I.
PENDAHULUAN
Organisme
penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia
baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu
tanaman secara garis besar dibagimenjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma.
Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga,
tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan
penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh
cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid,nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi.
Perkembangan
hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak
heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah
penyakit tanaman sperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai
dan sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak masalah hama penggerek
batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai. Akhir-akhir ini perubahan iklim seperti
peningkatan temperatur yang berkaitan dengan peningkatan kadar CO2atmosfer
(Boland et al., 2004) mulai diperhatikan kalangan internasional maupun
nasional. Bersumber pada data NASA Goddard Institute for Space Studies(GISS)
Yayasan Pelangi menyatakan bahwa tahun dibanding tahun 1951-1980 suhu permukaan
rata-rata Indonesia mengalami peningkatan 0,5 – 1 C (Kompas 4 Januari 2006).
Apakah perubahan iklim tersebut berdampak pada masalah hama dan penyakit yang
ada, dan apakah masalah hama- penyakit yang terkini di lapangan berkaitan
dengan perubahan iklim tersebut. Tulisan ini berupaya untuk memahami hubungan
faktor faktor iklim dengan perkembangan hama/penyakit, dikaitkan dengan
fenomena permasalahan hama-dan penyakit terkini yang ada di lapangan.
Sumber
data hama dan penyakit berasal dari data luas serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang disajikan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Laporan Safari Gotong Royong
Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB th 2007 di mana penulis ikut serta di
dalamnya, serta pengamatan lapangan penulis di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Beberapa
dekade terakhir ini, dampak dari terjadinya perubahan iklim sangat dirasakan
oleh umat manusia di semua belahan dunia. Dengan kenaikan suhu rata-rata global
yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat pada adanya anomali cuaca yang
ekstrem, perubahan pada periode musim, dan perubahan jumlah curah hujan.
Temperatur dan suhu bumi juga mengalami peningkatan. Demikian pula dengan
ancaman terhadap kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan banjir, yang
polanya sering berubah-ubah dan menjadi sulit sekali diprediksi.
Dampak adanya
perubahan iklim juga sangat dirasakan pada sub sektor perkebunan dan pertanian.
Tingkat produktivitas tanaman dan musim tanam mulai berubah. Hal ini diduga
besar akibat aktivitas yang dilakukan manusia setiap harinya menghasilkan gas
rumah kaca (GRK). Perubahan iklim juga dapat dilihat pada organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang populasinya kini meningkat tajam dan tingkat penyebarannya
semakin meluas. Dinamika populasi organisme pengganggu tanaman banyak mengalami
perubahan. Hal ini diduga kuat akibat ketidakseimbangan antara organisme
pengganggu tanaman dengan tanaman inangnya (host).
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Segitiga Penyakit
Konsep ini berawal dari Ilmu
Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat diterapkan pada bidang ilmu hama . Pada
dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu patogen, inang
dan lingkungan mendukung. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen
(daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung.
Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun
biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas sekali
bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit
yang muncul.
2.2 Pengaruh
Faktor-faktor Iklim terhadap Hama
Hama
seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung.
Temperatur, kelembaban udara relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap
siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga.
Sebagaicontoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C
untuk pertumbuhan nya(Bonaretal.2007).Contoh yang lain adalah pertumbuhan
populasi penggerek batang padi putih berbeda antara musim kemarau dan musim
hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh terhadap diapause serangga penggerek
batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa (Triwidodo, 1993).
Umumnya
serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan menjadi masalah pada
musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air hujan. Pada
percobaan dalam ruang terkontrol peningkatan kadar CO2 pada selang 389- 749µl/L
meningkatkan reproduksi tungau Tetranychus urticae(Heagle et al., 2002)
Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan
fisiologi tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhiketahanan tanaman terhadap
hama. Temperatur berpengaruh terhadap sintesissenyawa metabolit sekunder
seperti alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap
hama. Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik
predator, parasitoid dan patogen. Sebagai contoh adalahperkembangan populasi
ulat bawang Spodoptera exigua pada bawang merah lebih tinggi pada musim
kemarau, selain karena laju pertumbuhan intrinsik juga disebabkan olehtingkat
parasitasi dan tingkat infeksi patogen yang rendah
(Hikmah, 1997).
