A. Kondisi Umum Hutan Hujan Tropis.
Secara
geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di antara
titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu
wilayah yang terletak di antara 23027’ LU dan 23027’ LS
(Weidelt, 1995). Menurut Ewusie (1980) wilayah hutan hujan tropis
mencakup ± 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika
Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian
besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di
samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia.
Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim
dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri
lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan
curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter, 1981).
Stratifikasi
tajuk dalam hutan hujan tropika dipisahkan oleh beberapa stratum antaralain:
Stratum A: Merupakan lapisan teratas terdiri
dari pohon-pohon yang tingginya sekitar 80meter ke atas, misalnya shorea sp. Di
antaranya terdapat juga pohon yang rendah,tetapi umumnya tinggi pepohonan
mencapai rata-rata 40-50 meter dan bertajuk tidakberaturan (diskontinu)
sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yangbersinambungan.
Pepohonan tersebut umumnya mempunyai 3 atau 4lapisan tajuk,batang yang tumbuh
lurus, tinggi, serta batang bebas cabangnya cukup tinggi. Pada hutan stratum A ini banyak dijumpai liana-liana berbatang tebal, berkayu,
bersifat herbadan epifit.
Stratum B: Terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 1830 meter dengan
tajuk yangberaturan (kontinu). Batang pohon umumnya bercabang dan batang bebas
cabangnyayang tidak begitu tinggi. Jenis pohon pada stratum ini kurang
memerlukan cahaya atautahan naungan (toleran).
Stratum C: Terdiri dari pohon-pohon yang
mempunyai tinggi 4-18 meter dan bertajukkontinu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah,
kecil dan banyak bercabang banyak.Lapisannya
bersinambungan dan agak rapat.
Stratum D: Terdiri dari lapisan perdu dan semak
yang mempunyai tinggi 1-4 meter.Termasuk di dalamnya adalah pohon- pohon muda, palma-palma kecil, herba
besar dan paku-pakuan besar.
Stratum E: Terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau lapisan
lapangan yangmempunyai tinggi 0-1 meter. Di daerah ini banyak dijumpai tanaman
anak-anakan dantumbuhan yang bersifat herba.
B. Ciri-ciri
Umum Hutan Hujan Tropis
1. Lokasi: hutan hujan berada di daerah
tropis
2. Curah hujan: hutan hujan memperoleh curah
hujan sebesar paling tidak 80 inci setiap tahunnya
3. Kanopi: hutan hujan memiliki kanopi, yaitu
lapisan-lapisan cabang pohon beserta daunnya yang terbentuk oleh rapatnya
pohon-pohon hutan hujan
4. Keanekaragaman biota: hutan hujan memiliki
tingkan keragaman biota yang tinggi (biodiversity). Biodiversity adalah sebutan untuk seluruh benda hidup -- seperti
tumbuhan, hewan, dan jamur -- yang ditemukan di suatu ekosistem. Para
peneliti percaya bahwa sekitar separuh dari tumbuhan dan hewan yang ditemukan
di muka bumi hidup di hutan hujan
5.
Hubungan simbiotik antar spesies: spesies di hutan hujan seringkali bekerja
bersama. Hubungan simbiotik adalah hubungan dimana dua spesies berbeda saling
menguntungkan dengan saling membantu. Contohnya, beberapa tumbuhan membuat
struktur tempat tinggal kecil dan gula untuk semut. Sebagai balasannya, semut
menjaga tumbuhan dari serangga-serangga lain yang mungkin ingin memakan daun
dari tumbuhan tersebut
6. Ciri-ciri : Iklim selalu basah. curah
hujan tinggi. dan merata, tanah kering sampai lembab dan bermacam-macam jenis
tanah. Mayoritas hidup tumbuhan berkayu (perpohonan. liana). tumbuhan berbatang
kurus (tidak banyak cabang. kulit tipis). Terdapat di pedalaman. pada tanah
rendah sampai berbukit (1000 mdpl) sampai pada dataran tinggi (s/d 4000 mdpi). Dapat
dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya : Hutan Hujan Bawah (2 - 1000
mdpl). Hutan Hujan Tengah (1000 - 3000 mdpl), Hutan Hujan Atas (3000 - 4000
mdpl). Terdapat terutama di Sumatera. Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian
C. Tumbuhan Penyusun
Hutan Hujan Tropis.
Tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropis yang basah
(lembab), biasanya terdiri atas tujuh kelompok utama, yaitu :
1. Pohon-pohon Hutan
Pohon-pohon ini merupakan komponen struktural utama,
kadang-kadang untuk mudahnya dinamakan atap atau tajuk (canopy).
Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan masing-masing tingkatan ditandai
dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang
menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohon-pohonnya
dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan dan jarang merupakan
suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan
ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan ini merupakan tajuk-tajuk
pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat
disebut sebagai sebuah atap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan
tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk
pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing.
Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya sukar sekali dtentukan
secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon yang tidak seragam
seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas. Pengamatan
tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat causal saja.
Daun-daun pohon biasanya berukuran sedang, memiliki
luas antara 2.000-18.000 mm2. Daun-daun itu biasanya tunggal dan
kaku seperti belulang, berwarna hijau tua dengan permukaan yang mengkilap. Jadi
daun-daun itu tergolong dalam daun Laurus atau tipe sklerofil besar.
Kebanyakan daun-daun itu terbentang memanjang, bangun lanset sampai bangun
jorong, kadang-kadang dengan ujung memanjang seperti ekor yang disebut ujung
penetes. Kebanyakan hutan hujan tropis memiliki perdaunan meluas dan
kontinu mulai dari terna di tanah sampai ke puncak pohon-pohon yang
paling dominan. Perdaunan ini bahkan dapat menutup batang-batang pohon dominan
yang besar, hingga tertutup sama sekali.
Pemandangan lainnya adalah tajuk pohon yang sedemikian
rapatnya, menyebabkan sinar matahari sukar tembus hingga ke dasar tanah.
Dampaknya adalah hanya sedikit saja perkembangan vegetasi bawah (undergrowth)
dan tumbuhan penutup tanah, sehingga batang-batang pokok pohon-pohon tampak
menonjol dalam keremangan cahaya sebagai tiang-tiang raksasa.
2. Terna
Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat,
memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga ke lantai hutan. Pada bagian
ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak
bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang demikian hidup dalah iklim
yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti paku-pakuan dan paku lumut (Selagenella
spp.) dengan bagian dindingnya sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu.
Terna dapat membentuk lapisan tersendiri, yaitu lapisan semak-semak (D),
terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai
pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2 meter.
Lapisan semak-semak sering mencakup beberapa terna
besar seperti Scitamineae (pisang, jahe, dll.) yang tingginya dapat
melebihi 5 meter. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan lembab, namun
perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis kurang baik. Hal ini
disebabkan kurangnya pencahayaan matahari untuk membantu proses
fotosintesisnya. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka
dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar
matahari leluasa mencapai lantai hutan.
3. Tumbuhan Pemanjat
Tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan
utama dan memberikan hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan
pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutan Liana. Tumbuhan ini dapat
tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu sifat yang
paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat berbentuk tipis
seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha orang dewasa. Tumbuhan ini
seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau bergantungan dalam bentuk
simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the Adventure).
Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. Beberapa
diantaranya dapat mencapai panjang sampai 200 meter.
4. Epifita
Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau
pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh
kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup
di atas tanah pada pohon-pohon yang telah mati. Tumbuhan ini pada umumnya tidak
menimbulkan pengaruh buruk terhadap inang yang menunjangnya. Tumbuhan ini pun
hanya memainkan peran yang kurang berarti dalam ekonomi hutan. Namun demikian,
epfita memainkan peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan.
Epifit pun memainkan peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan
adaptasi struktural terhadap habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam,
biasanya melibatkan kekayaan jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan
yang rendah maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya
semak-semak. Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas lagi digunakan untuk
membedakan antara hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim
sedang.
