Pengusulan dan Penetapan Hutan
Konservasi di Indonesia dilakukan melalui serangkaian proses yang disebut
pengukuhan kawasan hutan. Kawasan Konservasi sendiri mencakup Kawasan
Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), Kawasan
Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan Taman Buru. Pengukuhan kawasan
hutan merupakan rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, dan penetapan
kawasan hutan.Penunjukkan dan penetapan kawasan hutan konservasi ini menjadi
kewenangan Menhut yang dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan.
Dalam proses pengukuhan hutan
konservasi, penetapan dilakukan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dan
peran serta dari pemerintah daerah maupun stakeholders yang terkait kawasan.
Termasuk di dalamnya penyelesaian hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan
dan pertimbangan akademik tentang potensi keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya. Untuk dapat menilai layak tidaknya ditetapkan, tentu perlu juga
dukungan scientific judgement tentang kelayakan teknis dan yuridis
sesuai kriteria-kriteria kawasan konservasi yang masih berlaku sampai saat ini.
Tata cara pengukuhan kawasan hutan
konservasi pada mulanya mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
399/KPTS-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts- II/1996, lalu Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan
Kawasan Hutan. Sejak dikeluarkan Permenhut Nomor 50 tahun 2011 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan, maka peraturan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
Pada dasarnya, sesuai Permenhut
50/2011, untuk dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi, ada 3 tahapan
besar yang harus dilalui, yaitu :
1.
Penunjukan
dengan Keputusan Menteri;
2. Penataan batas ;
terdiri atas pelaksanaan tata batas dan pembuatan Berita Acara Tata Batas
Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas atau pejabat yang
berwenang; dan
3. Penetapan dengan
Keputusan Menteri.
Berikut langkah-langkah pengukuhan
kawasan hutan konservasi secara bertahap :
A. Penunjukkan
Penunjukan kawasan hutan konservasi
merupakan langkah pertama dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan
dapat dilakukan terhadap kawasan/wilayah/areal tertentu baik secara partial
atau dalam wilayah provinsi dengan Keputusan Menteri Kehutanan sebagai kawasan
hutan dengan fungsi pokok tertentu, luas perkiraan, dan titik-titik koordinat
batas yang dituangkan dalam bentuk peta kawasan hutan skala tertentu atau
minimal skala 1 : 250.000 sebagai dasar untuk pelaksanaan tata batas kawasan
hutan.
Area yang akan ditunjuk sebagai kawasan
hutan konservasi dapat berasal dari wilayah provinsi yang mengalami perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan sejalan dengan proses revisi tata ruang
wilayah, atau wilayah tertentu secara parsial yang pada mulanya berstatus bukan
kawasan hutan. Untuk dapat diusulkan, kawasan non hutan harus memiliki
rekomendasi Gubernur/Bupati/Walikota serta secara teknis memiliki
kriteria-kriteria sebagai kawasan konservasi. Kriteria-kriteria untuk Kawasan
Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan Taman Nasional dapat dilihat pada
artikel lain di blog ini.
Karena belum dilakukan proses penataan
batas, biasanya area-area yang diusulkan sebagai kawasan hutan konservasi
tersebut umumnya baru memiliki batas-batas indikatif. Terkecuali dalam proses
pengusulan tersebut dilakukan terhadap area-area yang sebelumnya telah
ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi yang lain, misalnya pengusulan
perubahan fungsi dari hutan lindung menjadi hutan konservasi, dari Cagar Alam
menjadi Taman Nasional dan lain sebagainya.
Dalam proses pra penunjukkan tersebut,
dokumen Rekomendasi persetujuan disampaikan kepada Menhut dengan tembusan
Gubernur, Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Planologi, Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan,
Bupati/Walikota; dan Kepala BPKH terkait.
Tata Cara pengusulan kawasan konservasi
kepada Menteri Kehutanan tergantung pada jenis area yang diusulkan :
- Area berasal dari tukar menukar kawasan hutan : Gubernur dapat mengusulkan kepada Menteri Kehutanan penunjukkan sebagai kawasan hutan konservasi apabila ada rekomendasi dari Bupati. Demikian juga sebaliknya, jika yang mengusulkan Bupati harus ada rekomendasi dari Gubernur. Disertakan pula Berita Acara serah terima lahan tukar-menukar kawasan hutan yang ditandatangani Dirjen Planologi dan pemohon.
- Area berasal dari lahan kompensasi ijin pinjam pakai kawasan hutan : harus ada rekomendasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota, dan menyertakan Berita Acara serah terima lahan kompensasi yang ditandatangani Dirjen Planologi dan pemohon.
