologi Agama. Jakarta : Kanasinus
Ihromi, T. O. 1999. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta
: Yayasan Obor
Indonesia
Peursen, Van. 1987. Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Metalitas dan
Pengembangan. Jakarta :
Gramedia
……………….1992. Beberapa Pokok Antropologi
sosial. Dian Rakyat
……………….1996. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Gramedia
………………..2003.Pengantar
Antropologi 1. Jakarta :PT. Rineka Cipta
…......................1980.Sejarah Teori
Antropologi1.Jakarta:Universitas Indonesia Notosudirjo , Suwandi, 1990. Kosakata Bahasa Indonesia. Yokyakarta : Kanisius
Roberston, Ronald. 1988. Agama; Dalam
Analisis dan Interprestasi sosiologi. Jakarta
rajawali
Scharf, Betty R.
1995. Kajian Sosiologi Agama. Yokyakarta:
PT. Tiara Wacana
Yogya
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Ombak
sebenarnya saya ingin tau arti dan makna dari upacara adat itu sendiri..., but its oke bisa nambah wawsan juga so that thank
BalasHapussebenarnya saya ingin tau arti dan makna dari upacara adat itu sendiri..., but its oke bisa nambah wawsan juga so that thank
BalasHapussebenarnya saya ingin tau arti dan makna dari upacara adat itu sendiri..., but its oke bisa nambah wawsan juga so that thank
BalasHapusmakasih gan atas postingan yang sangat bermanfaat ini. membantu saya dalam menyelesaikan tugas Etnisitas, saya punya pandangan sendiri
BalasHapusJika kita pandang dari kaca mata keagamaan upacara adat snagat bertolak belakang dengan norma-norma keagamaan yang ada, namun sebenarnya jika kita kaji lebih dalam upacara adat sebenarnya bertujuan atau selaras dengan ajaran agama yang ada. Namun cara melakukannya yang berbeda.
kalau agan ada kesempatan mampir di gubuk saya klikbacablog.blogspot.com