Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum,
Universitas Jayabaya, Jakarta, NPM. 200201026230
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
(Identifikasi
Indikator-indikator Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah di
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
1. Identifikasi Masalah
Partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat
mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini,
telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan
pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum
di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum
daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk
hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan,
2002).
Sedikit
sekali keberhasilan yang “dinikmati” warga masyarakat, kecuali hanya sebatas
dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah
dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan
hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap
produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat
sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam
pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan
keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi
pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan
upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati
sasaran yang diharapkan.
Proses
pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan
(hukum) di tingkat daerah (local),
terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan
kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161).
Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin
melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan
peraturan daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah)
sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat
terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti,
strategi ini mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan
masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu
terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani
proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah
kabupaten/kota.
Selanjutnya,
hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya
dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara
serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak
tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan
banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang
memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di
masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme
komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan
sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.
Di
masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam
perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya,
sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya
akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan
komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan
penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161).
Bagi aparatur pemerintah, NGO
maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap
sebagai suatu proses
pembelajaran (hukum)
(Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah
dicapai dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari
berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu
dilakukan disini, oleh karena keadaan nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh
pemerintah daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator,
katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide
pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan
berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi
pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan
yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal
sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan
melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan
legislatif daerah.
Jika
diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang
hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya
berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut
dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat
desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian
dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan,
demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan
lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut
tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya
diinginkan masyarakat.
Seperti
yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada
tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh
aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program
pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme
tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga
ke tingkat akar rumput (grassroots)
terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun
upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang
menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih
jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan
banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan
program pembangunan (dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap
dominan adalah faktor
kekurang-keterbukaan
aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut.
Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan
perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga
seperti yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program
pembangunan.
Jika
kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin,
maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi
gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi
yang berlebihan dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan kepada
masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya
mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan
transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan
dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari
kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang dilakukan selama ini.
Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap
kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus
dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran.
Proses
partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum,
secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan
berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya
bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal
ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta
kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang
berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri
atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).
Dalam
kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan
untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan
pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan
melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada
hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna
agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan
program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan
manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh
Eldridge (1995:17) “participation means a shift in decision making power from
more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan
kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut
penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan
sendiri sebagai faktor penentu.
2. Permasalahan
Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu pendekatan (approach) dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988: 931-940). Sebagai
pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai
tujuan tertentu (as
a means), sehingga studi-studi yang
dilakukan acapkali berputar-putar disekitar bagaimana menumbuhkan dan
melaksanakan partisipasi
tersebut daripada studi mengenai bagaimana menganalisis partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara
melihat atau menelaah partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).
Namun
demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai
sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang
digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu
menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi
masyarakat acapkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial
masyarakat dalam program pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap
terbatas hanya dalam tahap implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk
perencanaan dan pengambilan keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang
lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal melaksanakannya saja. Dengan
demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi pada program tersebut
hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada tataran
implementasi.
Permasalahan
partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana pentingnya
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah mengenai
partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct partisipasi. Jika terjadi suatu
persamaan persepsi mengenai partisipasi masyarakat, maka dapat diususun
indikator-indikator yang relatif ideal, yang dapat dipergunakan sebagai sarana
pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai
program pembangunan hukum daerah. Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya
dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat
derajat atau tingkat partisipasi masyarakat, kelompok individu atau perorangan
di dalam masyarakat tersebut (Eng, et. Al, 1986).
Berdasarkan
uraian tersebut, maka permasalahan utama dari penelitian ini akan difokuskan
pada : bagaimana menyusun sebuah telaah terhadap indikator derajat/tingkat
partisipasi masyarakat agar mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri,
sehingga partisipasi masyarakat dapat diakui sebagai faktor yang memberi
kontribusi positif terhadap keberhasilan program pembangunan di bidang hukum,
khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.
Secara
lebih spesifik, permasalahan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
berikut :
Apa
saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang
hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
Apa
saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana
pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya
peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya
dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?; dan
Apa
saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
3. Kerangka Teori
Teori adalah suatu cara untuk mengklasifikasikan fakta,
sehingga seluruh fakta tersebut dapat dipahami sekaligus (Zanden, 1979).
