1.
Umum
Berdasarkan data Kementerian
Kehutanan (Tahun 2010), kawasan hutan di Indonesia saat ini mencakup areal
kurang lebih seluas 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Resultante dari penyelenggaraan
pembangunan kehutanan dengan areal hutan seluas kurang lebih 69% luas daratan
Indonesia tersebut adalah manfaat
ekonomi dari produk dan jasa yang berkelanjutan (sustainable), dengan tidak menyebabkan gejolak sosial maupun
kerusakan lingkungan hidup. Perwujudan resultante
tersebut kian penting mengingat penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Diperkirakan ada lebih
dari 30% jumlah penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari hutan. Mereka
tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan.
Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Indonesia menempatkan
pengurusan
sumber daya
alam hutan sebagai satu kesatuan ekosistem. Hal tersebut didasarkan pada mandat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak
hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi untuk memberi manfaat multiguna,
berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK[1]),
konservasi flora dan fauna, serta fungsi enabling condition bagi penyelenggaraan program pembangunan sektor lainnya seperti
transmigrasi, pertanian, dan sarana umum
yang lain.
Keberadaan hutan ditentukan oleh tinggi rendahnya kesadaran
manusia akan arti penting hutan baik dari segi pemanfaatan maupun pengelolaannya. Berdasarkan
laporan United Nation Development Program
Tahun 2004, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara di
dunia. IPM tersebut masih menggambarkan bahwa kualitas penduduk Indonesia
tergolong rendah dengan dicirikan oleh tingkat pendapatan, pendidikan dan
kesehatannya. Secara langsung maupun tidak langsung, kualitas tersebut berpengaruh
terhadap kepedulian (awareness)
masyarakat akan kelestarian hutan. Pada banyak kasus yang terjadi di berbagai daerah, berbagai
bentuk gangguan hutan seperti tindakan penyerobotan lahan hutan, pencurian
kayu, pembakaran hutan, dan sebagainya, merupakan indikasi nyata dari rendahnya
tingkat kepedulian terhadap kelestarian hutan. Kondisi yang demikian, selain
berdampak buruk terhadap kelestarian hutan juga kurang menguntungkan bagi upaya
peningkatan nilai tambah (added value)
sumber daya hutan (SDH). Bahkan pada gilirannya akan berimplikasi negatif terhadap
ketahanan dalam perspektif nasional.
Pengelolaan dan pemanfaatan SDH, dapat kiranya
dipahami sangat memerlukan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas,
berkemampuan IPTEK, serta manajemen yang baik. Jika hal ini tidak terpenuhi
maka absolute advantage dari SDH akan
lebih banyak dinikmati oleh orang asing. Sebagai ilustrasi, menurut Nandika
(2005), Singapura merupakan satu-satunya negara ASEAN yang tidak memiliki SDH,
tetapi justru merupakan negara ASEAN yang paling maju dalam industri pengolahan
hasil hutannya. Fakta pun menunjukkan bahwa Singapura dapat menjual hasil hutan
olahan lebih murah dari Indonesia, hanya dengan cara re-sawing dan re-processing.
Jika kenyataan demikian lebih banyak terjadi di negara dengan potensi
kelimpahan SDH seperti Indonesia, maka penyelenggaraan kehutanan untuk
kemakmuran rakyat masih ibarat “jauh panggang dari api”.
Menurut Srihadiono
(2005), sektor kehutanan memiliki peluang sangat tinggi berperan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi, karena seluruh bahan baku diproduksi di dalam negeri yang
berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman, baik yang dikelola pengusaha
maupun dari hutan yang dikelola rakyat atau daru hutan yang dikelola secara
komersial (commercial forestry)
sampai yang dikelola masyarakat (community
forestry). Berbagai upaya telah dan akan terus dikembangkan untuk
membangkitkan kembali kejayaan sektor publik kehutanan seperti pada masa
keemasan dulu, dimana kontribusi sektor kehutanan signifikan dalam mendongkrak
perekonomian nasional seperti medio 1980-an[2]. Tentu semua
itu terus melahirkan harapan dan optimisme. Namun demikian, serangkaian upaya untuk
menghidupkan kembali kejayaan sektor kehutanan tentu harus dibarengi pula
dengan kesungguhan komitmen dari seluruh elemen penyelenggara pembangunan sektor
publik kehutanan dalam hal penciptaan dan peningkatan kualitas SDM Kehutanan.
