SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar
Sarjana Kehutanan (S. Hut) Pada Jurusan
Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako
Oleh :
JASRIN TALIB
L 111 05 005
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2010
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kehutanan berada di tengah-tengah
perkembangan ekonomi, perkembangan daerah, perkembangan politik nasional dan
lokal, serta perkembangan kebijakan global. Disamping itu, secara lebih sempit,
pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan juga berada di tengah-tengah perkembangan birokrasi, ketersediaan
informasi, maupun dinamika berbagai kepentingan. Perhatian publik juga
senantiasa melingkupi pelaksanaan pembaruan kebijakan kehutanan, mengingat
hutan menjadi bentang alam yang secara langsung menjadi bagian dari kepentingan
masyarakat luas.
Pemerintah
selaku pemegang kebijakan, bertanggung jawab atas pemanfaatan sumberdaya hutan
dan menjaganya agar tetap lestari. Upaya pemerintah untuk melakukan regulasi pemanfaatan
hutan, melatar belakangi munculnya bebagai kebijakan sebagai pendukung pola
pengelolaan hutan.
Kebijakan
pengelolaan hutan sering mengalami berbagai tantangan dalam penerapanya. Hal tersebut sering
terjadai akibat sulitnya mencari bentuk tata kelola yang dapat mengakomodir
kompleksitas fungsi hutan, serta beragam kepentingan didalamnya, dengan tidak
mengesampingkan prinsi-prinsip kelestarian (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah, 2008).
Sejak
diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda), pembangunan dan
pengelolaan hutan memulai babak baru dalam aspek pengelolaanya.
Dengan lahirnya Undang-undang
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang
kemudian muncul dengan harapan menjadi dasar pengelolaan hutan sekaligus solusi
pengelolaan yang lebih efisian namun tetap lestari, sebagaimana
pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk
wilayah pengelolaan pada seluruh kawasan hutan konservasi, lindung dan produksi” (Heru Komarudin, 2008)
Dalam Peraturan Mentri Kehutanan No. 6 Tahun
2009 menjelaskan, tahapan awal yang perlu dipersiapkan
menuju terbangunnya kelembagaan KPH yang mantap adalah melalui perancangan KPH
Model, yang dibangun dan dikembangkan sesuai dengan tipologi wilayah
setempat. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap
dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat unit
pengelolaan (tapak). Dalam konteks ini, Pengertian “Model” di dalam KPH Model
adalah perwakilan atau abstraksi dari
situasi aktual. “Model” dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa aspek
dari realitas yang sedang dikaji.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki 21 unit KPH yang tersebar diseluruh
kabupaten/kota di Sulawsi Tengah. Salah satunya yaitu wilayah KPH model Dampelas-Tinombo (unit
V), berdasarkan kriteria pemilihan KPH model. Arahan pengelolaannya adalah Model Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPH-P), yang selanjutnya ditetapkan oleh mentri
kehutanan melalui SK Mentri pada tanggal 14
desember 2009.
KPH-P Model Dampelas-Tinombo (unit
V) merupakan acuan pengembangan 20 Unit KPH lainnya
di Sulawesi Tengah. KPH-P Model Dampelas-Tinombo ini tidak akan berjalan sesuai
tujuan dari kebijakan pembangunan KPH apabila Stakeholder yang terkait tidak memahami wewenag dan
tanggungjawabnya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pencarian bentuk ideal konsep
pengelolaan hutan berbagai kebijakan telah dibuat. Satu diantaranya adalah
konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dalam pembentukan KPH, juga telah
banyak PP dan Permenhut untuk mempertegas pembentukannya. Namun penerapan
kebijakan tersebut terkesan lambat, dan sampai saat ini belum diketahui apakah
sudah terimplementasi sesuai konsep tahapan pembangunanya.
KPH-P-Model
Dampelas-Tinombo sudah terbentuk setelah melalui tahapan berdasarkan pedoman
pembentukan KPH, yaitu dari pencadangan awal hingga ditetapkan sebagai satu kawasan KPH-P oleh
pemerintah pusat. Namun sejauh ini belum ada informasi bagaimana perkembangan
implementasi di lapangan, dan bagaimana peran stakeholder dalam pembangunan KPH
model di Sulawesi Tengah.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk
mencari informasi dan mendeskripsikan perkembangan implementasi kebijakan, dan peran
stakeholder dalam pembangunan KPH
Model Dampelas-Tinombo. Sedangkan Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi informasi perkembangan implementasi kebijakan, dan peran Stakeholder dalam pembangunan KPH Model
Dampelas Tinombo.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Perubahan Undang-undang
Kehutanan di Indonesia
Lahirnya Undang-undang Kehutanan No. 41 1999 yang merupakan pembaruan
dari Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 1967 menyebabkan perubahan yang
signifikan pada dukungan negara terhadap devolusi dalam pengelolaan hutan,
dimana terjadi pengalihan kekuasaan kepada kesatuan subnasional seperti
pemerintah daerah. Hal ini berbeda dari desentralisasi, yang meliputi
pemindahan tempat kegiatan, tetapi bukan pengalihan kekuasaan atau wewenang.
(Hariadi, 2003).
Dalam
Hariadi (2007) menjelaskan perubahan Pembaruan kebijakan pada dasarnya memperbaiki
norma, hak, dan batasan‐batasan yang diatur. Pembaruan kebijakan
tidak akan banyak berarti, apabila secara sosiologis tidak diikuti oleh proses‐proses yang memungkinkan dicapainya kesepakatan bersama. Di sinilah
tantangan akan muncul, terutama bagi kalangan birokrasi Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, yang biasanya terlalu kaku dan hanya melihat hitam‐putihnya suatu peraturan.
Dalam konteks ini pula dapat dikatakan keliru apabila ada yang
beranggapan bahwa hanya dari pikiran seseorang yang lebih benar akan lebih baik
dalam membuat suatu kebijakan, dari pada
dari pikiran banyak orang yang ternyata tidak lebih benar. Dianggap keliru
karena nalar (reason), dalam pengertian menurut Habermas, bukanlah suatu
proses logis untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan secara obyektif, melainkan
proses untuk ”mendapatkan pemahaman dalam suatu konteks sosial” (de Haven‐Smith, 1988 dalam Parson, 2005).
2.2 Faktor Pendukung dan Penghambat
Implementasi Kebijakan
Walter Williams (lihat
Abdul Wahab. 1997) menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) dengan apa yang senyatanya dicapai dalam implementasi
kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung pada apa yang disebut Implementation
capacity dari organisasi atau
kelompok organisasi atau aktor yang
dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation
capacity tidak lain adalah kemampuan
suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy
dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Hoogwood dan Gun
(lihat Abdul Wahab,1997) menyatakan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi
yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu
program kebijakan. Edward III (1980) dalam Helis setiani (2005) juga mensinyalir
bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari
komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi penerimaan panjang
dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi dan
rincian tujuan komunikasi.
Selain itu Rhodes (1996)
dan Stoker (1998) (lihat AbdulWahab, 1999), melihat bahwa dalam mensosialisasikan
suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi interaksional dari beragam
aktor atau institusi yang terlibat.
Presman dan Wildavsky
(1973) dalam Abdul Wahab (1997) yang juga mengingatkan bahwa proses
implementasi kebijakan perlu mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa salah jika ada yang berasumsi bahwa proses implementasi
kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung tanpa hambatan. Selain itu masih
dalam Abdul Wahab (1997) Udoji (1991) mengatakan dengan jelas bahwa pelaksanaan
suatu kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting
dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian
atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan).
Setyodarmodjo (2000) menjelaskan bahwa dalam suatu proses kebijakan,
proses implementasi merupakan proses yang tidak hanya kompleks (complicated), namun juga hal yang sangat
menentukan. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah dirumuskan dengan
sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya mencapai tujuan, hal ini
salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-cara lain, tidak
sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor subyektif para
pelaksananya (policy actors) maupun
dari masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung terkena dampak dari
kebijakan yang dimaksud.
2.3
Partisipatif dalam Implementasi Kebijakan
Menurut Graham dan Phillips (1998) dalam
Setiani (2005), ada dua bentuk partisipasi yaitu: 1) partisipasi yang
melibatkan sejumlah orang dengan kontribusi individual yang kecil, disebut juga
dengan partisipasi ekstensif (extensive
participation). Keuntungan dari partisipasi ini adalah kesadaran tentang
suatu isu yang dimunculkan pada masyarakat akan ditanggapi sesuai dengan
kontribusi dan keterlibatan yang diberikan masyarakat, kekurangannya adalah
karena orang yang terlibat banyak, dan kontribusinya sedikit, maka masyarakat
tidak dapat diberdayakan; dan 2) partisipasi yang hanya melibatkan beberapa
orang saja, tetapi tersedia waktu yang besar oleh partisipan, disebut juga
partisipasi intensif (intensive participation),
keuntungan bentuk partisipasi masyarakat ini adalah mampu atau dapat
mengembangkan solusi inovatif dan dapat mencapai suatu konsensus.