- Area berasal dari tanah hak yang diserahkan secara sukarela untuk dijadikan kawasan konservasi : Menhut bisa langsung melakukan penunjukkan kawasan hutan. Akan tetapi area yang diusulkan harus memiliki unsur kejelasan mencakup status, keadaan, letak, batas dan luas serta dilampiri oleh peta minimal 1: 250.000, pertimbangan teknis Kepala Dinas Provinsi dan atau Kabupaten dan rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/Walikota. Unsur kejelasan ini juga berlaku untuk area yang berasal dari tanah timbul.
Area yang telah ditunjuk sebagai
kawasan hutan konservasi dipetakan dan menjadi bagian dari dokumen penunjukkan.
Peta ini lalu disempurnakan dengan peta berbasis citra satelit resolusi tinggi
skala 1:50.000 dengan ditandatangani oleh Menteri yang telah mengindikasikan
adanya hak-hak pihak ketiga.
Sebagai bukti fisik di lapangan,
dilakukan pemasangan tugu batas di beberapa titik sebagai acuan penataan batas
kawasan. Kegiatan ini dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang
memiliki tanggung jawab atas region kawasan tersebut.
B. Penataan Batas
Penataan batas kawasan hutan konservasi
dilakukan terhadap batas-batas kawasan yang bersinggungan dengan APL (kawasan
budidaya atau non hutan) maupun perbatasan dengan fungsi-fungsi hutan lainnya
(misalnya hutan produksi tetap, hutan lindung, hutan produksi dapat dikonversi
dll). Kegiatan ini meliputi pembuatan peta trayek batas, pemancangan batas
sementara, pengumuman hasil pemancangan batas sementara, inventarisasi,
identifikasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pembuatan dan
penandatanganan berita acara tata batas sementara dan peta lampiran tata batas,
pemasangan tanda batas dan pengukuran batas, pemetaan hasil penataan batas,
pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas.
Apabila belum pernah dilakukan penataan
batas, maka perlu dilakukan tata batas/ pemasangan tanda batas. Namun jika
batas kawasan yang ditunjuk berhimpitan dengan batas kawasan hutan pada fungsi
sebelumnya maka penataan batas dapat memanfaatkan pal-pal yang telah ada
sebelumnya.
Penataan batas kawasan konservasi
dilakukan terhadap batas luar kawasan hutan dan batas fungsi kawasan hutan.
Untuk penataan batas luar kawasan hutan, yaitu batas antara kawasan hutan
konservasi dengan APL, maka kegiatan penataan yang akan dilakukan memiliki
tahapan sebagai berikut :
1.
pembuatan
peta trayek batas;
2. pemancangan batas
sementara;
3. pengumuman hasil
pemancangan batas sementara;
4. inventarisasi,
identifikasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga;
5. berita acara
pembahasan dan persetujuan hasil pemancangan batas sementara;
6. pengukuran batas dan
pemasangan tanda batas;
7. pemetaan hasil
penataan batas;
8. pembuatan dan
penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan
9. pelaporan kepada
Menteri.
Hasil pelaksanaan kegiatan pemancangan
batas sementara dan hasil inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga
dituangkan dalam Berita Acara Pengukuran dan Pemancangan Batas Sementara yang
ditandatangani oleh pelaksana tata batas yang diketahui oleh kepala desa/kepala
kelurahan dan camat setempat.
Kepala BPKH lalu menyampaikan laporan
hasil kegiatan pemancangan batas sementara kepada Bupati/Walikota selaku Ketua
Panitia Tata Batas dengan tembusan disampaikan kepada kepala instansi pengelola
kawasan hutan. Berdasarkan laporan hasil pelaksanaan kegiatan pemancangan batas
sementara ini, Bupati/Walikota selaku Ketua Panitia Tata Batas melaksanakan
rapat pembahasan Panitia Tata Batas dan peninjauan lapangan.
Dalam rangka penyelesaian hak-hak pihak
ketiga, Panitia Tata Batas melakukan inventarisasi dan identifikasi wilayah
yang ditunjuk. Selanjutnya panitia melakukan penyelesaian hak-hak pihak ketiga
yang teridentifikasi. Hak-hak pihak ketiga tersebut misalnya terdapat tanah
hak/tanah masyarakat di dalam kawasan hutan yang ditunjuk. Model
penyelesaiannya mencakup 2 cara :
1.
Jika
hak pihak ketiga berada di sepanjang trayek batas, maka solusinya dikeluarkan
dari trayek batas; dan
2. Jika hak pihak ketiga
berada di dalam kawasan hutan konservasi, maka solusinya dibuat enclave
atau dikeluarkan dari kawasan hutan yang pelaksanaan penataan batasnya
dilaksanakan tersendiri.
