disadur dari : buku ajar Ekonomi sumber daya hutan
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Meskipun telah terjadi pergeseran
paradigma dalam praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan deswasa ini yang
lebih berorientasi pada peningkatan nilai ekologi untuk ditransfer menjadi
nilai ekonomi, namun tidak berarti bahwa pemanfaatan hutan dalam perspektif
ekonomi sama sekali dilarang atau tidak dapat dilakukan. Sesuai dengan
terminologinya, pemanfaatan hutan bagi kepentingan ekonomi, khususnya produksi
kayu masih dimungkinkan mengingat potensi hasil hutan berupa kayu di kawasan
hutan indonesia masih tergolong tinggi serta layak untuk diusahakan.
Di sisi lain, hingga saat ini
kebutuhan masyarakat baik domestik maupun internasional masih sangat tinggi
bahkan cenderung mengalami peningkatan. Sementara produk-produk kayu memiliki
kelebihan berupa tidak dapat digantikan dengan bahan-bahan sintesis atau
buatan. Karena itu, kayu masih merupakan hasil hutan yang paling signifikan
karena menghasilkan nilai ekonomi yang terbesar dibandingkan dengan hasil hutan
lainnya. Dalam sejarahnya hasil hutan kayu pernah memberikan sumbangan devisa
terbesar kedua setelah minyak, sehingga disebut sebagai “emas hijau”.
Secara kuantitatif, daratan
indonesia seluas ± 189,15 juta hektar memiliki kawasan hutan seluas 143,57 juta
hektar atau sekitar 76 %. Berdasarkan TGHK tahun 1983, kawasan hutan tersebut
terdiri dari hutan lindung ± 30.316.218 ha (16%), Hutan Konservasi ± 18.725.324
ha (10%), Hutan Produksi ± 64.391.990 (34%) dan Hutan Produksi yang dapat di
konversi ± 30.131.716 ha (16%). Kawasan hutan tersebut merupakan aset yang memiliki
potensi sosial ekonomi yang sangat besar bagi indonesia. Berdasarkan data
Baplan Dephut, hingga tahun 2000 potensi kayu siap tebang mencapai 3,9 milyar
meter kubik dengan keseluruhan total potensi semua jenis mencapai 8,85 milyar
meter kubik. Potensi rata-rata kayu berdiri pada hutan alam di Indonesia pada
diameter batang di atas 50 cm untuk seluruh jenis mencapai 56,23 m3/ha dan
24,61 m3/ha untuk jenis niagawi. Untuk diameter batang di atas 20 cm, potensi
rata-rata kayu berdiri mencapai 105,17 m3/ha untuk seluruh jenis dan
39,41 m3/ha untuk jenis niagawi (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2004).
Meskipun secara normatif,
pemanfaatan kawasan hutan produksi terbatas dimungkinkan melalui beberapa
kondisi, namun ke depan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi terbatas
hanya akan dilakukan secara sangat selektif, sementara kawasan yang tidak
diusahakan akan ditetapkan kebijakan moratorium penerbangan. Dengan demikian
pengusahaan hutan hanya akan diprioritaskan pada kawasan hutan produksi tetap
yang berdasarkan tata guna hutan memang memiliki fungsi produksi, dimana bobot
kelestarian fungsi ekonominya mencapai 70%, sementara bobot kelestarian fungsi
sosial mencapai 20% dan bobot kelestarian fungsi lindung 10%. Dengan luas hutan
produksi tetap mencapai 21,7 juta hektar maka selama sepuluh tahun untuk
diameter 40 cm ke atad akan diperoleh kurang lebih 16,64 juta m3 per tahun
selama sepuluh tahun. Dengan tambahn produksi dari kawasan hutan alam yang
sebelumnya telah diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan hutan tanaman,
akan diperoleh produksi kayu per tahun berdiameter yang sama sebesar 22,61 juta
m3 . Artinya, dari hutan alam setiap tahun akan diperoleh produksi kayu bulat
sebesar 37,25 juta m3 , selain hasil produksi dari hutan tanaman yang sudah ada
seluas 1,9 juta ha sebesar ± 20 juta m3
Pembangunan hutan tanaman merupakan
jawaban terhadap persoalan industrialisasi kehutanan yang bersumber pada
ketimpangan antrara pasokan bahan baku dengan kebutuhan industri di masa yang
akan datang. Baik industri plywood, pulp dan kertas, kayu gergajian serta
industri-industri kehutanan lainnya. Konsepnya, dalam sepuluh tahun ke depan
harus dapat dibangun areal hutan tanaman seluas untuk memenuhi kebutuhan kayu
bulat bagi industri kehutanan Indonesia. Penyelamatan sekaligus mengupayakan
bangkitnya kembali industri kehutanan menjadi sangat penting karena
keberadaannya menghasilkan multiplier effect yang sangat luas di sektor- sektor
industri lainnya. Untuk itu diperlukan dukungan akses dan skema pendanaan
perbankan atau lembaga keuangan alternatif.