Semangat
perencanaan kehutanan partisipatif seperti yang terkandung dalam UU No. 41/1999
dan PP No. 6/2007 belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena masih
lemahnya implementasi pembentukan pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH). Pada hal KPH inilah yang diharapkan sebagai wadah kegiatan
pengelolaan hutan mencakup penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan,
perlindungan hutan dan konservasi hutan (Badan Planologi Kehutanan, 2007).
2.4 Peraturan Perundangan Terkait Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH)
Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi
komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan
Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, serta yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang efisien dan lestari.
Dalam Alpinus patan (2008), Untuk mewujudkan KPH pada tingkat tapak, Bongkar
pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali dilakukan. Pada
tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari
PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan pembangunan KPH. Perubahan secara
signifikan terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan
hutan atau adanya persamaan pengelolaan antara hutan produksi, lindung, dan
konservasi.
2.4.1 Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2004
Dalam Tujuan
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
a. Hirarki Wilayah Pengelolaan
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan
untuk tingkat :
a. Provinsi;
Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan
wilayah-wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/ kota dan unit-unit
pengelolaan hutan lintas kabupaten/kota dalam provinsi.
b. Kabupaten/Kota;
c. Wilayah pengelolaan hutan tingkat
kabupaten/kota terbentuk dari himpunan unit-unit pengelolaan hutan di wilayah
kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah kabupaten/kota.
Wilayah pengelolaan hutan
provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan
kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan:
•
perencanaan
kehutanan;
•
pengelolaan
hutan;
•
penelitian
dan pengembangan; pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
•
pengawasan
d. Unit pengelolaan.
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan
pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan sebagai wadah
kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b.
Wilayah Pengelolaan Tingkat Unit
Pengelolaan (KPH)
Unit Pengelolaan Hutan terdiri dari :
•
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) pada hutan konservasi;
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi merupakan kesatuan pengelolaan yang
fungsi pokoknya dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari Hutan Cagar Alam,
Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Taman Nasional, Hutan Taman Wisata Alam, Hutan
Taman Hutan Raya, dan Hutan Taman Buru.
•
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) pada hutan lindung;
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung merupakan kesatuan pengelolaan yang
fungsi pokoknya merupakan hutan lindung.
•
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
pada hutan produksi.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi merupakan kesatuan pengelolaan yang
fungsi pokoknya merupakan hutan produksi.
c.
Kriteria Pembentukan Unit Pengelolaan
Unit Pengelolaan Hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh Menteri, yang mempertimbangkan :
1.
karakteristik
lahan;
2. tipe hutan;
3. fungsi hutan;
4. kondisi daerah aliran sungai;
5. kondisi sosial, budaya, ekonomi
masyarakat;
6. kelembagaan masyarakat setempat termasuk
masyarakat hukum adat;
7. batas administrasi pemerintahan;
8. hamparan yang secara geografis merupakan
satu kesatuan;
9. batas alam atau buatan yang bersifat
permanen;
10. penguasaan lahan.
Unit
pengelolaan dibentuk sesuai dengan fungsi hutannya, dimana di dalam
pengelolaanya dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
d.
Prosedur Pembentukan
1) KPHK
a. Instansi Kehutanan Pusat di Daerah yang
bertanggungjawab di bidang konservasi mengusulkan rancang bangun unit
pengelolaan hutan konservasi berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan
oleh Menteri.
b. Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud
butir a, Menteri menetapkan arahan pencadangan unit pengelolaan hutan
konservasi.
c. Menteri menetapkan kesatuan pengelolaan
hutan konservasi berdasarkan arahan pencadangan unit pengelolaan hutan
konservasi).
2) KPHP dan KPHL
Gubernur dengan
pertimbangan Bupati/Walikota menyusun Rancang Bangun Unit Pengelolaan Hutan
Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
a.
Rancang
Bangun Unit Pengelolaan Hutan disusun berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh Menteri.
b.
Rancang
Bangun Unit Pengelolaan Hutan diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri.
c.
Berdasarkan
usulan sebagaimana butir b, Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit
Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
d.
Berdasarkan
arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan butir c, Gubernur membentuk Unit
Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
e.
Pembentukan
Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud butir d, disampaikan kepada Menteri
untuk ditetapkan sebagai Unit Pengelolaan Hutan.
Dalam hal terdapat hutan konservasi dan atau hutan lindung, dan atau
hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan
hutan berdasarkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan
unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya.
e.
Institusi Pengelola
Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola. Institusi
pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang
meliputi :
a.
perencanaan
pengelolaan;
b.
pengorganisasian;p
c.
elaksanaan
pengelolaan; dan
d.
pengendalian
dan pengawasan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, setiap unit pengelolaan hutan harus
didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan.
f.
Rencana Pengelolaan Hutan
Penyusunan Rencana pengelolaan hutan yang meliputi
Penyusunan Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Unit Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK), Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
2.4.2 Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007
a. Pengertian
dan Posisi KPH, serta Pelimpahan Wewenang Pengelolaan
•
Kesatuan Pengelolaan Hutan
selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
•
Kepala KPH adalah pimpinan,
pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan di dalam wilayah
yang dikelolanya.
•
Seluruh kawasan hutan terbagi
dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
•
Pemerintah dapat melimpahkan
penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN bidang kehutanan.
•
Direksi BUMN yang mendapat
pelimpahan membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH.
•
Penyelenggaran
pengelolaan hutan oleh BUMN, tidak termasuk kewenangan Publik.
b. Wilayah KPH
•
Ditetapkan dalam satu atau
lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah
administrasi pemerintahan.
•
Dapat terdiri lebih dari satu
fungsi pokok hutan, penetapan (nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya
dominan.
•
Menteri menetapkan luas wilayah
KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu
wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem.
c. Organisasi KPH
–
Pemerintah dan/atau pemerintah
provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangan, menetapkan
organisasi KPH.
–
Dalam menetapkan organisasi,
khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi
•
Pemerintah
menetapkan organisasi :
–
KPHK;
atau
–
KPHL
dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
•
Pemerintah
provinsi, menetapkan organisasi:
–
KPHL
dan KPHP lintas kabupaten/kota.
•
Pemerintah
kabupaten/kota menetapkan organisasi:
–
KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota
d. Tupoksi
•
menyelenggarakan
pengelolaan hutan (5 kegiatan)
–
Melakukan
kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisasi hutan;
pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan
pemetaan.
•
menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikan;
–
menyusun
rencana pengelolaan jangka panjang & pendek
•
melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
–
melaksanakan
penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan hutan, termasuk
melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
–
melaksanakan
pemberdayaan masyarakat
–
bersama
lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
–
memfasilitasi
penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
–
mengusulkan
satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
•
melaksanakan
pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya;
–
tembusan
ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan hutan
–
tembusan
perpanjangan ijin-ijin pemanfaaatan hutan
–
pengesahan
rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan
–
menerima
laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun
•
membuka
peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
e.
Pembangunan KPH
•
Pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya
bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.
•
Dana
bagi pembangunan KPH bersumber:
-
APBN;
-
APBD;
dan
-
dana
lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
f.
Pembinaan dan Pengendalian
•
Untuk
tertibnya pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
serta pemanfaatan hutan;
-
Menteri,
berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang
dilaksanakan gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
-
Gubernur,
berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksankan
bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
•
Menteri,
gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap
pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta
pemanfaatan hutan yang dilaksanakan oleh kepala KPH atau pemanfaat hutan,
dan/atau pengolah hasil hutan.
g.
Target Penetapan Wilayah KPH
Penetapan seluruh wilayah KPH
diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diberlakukannya
peraturan pemerintah ini.
·
Penetapan KPH oleh Menteri ditindaklanjuti dengan
pembangunan kelembagaan KPH
·
Menteri menetapkan prioritas pembangunan
kelembagaan KPH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan.
2.5 Peranan
Stakeholder
Stakeholder adalah orang-orang yang
mempunyai hak dan kewajiban dalam suatu system.
Istilah ”stakeholders” dimaksudkan semua yang mempengaruhi, dan atau
dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan sistem tersebut. Hal itu dapat bersifat individual,
masyarakat, kelompok sosial atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau
tingkat dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok pengguna yang saling terkait (stakeholder) dari satu sumberdaya itu secara kolektif. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya melibatkan banya stakeholder yang
tentu saja menimbulkan perbedaan-perbedaan kepentingan. Peranan analisis stakeholder
adalah untuk menutupi kesenjangan dengan cara memberi suatu pendekatan yang
mulai dengan kepentingan yang berbeda-beda dari bermacam-macam
stakeholder. Ada beberapa langkah dalam
melakukan analisis peran stakeholder,
yang pertama mengembangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal
tentang system yang terkait, selanjutnya melakukan identifikasi stakeholder kunci, kemudian meneliti
kepentingan dan lingkungan stakeholder, dan
tahap akhir mengidentifikasi interaksi antar stakeholder (Suporahardjo,
2005).
