BAB. I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Indonesia
yang mempunyai luas hutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire
memegang peranan penting dalam perubahan iklim global. Deforestasi dan
degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai
penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara
berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan
ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi
hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sector kehutanan.
Sampai dengan
saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang
meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil
analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan
degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode
1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu
mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode
2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar, Pada periode tahun 1985 s/d 1987,
penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan
Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 terjadi selain di Sumatera dan
Kalimantan, juga di Papua, yang selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka
ratarata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000 s/d 2005.
Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan
oleh :
1. Kebakaran
dan perambahan hutan;
2. Illegal
loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan
yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan
global.
3. Adanya
konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman,
dsb.
4. Adanya
penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan
hutan.
5. Pemanenan
hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip PHL.
Secara
umum, pengertian KPH adalah merupakan areal/wilayah yang didominasi oleh hutan
dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan
yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka
panjang. Keseluruhan wilayah KPH akan mempunyai batas yang jelas baik di
lapangan maupun di peta. Disamping tujuan-tujuan yang luas bagi keseluruhan
unit KPH, dalam sub-sub unit KPH dimungkinkan untuk dikelola dalam regime manajemen
yang berbeda dan terpisah (FAO)
Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen
pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan
dan PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang efisien dan lestari.
Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, KPH
telah menjadi prasyarat terselenggaranya PHL karena KPH merupakan wilayah
pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya serta secara
operasional harus memenuhi 3 komponen kegiatan, yaitu:
1. Pembentukan
unit-unit wilayah KPH pada seluruh kawasan hutan sehingga ada kepastian wilayah
kelola;
2. Pembentukan
institusi pengelola pada setiap unit KPH, sehingga ada kepastian penanggung
jawab pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen di tingkat tapak;
3. Penyusunan
rencana pengelolaan hutan di tingkat KPH sebagai penjabaran operasional
pencapaian target-target rencana kehutanan tingkat kabupaten/ kota, provinsi
dan nasional.
KPH harus dibangun atau dikembangkan sehingga
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang berbasis
sumberdaya hutan, termasuk mengembangkan kepentingan para pihak, mengembangkan
investasi, penyediaan informasi lebih lengkap tentang sumberdaya alam dan
permasalahannya sebagai landasan penetapan manajemen pengelolaan, serta
terlaksananya implementasi peraturan perundangan yang telah disesuaikan dengan
kondisi setempat. Melalui pembangunan KPH diharapkan dapat dicapai
sasaransasaran sebagai berikut:
1. Mengurangi
degradasi hutan;
2. Tercapainya
PHL;
3. Meningkatnya
kesejahteraan masyarakat lokal;
4. Stabilisasi
penyediaan hasil hutan;
5. Mengembangkan
tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaanhutan;
6. Percepatan
rehabilitasi dan reforestasi;
7. Memfasilitasi
akses pada pasar karbon.
Adapun penyebab lain yang lebih mendasar adalah
belum adanya institusi pengelola hutan di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit
pengelolaan hutan (KPH) pada sebagian besar kawasan hutan produksi dan hutan
lindung, khususnya diluar Jawa:
Pembangunan KPH di Indonesia sampai saat ini masih
terbatas pada sebagian kawasan hutan yang menjadi areal kerja Perhutani (BUMN)
di P Jawa, yang telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dan pada sebagian
kawasan hutan konservasi dalam bentuk unit-unit Taman Nasional. Sampai dengan
tahun 1990an, di luar Jawa pernah terbentuk unit-unit KPH namun dalam
perkembangannya sebagai akibat kuatnya paradigma timber based management keberadaan
KPH sebagai unit manajemen tidak berkembang bahkan dibubarkan, sehingga Dinas
Kehutanan sebagai institusi pengurusan hutan (forest administration)
kehilangan dasar pengurusan di tingkat tapak berupa institusi pengelola (forest
mangement) dalam bentuk KPH.
Untuk
menangani permasalahan tersebut di atas dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan
yang saling melengkapi, yaitu membangun kembali institusi KPH di satu pihak dan
di lain pihak mmelanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pencegahan
terjadinya deforestasi dan degradasi, antara lain melalui pencegahan kebakaran
hutan, perambahan. Illegal logging, dsb
Sesuai dengan Surat Keputusan Penetapan Wilayah KPH
sebagai KPH Model Kepada para Kepala Daerah yang telah berkomitmen untuk
mempersiapkan embrio KPH. Persiapan menuju Organisasi KPH, khususnya KPH
Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP) telah dilakukan pengembangan KPH
Persiapan di 28 Provinsi berupa KPH Model.