Secara umum,
pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari tanaman yang mengalami tekanan atau
stres karena perubahan iklim lebih rentan terhadap serangan organisme
pengganggu tanaman. Dampak lainnya adalah serangan hama dan mikroba termofilik
lebih diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas atau kemarau dan
meningkatnya temperatur. Termofilik adalah organisme yang hidup baik di suhu
panas. Di sisi lainnya, organisme yang saat ini bukan sebagai organisme
pengganggu tanaman, suatu saat dapat menjadi organisme pengganggu tanaman yang
bisa terekspansi ke wilayah lain.
Perubahan
iklim sangat mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama (musuh alami
tanaman), dan tanaman inangnya. Dampak paling penting dari perubahan
iklim terhadap populasi serangga hama adalah adanya gangguan sinkronisasi
antara tanaman inang dan perkembangan serangga hama terutama pada musim
penghujan atau musim dingin. Sementara itu, adanya peningkatan temperatur juga
akan lebih mendukung perkembangan serangga hama dan daya tahan hidupnya pada
musim penghujan atau musim dingin. Temperatur yang meningkat dapat juga
mengakibatkan serangga hama menjadi jenuh hidup di belahan selatan bumi dan
dapat melakukan invasi ke belahan utara bumi.
Meningkatnya
kadar CO2 di udara dapat menurunkan kualitas pakan serangga pemakan tumbuhan
sebagai akibat dari meningkatnya kadar nitrogen pada daun tanaman. Sedangkan
pada musim kemarau atau musim panas (meningkatnya temperatur) akan
menguntungkan golongan patogen itemofilik (golongan parasit yang mampu
menimbulkan penyakit pada inangnya).
Pada tanaman
eksotis (impor dari daerah/negara lain) dapat memperburuk pengaruh perubahan
iklim terhadap serangan hama. Hal ini akibat tanaman tersebut tidak mampu
beradaptasi secara alami pada habitat bukan aslinya. Juga karena tidak adanya
tanaman alami setempat yang mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman
asing yang masuk ke wilayah tersebut.
Akibat
meningkatnya temperatur udara, distribusi geografis serangga vektor patogen
penyakit tumbuhan berpotensi menjadi meluas sehingga menambah jumlah individu
serangga penyerang tumbuhan. Meningkatnya temperatur juga meningkatkan serangan
jamur penyebab penyakit busuk akar dan pangkal batang pada tanaman berdaun
lebar seperti tanaman kakao dan tanaman tembakau.
Saat musim
dingin atau musim penghujan yang lebih hangat dapat berdampak pada meningkatnya
serangan jamur patogen yang semula hanya dianggap sebagai penyakit minor.
Sedangkan pada musim kering atau musim panas, sangat berpotensi meningkatkan
serangan jamur penyebab penyakit yang sangat tergantung pada tekanan atau stres
yang dialami oleh inangnya, seperti jamur patogen yang menyerang akar tanaman.
Berkurangnya hari hujan diperkirakan juga dapat menurunkan serangan jamur
patogen yang menyerang daun. Efek perlindungan mikroba terhadap penyakit akar
dapat dipengaruhi oleh perubahan suhu atau kelembaban tanah.
2.3.
Faktor-faktor iklim dan penyakit tumbuhan.
Dari
konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan
fisik angat berpengaruh terhadap proses
timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa terhadap siklus
hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen.
Pengaruh
perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Garret et
al. (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit
melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan
patogen. Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae pv.
oryzae mempunyai suhu optimum pada 30º C
(Webster dan Mikkelsen,
1992) ). Sementara F.
oxysporumpada bawang merah mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28-30 º C
(Tondok, 2003). Bakteri kresek penularan utamanya adalah melalui percikan air
sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat serangan.
Pada
temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) lebih cepat di banding suhu rendah. Sebaliknya penyakit hawar
daun pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestanslebih
berat bila cuaca sejuk (18-22 º C) dan lembab. Faktor-faktor iklim juga
berpengaruh terhadap ketahanan tanaman inang. Tanaman vanili yang stres karena
terlalu banyak cahaya akan rentan terhadap penyakit busuk batang yang
disebabkan oleh Fusarium. Ekspresi gejala beberapa penyakit karena virus
tergantung dari suhu. Dinamika lingkungan biotik juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor iklim.
Habitat
mikro daun atau disebut filoplan mempunyai tingkat kolonisasi ragi (yeast) yang
lebih tinggi dibanding akar karena kemampuan mikroba tersebut untuk mentolerir kekeringan.
