Oleh : RAHMAT HIDAYAT
I.1 Latar Belakang
Hutan
mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas,
terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial.
Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga
merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis
mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan
atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling
berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing
elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung.
Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan)
secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan
mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan
kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Kata ‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue
dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang
surut dan untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan
untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata
mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.
Sedangkan menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis
dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah
wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna,
estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang
spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif
kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang
dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah
tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada
saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Antara lain tidal
forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau.
Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang sesuai untuk
menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi
dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau digunakan untuk menyebut
salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora. Sedangkan kenyataannya
mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis, sehingga penyebutan
hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya dihindari.
II.2 Sebaran Mangrove
Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat beradaptsi
terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan adaptasi
fisiologis untuk mengatasi masalah anoksia, salinitas tinggi dan genangan air
pasang surut yang sering. Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar mangrove
menyediakan habitat bagi tiram dan aliran air yang lambat, sehingga
meningkatkan pengendapan sedimen. Sedimen halus yang anoksik di bawah hutan
mangrove berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace) membentuk
koloid partikel, sehingga sering menciptakan Mangrove melindungi daerah
pantai dari erosi, badai topan (terutama saat badai), dan tsunami. Sistem akar
mangrove sangat efisien dalam memecah energi gelombang laut, memperlambat air
pasang, meninggalkan semua sedimen kecuali partikel halus ketika pasang
surut. Dengan cara ini, ekosistem mangrove membangun lingkungan yang unik
dan perlindungan terhadap erosi, sehingga sering menjadi objek program
konservasi.
II.3 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga
merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di
bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang
mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas
tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium
termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian
arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan
labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti
sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang
unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang
fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini
memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas
tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya
yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia
(2008) adalah:
•
Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
•
Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal
seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia
spp.;
•
Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
•
Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
•
Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya
tergenang pada saat pasang pertama;
•
Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
•
Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 – 22 º /oo) hingga asin.
II.4
Vegetasi Hutan Mangrove
Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan
batasan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah
pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta
ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia,
Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana,
alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove
dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan
jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia memiliki
sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna,
9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:
1.
Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan
secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai
bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan
mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya
adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,
Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2.
Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan
murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur
komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras.
Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan
Pelliciera.
3.
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, dan lain-lain.
II.5 Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari
pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan
tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi
yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran)
dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan
mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam
mengontrol zonasi adalah :
1.
Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water
table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat
menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
2.
Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,
tingginya muka air dan drainase
3.
Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap
kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.
4.
Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran
seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
5.
Pasokan dan aliran air tawar
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove,
yaitu :
•
Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan
pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia
alba,
Rhizophora
apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp
dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan
berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang
komunitas campuran yang terakhir.
•
Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian
alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan
diakhiri komunitas murni N. fructicans.
•
Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis
mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya
mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya
dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1.
Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur
agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan
kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia
spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan
jenis bakau (Rhizophora spp).
2.
Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur
lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di
beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera
sp )
3.
Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan
berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis
tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis
lain
4.
Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak
paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air
dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras,
kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat
laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa
spesies palem lainnya.
II.6 Fauna Aquatik Penghuni Hutan
Mangrove
Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah dan
pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang. Hutan
mangrove juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat,
seperti burung air dan kalong. Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari
daratan atau daerah lainnya yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat
persinggahan dan mencari makan.
Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis ikan
yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung adalah ikan
kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak
(Mugil sp.), udang windu (Panaeus monodon), udang putih (P.
Merguensis atau P. indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium
rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang
tenang serta terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan
menyebabkan perairan hutan mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk
berkembang biak bagi berbagai satwa.
Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan
zonasi yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas
(Kartawinata dkk., 1979). Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove
memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara
horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang
hidupnya menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon mangrove,
misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus
dan Melongena galeodes (Budiman dan Darnaedi, 1984;
Soemodihardjo, 1977).
Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis fauna yang
hidup pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang hidup
dalam lubang atau dalam substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu fauna
yang hidup bebas di atas substrat. Distribusi fauna secara horisontal pada
areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya memperlihatkan pola
permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai.
Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan
sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata
dan Soemodihardjo (1977) menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat
pada hutan mangrove sangat luas, tetapi tidak terlihat pada hutan mangrove yang
ketebalannya sangat rendah.
Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang besar
dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena disamping
sebagai pemangsa detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau memperkecil
serasah yang baru jatuh. Perilaku moluska jenis Telebraria palustris
dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau menghancurkan serasah man-
grove
untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam mempercepat proses
dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan lebih cepat. Disamping
membantu dalam proses dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga membantu
dalam penyebaran seedling dengan cara menarik propagul kedalam
lubang tempat persembunyiannya ataupun pada tempat yang
berair. Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat baik dalam kaitannya
dengan distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari jenis Rhizophora
sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah
atau mulai terjadi konversi hutan mangrove.
Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat
luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium
patalum. Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan yang sangat ekstrim adalah Littorina scabra, Crassostrea
cacullata dan Enigmonia aenigmatica (Budiman dan Darnaedi, 1984).
Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni hutan
mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi
masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris
dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yang dikonsumsi
masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata dan
Ostrea cucullata.
Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove
umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat
dikategorikan sebagai golongan infauna, sedangkan beberapa jenis
udang (Macrura) yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian
besar hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan
di berbagai tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama
fauna Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).
Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni
setia hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan
mencari makan hanya disekitar sarang tersebut.
Sedangkan
pada hutan mangrove bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya didominasi Uca
dusumeri. Jenis lain yang muncul pada substrat tersebut
adalah Uca lactea, U. vocans, U. signatus dan U. consobrinus.
Diantara kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis dan dikonsumsi
masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus pelagicus,
Epixanthus dentatus dan Labnanium politum.
II.7 Faktor Lingkungan untuk
Pertumbuhan Mangrove
Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan
memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi
berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut
Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan
bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi,
erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta
kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
-
Fisiografi pantai (topografi)
-
Pasang (lama, durasi, rentang)
-
Gelombang dan arus
-
Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)
-
Salinitas
-
Oksigen terlarut
-
Tanah
-
Hara
Faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut :
A. Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar
hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih
beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena
pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove
sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang
terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur
yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
B.
Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan
komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci
pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai
berikut:
- Lama pasang
1.
Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan
salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya
akan menurun pada saat air laut surut
2.
Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang
merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara
horizontal.
3.
Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi
vertikal organisme.
- Durasi pasang :
1.
Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang
diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2.
Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi
pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka
jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera
serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
- Rentang pasang (tinggi pasang):
1.
Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi
pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
2.
Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
C.
Gelombang dan Arus
1.
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada
lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan
mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
2.
Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies
misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai
menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
3.
Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove.
4.
Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien
yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off
daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke
laut pada saat surut.
D.
Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan
air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan,
suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Cahaya
•
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi,
dan struktur fisik mangrove
•
Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah
tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
•
Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari
lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
•
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang
berada di luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena
mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di
dalam gerombol.
2.
Curah hujan
•
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
•
Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air
dan tanah
•
Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
3.
Suhu
•
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan
respirasi)
•
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20º C dan
jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
•
Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal
pada suhu 26-28º C
•
Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27º C, dan Xylocarpus tumbuh
optimal
pada suhu 21-26º C
E.
Salinitas
1.
Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30
ppt
2.
Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi
mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
3.
Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan
pasang
4.
Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
F.
Oksigen Terlarut
1.
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan
fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya.
2.
Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis
3.
Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi
terendah pada malam hari
G.
Substrat
1.
Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
2.
Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal
dan berlumpur
3.
Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
4.
Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatantegakan
Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka
tegakan menjadi lebih rapat
5.
Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonn
ratia/Rhizophora/Bruguiera
6.
Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
7.
Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
H.
Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan
organik.
1.
Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
2.
Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi
pohon-pohon
mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air dan pasang
surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan dan mempunyai
aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian vegetasi mangrove
akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan air jauh dari
permukaan.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok
jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga
merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di
bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang
mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas
tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium
termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian
arah daratan.
Beberapa
faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove:
-
Fisiografi pantai (topografi)
-
Pasang (lama, durasi, rentang)
-
Gelombang dan arus
-
Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)
-
Salinitas
-
Oksigen terlarut
-
Tanah
-
Hara
DAFTAR PUSTAKA
Bengen,
D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian
Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman,
A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove
Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Budiman,
A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan
bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen
Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry
Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata,
K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status
pengetahuan hutan bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove:
21-39.
Kusmana,
C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of
Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V:
Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB
Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Soemodihardjo,
S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan komunitas
mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara,
I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros. Sem.
III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson,
P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.
Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???