Pembuktian hak-hak pihak ketiga berupa
hak atas tanah ditunjukkan dengan adanya bukti yang diperoleh sebelum
penunjukan kawasan hutan dan perubahannya, dapat berupa :
- hak milik;
- hak guna usaha;
- hak guna bangunan;
- hak pakai; dan
- hak pengelolaan.
Selain bukti hak tersebut, diakui pula
bukti tertulis lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan, seperti :
- hak eigendom, opstal, erfpacht.
- petuk pajak bumi/landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia;
- surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
- lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bukti tertulis tersebut diakui setelah
dilakukan klarifikasi pada instansi yang membidangi urusan pertanahan sesuai
dengan kewenangannya dan hasilnya membenarkan bukti tertulis tersebut.
Sedangkan untuk penataan batas fungsi
kawasan hutan, yaitu batas antara kawasan hutan konservasi yang sedang ditata
batas dengan kawasan hutan lainnya, maka tahapan kegiatan yang dilakukan
sebagai berikut :
1.
Pembuatan
peta trayek batas;
2. Pengukuran batas dan
pemasangan tanda batas;
3. Pemetaan hasil
penataan batas;
4. Pembuatan dan
penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan
5. Pelaporan kepada
Menteri.
Sebagai penanda batas kawasan hutan
konservasi sebagaimana telah ditunjuk oleh Menhut, maka dilakukan pemasangan
tugu batas kawasan. Pemasangan tugu ini dilakukan pada kawasan hutan yang
terindikasi tidak rawan perambahan dan tidak terdapat hak-hak pihak ketiga.
Tugu batas dipasang pada posisi/letak sebagaimana pada deliniasi batas kawasan
hutan pada peta penunjukan kawasan hutan yang dilengkapi dengan koordinat
tertentu.
Setelah penataan batas selesai, maka
hasilnya dituangkan dalam Peta Tata Batas skala minimal 1:25.000, dimana peta
ini menjadi lampiran pada Berita Acara Tata Batas.
C. Penetapan
Penetapan kawasan hutan konservasi
merupakan tahap terakhir dalam proses pengukuhan. Penetapan ini dilakukan
terhadap hasil kegiatan tata batas kawasan hutan yang memuat letak, batas,
luas, fungsi tertentu dan titik-titik koordinat batas kawasan hutan yang dituangkan
dalam bentuk peta kawasan hutan skala tertentu atau minimal skala 1 : 100.000.
Penetapan hanya dapat dilakukan apabila
penataan batas telah selesai dilakukan dan telah temu gelang. Selain itu
penyelesaian hak-hak pihak ketiga juga telah dilakukan, apabila belum
terselesaikan maka dalam penetapan ini akan diberikan catatan terkait
penyelesaian lebih lanjut masalah-masalah pihak ketiga tersebut. Penetapan
kawasan hutan konservasi berbentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Pasca Penetapan
Sebelum penetapan, tepatnya pasca
penyerahan hasil tata batas dari Kepala BPKH kepada Kepala instansi pengelola
kawasan konservasi bersangkutan, pemeliharaan dan pengamanan batas
(rintis batas, pal batas dan tanda batas lainnya) dilakukan oleh pengelola kawasan
tersebut. Penyerakan hasil tata batas ini tak perlu menunggu pembuatan Berita
Acara Tata Batas. Misalnya saja kawasan Taman Nasional, maka yang bertindak
sebagai pengelola kawasan adalah Balai Taman Nasional, Direktorat Jenderal
PHKA. Sementara untuk Cagar Alam dilakukan oleh BKSDA.
Untuk kegiatan rekonstruksi batas
seperti pemasangan ulang pal batas yang hilang, rusak atau berpindah tempat,
maka kegiatan ini menjadi tugas dari BPKH terkait. BPKH juga bertindak sebagai
Unit Pelaksana Teknis Kemenhut yang salah satu tugas pokoknya melakukan
pemasangan pal batas dalam proses pengusulan atau pengukuhan kawasan
hutan konservasi.
Setelah SK penetapan oleh Menteri
Kehutanan diterbitkan, Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan
BPKH wajib mengelola dokumen hasil pengukuhan kawasan hutan berupa Keputusan
Penunjukan Kawasan Hutan beserta Petanya, Surat Keterangan atau Rekomendasi
bagi kawasan hutan, dan dokumen-dokumen lain, menjadi satu berkas, diberi nomor
agenda khusus sesuai ketentuan kearsipan.
Referensi :
Permenhut nomor 5 tahun 2011 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan
PP Nomor 28 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelstarian Alam (KPA)
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???