Yeast tersebut berperan penting dalam pengendalian hayati penyakit-penyakit
yang menyerang tajuk. Jenis dan kelimpahan cendawan penghuni daun bawang merah
yang bersifat saprofitik dipengaruhi oleh curah hujan dan kelembaban udara
relatif (Wiyono, 1997).
2.4 Perkembangan
Hama-Penyakit Tanaman Terkini
Beberapa
dekade terakhir ini, dampak dari terjadinya perubahan iklim sangat dirasakan
oleh umat manusia di semua belahan dunia. Dengan kenaikan suhu rata-rata global
yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat pada adanya anomali cuaca yang
ekstrem, perubahan pada periode musim, dan perubahan jumlah curah hujan.
Temperatur dan suhu bumi juga mengalami peningkatan. Demikian pula dengan ancaman
terhadap kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan banjir. Bahkan beberapa perubahan pada tiga tahun terakhir
terjadi pada masalah hama dan penyakit di Indonesia yaitu eskalasi, peningkatan
status dan degradasi sehingga polanya sering berubah-ubah dan menjadi sulit
sekali diprediksi.
a. Eskalasi
Pada
kondisi ini hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau
tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah makin
meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thripssp. pada tanaman cabai. Pada
tahun kemarau 2006 Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai
di Tegal dan Brebes. Pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat,
dan dilapangan tidak ada satu pestisida sintetik pun yang efektif
mengendalikannya Pada tiga tahun terakhir ini menurut pengamatan penulis dan
juga Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB (2007) serangan
Thripssp. Makin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal,
Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri.
Thrips
lebih berkembang pada musim kemarau, akan berkembang bila kemaraunya makin
kering dan suhu rata-rata makin panas. Sebagai pembanding Thrips palmi pada
terong di Taiwan mempunyai suhu optimum untuk perkembangan populasi pada 25 –
30 º C (Chen dan Huang, 2004).Selain itu serangan antraknosa cabai
(Colletotrichumsp.) pada tahun-tahun terakhir ini juga makin berat. Cendawan
fitopatogen ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat. Pengamatan
penulis juga menunjukkan bahwa ekspresi gejala antraknosa cabai tidak hanya
menimbulkan busuk pada buah tetapi juga mati ranting, sekali lagi menggambarkan
makin beratnya penyakit ini. Penelitian dalam ruang terkendali di Australia
menunjukkan bahwa peningkatan kadar CO2
dari 350 ppm menjadi 700 ppm meningkatkan jumlah bercak dan keparahan
penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada Stylosanthes
(Chakraborty et al. 2002). Apakah
peningkatan antraknosa di Indonesia juga dipengaruhi peningkatan kadar CO2,
masih perlu diteliti lebih lanjut.
b. Peningkatan
Status
Pada tipe
ini hama/penyakit yang sebelumnya dianggap penyakit hama/penyakit minor berubah
menjadi hama/penyakit penting. Contoh
dari tipe perobahan ini adalah penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens).
Sebelumnya dinyatakan bahwa keberadaan penggerek batang merah jambu tidak
banyak bila dibanding penggerek batang lainnya yaitu pengerek batang padi
kuning (Scirpophaga incertulas), dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga
innnotata). Pengamatan pada bulan AprilMei 2007 disejumlah tempat di Jawa yaitu
Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali, Kulonprogo, dan Ciamis menunjukkan
dominansi penggerek merah jambu dalam komunitas penggerek meningkat (Nastari
Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007).
Kalshoven
(1981) menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang di
daerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Masih menjadi
pertanyaan apakah peningkatan dominansi penggerek merah jambu berkaitan dengan
musim kemarau yang lebih panjang. Pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5
tahun terakhir.
(http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm)
Penyakit
kresek/BLB (bacterial leaf blight)pada padi oleh Xanthomonas oryzae pv. oryza
menjadi penyakit terpenting dalam tiga tahun terakhir. Sepuluh tahun yang lalu
penyakit ini tidak pernah dianggap sebagai penyakit penting sehingga penelitian
terhadapnya pun juga kurang. Suhu optimum utuk perkembangan penyakit adalah 30
C (Saddler, 2000). Karena penulatran utamanya
melalui percikan air, hujan angin akan sangat memperberat penyakit
karena. Apabila terjadi peningkatan suhu rata-rata akan
mendorong perkembangan penyakit
ini. Webb dalam Garret et al., (2006) juga menyatakan bahwa gen ketahanan padi
terhadap X. oryzaepv. oryzaeyaitu Xa 7 terekspresi lebih baik pada suhu yang
meningkat, namun gen ketahanan lainnya justru terkspresi pada suhu yang lebih
rendah.