Kerangka teori sangat bermanfaat bagi suatu penelitian, yaitu :
mempertajam
atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
mengembangkan
sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan
definisi-definisi;
merupakan
suatu ikhtisar dari hal-hal yang sudah diketahui serta diuji kebenarannya yang
menyangkut obyek yang diteliti;
memberikan
kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui
sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan
timbul lagi pada masa-masa mendatang;
memberikan
petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Sherry R. Arnstein
Menurut
Arnstein (1969), adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh
terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan
kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut
bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat
dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta tersebut kemudian
digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan
peningkatan partisipasi tersebut :
TANGGA DERAJAT PARTISIPASI DARI ARNSTEIN
Pengantar
Setiap
Mahasiswa pada Program Magister Hukum UGM yang akan menyelesaikan studinya
diwajibkan menyusun karangan ilmiah yang disebut tesis. Untuk memperoleh
keseragaman dalam penulisan telah diterbitkan Pedomaan Penulisan Usulan
Penelitian dan tesis oleh Sekolah Pascasarjana UGM.
Pedomaan penulisan usulan penelitian dan tesis yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum UGM ini merupakan bagian integral dan komplementer dari pedomaan yang diterbitkan sekolah Pascasarjana UGM.
Pedomaan penulisan usulan penelitian dan tesis yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum UGM ini merupakan bagian integral dan komplementer dari pedomaan yang diterbitkan sekolah Pascasarjana UGM.
Tujuan
Penilisan
tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam
mengintegrasikan dan mengaplikasikan perangkat teoritis dan analisis yang telah
dipelajari selama mengikuti perkuliahan dan penugasan oleh dosen, terutama
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum bisnis dan kenegaraan.
Prosedur
Mahasiswa
yang sudah memenuhi syarat administrasi untuk tesis diwajibkan melakukan
penelitian. Sebelum melaksanakan kegiatan penelitian, mahasiswa yang
bersangkutan dimohon mendaftarkan diri ke Sekretariat pra-proposal (latar
belakang masalah dan perumusan masalah) untuk kepentingan penentuan dosen
pembimbing tesis.
Dosen
Pembimbing
Penentuan
dosen pembimbing tesis sepenuhnya menjadi kewenangan pengelola. Pengelola akan
menentukan dosen pembimbing dengan melihat kesesuaian antara topik dan masalah
dengan otoritas keilmuan dosen, alokasi beban pekerjaan.
Topik
dan Masalah
Mahasiswa
diharapkan memiliki topik dan masalah sesuai dengan bidang konsentrasi yang
diambil. Pemilihan topik dan masalah sepenuhnya diserahkan mahasiswa, sejauh
topik dan masalah itu masih dalam batas cakupan masalah di bidang hukum bisnis
dan hukum kenegaraan.
Bidang
Konsentrasi Hukum Bisnis
Untuk
bidang konsentrasi hukum bisnis, mahasiswa dapat mengkaji masalah-masalah
pengaturan dan kebijakan yang berkaitan dengandunia bisnis, antara lain :
perjanjian, organisasi perusahaan, pasar modal, perbankan, investasi, dll.
Bidang
Konsentrasi hukum Kenegaraan
Untuk
bidang konsentrasi hukum kenegaraan, mahasiswa dapat mengkaji
persoalan-persoalan sekitar proses penyusunan peraturan perundang-undangan,
problem konstitusi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara, mengkaji
peraturan daerah, dan pelaksanaan otonomi daerah.
Metodologi
dan Kerangka Analisis
Setiap
mahasiswa pada prinsipnya bebas untuk memilih kerangka dan metodologi pemecahan
masalah yang akan dipergunakan. Pemilihan metodologi ini hendaknya sesuai engan
masalah yang dikaji, kemampuan menggunakan pendekatan dan metodologi yang
dikuasai, serta pertimbangan lainnya setelah berkonsultasi dengan dosen
pembimbing. Dosen pembimbing berhak memberi nasehat dan pertimbangan kepada
mahasiswa dalam pemilihan metodologi.
Format
Penulisan
Format
penulisan pada Program Magister Hukum UGM mengikuti format penulisan yang
ditentukan oleh Sekolah Pascasarjana UGM dalam buku ''Petunjuk Penulisan Usulam
Penelitian dan Tesis" yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UGM tahun
1998.
Jumlah
Halaman
Jumlah
halaman pada prinsipnya tidak dibatasi, namun diharapkan jumlah halaman tesis
berkisar antara 60-75 halaman, ukuran kertas kuarto 80 mg, dan diketik dua
spasi dengan komputer.
Ujian
Tesis
Tesis
yang telah disususn oleh mahasiswa wajib dipertahankan di depan tim penguji
yang berjumlah 3 (tiga) orang dosen, termasuk dose pembimbing tesis. Tim
penguji terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, dan dua orang anggota.
Dosen pembimbing utama adalah Ketua Tim Penguji. Tim Penguji Tesis akan
ditentukan oleh Pengelola.
Penilaian
Komponen
penilaian dalam ujian tesis meliputi substansi, format penulisan, metodologi
dan penampilan mahasiswa dalam mempertahankan isi tesis.
Sumber :
Sekolah Pascasarjana UGM, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, PPS-UGM, 1998.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???