Senin, 07 Januari 2013

makalah sistem agroforstry mengurangi efek glogal warming




Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan daerah yang banyak memiliki hutan-hutan tropis sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Luasnya hutan yang ada di Indonesia harus mampu mendorong rakyat Indonesia untuk melestarikan Sumber Daya Alam yang tak ternilai harganya ini. Pada tahun 2005 kawasan hutan di Indonesia mencapai 93,92 juta hektar (Departemen Kehutanan RI), pemanfaatannya berupa hutan tetap seluas 75,27 juta ha, terdiri dari hutan konservasi 15,37 juta ha, hutan lindung 22,10 juta ha, hutan produksi terbatas 18,18 juta ha, dan hutan produksi tetap seluas 20,62 juta ha. Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 10,69 juta ha dan area penggunaan lain (non kawasan hutan) seluas 7,96 juta ha. Lahan hutan terluas berada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta Ha).
Sebagai salah satu Sumber Daya Alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat tangible (langsung/ nyata) dan manfaat intangible (tidak langsung/ tidak nyata). Manfaat tangible atau manfaat langsung hutan antara lain: kayu, hasil hutan ikutan, dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible atau manfaat tidak langsung hutan antara lain: pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan lain-lain (Siddik, 2004:12). Selain manfaat, hutan juga memiliki berbagai fungsi, dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Dilihat dari ekologi fungsi hutan mempunyai peranan penting dalam menetralkan gas-gas yang buruk bagi bumi, selain itu dapat mengatur aliran air ke daerah pertanian dan perkotaan, baik lokal, regional maupun global.
Pada kenyataannya saat ini keberadaan dan kelestarian hutan diberbagai daerah terus saja menurun dari waktu ke waktu. Penurunan ini seiring dengan pertambahan penduduk yang terus menerus meningkat serta akibat dari kemiskinan. Pertambahan penduduk banyak terjadi di daerah pedesaan yang hampir semua mata pencaharian utamanya di sektor pertanian dan menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian dengan menjual berbagai hasil produk pertanian. Terbatasnya lahan garapan pertanian yang ada saat ini, menyebabkan petani penggarap yang tidak memiliki lahan garapan akan membuka lahan garapan yang baru dengan cara merambah hutan yang ada disekitarnya. Penggunaan lahan  hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan lingkungan global (Global Warming).
Diantara fungsi dan manfaat hutan, hutan mampu memberikan perlindungan kepada bumi dari efek buruk yang dapat merusak bumi beserta lapisannya. Salah satu efek buruk yang dapat merusak bumi serta lapisannya adalah efek gas rumah kaca yang mampu membuat tipis bahkan lubang pada atmosfer bumi sehingga berdampak terjadinya masalah perubahan lingkungan global atau Global Warming. Istilah Global Warming menjadi sangat popular pada 20 tahun belakangan ini. Global Warming merupak istilah yang pertama kali digunakan oleh para peneliti  kebocoran ozon pada tahun 1980-an di Antartika.  istilah Global  berarti seluruh bagian bumi  dan Warming berarti pemanasan,  sehingga pengertian sederhana dari  Global Warming adalah pemanasan bumi.  Bakker, ( 1991) mengatakan bahwa gobal warming adalah pemanasan yang disebabkan peningkatan  suhu rata-rata permukaan bumi  diberbagai tempat di bumi.  Laporan hasil konferensi perubahan iklim di Bali  (2008)           Berdasarkan permasalahan yang timbul akibat rusaknya hutan yaitu salah satunya Global Warming, maka diperlukan sebuah sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga keberadaan, kualitas, dan fungsi hutan secara berkelanjutan. Sistem tersebut adalah Agroforestry yang memiliki konsep pemanfaatan hutan secara optimal dengan menggabungkan tanaman-tanaman pangan yang berasaskan kelestarian bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Sistem ini merupak salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan.
2.1. Pengertian Global Warming.
Atmosfer bumi mengandung berbagai macam gas, dan diantara gas-gas tersebut terdapat beberapa gas yang dapat menyimpan dan menghalangi laju kehilangan panas dari permukaan bumi ke atmosfer. Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C (Nggieng, 2008),  Gas-gas penyimpan panas tersebut kemudian menyerap dan menyimpan panas bergelombang pendek (matahari) dan bergelombang panjang (bumi) pada atmosfer didekat permukaan bumi sehingga menyebabkan suhu bumi meningkat (Johan. M, 2010).