Hal tersebut sangat penting karena sangat berpengaruh dan bahkan menentukan
eksistensi dan tingkat pemanfaatan hutan di masa depan. Berbagai bukti empiris
menunjukkan bahwa kemampuan bangsa ditentukan oleh kualitas SDM, bukan
melimpahnya sumber daya alam.
2.
Penyelenggaraan Pembangunan Kehutanan di era otonomi
daerah dan Permasalahannya
Dinamika penyelenggaraan pembangunan kehutanan dari
era ke era sampai dengan otonomi daerah dan desentralisasi sektor kehutanan,
terdapat dua kata kunci yang selalu sama dan menjadi arah pegangan bagi penyelenggaraan
pembangunan kehutanan itu sendiri, yaitu
kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi dalam kontek politik disadari sepenuhnya merupakan keputusan penting atas keinginan pemerintah untuk
mendesentralisasikan kewenangan ke daerah, sehingga pelayanan akan menjadi lebih baik karena yang
memberi pelayanan akan lebih dekat dengan yang membutuhkan pelayanan. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam (SDA), daerah
lebih leluasa menata SDA
maupun sumber daya manusia (SDM) yang
ada di daerah tersebut guna dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Menurut
Kartodiharjo dan kawan-kawan (2005), desentralisasi pengelolaan SDA (termasuk
sumber daya hutan (SDH) kepada daerah memberikan keuntungan sebagai berikut:
1.
Lebih
memberikan kemungkinan yang cukup leluasa bagi daerah untuk mengelola SDA
secara efektif dan efisien;
2.
Daerah
beserta masyarakatnya yang berada langsung di lokasi SDA dapat lebih mudah
mengontrol keadaan SDA tersebut sehingga dapat diketahui dan diperoleh langsung
manfaat maupun resikonya;
3.
Dengan
diketahui dan dirasakan manfaatnya yang demikian besar, maka bagi daerah
beserta masyarakatnya akan senantiasa berkewajiban dan bertanggung jawab pada
upaya konservasi melalui kegiatan pemeliharaan, pelestarian, pemulihan dan perlindungan
lingkungan.
4.
Bagi
daerah dengan adanya pemberian hak, kewajiban, dan tanggung jawab pada
pengelolaan SDA tersebut, maka Pemerintah Pusat hanya berperan selaku
fasilitator, pengarah, dan pembina.
Terlepas dari berbagai faktor penyebab atas terjadinya kerusakan sumber
daya hutan (SDH), fakta menunjukkan bahwa pada kurun waktu terakhir khususnya
sejak digulirkannya otonomi daerah di Tahun 1999 melalui Undang-Undang 22 Tahun
1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, penyelenggaraan pembangunan kehutanan telah dihadapkan pada
dua permasalahan besar dan komplek. Permasalahan pertama terkait penurunan fungsi dan daya dukung ekologis hutan, sedangkan
permasalahan kedua lebih pada pokok persoalan perilaku kelembagaan, organisasi
SDM dan perangkat peraturan.
Gejala
(symptoms) penurunan fungsi dan daya dukung ekologis hutan
terbukti dari intensitas bencana banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan,
termasuk kepunahan satwa, kebakaran yang kian meningkat. Kerugian tidak hanya
pada scope materiil saja namun lebih
dari pada itu telah merenggut banyak korban jiwa. Pada kondisi demikian,
tindakan pemulihan seperti kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan (RHL) berupa penanaman dan pembuatan bangunan konservasi tanah,
serta kegiatan perlindungan dalam bentuk pengamanan hutan, pemadaman kebakaran, mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem
perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan,
sehingga terjadi deforestasi[3] dan degradasi fungsi hutan dan lahan.