Penyakit moler/twisting diseasepada bawang
merah pada tahun 1997 tidak merupakan penyakit utama oleh petani bawang baik
dataran rendah maupun tinggi (Triwidodo et al., 1997). Pada lima tahun terakhir
terjadi peningkatan kejadian penyakit ini . Dua tahun terakhir penyakit ini
menjadi penyakit utama pada bawnag merah di baerbagai daerah sentra produksi
seperti Brebes. Menurut Tondok (2003) Fusarium oxysporum, yang merupakan
penyebab penyakit ini pertumbuhan optimum in vitro adalah pada suhu 25-30 º C.
Pada suhu yang tinggi umumnya tanaman lebih stres dan lebih rentan terhadap F.
oxysporum. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim yaitu
peningkatan suhu merupakan satu satunya penyebab peningkatan status penyakit
ini, karena juga terkait dengankandungan bahan organik tanah yang makin rendah,
serta distribusi yang luas melalui umbi bibit,namun tampaknya cukup
berkontribusi dalam peningkatan keparahan penyakit twisting.
Virus
gemini merupakan contoh yang fenomenal.Lima tahun yang lalu tidak merupakan
penyakit yang penting tetapi sekarang ini menjadi penyakit cabai yang paling
penting hampir disemua daerah pertanaman cabai dan tomat di Pulau Jawa seperti
Bogor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo,
Blitar, dan Tulungagung (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Penyakit
ini menimbulkan daun menjadi menguning (yellowing), dan gejala lebih jelas pada
daun muda. Epidemi dari penyakit ini salah satunya ditentukan oleh dinamika
populasi serangga vektor yaitu kutu kebul Bemisia tabaci. Hingga saat ini belum
ada penelitian yang mendalam untuk meneliti faktor penyebab ledakan penyakit
virus gemini ini. Tetapi data biologi populasi B. tabaci menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan intrinsik dipengaruhi oleh suhu. Laju pertumbuhan intrinsik B.
tabacipada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450(pada 17
°C) menjadi 0.123 ( 30 °C) (Bonaro et al.., 2007). Peningkatan keparahan penyakit-penyakit
tanaman oleh virus yang disebabkan oleh perubahan iklim juga diramalkan oleh
Boland et al., (2004) di Kanada yang
berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.
c.
Degradasi
Sepanjang pengamatan lapangan penulis, terjadi
penurunan penyakit hawar daun tomat oleh Phytophthora infestans. Pada bulan
April-Mei 2007, yang berarti musim hujan di Jawa, penyakit ini jarang sekali
ditemukan pada tomat dataran tinggi. Sebelumnya dinyatakan bahwa penyakit ini
merupakan penyakit tomat terpenting di dataran tinggi. Penyakit hawar daun
tomat lebih berkembang pada kondisi yang sejuk yaitu suhu 18-22 º C dan lembab
(Semangun, 1989).
Selain
itupenyakit embun bulu yang disebabkan oleh Peronospora destructoryang pada
tahun 1997 merupakan penyakit yang paling penting bagi petani bawang merah
dataran tinggi (Triwidodo et al., 1993) Pada tahun 2007 ini sangat rendah
serangannya, dan tidak dianggap penting lagi oleh petani. Boland et al., (2004)
juga meramalkan bahwa dengan peningkatan
suhu penyakit hawar daun tomat/kentang oleh P. infestansdan embun bulu pada
bawnag bombay di Kanada akan menurun. Fakta di atas menunjukkan indikasi kuat
tentang kaitan perubahan iklim sperti peningkatan suhu dengan masalah hama dan
penyakit di Indonesia. Namun demikian untuk pemahaman masalah secara
komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus dampak iklim terhadap perubahan
hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat baik
oleh pemerintah, maupun masyarakat.
