Mengelola Hutan Berbasis Masyarakat
Korban bencana banjir dan longsor adalah mereka yang berdiam di
sekitar kawasan hutan. Bencana di Jember — seperti anggapan banyak pihak —
terjadi karena pengelolaan hutan di kawasan Gunung Argopuro yang tidak
mengindahkan nilai-nilai sosial, budaya dan terutama ekologis. Begitu pula
bencana di kawasan lainnya. Itu terjadi karena hutan dikelola secara tidak
berkelanjutan.
Hutan Indonesia salah satu yang terluas di dunia. Itu sebabnya
Indonesia disebut sebagai “paru-paru dunia”. Sejalan dengan laju pembangunan,
hutan-hutan mengalami perubahan yang sangat serius. Penebangan yang dilakukan
oleh banyak pihak, mulai pengusaha besar pemegang HPH, oknum aparat, sampai
penduduk sekitar hutan, telah menjadikan hutan begitu eksploitatif dan sangat
rusak. Penebangan hutan tanpa penanaman kembali serta tidak diindahkannya
kelestarian hutan, semakin memperparah kondisi hutan.
Pemanfaatan hutan yang dilakukan manusia memberi kontribusi yang
tidak sedikit bagi kerusakannya. Penanganan serius atas masyarakat sekitar
hutan yang hidupnya sangat tergantung pada apa yang disediakan oleh hutan
haruslah dilakukan. Perlu dicarikan pola hubungan yang harmonis antara
masyarakat sekitar hutan dengan lingkungan hutan sebagai tempat hidupnya.
Berbasis Masyarakat
Pola hubungan saling ketergantungan antara manusia dan hutan
dalam suatu interaksi sistem kehidupan adalah keniscayaan. Hutan di negeri ini
mendapat beban demikian lama dan berat sebagai penggerak perekonomian bangsa,
dan kini telah sampai pada titik nadir berakumulasinya masalah sosial, ekonomi,
budaya dan ekologi.
Jika tekanan terhadap hutan terus terjadi, maka hutan akan
semakin berkurang dan bencana dampak ekologi akan berantai ke sektor-sektor
lain, dan pada gilirannya akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas
(Isnaeny, 2004). Beberapa terobosan untuk menata pengelolaan hutan Indonesia
harus segera dilakukan. Pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat (social
forestry) mungkin menjadi salah satu alternatif yang perlu mendapatkan
pembahasan dan perhatian yang serius dari semua pihak. Pengelolaan hutan dalam
social forestry meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif yaitu
menanam, memelihara, dan memanfaatkan.
Untuk terlaksananya pengelolaan yang komprehensif perlu
penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
Di samping kelembagaan kemitraan, penguatan sistem pengelolaan dan sistem usaha
berbasis masyarakat sangat menentukan keberhasilan social forestry.
Kini masalahnya adalah bagaimana pengelolaan hutan berbasis masyarakat terkait dengan konsep ekologi yang berkelanjutan.
Kini masalahnya adalah bagaimana pengelolaan hutan berbasis masyarakat terkait dengan konsep ekologi yang berkelanjutan.
Rambo (1982) menyatakan bahwa sistem sosial dan ekosistemnya
selalu menunjukkan interaksi dinamik dan terjadi perubahan pada sistem yang
disebabkan oleh sistem yang lain, sehingga menimbulkan perubahan baru pada
sistem tersebut. Interaksi ini adalah sebuah gaya yang tidak terputus.
Interaksi antara dua sistem dapat dianalisis melalui perpindahan (aliran) energi, material dan informasi antara dua sistem tersebut dengan komponen individualnya. Dalam interaksi antara lingkungan alam (ekosistem) dan manusia, manusia merupakan pelaku pembangunan.
Interaksi antara dua sistem dapat dianalisis melalui perpindahan (aliran) energi, material dan informasi antara dua sistem tersebut dengan komponen individualnya. Dalam interaksi antara lingkungan alam (ekosistem) dan manusia, manusia merupakan pelaku pembangunan.
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan kehidupan yang
bersentuhan langsung dengan hutan merasakan dampak keberadaan hutan secara
langsung, baik dalam arti positif maupun negatif. Maka sangat beralasan
menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai mitra utama
pengelolaan hutan menuju hutan lestari.
Terimakasih atas informasinya
BalasHapusirhamabdulazis271.student.ipb.ac.id