Berbeda dengan permasalahan yang terkait perilaku
kelembagaan, organisasi SDM dan perangkat peraturan, maka pendekatan
pembangunan kehutanan partisipatoris telah diyakini menjadi “resep obat” untuk
meminimalisir kegagalan atas penyelenggaraan program/ kegiatan pembangunan
kehutanan. Paradigma pembangunan partisipatoris adalah masyarakat
mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam proses pembangunan. Pendekatan
pembangunan partispatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui
sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi
mereka supaya dapat mengembangkan diri. Hal ini memerlukan perombakan dalam
seluruh tataran praktik dan pemikiran disamping bantuan pembangunan yang
diberikan.
Berpijak
pada konsepsi pendekatan partisipatoris tersebut, maka tak pelak, kompetensi
(profesionalitas) merupakan kunci bagi pembinaan SDM baik pada jajaran
birokrasi pemerintah, maupun masyarakat serta semua komponen pelaku ekonomi
nasional. Selanjutnya, masing-masing komponen pembangunan menjalankan peran
masing-masing secara profesional, sesuai kemampuan yang dikuasai, dan sesuai
bidang yang ditekuni.
3.
Peran Strategis Penyuluhan Kehutanan
Salah satu upaya pokok dari implementasi dimensi
penyelenggaraan pengurusan SDH sebagai satu kesatuan ekosistem, sebagaimana disebutkan di dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah melalui penyuluhan kehutanan. Lebih
lanjut, tujuan penyuluhan kehutanan dinyatakan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku
masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan. Singkat kata, penyuluhan
kehutanan merupakan bagian tak terpisahkan dari satu kesatuan upaya pokok
pengurusan hutan disamping perencanaan hutan; pengelolaan hutan; penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta
pengawasan dan pengendalian.
Dalam hal penyelenggaraan
pembangunan kehutanan yang mengarustamakan peran serta dan pemberdayaan
masyarakat (partisipatoris), maka penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dengan
para penyuluh kehutanan sebagai agent of
change, dapat dipahami kehadirannya sangat strategis dalam memainkan fungsinya
sebagai mediator, inovator, motivator maupun transformator. Tak berlebihan bila para penyuluh kehutanan merupakan
“aktor
perekat” yang mampu merajut akar
permasalahan di dalam masyarakat untuk kemudian membuat satu titik temu dengan
prioritas kebijakan pemerintah. Sebagai contoh konkret adalah pendampingan pada kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Peran penyuluh menjadi kunci dari upaya
untuk: 1) meningkatkan pengetahuan (P) dan keterampilan
(K) serta mengubah sikap (S)
dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung RHL, 2) penciptaan suasana atau iklim untuk mengembangkan potensi atau
daya yang dimiliki masyarakat/kelompok tani, 3) memperkuat potensi/daya yang
dimiliki masyarakat/kelompok tani, serta 4) melindungi masyarakat/kelompok tani
melalui penguatan daya saing. Demikian pula dengan pendampingan terhadap kegiatan lainnya, maka pendampingan penyuluh
kehutanan bersifat terus menerus dilakukan bahkan sejak prakondisi, output,
outcome sampai muncul dampak/manfaat
Posisi dan peran penyuluh yang berada pada
garda terdepan dalam penyelenggaran pembangunan kehutanan menjadi sangat
penting dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dan penguatan
lembaga-lembaga masyarakat. Pada kondisi ideal dimana keberadaan penyuluh
kehutanan dampat melakukan pendampingan di area wilayah kerja (WK)-nya mereka
maka tujuan dari penerapan
kebijakan desentralisasi
sektor kehutanan untuk
menjadikan seluruh kekuatan masyarakat dan kelembagaan masyarakat yang terbentuk sebagai faktor
penentu keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia tentu akan mendekati
pada cita-cita dan harapan yang nyata.
