Kawasan
perkotaan memang identik dengan masalah polusi udara yang disebabkan oleh
banyaknya kendaran bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Asap yang
dihasilkan dari sisa pembakaran mesin kendaraan semakin hari semakin meningkat
seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Korelasi dari pertumbuhan tersebut
ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif
dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah,
munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indek
kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan
juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin berat seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan
makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin berkurang akibat pesatnya
perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri yang pada akhirnya akan
menurunkan kualitas ekosistem Kota. Jika terus dibiarkan maka dari mana kita
akan mendapat udara yang segar? Atau bahkan kita tidak dapat menghirup oksigen
lagi.
Setiap
manusia memiliki paru-paru untuk bernafas dan menelola oksigen agar setiap
angota tubuh dapat berfungsi dengan baik. Seperti manusia kota juga perlu
paru-paru untuk bernafas, Maka kota perlu memiliki paru-parunya sendiri
yaitu suatu kawasan hijau yang ditumbuhi dengan pepohonan guna memproduksi
karbon dioksida yang berasal dari asap kendaraan menjadi oksigen yang sangat
dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk bernafas. Kawasan hijau tersebut sering
disebut dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Secara
definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana
lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau
budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer,
menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green
Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk
meningkatkan kualitas lansekap kota.
Ruang
terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah sesuai dengan UU No.
26/2007 tentang penataan ruang menentukan bahwa proporsi RTH kota minimal 30 %
dari luas wilayah. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh kebijakan
pemerintah daerah yang sudah ada sinkron dengan kebijakan tersebut ? Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi antagonisme peraturan pada level
pemerintah daerah. Namun terjadi kecenderungan pelaksanaan kebijakan yang
berlawanan, yaitu terjadinya penurunan luas penyediaan RTH di kota-kota besar
di Indonesia. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka
hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota.
Padahal
ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan
komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur
nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada serta meningkatkan
kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah,
lingkungan permukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan);
menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor
keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area
terbangun dan tidak terbangun.
Kebijaksanaan
pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah
jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini
mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya
sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara
keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang
terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan
keberadaannya dari keinginan untuk merubahnya.
Contoh,
Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang
yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang
seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota,
sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan
dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per
kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota
tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per
kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi
produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.
Terimakasih atas informasinya
BalasHapusirhamabdulazis21.student.ipb.ac.id