2.6 Empat R
(Rights, Responsibilities, Revenues,
Relationship)
The Four Rs (Empat R) adalah alat untuk memperjelas/memetakan
peran yang dimainkan berbagai stakeholder
dan karakter hubungan di antara mereka. Piranti Empat R ini berusaha untuk
menjadikan istilah ’peranan’ lebih operasional dengan menerjemahkannya ke dalam
Rights (hak), Responsibilities (tanggung jawab), Revenues (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara para stakeholder. Peran diartikan
sebagai pola perilaku, kebiasaan dan respon, sebagai bagian yang harus
dimainkan dalam suatu permainan.
Kerangka kerja Empat R menyediakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menginternalisasi dan memperkuat peran stakeholder
dengan cara : pertama,
mengidentifikasi peran atas komponen-komponen rights (hak-hak para stakeholder), responsibilities (tanggung jawab), revenues (manfaat atau keuntungan yang diperoleh) dan kemudian
menjajaki dan mengidentifikasi relationship
(hubungan atau relasi) diantara para stakeholder tersebut (Suporahardjo, 2005).
Rights
|
Responsibilities
|
Revenues
|
Relationships
|
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan waktu
Penelitian ini
dilakukan
Pada beberapa instansi yang terkait dengan Pembangunan KPH Model di Sulawesi
Tengah diantaranya yaitu, KPH Model Dampelas-Tinombo; Dinas Kehutanan
Provinsi Sulawesi Tengah; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Parigi
Moutong; Dinas kehutanan dan Perkebunan Donggala; BP2HP; serta BPKH Provinsi Sulawesi
Tengah, dengan bidang kajian utamanya masalah Peran stakeholder dalam Pengimplementasian kebijakan
pembentukan KPH. Adapun lokasi penelitian di ke lima Instansi tersebut karena masing-masing instansi
memiliki Tupoksi yang berbeda.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2010.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu dokumen kebijakan terkait pembangunan KPH, dan dokumen teknis pembangunan
KPH. Alat yang digunakan adalah
kuisioner, kamera sebagai sarana dokumentasi, alat tulis menulis, dan recorder sebagai alat bantu
dalam pelaksanaan wawancara.
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi sejarah perkembangan implementasi kebijakan, dan
peran stakeholder terhadap implementasi kebijakan pembangunan KPH Model di
Sulawesi Tengah, Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum lokasi dan
data-data lain yang menunjang penelitian.
Sumber data primer berasal dari pengumpulan
data melalui wawancara, dan kuisioner.
Sedangkan data sekunder berasal dari studi literature yang relevan dengan
penelitian.
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri
atas studi literatur dan wawancara
mendalam. Studi literatur digunakan untuk menggambarkan perkembangan
implementasi Kebijakan yang terkait dengan KPH dalam rentang waktu tertentu. Sedangkan wawancara
mendalam (Indept interview) digunakan
untuk mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH Model di
Sulawesi Tengah, untuk tahap selanjutnya metode ini digunakan pula untuk
mengumpulkan data-data menyangkut peran masing-masing stakeholder secara lebih rinci dan mendalam.
Pemilihan informan
secara purposive sampling yaitu
dengan menggunakan informan kunci, yaitu dari pihak Dinas Kehutanan Propinsi
Sulawesi Tengah, untuk menetukan informan selanjutnya dilakukan metode snowball sampling berdasarkan informasi
dari informan awal. Setelah ditemukan beberapa dinas yang terkait dengan
Pembangunan KPH Model, selanjutnya mencari staf intansi yang selama ini
terlibat dalam pembangunan KPH Model dari tiap-tiap dinas.
3.3.3 Analisis Data.
1.
Analisis Perbandingan
Analisis perbandingan bertujuan
untuk membandingkan substansi kebijakan dan implementasi dilapangan. Mulai dari
kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan mekanisme yang diterapkan dalam
pengimplementasian sebuah kebijakan yang dilihat dari aturan-aturan yang
dikeluarkan, dari undang-undang, peraturan pemerintah, permenhut, sampai pada
surat keputusan penetapan KPHP Model Dampelas Tinombo.
2.
Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder merupakan pendekatan dan
prosedur untuk mencapai pemahaman suatu system dengan cara mengidentifikasi
aktor-aktor kunci atau stakeholder kunci didalam system dan menilai kepentingan
masing-masing didalam system tersebut (Supraharjo, 2005).
Analisis untuk memperjelas/memetakan peran yang
dimainkan berbagai stakeholder dengan karakter hubungan diantara mereka adalah The
Four Rs (Empat R) yaitu Rights (hak), Responsibilities
(tanggung jawab), Revenues (manfaat
yang diterima) dan Relationship (hubungan)
di antara para stakeholder. Kerangka
kerja Empat R menyediakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menginternalisasi dan memperkuat peran stakeholder
dengan cara : pertama,
mengidentifikasi peran atas komponen-komponen rights (hak-hak para stakeholder), responsibilities (tanggung jawab), revenues (manfaat atau keuntungan yang diperoleh) dan kemudian
menjajaki dan mengidentifikasi relationship
(hubungan atau relasi) diantara para stakeholder tersebut (Suporahardjo, 2005).
Gambar 1. Bagan alir tahapan
analisis peran Stakeholder
Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.
Analisis Data
No
|
Analisis
|
Tujuan
|
Teknik Pengumpulan Data
|
1
|
Perbandingan
|
Mengungkap perkembangan implementasi kebijakan
pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah
|
Wawanca
mendalalam untuk mengetahui dan menggali informasi mengenai perkembangan
implementasi kebijakan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah
|
2
|
Empat R
|
Untuk mengetahui peran dan hubungan masing-masing stakeholder
|
Wawancara
mendalam untuk mengetahui lebih dalam lagi peran masing-masing stakeholder
|
3.4 Konsep Operasional
1. Kesatuan
Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari.
2. KPH Model yaitu wujud awal dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang secara bertahap dikembangkan
menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat unit pengelolaan (tapak).
3. Stakeholder
yaitu orang-orang yang terkait dengan imlementasi kebijakan pembangunan KPH
Model di Sulawesi Tengah.
4. Peran meliputi hak, tanggung jawab dan
hasil yang dimainkan atau diperoleh stakeholder dalam imlementasi kebijakan
pembangunan KPH Model.
5. Analisis Peran yaitu penyelidikan mengenai
peran tiap-tiap stakeholder dalam
pembangunan KPH di Sulawesi Tengah melalui Empat R (Rights, Responsibilities, Revenue, dan Relationship)
IV. GAMBARAN
UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Luas dan Fungsi Kawasan
Hutan
Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sulawesi
Tengah (SK Menhut No. 757/Kpts-II/1999, tanggal 23 September 1999), Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan seluas 4.394.932 ha dan Non Kawasan
Hutan seluas 2.408.3 68 ha. Luasan
tersebut terdiri atas:
Tabel 2. Fungsi dan Luas Kawasan
Hutan Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
2.166.171
|
-
Suaka Alam dan Pelestarian Alam
|
676.248
|
- Hutan Lindung (HL)
|
1.489.923
|
Kawasan
Budidaya
|
2.228.761
|
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
1.476.318
|
- Hutan Produksi Tetap (HP)
|
500.587
|
- Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
251.856
|
Luas Kawasan Hutan
|
4.394.932
|
Kawasan Budidaya (non kawasan Hutan)
|
2.408.368
|
- Areal
Penggunaan Lain (APL)
|
2.408.368
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
2.408.368
|
Total Luas Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah:
|
6.803.300
|
Sumber: Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Sementara
itu, luas Kawasan Hutan di Kabupaten Donggala berdasarkan Penunjukkan Kawasan
Hutan Provinsi Sulawesi Tengah adalah 708.078 ha dan Non Kawasan Hutan seluas
318.254 ha, yang terdiri atas:
Tabel 3. Fungsi dan Luas Kawasan Hutan,
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
368.731
|
-
Suaka Alam dan Pelestarian Alam
|
135.736
|
- Hutan Lindung (HL)
|
232.995
|
Kawasan Budidaya
|
339.347
|
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
294.427
|
- Hutan Produksi Tetap (HP)
|
11.624
|
- Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
33.296
|
Luas Kawasan Hutan
|
708.078
|
Kawasan Budidaya (non
kawasan Hutan)
|
318.254
|
- Areal Penggunaan Lain (APL)
|
318.254
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
318.254
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Demikian pula halnya dengan luas Kawasan Hutan Kabupaten Parigi Moutong, dimana berdasarkan
Penunjukkan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah adalah seluas 396.236 ha dan
Non Kawasan Hutan seluas 207.301 ha, yang terdiri atas:
Tabel 4.
Fungsi dan Luas
Kawasan Hutan Kabupaten
Parigi Moutong Provinsi Sulawesi
Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
223.354
|
-
Suaka Alam dan Pelestarian Alam
|
60.714
|
- Hutan Lindung (HL)
|
162.640
|
Kawasan
Budidaya
|
172.882
|
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
127.607
|
- Hutan Produksi Tetap (HP)
|
22.467
|
- Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
22.808
|
Luas Kawasan Hutan
|
396.236
|
Kawasan Budidaya (non kawasan Hutan)
|
207.301
|
- Areal
Penggunaan Lain (APL)
|
207.301
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
207.301
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Tengah 2007
4.2 Deskripsi Wilayah KPH-P Model
a. Letak, Luas, dan Status
Kawasan
Mengacu pada kriteria pemilihan KPH-P model, adalah Kecamatan Balaesang dan Sojol.