Wilayah-wilayah KPHL atau KPHP
Model yang telah ditetapkan Menteri Kehutanan sebanyak 13 lokasi. Delapan KPHP
Model yaitu : KPHP Model Dampelas
Tinombo, Sulawesi Tengah (lintas Kab), KPHP Model Reg 47 Way Terusan, Kab.
Lampung Tengah, Lampung, KPHP Model Sintang, Kab. Sintang, Kalimantan Barat,
KPHP Model Yapen, Kab. Yapen, Papua, KPHP Model Lakitan, Kab. Musi Rawas,
Sumatera Selatan, KPHP Model Lalan, Kab. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, KPHP
Poigar, Sulawesi Utara (lintas Kab), KPHP Buton, Kab Buton, Sulawesi Tenggara.
Penyusunan
rancang bangun KPH-P model di Provinsi Sulawesi Tengah dimaksudkan untuk mencari model KPH-P “ideal” sebagai
cikal-bakal organisasi KPH-P yang sesuai
dengan tipologi kawasan hutan, karakteristik biofisik, sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat di sekitarnya.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah mengkaji strategi
pendekatan dalam pembentukan kelembagaan KPH-P, yang secara bertahap dapat
dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH-P di tingkat tapak, yang
diindikasikan antara lain oleh:
(a) Pencapaian
pengelolaan hutan lestari dengan prinsip peningkatan nilai ekonomi dari
pemanfaataan hutan dalam meseimbangan dengan manfaat ekologi dan social dari
hutan;
(b) Kemampuan
mendorong pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan hutan dan hasil hutan;
(c) Menyiapkan
pra-kondisi pemanfaatan hutan, baik dalam rangka perijinan dan investasi, serta
pemberdayaan masyarakat;
(d) Mengelola
peranan hutan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global; dan
(e) Menjaga
kemantapan kawasan hutan yang menjadi wilayah kelola.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
dari praktek umum/magang berdasarkan pedoman pelaksanaan yaitu untuk menerapkan
teori-teori sejalan didalam kuliah dengan praktiknya di lapangan, megetahui
secara menyeluruh tentang hutan dan kehutanan serta mendapatkan informasi
berbagai permasalahan nyata yang dialami oleh penyelenggara seperti lembaga
pemerintah dan upaya penanganannya.
Sedangkan
kegunaan dari praktek umum/magang ini yaitu mahasiswa mengetahui Struktur
Organisasi pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang menjadi salah satu
program Pemerintah yang di harapkan mampu mengatasi Deforestasi dan degradasi
hutan yang ada Indonesia khusunya di wilayah Sulawesi tengah..
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan
Undang-undang Kehutanan di Indonesia
Lahirnya Undang-undang Kehutanan No. 41 1999 yang
merupakan pembaruan dari Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 1967 menyebabkan
perubahan yang signifikan pada dukungan negara terhadap devolusi dalam
pengelolaan hutan, dimana terjadi pengalihan kekuasaan kepada kesatuan
subnasional seperti pemerintah daerah. Hal ini berbeda dari desentralisasi,
yang meliputi pemindahan tempat kegiatan, tetapi bukan pengalihan kekuasaan
atau wewenang. (Hariadi, 2003).
Dalam Hariadi (2007) menjelaskan peruba Pembaruan kebijakan pada dasarnya memperbaiki norma, hak, dan batasan‐batasan yang diatur. Pembaruan kebijakan tidak
akan banyak berarti, apabila secara sosiologis tidak diikuti oleh proses‐proses yang memungkinkan dicapainya
kesepakatan bersama. Di sinilah tantangan akan muncul, terutama bagi kalangan
birokrasi Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang biasanya terlalu kaku dan
hanya melihat hitam‐putihnya suatu peraturan.
Dalam konteks ini pula dapat dikatakan keliru
apabila ada yang beranggapan bahwa hanya dari pikiran seseorang yang lebih
benar akan lebih baik dalam membuat suatu
kebijakan, dari pada dari pikiran banyak orang yang ternyata tidak lebih
benar. Dianggap keliru karena nalar (reason), dalam pengertian menurut
Habermas, bukanlah suatu proses logis untuk membuktikan kebenaran atau
kesalahan secara obyektif, melainkan proses untuk ”mendapatkan pemahaman dalam
suatu konteks sosial” (de Haven‐Smith, 1988 dalam Parson, 2005).
2.2 Faktor
Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Walter
Williams (lihat Abdul Wahab. 1997) menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan
antara apa yang diharapkan
(direncanakan) dengan apa yang
senyatanya dicapai dalam implementasi kebijakan, sedikit banyaknya akan
tergantung pada apa yang disebut Implementation
capacity dari organisasi atau
kelompok organisasi atau aktor yang dipercaya
untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation capacity
tidak lain adalah kemampuan suatu
organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy
dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Hoogwood dan Gun (lihat Abdul Wahab,1997) menyatakan bahwa harus ada
komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang
terlibat dalam suatu program kebijakan.