Sejak bergulirnya otonomi daerah, maka sebagian urusan
pemerintahan di bidang kehutanan termasuk penyelenggaraan penyuluhan kehutanan telah
diserahkan kepada daerah. Beberapa alasan yang mendasari pelimpahan tersebut
adalah penyelenggaran kegiatan tersebut bersifat langsung operasional; bersifat
pelayanan kepada masyarakat; diperkirakan lebih berhasil guna dan berdaya guna
dilakukan oleh daerah serta dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat[4]. Semenjak itu pula, maka pejabat fungsional
penyuluh kehutanan pun tidak lagi menginduk ke pusat namun tetapi tanggung
jawabnya telah diserahkan ke pemerintah kabupaten. Dengan semakin beratnya
tekanan terhadap kawasan konservasi khususnya kawasan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Wisata Alam, dan Taman Nasional, yang tanggung jawab
pengelolaanya masih dibawah Kementerian Kehutanan, maka dipandang perlu perlu
”mengadakan kembali” jabatan fungsional penyuluh kehutanan yang ditempatkan di
lingkup UPT Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Berdasarkan data s/d Maret 2011, jumlah keseluruhan penyuluh kehutanan
adalah sebanyak 3.770 orang, tersebar di Pusat, Dinas Kehutanan
Propinsi/Bakorluh, Dinas Kehutanan Kab/Kota/Bapeluh, serta UPT Direktorat Jenderal
PHKA. Sedikit kilas balik pada Sejarah
Kehutanan Indonesia, pada era Pelita I (1969 – 1973) tercatat ada 6.000 tenaga
penyuluh lapangan, yang tersebar di seluruh Indonesia untuk keperluan
pelestarian hutan, tanah, dan air. Kegiatan penyuluhan pada waktu itu terutama
ditujukan kepada para petani dengan maksud meningkatkan kemampuan teknik dan
pengetahuan ekonomi mereka, sehingga
mereka mau dan mampu melestarikan sumber daya alam hutan serta meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraannya.
Pemetaan sebaran para penyuluh kehutanan di provinsi, dan kabupaten
sangat diperlukan untuk disinkronkan dengan program-program prioritas
pembangunan sektor publik kehutanan. Pemetaan ini juga diperlukan untuk rencana
pengembangan kemampuan para penyuluh, Permasalahan yang dihadapi ternyata
kebutuhan pendamping program-program
kehutanan belum bisa dicukupi dari jumlah penyuluh yang ada. Selain itu,
sebaran lokasi kedudukan belum sinkron dengan lokasi kegiatan kehutanan di
daerah-daerah. Kemampuan para penyuluh kehutanan dalam menguasai permasalahan
program-program kehutanan juga masih perlu ditingkatkan.
4. Pembentukan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM
Kehutanan
Perkembangan
penting dari aspek kebijakan penyuluhan kehutanan terjadi pada tahun 2006 dimana telah diterbitkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Salah satu pertimbangannya adalah untuk lebih
meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan sumber daya
manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan,
dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya
saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan
hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kelembagaan
Penyuluhan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun
2006, pada tingkat pusat berbentuk Badan
Penyuluhan, pada
tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan; pada tingkat kabupaten/kota berbentuk
Badan Pelaksana Penyuluhan; dan pada
tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
Kementerian
Kehutanan tekah menindaklanuti mandatori
Undang-Undang tersebut dengan membentuk Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan
melalui Peraturan
Menteri Kehutanan P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kehutanan. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan
bertugas untuk melaksanakan
tugas di bidang penyuluhan dan pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Sedangkan
fungsinya adalah untuk menyelenggarakan:
a.
penyusunan kebijakan teknis, programa, rencana, dan program
di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia kehutanan;
b. pelaksanaan tugas di
bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia kehutanan sesuai
peraturan perundang-undangan;
c. pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi pelaksanaan bimbingan teknis di bidang penyuluhan
kehutanan;
d. pemantauan, evaluasi
dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber
daya manusia kehutanan;dan
e.
pelaksanaan administrasi Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kehutanan.