Sedangkan wilayah yang masuk Provinsi Sulawesi Tengah menetapkan satu wilayah KPH-P
model (1 unit wilayah KPH-P) Dampelas-Tinombo (unit V). Berdasarkan
administrasi pemerintahan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) berada di dua
Kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong. Wilayah yang
masuk di dalam Kabupaten Donggala adalah Kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol,
dan di Kabupaten Parigi-Moutong adalah Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Wilayah Administrasi KPH-P Model
Dampelas-Tinombo (Unit V)
No
|
Kab.
Donggala
|
Luas (Km2)
|
No
|
Kab. Parigi-Moutong
|
Luas (Km2)
|
1.
2.
3.
|
Kecamatan Balaesang
Kecamatan Sojol
Kecamatan Damsol
|
612,57
872,02
600,70
|
4.
5.
|
Kecamatan
Tinombo
Kecamatan
Tinomobo Selatan
|
592,79
391,23
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Tengah 2008
Secara geografis KPH-P Unit V berada
pada posisi: 119° 53’ 15” s.d
120° 14’ 53” BT dan 0° 05’ 57” s.d 0°
28’ 13” LU. Berdasarkan administrasi pengelolaan hutan berada di dalam wilayah
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Donggala dan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong.
Gambar 2. Peta Fungsi Kawasan Hutan KPH-P Model
Dampelas-Tinombo (Unit V)
Bila
dilihat dari keberadaannya pada wilayah Daerah Aliran Sungai, lokasi KPH-P
Model berada di dua DAS, yaitu: wilayah DAS Tawaili-Sampaga (± 458.399,85 ha),
dan wilayah DAS Towera-Lambunu (358.720,46 ha). Berdasarkan fungsi kawasan
hutan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) terdiri atas:
Tabel 6. Fungsi Kawasan Hutan
di KPH-P Model (KPH-P Dampelas-Tinombo)
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
28.461,53
|
- Hutan Lindung (HL)
|
28.461.53
|
Kawasan Budidaya
|
74.747,13
|
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
65.293,32
|
- Hutan Produksi Tetap (HP)
|
9.453,81
|
Luas Kawasan Hutan
|
103.208,53
|
Sumber: Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2008
b. Keadaan Fisiografi
Kecamatan
Balaesang terletak pada ketinggian 1 - 550 meter dari permukaan laut, di mana
sebagian terbesar Wilayahnya didominasi oleh pegunungan. Demikian halnya dengan
kecamatan Sojol terletak pada ketinggian 1 - 2.570 meter dari permukaan laut,
dengan persentase terbesar wilayahnya adalah pegunungan. Sedangkan di Kecamatan Damsol terletak pada
ketinggian 1 -.1.000 meter di atas permukaan laut. Sementara itu di Kecamatan
Tinombo, ketinggian tempat dari permukaan laut antara 0 – 1.865 meter.
Persentase terbesar wilayahnya adalah pegunungan. Berbeda dengan kecamatan
Tinombo Selatan, dimana sebagian besar wilayahnya tergolong datar, dengan
ketinggian tempat antara 1 - 850 meter dari permukaan laut.
a. Keadaan Iklim
Tipe iklim di wilayah rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo secara
umum memiliki tipe iklim A menurut kelasifikasi Scmith dan Ferguson. Dari data
Stasiun Pengamat Iklim Stasiun
Meteorologi Kayu Agung (Kotaraya) priode tahun 1995 - 2005 yang merupakan
stasiun klimatologi terdekat dengan daerah Tinombo diketahui bahwa curah hujan
tahunan di daerah ini rerata 2.993 mm/tahun dengan hari hujan 211 hari per
tahun. Curah hujan maksimum sebesar
228,60 mm terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Mei dengan lama hujan
rata-rata 18 hari hujan/bulan, sedangkan curah hujan minimum terjadi sebesar
69,90 mm pada bulan Agustus dengan lama hujan 7 hari.
Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan dari dua stasiun penakar
curah hujan yang ada dalam wilayah Dampelas ds dalam periode 10 tahun, yaitu
Stasiun Pengamat Curah Hujan BPP Tompe
(periode tahun 1991-2000), maka menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson
bertipe iklim A (rerata curah hujan tahunan masing-masing 2.780 mm/thn, dengan
nilai Q = 0%). Dari data tersebut,
jumlah bulan basah sebanyak 12 bulan, dengan curah hujan tertinggi dicapai pada
bulan Nopember-Desember, dan terendah pada bulan Juli-Agustus.
d. Keadaan Hidrologi
Lokasi KPH-P Model berada di dua
DAS, yaitu: wilayah DAS Tawaili-Sampaga dan wilayah DAS Towera-Lambunu.
Sungai-sungai yang terdapat di lokasi model antara lain:
-
Untuk
wilayah KPH-P model Tinombo yang tercakup dalam wilayah DAS Towera-Lambunu
terdapat sungai-sungai utama seperti; Sungai Tinombo, Bainaa, Sidoan, Maninili
dan Tada. Sungai-sungai ini mengalirkan airnya ke Teluk Tomini.
-
Untuk
wilayah KPH-P model Dampelas yang tercakup dalam wilayah DAS Tawaili-Sampaga
terdapat sungai-sungai utama seperti; Sungai Taipa, Silandoya, Panii, Sioyong,
dan Sibayu. Sungai-sungai ini mengalirkan airnya ke Selat Makassar.
Umumnya
sungai-sungai di wilayah rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo memiliki pola
aliran dendritik dan parallel. Sungai-sungai yang ada umumnya mengalirkan air
sepanjang tahun dengan dasar sungai dangkal dan berbatu.
e.
Keadaan Flora dan Fauna
Vegetasi
Alami: Pada kawasan rencana KPH-P model
Dampelas-Tinombo terdapat beberapa jenis vegetasi hutan yang dapat
diidentifikasi seperti: Eboni (Diospyros
celebica Bakh), Binuang (Octomeles sumatrana), Dahu (Dracontaleon dao), Nyatoh (Palaquium sp), Palapi (Terrietia javanica), Meranti (Shorea sp), Ketapang (Terminalia catappa), Jabon (Anthochepalus cadamba), Cempedak,
Enau (Arenga pinnata) dan jenis palem lainnya. Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang dapat dijumpai adalah Rotan (Calamus sp), Bambu Hutan (Bambusa sp), Rerumputan/Alang-alang,
Paku-pakuan, Liana dan jenis tumbuhan bawah lainnya.
Secara umum di lokasi Hutan
Produksi telah mengalami kerusakan vegetasi sebagai akibat aktifitas HPH,
perambahan hutan, pemanfaatan lahan untuk lahan kering yang tidak memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah serta sistim perladangan secara tebang bakar
yang terus berlanjut sampai saat ini. Kondisi seperti itu memberikan gambaran
bahwa interaksi hutan dengan masyarakat sekitarnya sebagai penyangga kehidupan
sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Vegetasi buatan: Vegetasi buatan yang dimaksud
adalah hasil budidaya tanaman. Jenis-jenis tanaman yang banyak dibudidayakan
masyarakat adalah jenis tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan
kacang-kacangan), jenis tanaman sayuran-sayuran (cabe, kacang panjang), jenis
tanaman buah-buahan (semangka, rambutan, jeruk, langsat, pisang, dsb.). Selain tanaman pangan, juga banyak diusahakan
tanaman perkebunan (Kakao, Cengkeh, Kelapa dalam, Kopi, Jambu mete, dsb),
tanaman kayu-kayuan (Jati super, Sengon, Gmelina, dsb.), dan tanaman MPTS (Kemiri, sukun, durian, mangga, nangka,
dsb.).
Jenis Fauna: Jenis-jenis satwa yang terdapat adalah Monyet Hitam (Macaca sp), Tupai (Tupaia sp), Babi Hutan (Sus
celebensis), Bajing (Callosciurus
notetus), Ular Sawah (Phyton
recticulantus), Burung Gagak (Corvus
sp), Burung Nuri (Trichoglossus
ornatus), Kakatua (Cacatua sulphurea)
dan Burung Elang (Haliastorindus sp),
dan satwa lainnya.
f.
Penutupan Lahan
Dari hasil analisis citra Landsat 7 ETM Band 542 perekaman tahun
2006, KPH-P Unit V memiliki penutupan lahan sbb.: tutupan awan seluas 235,98
Ha, hutan tanah kering primer seluas 46.798,44 Ha, hutan tanah kering sekunder
seluas 43.338,72 Ha, eks. HTI seluas 1.000,22 Ha, pertanian lahan kering campur
semak seluas 2.189,34 Ha, sawah seluas 296,79 Ha, dan semak belukar seluas
3.832,72 Ha.
|
g.
