Kamis, 15 November 2012

pesona perkampungan suku bajo

TorosiajePerjalanan itu terasa melelahkan. Bayangkan saja. Pukul 12.00 tengah malam, kami sudah meninggalkan kota Gorontalo menuju arah selatan. Sengaja memilih perjalanan malam, agar kami bisa tiba subuh di perkampungan Suku Bajo Torosiaje yang tinggaldi atas laut. Beberapa tahun lalu saya pernah melewati route ini, dari Gorontalo menuju kota pelabuhan kecil Marisa untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Togean, di Teluk Tomini.
Dari Gorontalo menuju Marisa ditempuh sekitar 3 jam, yang kemudian diteruskan lagi selama 3 jam sebelum tiba di Torosiaje.
Apa yang menarik dari Torosiaje sehingga bisa memaksa kami datang ?
“ Rumah dan perahu itu sama saja. Di rumah atau di perahu kami tidak dapat berjalan. Jadi kaki kaki kami hanya terbiasa hidup dengan cara seperti ini. Tapi kami senang hidup begini “
Demikian petikan seorang nelayan bajo yang menceritakan tentang sejarah dan cara hidup suku Bajo.
Konon seorang gadis puteri raja asal Malaka yang hilang atau melarikan diri dengan perahu lalu hanyut sampai di Bone, Sulawesi. Ayah si gadis itu lalu memerintahkan semua rakyatnya untuk pergi mencari anaknya yang hilang. Jadilah mereka merantau ke berbagai arah mata angin. Beranak pinak. Ini dianggap hikayat yang menjelaskan tentang komunitas bajo yang tinggal di India, Filipina , Jepang bahkan sampai Eropa. Di Indonesia sendiri perkampungan suku bajo ditemukan juag di Manado, Kalimantan sampai Flores.
Ini kilas balik ketika tahun 1926, Torsiaje resmi menjadi desa tradisional. Dikatakan desa karena tahun itu pertama kali suku Bajo membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda.
Waktu itu desa hanya berupa soppe soppe ( perahu perahu besar berukuran panjang 8 – 10 meter, tempat orang bajo tinggal ). Saat itu orang orang bajo mulai berkelompok.
Bahkan 30 tahun yang lalu Torosiaje hanya merupakan tempat singgah singkat bagi orang orang Bajo. Mereka berpindah pindah tempat dalam kelompok 5 sampai 10 soppe dan singgah di sekitar pulau pulau dikawasan teluk tomini.

Rumah Bajo2Waktu dulu seorang Haji tinggal di sebuah pulau tempat sekarang menjadi desa Torosiaje. Orang bajo hanya singgah ke sana menjual ikan dan kulit penyu. Mereka menyebut tempat itu Toro ( tanjung ) si Haji. Demikianlah disebut Torosiaje.
Pulau itu lama lama digerogoti air laut dan tinggal sepetak kecil yang diperkuat dengan onggokan batu batu karang. Dulu memang setiap orang bajo singgah dan kadang menetap di Torosiaje dengan soppe nya. Lalu ada seorang pegawai pemda yang masih setengah keturunan bajo, mengumpulkan semua kelompok bajo yang tersebar ini dan membangun sebuah desa permanen.
Kini Desa Torosiaje terdiri kurang lebih 40 KK dengan penduduk sekitar 1300 orang, yang terbagi dengan 2 dusun. Dusun Mutiara dan Bahari Jaya. Terasa sekali pengaruh birokrat dengan penamaan dusun seperti itu.
Orang bajo biasa menangkap ikan seumur hidupnya. Ia hanya berhenti pada saat dia mati. Sehingga ketika pemerintah daerah pernah ‘ memaksa ‘ mereka pindah ke darat pada tahun 1982 , dengan menyediakan rumah dan kebun untuk bercocok tanam. Tak ada yang bisa bertahan. Mereka perlahan lahan meninggalkan daratan dan kembali ke laut. Rumah rumah semacam rumah transmigrasi pemberian pemerintah, ditinggalkan begitu saja.