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.  Dengan jumlah energi ini,  bumi kemudian mengalami pemanasan  dengan rata-rata suhu hanya 27o C  pada awalnya, dan  suhu ini sama dengan rata-rata suhu normal sebuah kamar (Johan. M, 2010).  Menurut teori radiasi matahari selalu konstan dalam memancarkan cahayanya ke bumi, hanya jumlah radiasi yang sampai di bumi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi atmosfer (awan, uap air, kristal garam, debu), posisi bumi terhadap matahari (lintang dan bujur) dan rotasi bumi pada porosnya (pergantian siang dan malam), sehingga suhu bumi selalu tidak stabil. Ketidakstabilan ini yang menyebabkan kondisi  iklim  diberbagai tempat di bumi juga berubah-ubah.
2.2. Penyebab Global Warming.
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusialah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global. (Handoko, 1995 dalam Cahyono, 2004).
Selain penyebab Global Warming yang sudah dijabarkan seperti Efek Rumah Kaca dan Efek Umpan Balik Karbondioksida, penyebab Global Warming yang lain adalah Variasi Matahari. Variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
2.3. Dampak Global Warming.
Pada dasarnya, para ilmuan menggunakan model komputerisasi untuk mengukur suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global (Global Warming). Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global bagi bumi dan wilayah pulau-pulau di bumi.
2.3.1. Dampak Global Warming bagi Bumi.
            Pemanasan Global atau Global Warming tentu membawa dampak yang tidak baik bagi Bumi, seperti:
  1. Naiknya permukaan laut.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 – 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad ke-21.
  1. Iklim regional tidak teratur.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
  1. Suhu Bumi Cenderung Meningkat.
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
  1. Penurunan Biodiversitas Organisme.
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat.
  1. Dampak Sosial dan Politik.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu) Selain dampak yang telah dijabarkan di atas, Global Warming juga akan membawa dampak pada peningkatan frekuensi bencana alam, kurang kenyamanan hidup, gangguan kesehatan, dan biaya hidup meningkat.
2.4. Pengendalian Laju Global Warming.
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.
Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
2.5. Agroforestry.
2.5.1. Definisi Agroforestry.
Dalam seminar mengenai Agroforestry dan perladangan berpindah yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan di Jakarta tahun 1981, terumuskan definisi dari Agroforestry, yaitu suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang  Selanjutnya menurut Perum Perhutani (1990), Agroforestry adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan pertannian dan kehutanan pada inti pengelolaan lahan yang sama maupun yang berurutan dengan tujuan peningkatan produktifitas dan kelestarian hutan.
2.5.2. Manfaat Agroforestry.
Adanya berbagai jenis tanaman pohon-pohonan dan tanaman pertanian yang ditanam bergilir atau secara bersama-sama akan diperoleh beberapa keuntungan (Departemen Kehutanan RI, 1992), antara lain:
  1. Keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumber daya alam lebih efisien.
  2. Keuntungan ekonomis, yaitu jumlah produksi yang dicapai akan lebih tinggi, kenaikan produksi kayu dan pengurangan biaya pemeliharaan tegakan kayu.
  3. Keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun, menghasilkan panenan kayu pada musim paceklik pertanian serta produksi yang diarahkan kepada keperluan sendiri atau pasar.
  4. Keuntungan psikologis, yaitu perubahan yang relative kecil dengan cara produksi dan lebih mudah diterima oleh masyarakat daripada teknik-teknik yang berlandaskan sistem monokultur.
  5.  Keuntungan politis, yaitu sebagai alat untuk member pelayanan sosial yang lebih baik dan kondisi yang lebih layak bagi petani.
2.6. Kontribusi Agroforestry Terhadap Pengurangan Dampak Global Warming.