Edward III (1980) dalam Helis
setiani (2005) juga mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang
mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi
penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi,
konsistensi dan rincian tujuan komunikasi.
Selain itu Rhodes
(1996) dan Stoker (1998) (lihat AbdulWahab, 1999), melihat bahwa dalam
mensosialisasikan suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi
interaksional dari beragam aktor atau institusi yang terlibat.
Presman
dan Wildavsky (1973) dalam Abdul Wahab (1997) yang juga mengingatkan bahwa
proses implementasi kebijakan perlu mendapat perhatian yang seksama. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa salah jika ada yang berasumsi bahwa proses
implementasi kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung tanpa hambatan.
Selain itu masih dalam Abdul Wahab (1997) Udoji (1991) mengatakan dengan jelas
bahwa pelaksanaan suatu kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin
jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya
akan berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak diimplementasikan).
Setyodarmodjo (2000)
menjelaskan bahwa dalam suatu proses kebijakan, proses implementasi merupakan
proses yang tidak hanya kompleks (complicated),
namun juga hal yang sangat menentukan. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang
sudah dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya
mencapai tujuan, hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui
cara-cara lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena
faktor-faktor subyektif para pelaksananya (policy
actors) maupun dari masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung
terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.
2.3 Partisipatif
dalam Imlementasi Kebijakan
Menurut Graham dan Phillips (1998) dalam Setiani (2005),
ada dua bentuk partisipasi yaitu: 1) partisipasi yang melibatkan sejumlah orang
dengan kontribusi individual yang kecil, disebut juga dengan partisipasi
ekstensif (extensive participation).
Keuntungan dari partisipasi ini adalah kesadaran tentang suatu isu yang
dimunculkan pada masyarakat akan ditanggapi sesuai dengan kontribusi dan
keterlibatan yang diberikan masyarakat, kekurangannya adalah karena orang yang
terlibat banyak, dan kontribusinya sedikit, maka masyarakat tidak dapat
diberdayakan; dan 2) partisipasi yang hanya melibatkan beberapa orang saja,
tetapi tersedia waktu yang besar oleh partisipan, disebut juga partisipasi
intensif (intensive participation),
keuntungan bentuk partisipasi masyarakat ini adalah mampu atau dapat
mengembangkan solusi inovatif dan dapat mencapai suatu konsensus.
Semangat
perencanaan kehutanan partisipatif seperti yang terkandung dalam UU No. 41/1999
dan PP No. 6/2007 belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena masih
lemahnya implementasi pembentukan pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH). Pada hal KPH inilah yang diharapkan sebagai wadah kegiatan
pengelolaan hutan mencakup penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan,
perlindungan hutan dan konservasi hutan (Badan Planologi Kehutanan, 2007).
2.4 Peraturan Perundangan Terkait Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH)
Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan
masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No 6
Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, serta
yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan
lestari.
Dalam Alpinus patan (2008), Untuk mewujudkan KPH pada tingkat tapak, Bongkar
pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali dilakukan. Pada
tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari
PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan pembangunan KPH. Perubahan secara
signifikan terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan
hutan atau adanya persamaan pengelolaan antara hutan produksi, lindung, dan
konservasi.
