Oleh : RAHMAT HIDAYAT
Perkembangan ilmu penyakit
tanaman hutan
Ilmu penyakit tanaman hutan pertama kali dipelajari pada pertengahan
abad 19. Robert Hartig (1830-1901) merupakan orang Jerman yang untuk pertamakalinya
mempelajari hubungan antara fungi (jamur, cendawan) dengan kayu lapuk dan badan
buah yang terbentuk pada batang tanaman yang bersangkutan. Di Kanada baru tahun
1908-1925 oleh Jonhn Dearness dan ahli-ahli lain mengumpulkan dan
mengidentifikasi organisme penyebab penyakit di hutan Ontario dan Quebec.
Akibat perang dunia dan perkembangan pasar dunia, organisme penyebab penyakit menyebar
ke mana-mana yang mengakibatkan kerusakan-kerusakan hutan.
Sebagai contoh, penyakit dutch elm dan
chesnut blight di Amerika utara dan Eropa, blister rust (cacar) pada daun pinus
di Amerika utara menyebar secara besar-besaran ke benua lainnya dan merusak
tanamantanaman hutan di tempat baru. Kerusakan yang sangat membahayakan hutan
ini menjadi pemicu semangat untuk mempelajari dan melakukan penelitian mengenai
penyakit tanaman hutan. Sejarah penyakit tanaman hutan di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan ilmu penyakit tumbuhan secara umum. Menurut Hadi
(2001) dalam bukunya yang berjudul ‘Patologi Hutan’, perkembangan ilmu penyakit
tanaman hutan dibedakan menjadi empat periode.
1. Periode sebelum tahun 1960
Gagasan mempelajari ilmu penyakit tanaman
hutan di Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Prof.Dr.Ir. Toyib Hadiwijaya
pada saat menjabat dekan fakultas Pertanian di Bogor di lingkup Universitas
Indonesia. Pada waktu itu hutan yang utama diusahakan adalah hutan jati
(Tectona grandis). Tanaman hutan selain jati yang sudah mulai diusahakan secara
monokultur yaitu damar (Agatis dammara), tusam (Pinus merkusii), kesambi
(Schleichera oloesa), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia
macrophylla), sengon (Paraserianthes falcataria), puspa (Schima noronhael), akasia
mangium (Acasia mangium) dan akasia (Acasia decurrens).
Penyakit tanaman yang menarik perhatian pada
periode sebelum 1960 adalah penyakit karat (Aecidium fragiforme) pada damar,
lapuk kayu teras (LKT), dan penyakit kecambah benih dan bibit yang disebabkan
oleh Pythium spp., Phytophthora spp., Rhizoctonia solani, dan Fusarium spp.
Mikoriza sebagai fungi yang bersimbiose dengan akar tanaman hutan juga telahdibicarakan
dalam matakuliah silvikultur,tetapi penyakit tanaman hutan belum pernah dibicarakan
meskipun di fakultas Kehutanan.
2. Periode tahun 1960-1970
Pada periode 1960-an dipelopori oleh Prof.
Dr. Ir. Soetrisno Hadi. Pada tahun 1961 penyakit layu yang diduga disebabkan
oleh Pseudomonas solanacearum diketahui merusak pertanaman jati berumur setahun
sekitar 30% diPurwakarta Jawa barat. Pada tahun 1967, lapuk kayu teras banyak
dijumpai pada tanaman yang masih tegak di hutan. Pengamatan dan penelitian
penyakit tanaman hutan periode 1960-1970 akhirnya dilaporkan pada ‘Simposium Regional
Asia Tenggara Penyakit Tumbuhan di Daerah Tropis’yang diselenggarakan di Yogyakarta
pada tahun 1972.
3. Periode 1970-1980
Pada dasa warsa 1970-1980 penelitian penyakit
tumbuhan hutan mulai dilakukan, tetapi masih pada penyakit semai atau bibit di
rumah kaca. Ektomikoriza dipelajari dari segi bagaimana lingkungannya, tipe
tanah, dan pemupukan yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Pada tahun 1976
penyakit tanaman hutan telah dilaporkan pada simposium yang membicarakan
masalah hama dan penyakit tanaman hutan di Asia Tenggara yang diselenggarakan
di Biotrop Bogor.
4. Periode setelah 1980
Pada dekade 1980-1990 patologi hutan mulai
dikembangkan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Setelah tahun 1984
penyakit tanaman hutan boleh dikatakan telah mendapat perhatian tersendiri
seiring dengan banyaknya hutan tanaman industri (HTI) yang dikembangkan
Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini juga merupakan sebagian dari bentuk perhatian
kita terhadap penyakit hutan.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???