BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pernahkah
anda perhatikan keadaan masyarakat Indonesia ? Bangsa yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke ini, terdiri dari bermacam suku bangsa, budaya, ras dan agama.
Disebut juga masyarakat majemuk atau multikultur. Kondisi masyarakat seperti
ini jika berjalan serasi dan harmonis akan menciptakan integrasi sosial. Jika
tidak, terjadilah disintegrasi sosial atau konflik sosial. Pengaruh kemajemukan
masyarakat yang perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan konflik sosial
adalah munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan dan stereotip
etnik. Indonesia dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi
etnisitas maupun budaya serta agama dan kepercayaannya. Kemajemukan juga
menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi, pandangan politik serta
kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi
masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat
itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian, pengelo1aan, serta
pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jenjang masa
depannya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berawal dari latar belakang
tersebut, Kami mencoba menyampaikan permasalahan antara lain:
1. Bagaimana kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
3. Bagaimana ketergantungan Indonesia pada negara asing?
2. Bagaimana pengaruh kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
3. Bagaimana ketergantungan Indonesia pada negara asing?
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan Makalah ini adalah
Untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata kuliah Perspektif Sosial Budaya serta
untuk wawasan dan ilmu kami tentang pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia.
1.3 Metode dan Prosedur
Metode yang digunakan penulis
dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan mengumpulkan informasi dari berbagai
buku dan browsing di internet.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Istilah
Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam
bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk
menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman
ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik.
Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang
unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang
menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c. Iklim yang berbeda serta
struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang
menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan
bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara
horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan
perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut Robertson (1977), ras
merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik
tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di
Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan
untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan
menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana
masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam
kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia
adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat
agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan
(suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Ciri-ciri masyarakat majemuk
menurut Vandenberg :
a. Segmentasi ke dalam kelompok-kelompok.
b. Kurang mengembangkan konsensus.
c. Sering mengalami konflik.
d. Integrasi sosial atas paksaan.
e. dominasi suatu kelompok atas kelompok lain
b. Kurang mengembangkan konsensus.
c. Sering mengalami konflik.
d. Integrasi sosial atas paksaan.
e. dominasi suatu kelompok atas kelompok lain
2.2 Pengaruh Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Pengaruh kemajemukan masyarakat
Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh
positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya
yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh
negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena adanya sikap primordial
kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini.
Sikap primordial yang berlebihan disebut etnosentris. Jika sikap ini mewarnai
interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap anggota
masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma
kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi
bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
b. Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam
masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan
(image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton &
Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua
anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya
perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan
beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus
seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk
(plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya
berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara
essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat
pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit
politik tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Furnivall sendiri sudah
mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya
yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal,
kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya
polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama
dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan
kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan
kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang
lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik
yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya
ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi. Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam masyarakat yang pluralis.
Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi. Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam masyarakat yang pluralis.
2.3 Ketergantunagn Indonesia Pada Bantuan Luar Negeri
Pada dekade tahun 50-an setelah
merdeka, Indonesia memasuki era konsolidasi dan pembangunan. Namun setelah
perjuangan panjang merebut kemerdekaan dan juga perjuanagan fisik sesudah
kemerdekaan, tidaklah mudah melaksanakan pembangunan dengan kondisi rakyat yang
masih menderita apalagi situasi ekonomi pun masih morat-marit sehingga
pembangunan pun tersendat.
Pada tahun di mulainya orde
lama, yaitu tahun 1957-1965 menurut Roxborough, masyarakat dunia ketiga
(Indonesia) telah gagal berkembang karena terlalu miskin. Ditambah lagi keadaan
masyarakat yang masih memprihantinkan.
Pada masa orde lama, Indonesia
mulai mencari dan menerima bantuan luar negri karena pemerintah waktu itu
mengeluarkan kebijakan untuk mulai membangun dan diperlukan pengerahan dana
yang sangat besar.
Awal kebangkitan orde baru
ditandai dengan awal ketregatugam Indonesiaterhadap negara-negara maju, seperti
Amerika, Jepang, Jerman dan lain-lain. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi
adalah pinjaman yang diterima pemerintah orde baru adalah dari dunia barat
bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri pada masa orde lama. Pembangunan
Indonesia yang bergantung pada pinjaman luar negeri tidak terlepas dari sejara
politik luar negeri Indonesia itu sendiri. Menurut Arief Budiman, tiap negara
mempunyai keunikan permasalahannya yang berbeda karena latar belakang sejarah
yang berbeda pula. Begitu pula dengan Indonesia, dimana Indonesia ikut berperan
aktif melaksanakan perdamaian dunia sehingga kedekatan hubungan dengan negara
lain-lian terutama negara-negara barat.Bantuan luar negeri yang mejadi andalan
utama indonesia dalam upaya mendapatkan dana secara muda ternyata sangat
mengikat baik dalam bidang ekonomi bahkan politik yang saling berhubungan.