Aksesibilitas
Aksesibilitas di dalam dan di sekitar areal KPH-P model
secara umum cukup memadai. Sebagian besar desa-desa di sekitar lokasi memiliki
aksesibilitas yang baik, dan terjangkau, baik dengan kendaran roda dua maupun
roda empat. Kondisi ini sangat menunjang
rencana pengembangan areal KPH-P model.
h. Keadaan Sosial, Budaya dan Ekonomi
Masyarakat
1). Keadaan penduduk
Seperti diuraikan sebelumnya, areal model KPH-P
Dampelas-Tinombo berbatasan langsung dengan lima kecamatan, yaitu kecamatan
Balaesang, Damsol dan Sojol kabupaten Donggala, serta kecamatan Tinombo dan
Tinombo Selatan kabupaten Parigi Moutong. Secara rinci keadaan penduduk di
kelima kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk
Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
|
Kecamatan
|
Luas
(Km2)
|
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
|
Seks
Rasio
|
||
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
||||
1
|
Balaesang
|
612,57
|
16.168
|
15.326
|
31.496
|
105
|
2.
|
Sojol
|
872,02
|
17.037
|
16.997
|
34.034
|
100
|
3.
|
Damsol
|
600,70
|
14.614
|
14.450
|
29.064
|
101
|
4.
|
Tinombo
|
529,79
|
15.905
|
14.806
|
30.711
|
107
|
5.
|
Tinombo Selatan
|
391,23
|
11.731
|
10.935
|
11.666
|
107
|
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Selanjutnya apabila dilihat dari luas wilayah
masing-masing kecamatan, maka dapat dihitung kerapatan jumlah penduduk per
kilometer persegi secara geografis, sbb.:
-
Kecamatan Balaesang dengan
kerapatan penduduk sebesar 51 jiwa/km2.
-
Kecamatan Sojol dengan
kerapatan penduduk sebesar 40 jiwa/km2.
-
Kecamatan Damsol dengan
kerapatan penduduk sebesar 48 jiwa/km2.
-
Kecamatan Tinombo dengan
kerapatan penduduk sebesar 52 jiwa/km2.
-
Kecamatan Tinombo Selatan
dengan kerapatan penduduk sebesar 58 jiwa/km2.
Dari hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa
kecamatan dengan kerapatan penduduk secara geografis tertinggi adalah kecamatan
Tinombo Selatan, diikuti kecamatan Tinombo, Balaesang, Damsol dan Sojol.
Keadaan tenaga kerja di kecamatan sekitar areal model
KPH-P tergolong cukup potensial. Hal ini dapat dilihat jumlah penduduk umur
produktif (15 s.d. 55 tahun) yang tergolong potensial. Di kecamatan Balaesang,
Damsol dan Sojol masing-masing sebesar 52,66%, 60% dan 53,3% dari total jumlah
penduduknya. Sementara itu di kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan
masing-masing sebesar 52,39% dan 52,42% dari total jumlah penduduknya. Selanjutnya
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Keadaan
Tenaga Kerja Produktif di Lima Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
|
Kecamatan
|
Tenaga Kerja Produktif
(Jiwa)
|
|
Umur 15 s.d 55 tahun
|
Persentase (%)
|
||
1
|
Balaesang
|
16.586
|
52,66
|
2.
|
Sojol
|
18.157
|
53,35
|
3.
|
Damsol
|
17.440
|
60,00
|
4.
|
Tinombo
|
16.091
|
52,39
|
5.
|
Tinombo Selatan
|
11.882
|
52,42
|
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Sementara itu, keadaan penduduk di
empat kecamatan menurut pekerjaan utama disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut:
Tabel 9. Keadaan
Penduduk di Sekitar Areal KPH-P model Menurut Pekerjaan Utama
No
|
Kecamatan
|
Mata Pencaharian Penduduk
|
Jumlah
|
|||
Petani
|
Nelayan
|
Swasta
|
PNS/ABRI
|
|||
1
|
Balaesang
|
8.919
|
767
|
2.420
|
399
|
12.505
|
2
|
Sojol
|
8.291
|
676
|
66
|
126
|
9.159
|
3.
|
Damsol
|
16.015
|
557
|
468
|
400
|
17.440
|
4
|
Tinombo
|
10.389
|
767
|
1.105
|
609
|
14.435
|
5
|
Tinombo
Selatan
|
8.024
|
753
|
855
|
219
|
9.851
|
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi
Moutong 2007
Tabel di atas menunjukkan
bahwa jumlah penduduk bermata pencaharian petani (termasuk buruh tani)
mendominasi di seluruh kecamatan yang ada di sekitar areal KPH-P model. Hal ini
sekaligus mengindikasikan bahwa ketergantungan sebagian besar masyarakat
terhadap sumberdaya lahan dan hutan tergolong tinggi.
2). Keadaan Penggunaan Lahan
Keadaan penggunaan lahan pada lima kecamatan di dalam
dan di sekitar areal KPH-P model Dampelas-Tinombo disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Keadaan Penggunaan Lahan di Lima Kecamatan
Sekitar Areal KPH-P Model
No.
|
Jenis Penggunaan
Lahan
|
Luas (Ha)
|
||||
Balaesang
|
Sojol
|
Damsol
|
Tinombo
|
Tinombo Selatan
|
||
1.
|
Permukiman
|
442,95
|
572
|
ND
|
1.327
|
110
|
3.
|
Sawah irigasi
|
1.662
|
4.322,7
|
3.592,50
|
370
|
1.973,75
|
4.
|
Sawah tadah hujan
|
238,5
|
105
|
ND
|
43
|
135
|
5.
|
Sawah desa
|
120
|
ND
|
268,00
|
54
|
ND
|
7.
|
Kebun
|
715,5
|
8.883,87
|
9,465.00
|
6.188,75
|
2.328
|
8.
|
Ladang/Huma
|
ND
|
3.647,96
|
ND
|
1.447
|
348
|
9.
|
Tambak
|
57,25
|
64,5
|
ND
|
26
|
16
|
10
|
Hutan Negara
|
ND
|
66.820,27
|
ND
|
ND
|
ND
|
11
|
Kolam
|
2
|
ND
|
ND
|
2
|
ND
|
14
|
Perkebunan
|
11.812,5
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
15
|
Lainnya
|
41.593
|
2.106
|
ND
|
ND
|
57
|
Jumlah
|
56.643,7
|
87.504,7
|
13,325.50
|
9.457,75
|
4.967,75
|
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi
Moutong 2007 (ND = Non Data).
Dari Tabel 10 di atas, secara keseluruhan penggunaan
lahan untuk lahan kebun masih mendominasi, khususnya di kecamatan Tinombo dan
Tinombo Selatan, masing-masing sebesar 65,44% dan 46,86%. Sementara untuk
kecamatan Balaesang, penggunaan lahan untuk sektor perkebunan mendominasi
sebesar 20,85%.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH
Dari
Hasil Studi literatur yang dilakukan maka didapatkan kebijakan yang terkait
dengan pembangunan KPH, yaitu sebagaimana dalam bagan berikut :
Gambar 4. Bagan Perkembangan Kebijakan
Pembangunan KPH
Konsep
KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU No. 5/1967, yang pada
masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam
pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa. Setelah perubahan UU No.5 /1967 menjadi UU
41/1999 konsep KPH
kembali
dimunculkan dengan Istilah “pemangkuan”
berubah menjadi “Pengelolaan”, perubahan undang-undang tersebut kemudian
diikuti yang oleh beberapa peraturan pemerintah dan peraturan Mentri yang
mengatur tentang Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Beberapa Peraturan yang merupakan
runutan dari Undang-undang 41/1999 seperti yang ditampilkan dalam bagan diatas
diantaranya adalah PP No. 44 tahun 2004, PP No. 6 tahun 2007 dan yang
dikembangkan selanjutnya adalah PP No. 3 Tahun 2008 yang merupakan
penyempurnaan PP No. 6 tahun 2007.
Kebijakan pembangunan
kehutanan yang diamanatkan dalam UU No. 41 tahun 2009 adalah besarnya
keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan termasuk
dalam konsep Pembangunan KPH (Kesatuan
Pengelolaan Hutan) sebagaimana
pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk
wilayah pengelolaan pada seluruh kawasan hutan konservasi, lindung dan produksi”.
Tahapan
seanjutnya munculah PP 44 Th 2004 tentang perencanaan kehutanan yang
lebih memperjelas pembangunan KPH, pada pasal 26 ayat 1 menjelaskan tentang
tujuan Pembentukan KPH yaitu “untuk menyediakan wadah
bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari”. Pembangunan meliputi Pembentukan unit wilayah pengelolaan hutan (KPH),
dengan tahapan Rancang Bangun (Gubernur dengan pertimbangan Bupati ), Arahan
(Menteri), Pembentukan (Gubernur) sampai pada tahap akhir Penetapan (Menteri),
hal ini diatur dalam Pasal 29 dan 30 PP 44 Th 2004.
Berikutnya
diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui
dengan Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusnan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan.