Kami melewati rumah rumah yg terbengkalai tersebut sebelum tiba di bibir pantai hutan bakau. Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala. Suasan sungguh sepi.
Hutan bakau dibelah oleh sebuah jalanan jembatan terbuat dari semen menghubungkan dermaga tanggul tempat kapal kapal kecil bersandar. Dari sinilah untuk tamu tamu diantar ke perkampungan.
Peliharaan BajoTak begitu jauh jarak dari dermaga menuju perkampungan Bajo Torosiaje. Mesjid, sekolah, puskesmas, warung, bahkan hotel sederhana dengan tarif Rp 100, 000,- per malam.
Rumah rumah tersebut berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas laut yang saling berhubungan. Mereka juga memiliki nama nama jalan yang menghubungi antar blok. Seperti nama jalan di darat. Jika orang orang darat memelihara kambing atau sapi. Orang orang bajo memelihara ikan, dalam karamba atau menjemur tripang di pekarangannya.
Walau Suku bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya mantera mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka. Peran dukun masih ada menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu ilmu.
Orang Bajo sangat mempercayai setan setan yang berada di lingkungan sekitarnya. Rumah dan dapur dapur mereka.
Mereka percaya pantangan pantangan larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya.
Kami mampir ke rumah merangkap warung Pak Jackson – entah kenapa dia diberi nama demikian, oleh orang tuanya – untuk melepas penat sambil memesan sarapan.
Nama orang orang dari yang sangat lokal seperti Bajo Mbo Me, Ua Denu ada yang berbau barat seperti Diana, Carima bahkan Jackson. Ini menarik mungkin persinggungan budaya sebagai suku yang gemar merantau, ketika singgah di pelabuhan atau daerah lain.
Rumah Bajo1Rumah orang orang bajo sangat jarang dipenuhi perabot furniture seperti kursi meja kecuali memang mereka orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau pedagang.
Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga kita bisa melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.
Saya menyempatkan buang hajat, di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur di rumah Pak Jackson.
Kamar mandi ini hanya semacam bilik terbuka, yang ditutupi kayu setinggi leher orang dewasa. Sambil jongkok, saya memandangi ikan ikan yang menyerbu ‘ makanan ‘ yang baru saja ditumpahkan.
Pada pagi hari, laut surut dan airpun mengalir membawa segala jenis sampah, sisa kupasan kulit buah, juga kotoran manusia menuju laut lepas. Jika tidak mereka hanya berputar putar dibawah kolong rumah.
Tidak mengherankan, kalau penyakit muntaber dan kolera sering kali menyerang penduduk desa Torosiaje.
Air bersih merupakan persoalan utama perkampungan ini. Jika dulu mereka mengambil air tawar dari sungai dan mengisinya di drum drum. Sekarang aliran air PAM di alirkan dari darat melalui pipa pipa bawah laut. Walau debit yang keluar sangat kecil.
Jadi jika hujan turun, merupakan kebahagian bagi penduduk kampung untuk mengisi tempayan dan tempat penampungan air mereka.
Jalanan BajoPak Jakcson bercerita bahwa pemanasan global sekarang, orang orang bajo kesulitan memantau perubahan iklim. Padahal biasanya mereka sangat presisi dalam mengantisipasi. Gelombang pasang, letusan gunung berapi bisa diprediksi jauh hari sebelumnya.
Untuk berlayar di siang hari. Pada saat mereka tidak bisa melihat pantai, mereka mengandalkan ombak dan angina. Pada malam hari, bintang bintanglah yang menunjukan jalan.
Mereka menyebut bintang itu mamau atau karangita. Mamau atau karangita bisa menjadi penunjuk arah yang dituju.
Saya pernah mengalami ini dulu ketika menyeberangi dari pelabuhan Marisa menuju Kepulauan Togean. Kami mulai berangkat jam 4 sore dan tiba di Puau Kadiri, sekitar jam 12 malam dengan menggunakan kapal klotok tanpa penerangan. Kapten kapal yang asal suku bajo, bisa melewati kegelapan malam tanpa peralatan navigasi modern. Hanya melihat bintang bintang saja.