Epifit hidup dengan mengumpulkan pengganti tanah
berupa sisa tumbuhan yang telah mati. Sisa-sisa tumbuhan yang telah mati itu
biasanya dikumpulkan oleh semut yang menghuni sistem perakaran tumbuhan dan
berfungsi sebagai pot bunga bagi epifit. Kebutuhan air bagi epfit
dikumpulkan dari udara hutan hujan tropis yang sangat lembab dengan sistem
perakaran berbentuk jaringan velamen yang bersifat sepon. Epifit juga
harus mampu menyimpan air yang telah diperolehnya. Sebagai konsekuensinya,
epifit sering bersifat xeromorfik atau memiliki tempat penyimpanan air
yang khusus atau jaringan-jaringan penyimpan air.
5. Pencekik Pohon
Tumbuhan
pencekik memulai kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akar-akarnya
menancap ke tanah dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering
membunuh pohon yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang
paling banyak dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun
populasinya, adalah Fircus spp. yang memainkan peranan penting
baik dalam ekonomi maupun fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari
tumbuhan pencekik ini berkecambah diantara dahan-dahan pohon besar yang tinggi
atau semak yang merupakan inangnya. Pada stadium ini tumbuhan pencekik masih
berupa epifit, namun akar-akarnya bercabang-cabang dan menujam ke bawah melalui
batang-batang inangnya hingga mencapai tanah. Kemudian batang-batang pohon itu
tertutup dan terjalin oleh akar-akar tumbuhan pencekik dengan sangat kuat.
Setelah beberapa waktu tertentu inang pohon pun akan mati dan membusuk
meninggalkan pencekiknya. Sementara itu tajuk tumbuhan pencekik menjadi besar
dan lebat.
6. Saprofita
Tipe
tumbuhan ini mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati
bersama-sama dengan parasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen
heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini
terdiri atas cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri.
Tumbuhan ini dapat membantu terjadinya penguraian organik, terutama yang hidup
di dekat permukaan lantai hutan. Namun beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae
dan Gentianaceae,
jenis-jenis Triuridaceae
dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil dapat hidup dengan
cara saprofit yang sama.
Tumbuhan ini
banyak ditemukan pada lantai hutan yang memiliki rontokkan daun-daun yang cukup
tebal dan terjadi pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan tersebut dapat
dijumpai pada rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir
pohon-pohon.
7. Parasit
Jenis
tumbuhan ini biasanya mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk
kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan
inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa cendawan dan bakteria yang digolongkan
dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas
tanah dan yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh
seperti epifita di atas pohon. Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak
seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik
sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak sekali
dan jumlahnyanya pun melimpah ruah serta banyak dijumpai di seluruh hutan hujan
tropis. Kebanyakan hemiparasit adalah dari suku benalu (Loranthaceae).
D.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Hujan Tropis.
Produktivitas merupakan
parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu
indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan
interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada
suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini
menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang
dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata
atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara
organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985).
Produktivitas
khususnya di wilayah tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
adalah:
a. Suhu dan
Cahaya Matahari
Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun
sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara
20-28 0 C (Walter, 1981). Radiasi global bervariasi berdasarkan
keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian (Whittaker, 1973). Suhu Udara di
daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku
(00 C) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana kadang-kadang
tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999). Suhu
rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu
bulanan berkisar 24-280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman
ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang
dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai 380C
juga jarang jatuh sampai di bawah 200C (Mabberly,1983).Berdasarkan
gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah
kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987), namun untuk daerah hutan
hujan tropis suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi
lamanya musim tumbuh (Walter, 1981).
Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang
tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini
disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika
menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding
dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang
lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi
jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, 56%
sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan
tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di
daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi)
(Sanches, 1992).
Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir
sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan akan
berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas.
Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992)
menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang.
Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis berkemungkinan
memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan
mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan
panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan.
Kira-kira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang
menguntungkan dari segi ekonomi.
b. Curah
Hujan
Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600
sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan
basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah hujan
yang merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas
yang tinggi.
Hujan selain
berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore
(1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai
dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam
ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) adalah
K, Ca, dan Mg.