2.6
Antisipasi
Menghadapi
perubahan iklim dalam kaitan dengan perkembangan hama dan penyakit tanaman
diperlukan beberapa langkah yang sesuai. Kajian komperehensif dampak perubahan
iklim terhadap hama dan penyakit tanaman perlu dilakukan untuk menentukan
langkah yang tepat bagi pemerintah maupun petani. Selain itu diperlukan
peningkatan pemahaman agroekosistem oleh petani sehingga lebih jeli mengamati
dan mensikapi perubahan yang ada. Beberapa pengetahuan pribumi (indigenous
knowledge) yang didasari oleh pengaturan masa tanam seperti pranata mangsa dalam
masyarakat Jawa perlu dikaji kembali dan di rejuvenasi menghadapi perubahan
yang berlangsung. Melihat masalah hama dan penyakit yang makin berat di
Indonesia dari tahunke tahun, perlu pendekatan sistem Pengendalian Hama Terpadu
Biointensif (Bio-intensive IPM) yang mengoptimalkan sumberdaya hayati yang ada.
Untuk itu semua, kerjasama antara petani, pemerintah (pusat-daerah), perguruan
tinggi/lembaga penelitian , civil society yang riil diperlukan.
III. KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Hama
seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung.
2.
Perubahan
iklim sangat mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama (musuh alami
tanaman), dan tanaman inangnya.
3.
Dari
konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan
fisik sangat berpengaruh terhadap proses
timbulnya penyakit.
4.
Dengan
kenaikan suhu rata-rata global yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat
pada adanya anomali cuaca yang ekstrem, perubahan pada periode musim, dan
perubahan jumlah curah hujan
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, PA. AA Cunningham, NG
Pate, FJ Morales, PR Epstein, P. Daszak. 2004.
Emerging infectious diseases of
plants: pathogen pollution, climate change and agrotechnology drivers.
Trends
in Ecol. and Evol. 19: 535-543
Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal,
J Fargues.2007. Modelling temperature-dependent bionomics of Bemisia
tabaci(Q-biotype)
Physiological Entomology,32: 50-55
Chakraborty, S, G Murray, N.
White. 2002. Impact of Climate Change on Important Plant Diseases in
Australia.
A report for the Rural Industries Research and Development
Corporation by April 2002. RIRDC
Publication No W02/010 Chen, C. N., Huang, L. H., 2004.
Temperature
effect on the life history traits of Thrips palmiKarny (Thysanoptera:
Thripidae) on
eggplant
leaf.. Plant Protec. Bull. (Taipei),46 : 99-111 demioly / Épidémiologie
Boland, G.J. M.S. Melzer, A.
Hopkin, V. Higgins, and A. Nassuth. 2004. Climate change and plant
diseases
in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26: 335–350
Garret, K.A., S.P. Dendy, E.E.
Fraih, M.N. Rouse, S.E. Travers. 2006. Climate change effect to plant
disease:
genome to ecosystem. Ann, Rev. Phytopathol44;489-509
Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S.
Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on
leaf
chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on
white clover. Environ. Entomol. 31: 594-601
Hikmah, Y. 1997. Tingkat
parasitasi larva Spodoptera exiguapada musim hujan dan musim kemarau.
Skripsi.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanaian IPB.
Kalshoven, LGE. 1981. Pests of
Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta. Nastari Bogor
dan
Klinik Tanaman IPB. 2007. Laporan Safari Gotong Royong Sambung Keperluan untuk
Petani Indonesia di 24 Kabupaten-Kota di Pulau Jawa 4 April-2 Mei 2007..
Yayasan Nastari Bogor- Klinik Tanaman IPB.
Saddler, GS. 2000. IMI
Description of Fungi and Bacteria No. 146 sheet 1457. Schwartz, H.F. dan S.K.
Mohan. 1995. Compendium of Onion and Garlic Diseases. APS Press. Minnesota
Semangun, H. 1989. Penyakit
Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Tondok, E. 2001. The Causal Agent
of Twisting Disease of Shallot. Master Thesis. University of
Goettingen,
Germany
Triwidodo, H, T.S. Yuliani, D.
Prijono dan S. Wiyono. 1998. Pengembangan Teknologi dan
Pemasyarakatan
PHT Bawang Merah. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Dikti. LP IPB Bogor.
Triwidodo, H. 1993. Bioecology of
White Stem Borer of Rice in Indonesia. Ph D Thesis. University of
Wisconsin,
Madison
Webster, R.K. dan D.S. Mikkelsen.
1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press. Minnesota
Wiyono, S. 1997. Succession and
Diversity of Shallot Phylloplane Fungi: Its Relation to Purple Blotch
Disease.
Master Thesis. University of Goettingen, Germany
Terimakasih atas informasinya
BalasHapusirhamabdulazis271.student.ipb.ac.id