Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga dalam pekerjaan tugas makalah “Metode Penelitian Hukum” dapat kami selesaikan walaupun masih jauh dari kesempurnaan yang kami harapkan.
Shalawat
serta salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberi
arahan dalam penegakan hukum syariat Islam demi kemashlahatan dalam
kehidupan keluarga serta kehidupan bermasyarakat.
Mengingat
bangsa Indonesia yang mayoritas muslim memiliki ruh dan semangat
keagamaan yang tinggi. Karenanya pandangan hidup dan cita moral mereka
yang tercermin dalam cita dan kesadaran hukum yang tidak bisa dilepaskan
dari potensi tersebut.
Indonesia
adalah negara yang memiliki warga mayoritas muslim terbesar di dunia
yang berarti tulang punggung negara-ngara lain yang juga masyarakatnya
beragama Islam dalam penegakan hukum Islam yang sesuai dengan tuntunan
kaedah-kaedah al-Quran dan Assunnah itu sendiri.
Kritik dan saran sangat kami butuhkan guna penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bagi
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, adalah muthlak adanya satu hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang NO 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
lingkungan peradilan yang lainnya sebagai peradilan negara.
Hukum
materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah
hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwkwfan.
Berdasarkan
Surat Editor Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor
B/I/735 hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum
tersebut di atas adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya
bermazhab Syafi’i.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP.
No 28 Tahun 1977 tantang perwakafan tanah milik, maka kebutuhan hukum
masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut perlu pula
untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari mazhab yang
lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan didalmnya
membandingkannya dengan yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama,
maupun perbandingan di negara-negara lain.
Dalam
menyelesaikan masalah perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Ø Apakah peranan peradilan agama dalam penegakan hukum Indonesia ?
Ø Apakah hubungan peradilan agama dengan departemen agama ?
Ø Apakah wewenang peradilan agama dalam penegakan hukum Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah
menjadikan ummat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Peradilan agama
hendak menegakkan subtansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan
ummat Islam.
Perubahan
signifikan dibidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan adalah
penyatu atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah
mahkamah agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan
dimasukkannya pasal 24 (2) UUD 1945 dalam amandeman ketiga UUD 1945 dan
dilanjutkan dengan disahkannya UU nomor 4 Tahun 2005 tentang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan PTUN dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Konsekuensi
dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi,
administrasi dan finansial peradilan agama dari departemen agama
kemahkamah agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan
reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif
bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparan.
Meski
telah beralih kemahkamah agung hubungan antara peradilan agama dengan
departemen agama akan terus berlangsung melalui peran pengadilan agam
sebagai lembaga yang berwenang. Untuk memberikan ketetapan (itsbat)
kesaksian melihat bulan (rukyat Al-khilal) dalam penentuan awal bulan
pada tahun hijriyah (terutama dalam awal bulan ramadhan, syawal dan
zulhijjah). Pelaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh departemen agama dan
lembaga/ormas-ormas Islam sedangkan penetapan (isbat) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru)
menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh pangadilan agama. Berkaitan
dengan hisab rukyat pengadilan agama juga dapat memberikan keterangan
atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan
waktu shalat. Disisi lain, baik pengadilan agama maupun departemen agama
juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan kelurga sakinah.
Untuk
merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, undang-undang nomor 3 tahun
2006 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat
dalam pasal 49. Pengadilan agama bertugas dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragam islam dibidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah, dan
ekonomi syariah.
Dalam
bidang perkawinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam
menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam. Sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan Pengadilan
Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang
perkawinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama
diperaktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di peradilan agama telah
mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas.
Pada
awal pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2006 wacana yang berkembang dalam
antara lain pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan
Agama seiring tumbuhnya bank-bank syariah di indonesia. Dalam
perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah, namun meliputi
ekonomi syariah yang kemudian diakomodir dalam undang-undang ini. Jika
diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup:
bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, dan bisnis syariah.
Rumusan pasal UU
Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya
yang terbatas pada perkara tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
Pengadilan Agama berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan
dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang perkawinan dan peraturan di
bawahnya. Ketentuan pidana yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap
pelaku pernikahan yang tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat
nikah, namun pelaksanaannya tidak berjalan efektif. Pelanggaran
perkawinan sangat jarang yang diproses,
kalaupun ada biasanya diproses dengan ketentuan pasal 279 KUHP,
sehingga diperlukan payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat
menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkawinan yaitu Pengadilan
Agama.
Perubahan
signifikan lainnya dari UU Nomor 3Tahun 2006 adalah mengenai subjek
hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang islam dalam pengertian
teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan
diri secara suka rela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara
waris ( alinea 2 penjelasan umum UU Nomor 7 Tahun 1989 ) dihilangkan.
Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi
kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan
sumber daya manusia ( SDM ) aparatur pengadilan, sarana dan prasarana
yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian
paradigma baru peradilan agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan
problem hukum yang berkembang di masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Peradilan
Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 tantang
Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutuskan
perkara-perkara fitingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang Perkawinan, Kewarisan, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, serta Wkaf dan Shadaqoh, tetapi wewenang tersebut diperluas
lagi setelah diundangkannya UU. No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas
undang-undang. No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga
wewenangnya diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Undang-undang.
No 3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakan dari undang-undang No
7 tahun 1992 jo. Undang-undang No. 10 tahun 1998 dan undang-undang No
23 tahun 1999 tentang sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan
beroperasinya Sistem Perbankan Syari’ah.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???