Pendahuluan
Negara
Indonesia merupakan daerah yang banyak memiliki hutan-hutan tropis sehingga
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Luasnya hutan yang ada di
Indonesia harus mampu mendorong rakyat Indonesia untuk melestarikan Sumber Daya
Alam yang tak ternilai harganya ini. Pada tahun 2005 kawasan hutan di Indonesia
mencapai 93,92 juta hektar (Departemen Kehutanan RI), pemanfaatannya berupa
hutan tetap seluas 75,27 juta ha, terdiri dari hutan konservasi 15,37 juta ha,
hutan lindung 22,10 juta ha, hutan produksi terbatas 18,18 juta ha, dan hutan
produksi tetap seluas 20,62 juta ha. Hutan produksi yang dapat dikonversi
seluas 10,69 juta ha dan area penggunaan lain (non kawasan hutan) seluas 7,96
juta ha. Lahan hutan terluas berada di Papua (32,36 juta ha), diikuti
berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha),
Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09
juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta Ha).
Sebagai
salah satu Sumber Daya Alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat tangible (langsung/
nyata) dan manfaat intangible (tidak langsung/ tidak nyata). Manfaat tangible
atau manfaat langsung hutan antara lain: kayu, hasil hutan ikutan, dan
lain-lain. Sedangkan manfaat intangible atau manfaat tidak langsung
hutan antara lain: pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan
lingkungan, dan lain-lain (Siddik, 2004:12). Selain manfaat, hutan juga
memiliki berbagai fungsi, dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu
fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Dilihat dari ekologi
fungsi hutan mempunyai peranan penting dalam menetralkan gas-gas yang buruk
bagi bumi, selain itu dapat mengatur aliran air ke daerah pertanian dan
perkotaan, baik lokal, regional maupun global.
Pada
kenyataannya saat ini keberadaan dan kelestarian hutan diberbagai daerah terus
saja menurun dari waktu ke waktu. Penurunan ini seiring dengan pertambahan
penduduk yang terus menerus meningkat serta akibat dari kemiskinan. Pertambahan
penduduk banyak terjadi di daerah pedesaan yang hampir semua mata pencaharian
utamanya di sektor pertanian dan menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian
dengan menjual berbagai hasil produk pertanian. Terbatasnya lahan garapan
pertanian yang ada saat ini, menyebabkan petani penggarap yang tidak memiliki
lahan garapan akan membuka lahan garapan yang baru dengan cara merambah hutan
yang ada disekitarnya. Penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian
disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi,
kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan, dan bahkan perubahan lingkungan
global (Global Warming).
Diantara
fungsi dan manfaat hutan, hutan mampu memberikan perlindungan kepada bumi dari
efek buruk yang dapat merusak bumi beserta lapisannya. Salah satu efek buruk
yang dapat merusak bumi serta lapisannya adalah efek gas rumah kaca yang mampu
membuat tipis bahkan lubang pada atmosfer bumi sehingga berdampak terjadinya
masalah perubahan lingkungan global atau Global Warming. Istilah Global
Warming menjadi sangat popular pada 20 tahun belakangan ini. Global
Warming merupak istilah yang pertama kali digunakan oleh para
peneliti kebocoran ozon pada tahun 1980-an di Antartika. istilah Global
berarti seluruh bagian bumi dan Warming berarti pemanasan,
sehingga pengertian sederhana dari Global Warming adalah
pemanasan bumi. Bakker, ( 1991) mengatakan bahwa gobal warming adalah
pemanasan yang disebabkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi
diberbagai tempat di bumi. Laporan hasil konferensi perubahan iklim
di Bali
(2008)
Berdasarkan permasalahan yang timbul akibat rusaknya hutan yaitu salah satunya Global
Warming, maka diperlukan sebuah sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga
keberadaan, kualitas, dan fungsi hutan secara berkelanjutan. Sistem tersebut
adalah Agroforestry yang memiliki konsep pemanfaatan hutan secara optimal
dengan menggabungkan tanaman-tanaman pangan yang berasaskan kelestarian
bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Sistem ini merupak salah satu
sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah
yang timbul akibat adanya alih guna lahan.
2.1. Pengertian Global Warming.
Atmosfer
bumi mengandung berbagai macam gas, dan diantara gas-gas tersebut terdapat
beberapa gas yang dapat menyimpan dan menghalangi laju kehilangan panas dari
permukaan bumi ke atmosfer. Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’,
adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat
seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan
efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada
temperatur normal, sekitar 30°C (Nggieng, 2008), Gas-gas penyimpan panas
tersebut kemudian menyerap dan menyimpan panas bergelombang pendek (matahari) dan
bergelombang panjang (bumi) pada atmosfer didekat permukaan bumi sehingga
menyebabkan suhu bumi meningkat (Johan. M, 2010).
