Senin, 26 November 2012

Proposal penelitian hukum partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, Jakarta, NPM. 200201026230
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
(Identifikasi Indikator-indikator Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
1. Identifikasi Masalah
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan, 2002).
Sedikit sekali keberhasilan yang “dinikmati” warga masyarakat, kecuali hanya sebatas dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan (hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah kabupaten/kota.
Selanjutnya, hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.
Di masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses pembelajaran (hukum) (Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan legislatif daerah.
Jika diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat akar rumput (grassroots) terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan (dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut. Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.
Jika kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan kepada masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran.
Proses partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum, secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).
Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Eldridge (1995:17) “participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.
2. Permasalahan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu pendekatan (approach) dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988: 931-940). Sebagai pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan tertentu (as a means), sehingga studi-studi yang dilakukan acapkali berputar-putar disekitar bagaimana menumbuhkan dan melaksanakan partisipasi tersebut daripada studi mengenai bagaimana menganalisis partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara melihat atau menelaah partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).
Namun demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi masyarakat acapkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial masyarakat dalam program pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap terbatas hanya dalam tahap implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk perencanaan dan pengambilan keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal melaksanakannya saja. Dengan demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi pada program tersebut hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada tataran implementasi.
Permasalahan partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah mengenai partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct partisipasi. Jika terjadi suatu persamaan persepsi mengenai partisipasi masyarakat, maka dapat diususun indikator-indikator yang relatif ideal, yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan hukum daerah. Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat derajat atau tingkat partisipasi masyarakat, kelompok individu atau perorangan di dalam masyarakat tersebut (Eng, et. Al, 1986).
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama dari penelitian ini akan difokuskan pada : bagaimana menyusun sebuah telaah terhadap indikator derajat/tingkat partisipasi masyarakat agar mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri, sehingga partisipasi masyarakat dapat diakui sebagai faktor yang memberi kontribusi positif terhadap keberhasilan program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.
Secara lebih spesifik, permasalahan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apa saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
Apa saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?; dan
Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
3. Kerangka Teori
Teori adalah suatu cara untuk mengklasifikasikan fakta, sehingga seluruh fakta tersebut dapat dipahami sekaligus (Zanden, 1979). Kerangka teori sangat bermanfaat bagi suatu penelitian, yaitu :
mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi;
merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang sudah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti;
memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Sherry R. Arnstein
Menurut Arnstein (1969), adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta tersebut kemudian digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut :
TANGGA DERAJAT PARTISIPASI DARI ARNSTEIN
Pengantar
Setiap Mahasiswa pada Program Magister Hukum UGM yang akan menyelesaikan studinya diwajibkan menyusun karangan ilmiah yang disebut tesis. Untuk memperoleh keseragaman dalam penulisan telah diterbitkan Pedomaan Penulisan Usulan Penelitian dan tesis oleh Sekolah Pascasarjana UGM.
Pedomaan penulisan usulan penelitian dan tesis yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum UGM ini merupakan bagian integral dan komplementer dari pedomaan yang diterbitkan sekolah Pascasarjana UGM.
Tujuan
Penilisan tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam mengintegrasikan dan mengaplikasikan perangkat teoritis dan analisis yang telah dipelajari selama mengikuti perkuliahan dan penugasan oleh dosen, terutama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum bisnis dan kenegaraan.
Prosedur
Mahasiswa yang sudah memenuhi syarat administrasi untuk tesis diwajibkan melakukan penelitian. Sebelum melaksanakan kegiatan penelitian, mahasiswa yang bersangkutan dimohon mendaftarkan diri ke Sekretariat pra-proposal (latar belakang masalah dan perumusan masalah) untuk kepentingan penentuan dosen pembimbing tesis.
Dosen Pembimbing
Penentuan dosen pembimbing tesis sepenuhnya menjadi kewenangan pengelola. Pengelola akan menentukan dosen pembimbing dengan melihat kesesuaian antara topik dan masalah dengan otoritas keilmuan dosen, alokasi beban pekerjaan.
Topik dan Masalah
Mahasiswa diharapkan memiliki topik dan masalah sesuai dengan bidang konsentrasi yang diambil. Pemilihan topik dan masalah sepenuhnya diserahkan mahasiswa, sejauh topik dan masalah itu masih dalam batas cakupan masalah di bidang hukum bisnis dan hukum kenegaraan.
Bidang Konsentrasi Hukum Bisnis
Untuk bidang konsentrasi hukum bisnis, mahasiswa dapat mengkaji masalah-masalah pengaturan dan kebijakan yang berkaitan dengandunia bisnis, antara lain : perjanjian, organisasi perusahaan, pasar modal, perbankan, investasi, dll.
Bidang Konsentrasi hukum Kenegaraan
Untuk bidang konsentrasi hukum kenegaraan, mahasiswa dapat mengkaji persoalan-persoalan sekitar proses penyusunan peraturan perundang-undangan, problem konstitusi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara, mengkaji peraturan daerah, dan pelaksanaan otonomi daerah.
Metodologi dan Kerangka Analisis
Setiap mahasiswa pada prinsipnya bebas untuk memilih kerangka dan metodologi pemecahan masalah yang akan dipergunakan. Pemilihan metodologi ini hendaknya sesuai engan masalah yang dikaji, kemampuan menggunakan pendekatan dan metodologi yang dikuasai, serta pertimbangan lainnya setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Dosen pembimbing berhak memberi nasehat dan pertimbangan kepada mahasiswa dalam pemilihan metodologi.
Format Penulisan
Format penulisan pada Program Magister Hukum UGM mengikuti format penulisan yang ditentukan oleh Sekolah Pascasarjana UGM dalam buku ''Petunjuk Penulisan Usulam Penelitian dan Tesis" yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UGM tahun 1998.
Jumlah Halaman
Jumlah halaman pada prinsipnya tidak dibatasi, namun diharapkan jumlah halaman tesis berkisar antara 60-75 halaman, ukuran kertas kuarto 80 mg, dan diketik dua spasi dengan komputer.
Ujian Tesis
Tesis yang telah disususn oleh mahasiswa wajib dipertahankan di depan tim penguji yang berjumlah 3 (tiga) orang dosen, termasuk dose pembimbing tesis. Tim penguji terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, dan dua orang anggota. Dosen pembimbing utama adalah Ketua Tim Penguji. Tim Penguji Tesis akan ditentukan oleh Pengelola.
Penilaian
Komponen penilaian dalam ujian tesis meliputi substansi, format penulisan, metodologi dan penampilan mahasiswa dalam mempertahankan isi tesis.

Sumber :
Sekolah Pascasarjana UGM, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, PPS-UGM, 1998.





0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???