Perubahan yang signifikan dari PP No. 6 tahun 2007 yaitu dari 144 pasal, sebanyak 38 pasal mengalami perubahan. Di antaranya terdapat 6 pasal tentang KPH yakni pasal 6,7,8.13,14 dan 141 (Badan Planologi Kehutanan, 2007)
Perubahan yang signifikan dari PP No. 6 tahun 2007 yaitu dari 144 pasal, sebanyak 38 pasal mengalami perubahan. Di antaranya terdapat 6 pasal tentang KPH yakni pasal 6,7,8.13,14 dan 141 (Badan Planologi Kehutanan, 2007)
Badan
Planologi Kehutanan juga menjelaskan bahwa Pokok-Pokok Perubahan di dalam PP
3/2008 terkait KPH dan rencana pengelolaan hutan yaitu Penegasan perbedaan
istilah PENETAPAN pada “Penetapan Wilayah KPH” dengan “Penetapan Kawasan Hutan”;Wilayah KPH yang semula dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan
wilayah ekosistem menjadi tidak
harus dalam satu wilayah DAS
atau satu kesatuan wilayah ekosistem; Penetapan semua jenis organisasi KPH (berdasarkan fungsi pokok hutan
maupun di dalam atau lintas wilayah administrasi pemerintahan) dilaksanakan
oleh Menteri (disesuaikan dengan PP 38/2008); Rencana pengelolaan jangka panjang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk, yang semula dilakuan secara berjenjang oleh Menteri, gubernur,
bupati/walikota ; Perpanjangan penyelesaian penetapan wilayah KPH dari 2 (dua) tahun
menjadi 3 (tiga) tahun.
Kebijakan yang juga terkait dalam pembangunan KPH yaitu PP. No. 38/2007 Tentang pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Kebijakan tersebut mengatur lebih lanjut tentang pembentukan KPH yang
melibatkan pemerintah daerah sampai pemerintah Pusat pada sub bidang 8. Tentang
pembentukan wilayah KPH. Sedangkan pada Permenhut No.P.6/Menhut-II/2009 tentang
pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terdapat 16 pasal.
5.2 Proses
Implementasi Kebijakan Pembangunan KPH Model Unit V Dampelas Tinombo Sulawesi
Tengah
Dari Hasil studi
literature dengan menggunakan beberapa dokumen pembentukan KPH Model serta
wawancara mendalam dengan kepala KPH maka proses pembentukan KPH Model di
Sulawesi Tengah dapat dilihat dalam Tabel 11, sebagai berikut :
Tabel 12. Rencana Kegiatan
dan Pencapaian Target Pembentukan Unit KPH Model
Dampelas-Tinombo
Rencana
Kegiatan
|
Pencapaian
Target (Tahun)
|
||||
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
|
Rancang bangun KPH
|
SK. Gubernur dan Sosialisasi Rancang bangun
|
Implementasi dan review sesuai P.6 Menhut-II/2009
|
Implementasi
|
Implementasi
|
Implementasi dan Evaluasi
|
Arahan pencadangan
KPH
|
Rekomgub
dan Usul ke Menhut dan Menhut Menetapkan Arahan Pencadangan
|
Implementasi
|
Implementasi
|
Implementasi
|
Implementasi dan Evaluasi
|
Pembentukan
Wilayah
KPH
|
Usulan Gubernur bentuk wilayah KPH
|
surat No.522.21/189/dishutda tanggal 18 Mei 2009
|
|||
Penetapan bentuk wilayah KPH
|
Rekomgub
dan Usul ke Menhut
|
Menhut Menerbitkan SK wilayah KPH dan
No.SK-792/Menhut-II/09 tgl 7/12/2009
|
Implementasi
|
Menhut Menerbitkan SK KPH (hasil penyesuaian)
|
Implementasi
|
Sosialisasi, koordinasi dan
Publikasi KPH
|
Terciptanya dukungan publik (hasil rancangan
model KPH)
|
Terciptanya dukungan publik (hasil action plan)
|
Mantapnya dukungan publik
|
Semakin mantapnya dukungan publik
|
Evaluasi
|
Sumber : KPH Model
Dampelas-Tinombo Unit V
Tahapan pembentukan
KPH sebagaimana dalam table tersebut diatas didasarkan pada PP No. 6 tahun 2007 pasal 29 terkait Pembentukan
unit wilayah pengelolaan hutan (KPH) yaitu Rancang Bangun (Gubernur dengan pertimbangan
Bupati ), arahan (Menteri), pembentukan (Gubernur), dan Penetapan (Menteri)
Pada tahapan
Rancang bangun, gubernur melalui dinas Kehutanan provinsi Sulawesi Tengah disertai
pertimbangan Bupati Parigi moutong dan Bupati Donggala, melakukan penyusunan
rancangan pembangunan KPH model disulawesi tengah berdasarkan arahan dari
mentri yang tertera pada Kepmenhut
No. 230/Kpts-II/2003 dan Kep.
Ka Baplan No. SL.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan KPHP.
Lebih lanjut dalam Renstra Kementrian kehutanan tahun 2005-2009, di targetkan pada
tahun 2009 dapat terbangun 1 (satu) unit KPH di setiap Provinsi. Untuk mencapai target tersebut dimulai dengan
membangun KPH Model di setiap Provinsi pada tahun 2006 dan 2007 serta
pemantapan model pada tahun 2008, sehingga tahun 2009 model tersebut dapat
ditetapkan sebagai KPH (Dishut Provinsi Sulteng, 2008).
Tahapan Berikutnya pada tahun 2009 Mentri
Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 792/Kpts-II/2009
tanggal 7 Desember 2009 tentang Penetapan KPHP Model Dampelas Tinombo Kab.
Donggala dan Kab. Parigi Moutong Prov. Sulteng menetapkan KPH
Model Dampelas-Tinombo (unit V), yang terletak di Lintas Kabupaten
Donggala-Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.
Tabel diatas juga
menjelaskan, bahwa tahapan dibentuknya KPH model di Sulawesi Tengah dimulai
pada Tahun 2008 melalui SK Gubernur dan ditetapkan mentri kehutanan pada tahun
2009, sementara dalam UU No. 41 1999 sebagaimana dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya (lihat : 5.1), menjelaskan sudah berselang 10 tahun setelah UU tersebut
diterbitkan, olehnya dapat dikatakan
bahwa penerapan kebijakan tersebut terskesan lamban.
Hal
tersebut disebabkan oleh sumberdaya pelaksana kebijakan pemnbentukan KPH.
Sebagaimana menurut Islamy (1997) tidak bisa terlepas
dari sumberdaya yang memadai bahwa para pelaksana harus disuplai dengan resources
yang cukup, seperti human resources (staf dalam jumlah dan
kualifikasi yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan
dan tanggung jawabnya), financial resources, technolo-gical resources, maupun
psychological resources. Jika mengacu pada pendapat ini, maka pada
implementasi kebijakan Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah yaitu kurangnya
kesiapan dari pemerintah daerah dan berbagai stakeholder yang terkait dengan
kebijakan tersebut, disebabkan karena mereka belum disuplai dengan ketiga resources
yang terakhir yaitu financial resources, techno-logical
resources, dan psychological resources, baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Demikian juaga
dikemukakan Walter Williams (lihat Abdul Wahab. 1997)
menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) dengan apa yang senyatanya dicapai dalam implementasi
kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung pada apa yang disebut Implementation
capacity dari organisasi atau
kelompok organisasi atau aktor yang
dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation capacity tidak lain
adalah kemampuan suatu organisasi/aktor
untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy dicision) sedemikian rupa
sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam
dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Pemerintah daerah diberikan
kewenagan untuk membentuk organisasi dan institusi KPH namun tetap mengacu pada
arahan dari pemerintah pusat yang kemudian ditetapkan oleh menti kehutanan sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 8 PP 3/2008.
Pada tahun 2009 berdasarkan Pergub Nomor
05/2009, Pemerintah provinsi melalui dinas kehutanan Provinsi
membentuk Institusi Pengelola KPH dengan Pembangunan Infrastruktur dan
menetapkan Struktur Organisasi KPH
Model di Sulawesi Tengah. Struktur organisasi KPH
Model Dampelas tinombo dapat dilihatdalambaganberikut
:
Gambar 4. Struktur Organisasi KPH-P Dampelas-Tinombo
(Unit V)
5.3 Peran Stakeholder
Dari
hasil wawancara mendalam (Indept
Interview) diperoleh 6 (enam) stakeholders yang memiliki peran utama dalam
pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo secara
purposive dengan pertimbangan informan
tersebut merupakan staf yang membidangi pembanguan KPH Model, Dinas Kehutanan
Propinsi, BPKH Sulawesi Tengah, BP2HP, Dinas Kehutanan dan perkebunan Parigi
Moutong, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Donggala, Kepala KPH, dengan tiap-tiap
peran stakeholder seperti disajikan
dalam table 11.
Tabel 11. Peran Tiap-Tiap
Stakeholder dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo
Stakeholder
|
Rights (Hak)
|
Responsibility (Tanggung Jawab)
|
Revenues
(Manfaat)
|
Dishut Propinsi
|
-
Pembentukan
dan Penguatan Kelembagaan KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
|
-
Memfasilitasi Pembentukan KPH
-
Menyusun Action Plan KPH dan Diskusi Publik
-
Rekruitmen SDM Pengelola & Diklat calon Ka. KPH.