Segala
sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Dengan jumlah
energi ini, bumi kemudian mengalami pemanasan dengan rata-rata suhu
hanya 27o C pada awalnya, dan suhu ini sama dengan
rata-rata suhu normal sebuah kamar (Johan. M, 2010). Menurut teori
radiasi matahari selalu konstan dalam memancarkan cahayanya ke bumi, hanya
jumlah radiasi yang sampai di bumi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
kondisi atmosfer (awan, uap air, kristal garam, debu), posisi bumi terhadap
matahari (lintang dan bujur) dan rotasi bumi pada porosnya (pergantian siang
dan malam), sehingga suhu bumi selalu tidak stabil. Ketidakstabilan ini yang
menyebabkan kondisi iklim diberbagai tempat di bumi juga
berubah-ubah.
2.2. Penyebab Global Warming.
Laporan
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan
bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan
adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat
radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan
energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing
sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah
menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru
kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusialah (antropogenik)
yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global. (Handoko, 1995 dalam
Cahyono, 2004).
Selain
penyebab Global Warming yang sudah dijabarkan seperti Efek Rumah Kaca
dan Efek Umpan Balik Karbondioksida, penyebab Global Warming yang lain
adalah Variasi Matahari. Variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat
oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.
Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah
meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan
aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa
pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
2.3. Dampak Global Warming.
Pada
dasarnya, para ilmuan menggunakan model komputerisasi untuk mengukur suhu, pola
presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global (Global
Warming). Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa
prakiraan mengenai dampak pemanasan global bagi bumi dan wilayah pulau-pulau di
bumi.
2.3.1. Dampak Global Warming bagi Bumi.
Pemanasan Global atau Global
Warming tentu membawa dampak yang tidak baik bagi Bumi, seperti:
- Naiknya permukaan laut.
Ketika
atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga
akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di
laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 – 10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih
lanjut 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad ke-21.
- Iklim regional tidak teratur.
Para
ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari
belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari
daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan
daratan akan mengecil. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang
ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam
akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Berlawanan
dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
- Suhu Bumi Cenderung Meningkat.
Orang
mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung
yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin,
yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan
masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.
- Penurunan Biodiversitas Organisme.
Hewan
dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan
ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global,
hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat.
- Dampak Sosial dan Politik.
Pergeseran
ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak.
Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq
Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat
tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. hal ini juga akan berdampak
perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus
penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan
dengan musim hujan tidak menentu) Selain dampak yang telah dijabarkan di atas, Global
Warming juga akan membawa dampak pada peningkatan frekuensi bencana alam,
kurang kenyamanan hidup, gangguan kesehatan, dan biaya hidup meningkat.
2.4. Pengendalian Laju Global Warming.
Konsumsi
total bahan bakar fosil
di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan
atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan
global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang
timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim
pada masa depan.
Langkah
untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
2.5. Agroforestry.
2.5.1. Definisi Agroforestry.
Dalam
seminar mengenai Agroforestry dan perladangan berpindah yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Kehutanan di Jakarta tahun 1981, terumuskan definisi
dari Agroforestry, yaitu suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang
mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan
panjang Selanjutnya menurut Perum Perhutani (1990), Agroforestry adalah
manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara
mengkombinasikan kegiatan pertannian dan kehutanan pada inti pengelolaan lahan
yang sama maupun yang berurutan dengan tujuan peningkatan produktifitas dan
kelestarian hutan.
2.5.2. Manfaat Agroforestry.
Adanya
berbagai jenis tanaman pohon-pohonan dan tanaman pertanian yang ditanam
bergilir atau secara bersama-sama akan diperoleh beberapa keuntungan
(Departemen Kehutanan RI, 1992), antara lain:
- Keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumber daya alam lebih efisien.
- Keuntungan ekonomis, yaitu jumlah produksi yang dicapai akan lebih tinggi, kenaikan produksi kayu dan pengurangan biaya pemeliharaan tegakan kayu.
- Keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun, menghasilkan panenan kayu pada musim paceklik pertanian serta produksi yang diarahkan kepada keperluan sendiri atau pasar.
- Keuntungan psikologis, yaitu perubahan yang relative kecil dengan cara produksi dan lebih mudah diterima oleh masyarakat daripada teknik-teknik yang berlandaskan sistem monokultur.
- Keuntungan politis, yaitu sebagai alat untuk member pelayanan sosial yang lebih baik dan kondisi yang lebih layak bagi petani.
2.6. Kontribusi Agroforestry Terhadap Pengurangan Dampak Global
Warming.
