BOGOR, Indonesia (12 Mei, 2011)_Hampir 20 tahun yang lalu, sebuah
cara baru untuk mendorong pengelolaan hutan secara lestari muncul, yaitu
pemikiran mengenai sertifikasi yang independen. Pada awalnya
dikembangkan dan dipromosikan oleh berbagai sektor masyarakat sipil
sebagai respon dari kegagalan kronis pemerintah nasional dan kegagalan
serangkaian pertemuan antar pemerintah untuk menghentikan degradasi dan
hilangnya hutan. Dengan memenuhi serangkaian standar yang mencakup
serangkaian isu teknis, lingkungan dan sosial, diharapkan kayu dan
produk hutan lain dari “hutan bersertifikasi” akan memperoleh akses
untuk pasar utama dan harga premium. Sehingga, hasil yang diharapkan
adalah terwujudnya manfaat hutan yang berkesinambungan secara lokal
maupun global. Namun demikian, studi yang dilakukan oleh ilmuwan CIFOR,
Paolo Cerutti dkk di Kamerun yang merupakan negara kaya hutan menemukan
bahwa kapasitas hutan untuk memproduksi kayu yang paling berharga dalam
jangka waktu panjang sekaligus juga lestari – penebangan dengan cara
yang tidak lestari masih bisa ditolerir meskipun sudah ada sertifikasi.
Sebelum beranjak lebih jauh, siapa sajakah yang terlibat dalam
sertifikasi hutan? Terdapat tiga pihak utama yang terlibat. Pertama,
mereka yang menetapkan standar dan menyediakan akreditasi bagi pihak
pemberi sertifikasi. Dalam hal ini, Forest Stewardship Council (FSC)
merupakan satu-satunya badan yang memiliki peran ini secara global.
Sejak tahun 1993, sekitar 140 juta hektar hutan di dunia telah memiliki
status sertifikasi dari FSC. Di Kamerun saja, hampir 800.000 hektar
hutan saat ini memiliki sertifikasi FSC. Kedua, adalah para pengelola
hutan perorangan, umumnya pemegang konsesi ataupun pemilik lahan berkayu
yang mengajukan sertifikat untuk memenuhi sejumlah standar. Pihak
ketiga adalah badan sertifikasi independen yang menilai apakah
praktik-praktik para pengelola hutan sudah sesuai dengan standar yang
berlaku.
Studi oleh Cerruti dkk ini tetap menunjukkan bahwa sertifikasi FSC
masih berpotensi meningkatkan pengelolaan hutan tropis dalam
kaidah-kaidah pengelolaan hutan nasional. Namun demikian, penelitian
ini juga mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan pembalakan dan badan
sertifikasi memiliki cara yang berbeda dalam memenuhi atau
menginterpretasikan pemenuhan standar-standar FSC. Akibatnya sampai saat
ini, hanya tiga dari sepuluh hutan bersertifikasi di Kamerun yang
melakukan penebangan dan ekspor kayu mereka yang paling berharga dengan
menerapkan sejumlah teknik yang diharapkan mampu memastikan penebangan
di masa mendatang setara dengan laju saat ini. Menurut Cerutti dkk,
beberapa masalah yang muncul dikarenakan badan sertifikasi yang berbeda
menggunakan standar yang berbeda pula: sebagian menggunakan peraturan
nasional sebagai acuan dan sebagian lagi mengikuti sejumlah standar FSC
yang lebih ketat, namun pada akhirnya memperoleh pelabelan FSC yang
sama.
Untuk menghindari berkembangnya sertifikasi FSC “yang ditunggangi”
dengan penerapan kaidah-kaidah yang lemah dan untuk meminimalisir
subyektifitas internal badan sertifikasi, Cerutti dkk merekomendasikan
Kamerun untuk mengembangkan sebuah standar yang seragam dan berbasis
ilmiah. Di masa mendatang, ini akan memastikan keseragaman prosedur oleh
badan sertifikasi yang akan menilai kepatuhan terhadap FSC untuk
meningkatkan penyediaan kayu yang berjangka panjang dan lestari.
Mengingat FSC memungkinkan penyesuaian standar global kelestarian mereka
sesuai karakteristik hutan untuk negara tertentu, maka hal ini menjadi
sangat mungkin dan sebenarnya, ini harus menjadi prioritas bagi Kamerun.
Hasil penemuan dari Cerutti dkk ini tidak berdiri sendiri. Di Amazon Brasil, Mark Schulze dkk menyimpulkan
bahwa beberapa tahun yang lalu, sejumlah badan sertifikasi tidak selalu
menerapkan tingkat kecermatan yang sama untuk berbagai perusahaan
pembalakan selama proses sertifikasi. Pada masing-masing sisi, hal yang
perlu diingat adalah bahwa ketersediaan jumlah kayu yang bernilai tinggi
di masa mendatang dari hutan bersertifikasi mungkin tidak akan lestari,
jika tidak dilakukan penyetaraan di lapangan antara perusahaan
pembalakan dan badan sertifikasi pada saat mereka memberikan label FSC.
Meski demikian, penelitian baru di Kamerun ini merupakan yang pertama
menilai efektivitas dari sertifikasi FSC untuk hutan di lembah sungai
Kongo, di mana sekitar 30% dari daerah tersebut saat ini dialokasikan
untuk konsesi kayu.
Ketika para peneliti, pembuat kebijakan dan pengelola hutan di hutan
tropis mempertimbangkan apakah manfaat dari sertifikasi hutan yang
selama ini diasumsikan adalah nyata, hasil penelitian dari Cerutti dkk
ini mengingatkan kita akan pentingnya penilaian yang objektif atas
standar FSC. Dengan kata lain, mungkin kita dapat membedakan antara
perusahaan pembalakan yang bersertifikasi dengan yang tidak
bersertifikasi; namun hingga saat ini, sebuah sertifikat FSC tidak serta
merta berarti bahwa kayu telah ditebang secara lestari dan bahwa
penebangan di masa mendatang serta hutan dari mana kayu berasal, akan
terus terpelihara untuk masa depan.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???