-
Mengalokasikan dana pembangunan
KPH.(Sesuai usulan biaya/RAB
-
Memberikan
izin pemanfaatan dalam lingkup lintas kabupaten
-
Melakukan
Pembinaan SDM pada Pengelola KPH-P
Model
|
- Terselenggaranya
ketertinban dalam pengurusan Hutan dikawasan KPH-P Model
|
BPKH
|
- Inventarisasi dan
Pengukuhan Kawasan Hutan KPH-P Model
|
-
Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis pengukuhan kawasan hutan di
wilayah KPH-P model
|
- Diseminasi dokumen penetapan
kawasan hutan berbatasan KPH-P model kepada stakholder
-
Berkembangnya penyelesaian tata batas luar kawasan hutan berbatasan KPH-P model.
|
BP2HP
|
-
Pemanfaatan
Hasil Hutan
-
Industri dan Perdagangan
Hasil
Hutan
|
-
Merancang
biaya untuk pendanaan KPH Model yang berasal dari dana APBN
-
Melakukan
Sertifikasi dan
Pengawasan
|
-
Menguatnya
kelembagaan KPH-P Model hingga mencapai kemandirian
|
Dishutbun Donggala
|
(Keterlibatan dalam pembangunan KPH hanya
sebatas objek sosialisas)
|
_
|
-
|
Dishutbun Parigi
|
-
(Keterlibatan
dalam pembangunan KPH hanya sebatas objek sosialisasi)
|
_
|
-
|
Kepala KPH Model
|
-
Menyelenggarakan
pengelolaan hutan
-
Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi
dan kabupaten bidang kehutanan untuk di implementasikan
-
Industri
dan perdagangan hasil Hutan
-
Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P Unit V
|
-
Melakukan
penataan, perencanaan, pengorganisasian, pemanfaatan, rehabilitasi dan
reklamasi serta perlindungan hutan pada Kawasan KPH Model.
-
Penyusunan dan pengesahan rencana kelola dan pemanfaatan SDH di KPH-P
Unit V.
-
Memberdayakan
masyarakat setempat yang dilakukan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan,
atau kemitraan
- Mengembangkan hutan tanaman rakyat
|
-
Terselenggaranya
pengurusan Hutan secara efisien dan lestari
-
Beroperasinya pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam yang
efisien dan efektif
|
Berdasarkan hasil
wawancara mendalam, serta didukung oleh dokukmen-dokumen yang terkait dengan
pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah, maka dapat teridentifikasi peran stakeholder yang mencangkup raigh (Hak), Responsibility (tanggung jawab), dan revenuaes (manfaat) dalam pembangunan KPH Model disulawesi Tengah. Dimana
didapatkan bahwa Setiap Stakeholder memiliki Hak, tanggung jawab serta manfaat
yang didapatkan sesuai dengan topuksi masing-masing stakeholder.
Dinas Kehutana
Provinsi sulawesi tengah sebagai salah satu stakeholder
yang merupakan aktor kunci dalam pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah.
Stakeholder ini memiliki Hak dalam pembentukan awal KPH Model disulawesi Tengah
sebagimana yang diamanatkan dalam beberapa kebijakan yang terkait dengan
pembangunan KPH Model diantaranya terdapat pada pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 juga
terdapat pada pasal 21undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dari penjelasan Undang-Unadang No. 41 tersebut maka
dinas Kehutana Propinsi Sulawesi Tengah Bertanggung jawab untuk memfasilitasi
pembentukan KPH Model di sulawesi Tengah. Tanggung jawab tersebut tentunya juga
didasarkan pada aturan tidak hanya diatur dalam UU No.41/1999 melainkan juga
pada peraturan pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan Kehutanan,
tepatnya pada pasal 26 tentang pembentukan wilayah pengelolaan Hutan.
Dinas kehutanan Provinsi
sulawesi tengah juga bertanggung jawab dalam hal Memfasilitasi Pembentukan KPH, Menyusun Action Plan KPH dan Diskusi Publik, Rekruitmen SDM Pengelola & Diklat calon
Ka. KPH, Mengalokasikan dana pembangunan KPH (Sesuai usulan biaya/RAB), Memberikan
izin pemanfaatan dalam lingkup lintas
kabupaten, Melakukan Pembinaan SDM pada
Pengelola KPH-P Model, Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis
pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model. Tanggung jawab yang belum
dilaksanakan adalah pemberian izin pemanfaatan dalam lingkup lintas kabupaten,
hal ini disebabkan karena tahapan pembbangunan KPH Model saat ini barulah mulai
pada tahapan awal Implementasi.
Selanjutnya Hak dan tanggung jawab dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah
merupakan kesatuan peran yang akan memberikan manfaat demi terselenggaranya
pengelolaan hutan yang lebih tertib. Tentunya peran tersebut akan bermanfaat
secara maksimal jika pelaksanaanya berjalan efektif dan efisien.
Badana Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) juga menjadi salah satu stakeholder utama dalam pembentukan KPH
Model. Stakeholder ini merupakan UPT Pusat yang ditempatkan diderah untuk
mendukung secara teknis dalam pembangunan KPH Model disulawesi Tengah.
Sebagaimana yang diatur dalam PP.38 tentang pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah, pemerintah daerah Provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota. Peraturan tersebut diatur tertera pada sub sidag No. 8 tentang
pemb ntukan wilayah pengelolaan Hutan.
Selanjutnya hal peraturan tersebut dimaksudkan karena fakta historis
permasalahan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang sebelumnya sentralistik
ketika dirubah dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola
sendiri hutanya ternyata berimbas pada kerusakan hutan itu sendiri. Olehnya
dibentukah sebuah aturan dalam mendukung pengelolaan suberdaya hutan daerah
semakin bermanfaat namun tetap lestari (Komarudin,2008).
Dari
penjelasan paragraf sebelumnya sebagaimana dikatakan bahwa BPKH merupakan UPT
Pusat yang ditempatkan didaerah dengan kapasitas hubungan koordinasi
teknis. Olehnya stakeholder ini bertanggung jawab dalam Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis serta pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model.
BP2HP sebagia salah satu stakeholder yang
bertanggung jawab Merancang biaya untuk pendanaan KPH
Model yang berasal dari dana APBN,
serta melakukan sertifikasi dan pengawasan terhadap
pengelolaan KPH Model. Selain dari tanggung jawab tersebut stakeholder ini
memiliki hak dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. Kedua komponen peran tersebut dapat bermanfaat untuk
pedanguatan kelembagaan KPH Model hingga mencapai organisasi KPH yang mandiri.
Kepala KPH Model dampelas-Tinombo merupakan Stakeholder utama yang menjadi objek penelitian, stakeholder ini
bertanggung jawab Melakukan penataan, perencanaan, pengorganisasian,
pemanfaatan, rehabilitasi, reklamasi dan perlindungan hutan pada Kawasan KPH
Model, Serta Penyusunan,
pengesahan rencana kelola, pemanfaatan SDH di KPH-P Unit V, Memberdayakan masyarakat setempat yang dilakukan melalui hutan desa,
hutan kemasyarakatan, atau kemitraan dan Mengembangkan hutan tanaman
rakyat. Stakeholder ini juga memiliki hak dalam Menyelenggarakan pengelolaan hutan, Menjabarkan kebijakan
kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten bidang kehutanan untuk di
implementasikan, Industri dan
perdagangan hasil Hutan Serta Pengelolaan dan
Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P Unit V.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Donggala merupakan salah stakeholder yang
memiliki peran utama dalam pembanguna KPH Model disulawesi Tengah. Hal trersebut dikarenakan Kawasan KPH Model
mencangkup wilayah kabupaten donggala sehingga dalam tahapan pembentykan KPH
model, peran serta dinas kehutanan dan perklebunan kabupaten donggala sangan
besar mempengaruhi stabilitas serta percepatan pembangunan KPH.
Dengan demikian Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Donggala
bertanggung jawab dalam pemberian izin pengelolaan pada lingkup kabupaten
sebagaimana tercantum dalan matrik Konvergensi kegiatan (Dinas Kehutanan,2008).
Namun peran ini belumlah dilaksanakan disebabkan karena tahapan pembangunan KPH
saat ini berada pada tahapan awal implementasi dan belumlah sepenuhnya
tersosialisasikan secara masiv pada masyarakat maupun stakeholder yang terkait.
Seperti halnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan
kabupaten Donggala, dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten parigi moutong
juga demikin. Melalui hasil wawancara mendalam, informan dikatakan bahwa
keterlibatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Parigi Moutong barulah sebagai
objek sosialisasi dari pembentukan KPH dan belum terlibat secara penuh,
sementara itu dalam buku rencanngan pembanguna KPH yang disusun oleh dinas
kehutanan provinsi menargetkan ditahun 2010 sudah pada pemantapan implementasi
pengelolaan KPH model disulawesi Tengah.
Berdasarkan dari hal tersebut, dengan demikian
proses penerapan kebijakan pembanguna KPH dapat dikatakan belumlah berjalan
idal sesuai denga apa yang diharapkan dari filosofis pembentukan KPH. Hal ini
dikarenakan pada tahapan sosialisasi kebijakan, karena adanya komunikasi yang
kuran efektif sebagaimana dikemukakan Hoogwood dan Gun
(lihat Abdul Wahab,1997) menyatakan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi
yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu
program kebijakan.