Gas
rumah kaca yang paling banyak terdapat diatmosfer bumi adalah Karbon
dioksida (CO2). Jumlah CO2 diatmosfer adalah
kira-kira 0.03 % dengan konsentrasi 300-350 ppm. Karbon dioksida
banyak diproduksi oleh hewan, manusia, mikroorganisme
dekomposer, pembakaran bahan organik, pembakaran fosil, industri ,
kendaraan dan lain-lain. Konsentrasi CO2 setiap tahun
meningkat sebagai akibat meningkatnya sumber-sumber penghasil CO2
dan meningkatnya kerusakan terhadap organisme konsumer CO2
(tumbuhan) seperti misalnya kerusakan hutan.
Dilain
pihak praktek agroforestry biasanya mengunakan 50 – 70 % tanaman keras
(tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman hutan). Tanaman
keras secara umum memiliki biomas tanaman diatas 50 kg tiap
individu tanaman, yang berarti kebutuhan konsumsi CO2 jauh berada
diatas 5 x 105 molekul.
Hasil
ini memperlihatkan bahwa model pertanian agroforestry memiliki sumbangan yang
paling besar dalam absorbsi CO2 dari atmosfer bumi, jika pola
ini diaplikasi secara tepat dan menejemen yang berkualitas.
Kesimpulan
Hutan,
khususnya yang berada di Indonesia, merupakan sumber daya alam yang harus
dijaga dan selalu dilestarikan. Keseimbangan bumi terletak pada hutan yang
sebagian besar berada di Indonesia yang mampu menjadi penyangga bumi. Fenomena
yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya membuat sadar masyarakat Indonesia pada
khususnya dan seluruh makhluk di muka bumi pada umumnya bahwa mereka telah
mengeksplorasi sumber daya alam hutan secara berlebihan dan tidak bertanggung
jawab. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya
intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola
presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya
hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Agroforestry
merupakan suatu sistem yang mampu mengakomodir kepentingan manusia dengan tetap
menjaga kelestarian sumber daya alam hutan. Agroforestry dapat dikembangkan
pada berbagai kondisi lahan, baik daerah basah maupun kering. Pada lahan basah
biasa direkomendasikan model agrosilvopasture atau
agrosilvofishery. Sedangkan pada lahan kering banyak digunakan
model agrisilviculture atau agrosilvopasture.
Dengan
adanya sistem Agroforestry hutan di Indonesia akan selalu terjaga
kelestariannya. Kelestarian hutan merupakan sumbangan terbesar bagi bumi untuk
dapat mengurangi laju pemanasan global dengan daun-daunnya yang rimbun dapat
memperbesar absorbsi CO2 dari atmosfer bumi. CO2 merupakan
salah satu gas rumah kaca yang paling berbahaya jika lepas ke atmosfer. Untuk
itu mulai dari saat ini seluruh manusia harus mampu menjaga kelestarian hutan
dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Baker
N. R. A possible role for photosystem in environmental pertubations of
fotosynthesis. (Physiologia Plantarum 81: 563-570, 1991)
Cahyono,
E. Analisis Pemasaran Hasil Usahatani Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. [Skripsi]. (Bogor: Institut Pertanian
Bogor, 2002)
Departemen
Kehutanan dan Perkebunan RI. 1999
Departemen
Pertanian RI. 2008
Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003
Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2007.
Dillon
and Hardaker. Farm Manajemen Research for Small Former Development. (ICRAF
: Bogor, 2003)
Febrianto,
T. Pendugaan potensi produksi tanaman jagung (zea may l) yang ditanam dengan
tanaman jati (Tectona grandis L) pada sistem agroforestri di Lodoyo, Blitar.
(Malang: Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2003)
Handoko.
Klimatologi Dasar. Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur
Iklim. (Jakarta: PT. Bumi Pustaka Jaya, 1995)
Hartina,
Sabarnurdin. S dan Supriyo, H, (2002). Silvofishery system for mangrove
rehabilitation study case: Cemara village, Indramayu. Gadjah Mada
University, Yogyakarta
Matinahoru,
JM. 2010. Reduce Impacts Of Global Warming Through Agroforestry System.
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon. Jurnal Urip Santoso.
Jakarta
Siddik,
B. Profil Sistem Agroforestry di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten
Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. [Skripsi]. (Bogor: Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kehutanan, 2004)
Siti,
SS. Analisis Kelayakan Usaha Tani Tumpang Sari Pertanian dan Agroforestry
(Studi Kasus: Hutan Pendidikan Gunung Walat IPB, Sukabumi, Jawa Barat). [Skripsi].
(Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Sains dan Teknologi, 2009)
artikelnya bagus, dapat menambah wawasan pembaca, terimakasih
BalasHapus