Gas rumah kaca yang paling banyak terdapat diatmosfer  bumi adalah Karbon dioksida (CO2).  Jumlah CO2 diatmosfer adalah kira-kira  0.03 % dengan konsentrasi 300-350 ppm.  Karbon dioksida  banyak diproduksi oleh  hewan,  manusia, mikroorganisme dekomposer,  pembakaran bahan organik, pembakaran fosil, industri , kendaraan dan lain-lain.  Konsentrasi CO2 setiap tahun meningkat  sebagai akibat meningkatnya sumber-sumber  penghasil CO2 dan meningkatnya kerusakan terhadap organisme konsumer CO2 (tumbuhan) seperti misalnya  kerusakan hutan.
Dilain pihak praktek agroforestry biasanya mengunakan  50 – 70 % tanaman keras (tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman hutan).  Tanaman keras  secara umum memiliki biomas tanaman diatas 50 kg  tiap individu tanaman, yang berarti kebutuhan konsumsi CO2 jauh berada diatas  5 x 105 molekul.
Hasil ini memperlihatkan bahwa model pertanian agroforestry memiliki sumbangan yang paling besar  dalam absorbsi CO2 dari atmosfer bumi, jika pola ini diaplikasi secara tepat dan menejemen yang berkualitas.
Kesimpulan
Hutan, khususnya yang berada di Indonesia, merupakan sumber daya alam yang harus dijaga dan selalu dilestarikan. Keseimbangan bumi terletak pada hutan yang sebagian besar berada di Indonesia yang mampu menjadi penyangga bumi. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya membuat sadar masyarakat Indonesia pada khususnya dan seluruh makhluk di muka bumi pada umumnya bahwa mereka telah mengeksplorasi sumber daya alam hutan secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Agroforestry merupakan suatu sistem yang mampu mengakomodir kepentingan manusia dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam hutan. Agroforestry dapat dikembangkan pada berbagai kondisi lahan, baik daerah basah maupun kering. Pada lahan basah biasa direkomendasikan model  agrosilvopasture atau agrosilvofishery.  Sedangkan pada lahan kering banyak digunakan model  agrisilviculture atau agrosilvopasture.
Dengan adanya sistem Agroforestry hutan di Indonesia akan selalu terjaga kelestariannya. Kelestarian hutan merupakan sumbangan terbesar bagi bumi untuk dapat mengurangi laju pemanasan global dengan daun-daunnya yang rimbun dapat memperbesar absorbsi CO2 dari atmosfer bumi.  CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling berbahaya jika lepas ke atmosfer. Untuk itu mulai dari saat ini seluruh manusia harus mampu menjaga kelestarian hutan dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Baker N. R. A possible role for photosystem in environmental pertubations of  fotosynthesis. (Physiologia Plantarum 81: 563-570, 1991)
Cahyono, E. Analisis Pemasaran Hasil Usahatani Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. [Skripsi]. (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2002)
Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. 1999
Departemen Pertanian RI. 2008
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2007.
Dillon and Hardaker. Farm Manajemen Research for Small Former Development. (ICRAF : Bogor, 2003)
Febrianto, T. Pendugaan potensi produksi tanaman jagung (zea may l) yang ditanam dengan tanaman jati (Tectona grandis L) pada sistem agroforestri di Lodoyo, Blitar. (Malang: Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2003)
Handoko. Klimatologi Dasar.  Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. (Jakarta: PT. Bumi Pustaka Jaya, 1995)
Hartina,  Sabarnurdin. S dan  Supriyo, H, (2002). Silvofishery system for mangrove rehabilitation study case: Cemara village, Indramayu. Gadjah Mada University, Yogyakarta
Matinahoru, JM. 2010. Reduce Impacts Of Global Warming Through Agroforestry System. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon. Jurnal Urip Santoso. Jakarta
Siddik, B. Profil Sistem Agroforestry di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. [Skripsi]. (Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, 2004)
Siti, SS. Analisis Kelayakan Usaha Tani Tumpang Sari Pertanian dan Agroforestry (Studi Kasus: Hutan Pendidikan Gunung Walat IPB, Sukabumi, Jawa Barat). [Skripsi]. (Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Sains dan Teknologi, 2009)



1 komentar:

  1. artikelnya bagus, dapat menambah wawasan pembaca, terimakasih

    BalasHapus

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???