Edward III (1980) dalam Helis setiani (2005) mensinyalir bahwa dalam
komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan
akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasi kebijakan antara lain
adalah transmission (akurasi penerimaan panjang dan pendeknya rantai
komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi dan rincian tujuan
komunikasi.
Selain itu Rhodes (1996)
dan Stoker (1998) (lihat AbdulWahab, 1997), melihat bahwa dalam mensosialisasikan
suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi interaksional dari beragam
aktor atau institusi yang terlibat. Pada tahapan pelaksanaan pembanguana KPH
Model, peneliti masih didapatkan beberapa stakeholder yang kurang memehami
peranya dalam pembangunan KPH Model.
Kebijakan Pembangunan
KPH Model telah disosialisasikan oleh
Kementrian kehutanan maupun dinas kehutanan Provinsi kepada pelaku kebijakan
dan stakeholder, ternyata konsep dan
tujuan dari kebijakan ini belum dipahami dengan baik oleh para stakeholder, hal
ini terlihat dari adanya kesenjangan antara acuan formal dan persepsi pelaku
kebijakan pembangunan KPH. Sehingga menyebabkan pelaksanaan kebijakan pembangunan
KPH menjadi tidak utuh, Dunsire (lihat Abdul Wahab, 1997) menyebutnya dengan implementation
gap.
Salah satu bukti
nyata dilapangan adalah tidak dilaksanakannya kebijakan sesuai dengan tahapan
pelaksanaan yang tertera dalam pedoman umum pelaksanaan. Tidak dipahaminya
konsep dan tujuan kebijakan oleh pelaku atau aktor kebijakan dapat disebabkan
karena informasi yang disampaikan dan
diterima sosialisasi baru pada taraf pengenalan dan tidak dilakukan secara berkelanjutan,
polemik kebijakan KPH itu sendiri.
Pembangunan
KPH model disulawesi tengah mencangkup dua wilayah kabupaten sehingga Pemerintah Kabupaten dalam hal ini dinas
kehutanan dan perkebunan beranggapan hal tersebut adalah wewenang sepenuhnya
dari Dinas Kehutanan provinsi. Sementara dalam acuan formal pembangunan KPH
menjelaskan keterlibatan Dinas kehutanan yang berada pada lingkup dua kabupaten
tersebut juga sangat penting termasuk dalam hal perizinan pengelolaan lingkup
kabupaten (Dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tangah,2008).
5.4 Pola Hubungan Kerja
Kelembagaan KPH-P Model Dampelas Tinombo (Unit V)
Berdasarkan pada hasil wawancara
mendalam bersama Kepala KPH Model Dampelas-Tinombo dan juga mengacu pada beberapa
kebijakan yang terkait dengan KPH, maka bentuk Pola Hubungan Kerja Kelembagaan
KPH-P Model Dampelas Tinombo (Unit V) adalah sebagaimana dalam bagan berikut :
Hubungan Struktural, berada dibawah dan
bertanggung jawab
Garis Komando dalam rangka pelaksanaan
wewenang pengelolaan
Pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
pengelolaan
Dukungan teknis
Gambar 5. Bagan Koordinasi Pembangunan KPH Model di
Sulawesi Tengah
BPKH bersama BP2HP merupakan UPT Kementrian Kehutanan di provinsi
sulawesi tengah yang memiliki hubungan struktural berada dibawah dan
bertanggung jawab terhadap kementerian kehutanan. Keberadaan UPT tersebut
didaerah dalam hal pembangunan KPH di Sulawesi Tengah berperan sebagai pemberi
dukungan teknis kepada KPH sesuai kewenagan.
Kepala
Dinas Provinsi selaku koordinator, menerima pertanggungjawaban dari KPH Model untuk
disampaikan kepada Menteri. Dinas kehutanan Propinsi
Sulawesi Tengah juga berada pada posisi mengkoordinir dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Donggala/parigi Moutong, serta KPH-P Model Dampelas
Tinombo. Sedangngkan KPH-P Model berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas
pengelolaan kepada Dinas Kehutanan dan
perkebunan Kabupaten, Provinsi, UPT, serta berujung kepada Kementerian
Kehutanan, melalui mekanisme pelaporan seperti dalam Gambar 5.
Pola Hubungan yang dimaksudkan dalam
Gambar 5, menjelaskan garis komando yang menghubungkan Kementrian Kehutanan
dengan Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dan KPH Model merupakan Garis
komando terkait dengan penjabaran kebijakan Nasional terkait dengan pembangunan
KPH Model. Pembangunan KPH Model yang di atur dalam Permenhut
No.P.6/Menhut-II/2009 merupakan runutan akhir dari penjabaran UU No. 41 tahun
1999 tentang kehutanan, PP No.44 tahun 2004,
PP No. 6 tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008, PP No.38 tahun 2008.
Dalam PP No. 6 tahun 2007 jo
PP No. 3 Tahun 2008 pasal 8 ayat 3 menjelaskan pertimbangan teknis dan dan
usulan penetapan organisasi KPH dilakukan berdasarkan standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Mentri. Peraturan pemerintah tersebut mengamanatkan kepada
mentri untuk membuat standar, prosedur dan kriteri pembentukan KPH, yang
kemudian menjadi acuan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam membentuk KPH. Lebih jelasnya tentang penjelasan garis
kondo dalam bagan diatas terdapat dalam pasal 123 ayat 1 poin (a), yakni
Mentri, berwenag membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang
dilaksanakan Gubernur, Bupati/walikota, dan kepala KPH.
Keberadaan UPT Kehutanan Pusat seperti BP2HP dan
BPKH Sulteng dalam memberikan dukungan teknis sebagamana dalan Gambar 5,
didasarkan pada hasil wawancara mendalam
dengan Kepala KPH, BP2HP dan BPKH, dimana BPKH berperan dalam menyusunan dan pengesahan
rancangan teknis pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model. Sedangkan
BP2HP berperan dalam Merancang
biaya untuk pendanaan KPH Model yang berasal dari dana APBN.
Keberadaan KPH sebagaimana dalam Gambar 5,
merupakan cerminan integrasi (kolaborasi/sinergi) dari Pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Hal tersebut didasarkan pada PP No. 6 tahun 2007 jo PP No
3 tahun 2008 pasal 9 ayat 1 poin b, terkait tugas dan fungsi Organisasi KPH,
yakni menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten kota
bidang kehutanan untuk diimlementasikan.
.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Berdasar pada hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa
hal diantaranya :
1.
Kebijakan yang terkait dengan
pembangunan KPH Model dampelas Tinombo diantaranya adalah Undang-undang No.41
tahun 1999 tentang kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang
perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2008
tentang tentang Tata Hutan dan Penyusnan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 38/2007 Tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, dan Permenhut
No.P.6/Menhut-II/2009 tentang pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH).
2.
Pembentukan KPH Model di Propinsi
Sulawesi Tengah telah berlangsung sejak tahun 2008 melalui proses pencadangan
oleh pemrintah Propinsi bersama dengan pemerintah kabupaten Parigi Moutong
serta pemerintah Kabupaten donggala, Kemudian ditetapkan oleh Mentri Kehutanan
Pada Tahun 2009.
3.
Pembangunan KPH Model dampelas
Tinombo melibatkan beberapa Stakeholder
yang memiliki peran utama dalam tahap awal pembentukanya. diantaranya adalah
Dinas Kehutana Provinsi Sulawesi Tengah, BPKH, BP2HP, dinas Kehutana dan
Perkebunan Kabupaten donggala Serta dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Parigi Moutong, dan Kepala KPH itu sendiri.
4.
Proses pembangunan KPH Model di
Propinsi Sulawesi Tengah belumlah berjalan sebagaimana yang direncanakan dalam
acuan formal rancangan pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo. Hal ini
disebabkan oleh polemik prodak kebijakan itu sendiri yang belum secara
menyeluruh memberikan penjelasan secara utuh akan pembentukan KPH, serta
disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pelaku kebijakan atau stakeholder akan isi dari kebijakan itu
sendiri.
6.2 SARAN
Wacana pembentukan KPH sudah
berlangsung sejak lama, yaitu pada tahun 1999. sejak ditetapkanya UU No.41/1999
tentang kehutanan , dengan berbagai produk kebijakan yang menyertainya, sampai
saat ini pembangunan KPH termasuk di Sulawesi Tengah masih mengalami polemik dalam
pembangunanya. Olehnya diharapkan kepada pihak pemerintah Pusat, provinsi serta
pihak akademisi sepatutnya dapat terlibat lebih jauh dalam mengawal pembangunan
KPH Model.
Dalam melakukan
penelitian ini, berdasarkan instrument penelitian yang dipakai, memungkinkan
faliditas data yang diperoleh dari para responden masih disangsikan, disebabkan
adanya hal yang mungkin bersifat rahasia yang tidak dikemukakan responden.
Olehnya untuk penelitian selanjutnya
perlu didorong dengan dukungan berbagai stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH, Sehingga hasil
dari penelitian yang dilakukan dapat mendorong pembangunan KPH yang efektif dan
efisien demi tercapainya pengelolaan Hutan secara lestari.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???