Walaupun
memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et
al., (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak
tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi
kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa
sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah
penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali
tercuci terutama adalah Ca dan K.
c. Interaksi
Antara Suhu dan Curah Hujan.
Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung
jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang
memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis,
tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967).
Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung
sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi
hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Warsito (1999) menjelaskan
bahwa kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari hujan, terdapatnya
air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer adalah hasil dari
penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya serta
transpirasi dari tumbuhan. Menurut Jordan (1995) tingginya kelembapan pada
gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses
lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang
berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah
bereaksi dengan mineral-mineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang
mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara . Hara-hara ini ada yang dapat dengan segera
diserap oleh tumbuhan.
d.
Produktivitas Serasah
Produktivitas
serasah di hutan hujan tropis adalah juga yang tertinggi di banding dengan
wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terlihat pada Table 2. Oleh karena
produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi
untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak.
Produktivitas
serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan
hujan tropis yang selalu hijau (Bray dan Gorham, 1964), dan (2) Iklim, sebagai
mana yang diperlihatkan oleh oleh Ewusie (1990) yang membandingkan
produktivitas tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada
hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang
sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2
t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1 ton/ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun.
f. Tanah.
Tanah adalah faktor di daerah
tropis yang tidak mendukung tingginya produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan
hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah vulkanik.
Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada tanah disini, dan
kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary (Walter,
1981).
Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di
permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini
bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++,
dan NH4+ akan bergabung dengan permukaan yang memiliki
muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat
maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya.
Tanah yang memiliki kandungan
liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti
tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan
mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini,
terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami
pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez,
1992).
Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh
ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis
disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi
yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai
bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah.
Jika tanah
dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah
beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3)
yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-)
dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen
selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian
bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi
ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah.
Karakteristik
dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari
horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan,
walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et
al. dalam Jordan, 1985).
Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi Nitrogen. Selama masa
penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara organik pada bahan
tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian akan
diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui
proses nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini dapat menggantikan
kation hara yang dapat dipertukarkan pada permukaan tanah, dan ion nitrat yang
tersedia kemudain akan bereaksi dengan kation hara tersebut.
Hidrogen
yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan
liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang
terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih
dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini.
Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat
masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas
organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat
dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985).
g.
Herbivora
Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi
produktivitas vegetasi. Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat
dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe
ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh karena produktivitas yang
tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang tinggi untuk terjadi
serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada, sekurang-kurangnya di hutan
yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas
(Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian defoliasi pada
individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan, 1985). Menurut penulis
yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan
hujan tropis. Banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora
melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora
memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.
h. Sistem Konservasi Hara
Curah hujan yang sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi
dampak positif juga berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari
ekosistem akibat pencucian. Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat,
ekosistem hutan hujan tropis tidak dapat mempertahankan produktivitasnya yang
tinggi. Rupanya mekanisme tersebut telah terdapat pada komponen-komponen yang
menyusun ekosistem hutan hujan tropis.
Salah satu
bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan tropis yang
memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang
relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi
dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan Thinker
(1977) dalam Jordan (1985) meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah,
dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara
memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan
dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak.
Konsentrasi
akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah,
berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini
memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil
penguraian yang dilakukan organisme pengurai di sekelilingnya. Selanjutnya
kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam pohon daripada ke
organisme lain atau tercuci keluar dari sistem.
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara jarang sekali
tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh
mikroorganisme. Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh
keberadaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta,
lichens, lumut, bromelia, paku-pakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat
banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme-organisme ini mampu menyerap
haranya sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa
merusak tumbuhan inangnya.
Pada saat
organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan
terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat
di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh morfologi akar udara yang
memiliki banyak sekali akar-akar halus di permukaannya, juga banyak dari akar
ini dapat berasosiasi dengan jamur membentuk endomikoriza, dan memiliki
kemampuan untuk memfiksasi nitrogen.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???