Menurut Gunadi bantuan luar negeri tidak ada yang murni bersifat ekonomi atau bersifat politik saja. Pemberi pinjaman dan penerima pun selalu dilandasi kepentingan ekonomi dan politik. Mereka juga memperhitungkan manfaat yang diperoleh naik oleh sipemberi maupun oleh si penerima sesuai dengan sifat pemerintahannya masing-masing.
Sebagai negara yang memiliki ketergantungan ekonomi pada negara-negara industri maju, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membeli produk dari negara-negara pemberi pinjaman tersebut, sehingga Indonesia menjadi negara yang ketergantungan.
Ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri secara tidak langsung memberi dua dampak yaitu:
Menurut Gunadi bantuan luar negeri tidak ada yang murni bersifat ekonomi atau bersifat politik saja. Pemberi pinjaman dan penerima pun selalu dilandasi kepentingan ekonomi dan politik. Mereka juga memperhitungkan manfaat yang diperoleh naik oleh sipemberi maupun oleh si penerima sesuai dengan sifat pemerintahannya masing-masing.
Sebagai negara yang memiliki ketergantungan ekonomi pada negara-negara industri maju, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membeli produk dari negara-negara pemberi pinjaman tersebut, sehingga Indonesia menjadi negara yang ketergantungan.
Ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri secara tidak langsung memberi dua dampak yaitu:
© Dampak positif :
1. membuka
lapangan pekerjaan
2. menambah devis
3. perekonamian bertumbuh pesat
2. menambah devis
3. perekonamian bertumbuh pesat
© Dampak negatif : 1.
Produk dalan negeri kurang laku dipasaran karena kualitas produknya dibawah
kualitas produk luar negeri.
2. SDA rusak dan dimanfaatkan
oleh orang lain. Sedagkan menurut Goldthorpe ( 1992 : 242 ) akibat dari
menjamurnya PMA yang merupakan dampak dari adanya bantuan luar negeri adalah :
- Meningkatnya urbanisasi karena di desa tanah garapannya menjadi hilang atau berubah fungsi
- Banyaknya gelandangan di kota, karena kaum urban tidak memiliki modal ataupun
- Meningkatnya urbanisasi karena di desa tanah garapannya menjadi hilang atau berubah fungsi
- Banyaknya gelandangan di kota, karena kaum urban tidak memiliki modal ataupun
pengetahuan sebagai bekal untuk
hidup di kota.
- Pedesaan semakin dikuasai
oarang orang kota sehigga tanpa disadari menyebabkan ekspansi ekonomi
Masuknya unsur-unsur asing
kapitalis selain berpengaruh pada perekonomian indonesia juga berpengaruh pada
sistem politik indonesia. Bermunculnya para konglomerat merupakan pengaruh dari
sistem kapitalis yang secara tidak langsung adalah dampak dari adanya bantuan
luar negeri. Akibatnya sebagai negara penghasil bahan baku untuk negara-negara
industri yang sekaligus sebagai pengimpaor dan pasar hasil industri. Untuk
mengatasi masalah masalah tersebut, yang paling penting adalah meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Melalui pendidikan
sekolah semua itu bisa dicapai.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah Masyarakat Indonesia
Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands
India: A Study of Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan
masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga
sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat
Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena
beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan
wilayah kepulauan
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Pengaruh kemajemukan masyarakat
Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh
positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya
yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh
negatif, munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan yang
mewarnai interaksi sosial sehingga muncul disintegrasi atau konflik sosial.
3.2 Saran
Di tengah
arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom
yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus
berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam
satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini
berbeda-beda dalam satu kemajemukan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Maka, Indonesia Baru yang kita
ciptakan itu, hendaknya ditegakkan dengan menggeser perbadaan yang ada dengan
mengedepankan keBhinnekaan sebagai strategi integrasi nasional. Namun, jangan
sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik
yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Ridwan dan Elly Malihah. (2007) .
Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung : Yasindo Multi
Aspek
Hermawan, Ruswandi dan Kanda Rukandi. (2007). Perspektif Sosial Budaya. Bandung: UPI PRESS
Hermawan, Ruswandi dkk. (2006) . perkembangan masyarakat dan Budaya. Bandung : UPI PRESS
Kuswanto dan Bambang Siswanto. (2003). Sosiologi. Solo: Tiga Serangkai
Hermawan, Ruswandi dan Kanda Rukandi. (2007). Perspektif Sosial Budaya. Bandung: UPI PRESS
Hermawan, Ruswandi dkk. (2006) . perkembangan masyarakat dan Budaya. Bandung : UPI PRESS
Kuswanto dan Bambang Siswanto. (2003). Sosiologi. Solo: Tiga Serangkai
Terimakasih atas informasinya
BalasHapusirhamabdulazis21.student.ipb.ac.id