Selain penyerapan tenaga kerja,
peranan sektor kehutanan sebagai salah satu agen pembangunan sekaligus stimulan
bagi pengembangan pusat- pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah
pedalaman sangatlah penting. Hal itu terkait dengan upaya meningkatkan kesejahtraan
masyarakat. Dalam kegiatan ekonomi pengusahaan hutan alam diprediksi setiap
tahun akan menghasilkan Rp 14,88 trilyun dana pengusahaan hutan. Apabila
komponen biaya tenaga kerja mencapai 24,3% dari total biaya produksi maka
jumlah uang yang diterima masyarakat per tahun dari aktivitas ekonomi
pengusahaan hutan alam mencapai Rp 3,62 trilyun. Dari kegiatan pengusahaan
hutan alam tersebut akan diperoleh rente ekonomi sebesar Rp 7,64 trilyun per
tahun. Sementara untuk pengusahaan hutan tanaman akan diperoleh dana
pengusahaan hutan sebesar Rp 5 trilyun pertahun. Bila biaya tenaga kerja
mencapai 60% dari biaya produksi maka jumlah uang yang diterima masyarakat
mencapai Rp 1,5 trilyun per tahun. Kegiatan tersebut akan menghasilkan multiplier
efect di sektor lain sebesar tiga kali lipat dari kegiatan pengusahaan hutan
baik di hutan alam maupun di hutan tanaman. Tidak itu saja, kelangsungan
kegiatan pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman akan membantu kelangsungan
klaster-klaster industri pendukung industri kehutanan HTI, selain memberikan manfaat
langsung berupa hasil hutan kayu, pembangunan hutan tanaman meranti juga akan
memberi peluang pengembangan potensi pemanfaatan hutan lainnya, antara lain:
- 1. Pengembangan industri obat-obatan di dalam hutan. Telah terbukti bahwa hutan alam tropis Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang memiliki potensi sangat tinggi bagi upaya pengembangan industri kimia dan farmasi. Beberapa penyakit yang selama ini dikenal belum memiliki obat penawar kini disinyalir beberapa diantaranya telah ditemukan obatnya yang berasal dari jenis-jenis tumbuhan tertentu yang hanya dapat ditemukan di kawasan hutan tropis.
- 2. Pengembangan tanaman pangan dimana kita harus menghabiskan uang (baca:devisa) untuk melakukan kegiatan impor komoditas gandum sebesar 4,5 juta ton per tahun dan paling tidak 5 juta ton impor beras. Belum termasuk impor komoditas pertanian lain seperti jagung dan kedelai yang jumlahnya sangat besar yang sesungguhnya dapat dihasilkan dari hutan. Selain menguras keuangan negara, kondisi di atas semakin menghancurkan kehidupan sosial ekonomi petani dalam negeri.
- 3. Kemungkinan menghasilkan pakan ternak dari dalam hutan yang akan mampu mencegah impor pakan ternak yang mencapai 8 juta ton pertahun. diperkirakan kemampuan hutan dalam menghasilkan pakan ternak bisa mencapai 75 juta ton pakan ternak.
- 4. Produksi pupuk dari hutan dalam arti pupuk organik dan pupuk kotoran ternak karena ternak dapat diintegrasikan keberadaannya di dalam hutan di mana setiap rehabilitasi dari tanah marginal atau kosong dimulai dengan usaha pengembalaan ternak di lahan kosong sehingga terjadi penumpukan sumber pupuk organis yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan pohon-pohon hutan maupun hasil ikutan yang lain. Sementara pemakaian pupuk kimia terus memperburuk kondisi tanah dengan timbulnya ketidakseimbangan tanah dan lahan dan mengurangi sampai mematikan populasi pupuk biologi seperti mikorisa, pengikat nitrogen. Karena itu hutan dengan potensi lahan yang sangat luas itu pasti mampu meningkatkan produksi ternak dan pupuk biologi yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya kehidupan bagi seluruh penduduk Indonesia.
- 5. Produksi ternak RI paling tidak impor sapi sampai 450.000 sapi setiap tahun yang lebih membuat semakin menjauhnya indonesia dari program pertumbuhan tanaman yang ideal yang dapat diperoleh dengan usaha- usaha kehutanan. Kehutanan mengelola 120 juta hektar yang melibatkan sekitar 4 juta orang dengan hasil devisa yang seringkali dipertanyakan sementara produsen pangan hanya tersedia areal 10 juta ha dengan jumlah petani hampir 40 juta orang. Kondisi tersebut jelas tidak seimbang. Karena itu tanpa meningkatkan efisiensi pengelolaan hutan akan memperkecil kemungkinan keberhasilan dalam mengelola dunia usaha.
- 6. Produksi air sumber kehidupan. Dengan adanya undang-undang tentang pengelolaan air, walaupun belum disahkan atau belum disetujui tetapi menggambarkan bahwa industri air merupakan kebutuhan yang menjadi semakin bernilai secara ekonomi dan merupakan hasil utama hutan. Dengan begitu banyaknya mata air yang hilang seperti hilangnya sumber mata air di NTB dari 706 mata air sampai hanya 226 mata air dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan betapa kurang bijaknya pengelolaan lahan hanya untuk kepentingan tertentu jangka pendek namun mengorbankan kebutuhan hakiki dari manusia untuk menopang kehidupannya yakni air. Pohon yang ditanam untuk industri haruslah tanaman yang tetap memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian terhadap sumber air.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???