Progress sampai akhir tahun 2010, di tingkat
provinsi telah terbentuk 25 (dua puluh lima) Badan Koordinasi Penyuluhan. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota
telah terbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan
pada 225
kabupaten/kota. Di dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, Badan P2SDM Kehutanan telah memformulasikan visi dan misi Tahun 2010
– 2014. Visi Badan P2SDM Kehutanan adalah “Sumber
Daya Manusia Penyelenggara Kehutanan Profesional dan Kompeten”. Sedangkan misi yang diemban oleh Badan P2SDM Kehutanan adalah untuk “Mengisi
Kesenjangan Kompetensi SDM Kehutanan”.
5.
Kebijakan Penyelenggaraan
Penyuluhan Kehutanan
Seiring sejalan dengan
penyelenggaraan pembangunan kehutanan yang secara umum kini lebih memberikan
akses legal kepada masyarakat baik di dalam dan di sekitar hutan untuk
berpartisipasi melalui program-program seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), maka arah kebijakan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan pun harus dapat melakukan pendampingan
kegiatan di lapangan baik pada tahapan penyiapan pra kondisi, pada pelaksanaan
kegiatan maupun sampai kepada pendampingan kelompok tani pasca kegiatan utama
diselesaikan.
Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan merupakan bagian
penting dan tak terpisahkan dalam setiap program/kegiatan pembangunan kehutanan.
Oleh sebab itu, Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS) baik
ditingkat pusat maupun daerah harus diwujudkan secara nyata di lapangan. Sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, maka kewenangan
penyelenggaraan kegiatan Penyuluhan Kehutanan adalah sebagai berikut:
a.
Pusat: Penetapan
Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK), Penyelenggaraan penyuluhan
kehutanan skala nasional. Pembiayaan bersumber dari dana APBN.
b.
Provinsi:
Penguatan Kelembagaan, Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi. Pembiayaan
bersumber dari dana dari APBN dan APBD.
c.
Daerah:
Penguatan Kelembagaan, Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan
skala kab/kota. Pembiayaan bersumber dari dana APBD, DAK/DBH.
Bagaimana dengan penyuluhan kehutanan di tingkat daerah?.
Secara umum, kegiatan penyuluhan kehutanan masih belum sepenuhnya dipandang
sebagai unsur kunci dalam mencapai keberhasilan penyelenggaraan pembangunan
kehutanan di daerah bahkan cenderung belum terfasilitasi secara optimal baik
dari sisi dukungan operasional kegiatan maupun pembiayaannya. Pada beberapa
kasus dapat dipahami bahwa kondisi yang demikian tidak terlepas dari orientasi
pembangunan di daerah yang belum memandang penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai hal yang berperanan dan strategis dalam
mendukung pembangunan di daerah, dan juga persoalan keterbatasan kemampuan pendanaan daerah dalam
mendukung kegiatan penyuluhan. Tentu persoalan ini menjadi salah satu handicap tersendiri dalam
penyelenggaraan sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Untuk mengatasi persoalan kelembagaan penyuluhan
sesuai amanat UU Nomor 16 Tahun 2006 maka kebijakan Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Kehutanan adalah Revitalisasi Penyuluhan Kehutanan untuk Kemakmuran
Rakyat. Upaya melakukan revitalisasi penyuluhan kehutanan tentu sangat
bergantung dari komitmen dan kesungguhan dari elemen penyelenggara pembangunan
kehutanan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Komitmen dan kesungguhan ini menjadi entry point karena revitalisasi yang
arti harfiahnya “menghidupkan kembali” maknanya bukan sekedar mengadakan/ mengaktifkan kembali apa yang
sebelumnya pernah ada, akan tetapi menyempurnakan
strukturnya, mekanisme kerjanya, menyesuaikan dengan kondisi baru, semangat dan
komitmennya.