Perahu BajoLaut adalah sumber hidup mereka. Sejak bayi dilahirkan, ia langsung dimandikan airl laut. Para dukun melakukan ritual dengan memandikan dengan air laut. Mereka juga menolak bala dengan memasang tanda tanda tertentu di atas laut.
Orang Bajo hidup dari mencari ikan. Jika tidak untuk berdagang, mereka hanya mencari ikan untuk makan sehari hari. Jika mereka ingin makan, mereka akan mencari dilaut atau di pasar desa.
Orang Bajo bangun pagi pagi seiring terbitnya matahari. Mereka duduk di lantai dapur atau di depan rumah sambil menghirup teh atau kopi. Kadang kadang sarapan dengan umbi umbian.
Mereka tidak terbiasa menyimpan makanan. Makanan yang ada di rumah itu – seberapa banyak – akan dimasak semua. Dihabiskan.
Ini terjadi ketika kami memesan makanan. Maksud hati hanya ingin mencicipi kuah asam seekor ikan kerapu serta sedikit papeda – makanan dari sagu – untuk kami berenam. Namun mereka menghidangkan begitu banyak makanan. Selain kuah asam, Ada berbagai macam ikan bakar, sayuran dan ikan kerapu yang dimasak dengan santan dan kunyit. Tentu saja tidak enak menolaknya.
Masak BajoJadi sambil menunggu suami pulang menangkap ikan. Para perempuan bajo, menanak nasi. Bisa juga dia ke desa dengan menggunakan perahu, menanyakan kepada perempuan perempuan yang suaminya telah menangkap ikan pada malam atau dinihari sebelumnya.
“ Nya Daya “ – Apakah ada ikan ?
Saya berjalan keliling perkampungan sambil menikmati kehidupan suku bajo. Anak anak kecil berlari lari mengejar meminta di potret. Sementara beberapa lelaki tua duduk di beranda sambil memperbaiki jala.
Saya memperkenalkan diri dengan menyapa. Memperkenalkan datang dari Jakarta. Mereka tertawa, dan menyebut ‘ bagai Jawa “. Oh, orang dari Jawa.
Mereka bercerita, tentang seorang bernama Sengkang. Ia manusia ikan yang pernah hidup di Torosiaje. Sejak kecil ia memilih hidup berendam di air, dan bisa menyelam berjam jam tanpa ke permukaan. Sampai usia 40 tahun, sebelum ia meninggal, Sengkang – yang selalu telanjang – menjadi atraksi bagi orang orang yang datang ke perkampungan Torosiaje.
Jika Sengkang berenang mengelilingi perkampungan Bajo, sambil berteriak teriak merupakan pertanda malapetaka akan datang. Misalnya wabah penyakit atau gelombang pasang.
Memahami suku bajo di Torosiaje, bisa merupakan cermin bagaimana kita belajar memahami alam sekitarnya. Mengasah kepekaan dengan lingkungan kita hidup. Mereka selalu mengajarkan alam akan menghidupi mereka jika mereka hormat dan respect terhadap alam.
Mereka tidak pernah mencari ikan dengan peledak atau potas racun. Bukan kami yang melakukan itu. Itu orang orang Buton. Ketika ditanya apakah pernah mengebom untuk mendapatkan ikan.
Orang orang Bajo barangkali tidak pernah sedemikian kompleks memandang kehidupannya sebagaimana kita orang orang ‘ modern ‘ . Mereka tidak serakah mencari ikan. Cukup untuk hidup hari ini.
Barangkali ini yang tersisa dari sebuah peradaban ketika hutan ditebangi, dan lautan di kuras habis. Masih ada orang orang yang menjaga alamnya, karena mereka percaya alam yang akan menghidupi mereka. Dan kita manusia modern, tidak pernah percaya. Sedikitpun.

0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???