6.
Penutup
Sebagai
upaya untuk memulai Revitalisasi Penyuluhan Kehutanan, maka Badan Penyuluhan
dan Pengembangan SDM Kehutanan secara khusus mengajak Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia
Pertanian, serta Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Nusa
Tenggara Barat untuk melakukan pengembangan
model penyelenggaraan Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di
lima wilayah provinsi tersebut melalui proses identifikasi dan penguatan berbagai aspek yang
mempengaruhi efektifitas penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. Dengan demikian kita
dapat memfasilitasi peningkatan kinerja
penyelenggaraan sistem penyuluhan di lima Provinsi model
tersebut, yang diharapkan dapat dijadikan pembelajaran bagi
provinsi lain dalam penyelenggaraan sistem penyuluhan.
Selanjutnya, langkah-langkah
strategis dalam rangka Revitalisasi Penyuluhan Kehutanan, dapat dimulai dengan serangkaian
upaya sebagai berikut:
a. Menggerakkan kelembagaan
penyuluhan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dengan lebih mengedapankan fungsi
penyuluhan dibandingkan dengan “hanya” mengembangkan struktural kelembagaan
organisasinya.
b. Meningkatkan koordinasi
antara Dinas teknis yang menangani bidang kehutanan dan UPT Kementerian
Kehutanan di daerah dengan Badan Koordinasi Penyuluhan dan Badan Pelaksana
Penyuluhan.
c. Mengupayakan peningkatan
kapasitas para penyuluh kehutanan melalui penguatan keahlian dan ketrampilan
bidang kehutanan melalui pelatihan dan sertifikasi,
d. Meningkatakan penyuluh
kehutanan sebagai penyuluh polivalen dibidang kehutanan.
e. Menambah jumlah tenaga penyuluh
kehutanan.
KRITERIA
DAN STANDAR PENYULUHAN KEHUTANAN
NO
|
KRITERIA
|
STANDAR
|
A.
|
KELEMBAGAAN
PENYULUHAN KEHUTANAN
|
|
1.
|
Organisasi
|
|
2.
|
Penyuluh
Kehutanan
|
|
3.
|
Tim Penilai
Angka Kredit Penyuluh Kehutanan
|
4.
Terdapat aktifitas penilaian secara rutin.
|
4.
|
Kebijakan/aturan
|
|
5.
|
Lembaga Penyuluhan Non
Pemerintah
|
|
B.
|
PERENCANAAN
PENYULUHAN KEHUTANAN
|
|
1.
|
Rencana
Jangka Menengah Penyuluhan Kehutanan
|
|
2.
|
Rencana
Tahunan Penyuluhan Kehutanan
|
|
3.
|
Programa
Penyuluhan Kehutanan
|
|
4.
|
Rencana Kerja
Penyuluh
|
|
C.
|
PELAKSANAAN
PENYULUHAN KEHUTANAN
|
|
1.
|
Komunikasi dan
Informasi Penyuluhan berkembang
|
|
|
Dilaksanakan melalui :
Tatap Muka, Diskusi kelompok, Seminar, Sarasehan, Temu lapang, Temu Karya,
Temu Usaha, Temu Wicara, Kampanye
|
|
|
|
|
2.
|
Pemberdayaan
Masyarakat
|
|
|
|
|
i.
Kelembagaan masyarakat terbentuk
|
|
|
ii.
Kelembagaan masyarakat kuat
|
|
|
iii.
Kelembagaan masyarakat berkembang
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pemberdayaan
Dunia Usaha
|
|
D.
|
PENGENDALIAN
PENYULUHAN KEHUTANAN
|
|
1.
|
Monitoring Penyuluhan Kehutanan
|
|
2.
|
Evaluasi Penyuluhan
Kehutanan
|
|
DIKUTIP DARI MANA GAN.. KOK GK ADA DAFTAR PUSTAKANYA
BalasHapus