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1 LUAS
DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN
Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sulawesi
Tengah (SK Menhut No. 757/Kpts-II/1999, tanggal 23 September 1999), Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan seluas 4.394.932 ha dan Non Kawasan
Hutan seluas 2.408.3 68
ha. Luasan tersebut terdiri atas:
Tabel
1. Fungsi dan Luas Kawasan Hutan
Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
2.166.171
|
-
Suaka Alam dan
Pelestarian Alam
|
676.248
|
-
Hutan Lindung (HL)
|
1.489.923
|
Kawasan Budidaya
|
2.228.761
|
-
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
1.476.318
|
-
Hutan Produksi Tetap (HP)
|
500.587
|
-
Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
251.856
|
Luas Kawasan Hutan
|
4.394.932
|
Kawasan
Budidaya (non kawasan Hutan)
|
2.408.368
|
- Areal Penggunaan Lain (APL)
|
2.408.368
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
2.408.368
|
Total
Luas Wilayah Provinsi Sulawesi
Tengah:
|
6.803.300
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah 2007
Sementara itu,
luas Kawasan Hutan di Kabupaten Donggala berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan
Provinsi Sulawesi Tengah adalah 708.078 ha dan Non Kawasan Hutan seluas 318.254
ha, yang terdiri atas:
Tabel 2. Fungsi dan Luas Kawasan Hutan, Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
368.731
|
-
Suaka Alam dan
Pelestarian Alam
|
135.736
|
-
Hutan Lindung (HL)
|
232.995
|
Kawasan Budidaya
|
339.347
|
-
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
294.427
|
-
Hutan Produksi Tetap (HP)
|
11.624
|
-
Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
33.296
|
Luas Kawasan Hutan
|
708.078
|
Kawasan
Budidaya (non kawasan Hutan)
|
318.254
|
- Areal Penggunaan Lain (APL)
|
318.254
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
318.254
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Demikian pula halnya dengan luas Kawasan Hutan Kabupaten Parigi Moutong,
dimana berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah adalah
seluas 396.236 ha dan Non Kawasan Hutan seluas 207.301 ha, yang terdiri atas:
Tabel
3. Fungsi dan
Luas Kawasan Hutan
Kabupaten Parigi Moutong
Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
|
Luas
(Ha)
|
Kawasan Lindung
|
223.354
|
-
Suaka Alam dan
Pelestarian Alam
|
60.714
|
-
Hutan Lindung (HL)
|
162.640
|
Kawasan Budidaya
|
172.882
|
-
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
127.607
|
-
Hutan Produksi Tetap (HP)
|
22.467
|
-
Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
22.808
|
Luas Kawasan Hutan
|
396.236
|
Kawasan
Budidaya (non kawasan Hutan)
|
207.301
|
- Areal Penggunaan Lain (APL)
|
207.301
|
Luas Non Kawasan Hutan:
|
207.301
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Berdasarkan arahan terakhir Badan
planologi Kehutanan, terdapat sebanyak 24 unit pencadangan KPH-P beserta arahan
peruntukannya di Provinsi Sulawesi Tengah di antaranya:
UNIT
|
Wilayah
Kabupaten / Kota
|
|
1
|
I
|
Sungai Buol KPH
|
2
|
II
|
Taopa Lambunu KPH
|
3
|
III
|
Gunung Kalangkangan KPH
|
4
|
IV
|
Tomini Dampal KPH
|
5
|
V
|
Dampelas Tinombo KPH
|
6
|
VI
|
Alindau Toribulu KPH
|
7
|
VII
|
Poso
|
8
|
VIII
|
Lembah Palu KPH-P (L)
|
9
|
IX
|
Pekawa KPH-P (P)
|
10
|
X
|
Tentena Tojo
|
11
|
XI
|
Sungai Laa KPH-P (L)
|
12
|
XII
|
Bungku KPH-P (P)
|
13
|
XIII
|
Uekuli KPH-P (L)
|
14
|
XIV
|
Batui/Baturube KPH-P (P)
|
15
|
XV
|
Bunta/Sabo KPH-P (P)
|
16
|
XVI
|
Batui/Baturube KPH-P (P)
|
17
|
XVII
|
S. Bongka KPH-P (L)
|
18
|
XVIII
|
Parigi KPH-P (P)
|
19
|
XIX
|
Tahura KPH-P (L)
|
20
|
XX
|
Lore KPH-P (L)
|
21
|
XXI
|
Korokonta KPH-P (L)
|
22
|
XXII
|
S. Bongka KPH
|
23
|
XXIII
|
GunungLumut/Balingara KPH
|
24
|
XIV
|
Balantak KPH-P (P)
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah 2007
4.2.
DESKRIPSI WILAYAH KPH-P MODEL
4.2.1 Letak, Luas, dan Status Kawasan
Mengacu pada kriteria pemilihan KPH-P model, adalah Kecamatan
Balaesang dan Sojol. Sedangkan wilayah
yang masuk Provinsi Sulawesi Tengah menetapkan satu
wilayah KPH-P model (1 unit wilayah KPH-P) Dampelas-Tinombo (unit V). Berdasarkan
administrasi pemerintahan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) berada di dua
Kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong. Wilayah yang
masuk di dalam Kabupaten Donggala adalah Kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol,
dan di Kabupaten Parigi-Moutong adalah Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Cakupan Wilayah Administrasi KPH-P
Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
No
|
Kab. Donggala
|
Luas (Km2)
|
No
|
Kab. Parigi-Moutong
|
Luas (Km2)
|
||
1.
2.
3.
|
Kecamatan Balaesang
Kecamatan Sojol
Kecamatan Damsol
|
612,57
872,02
600,70
|
4.
5.
|
Kecamatan Tinombo
Kecamatan Tinomobo
Selatan
|
592,79
391,23
|
||
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah 2008
Secara geografis KPH-P Unit V berada pada posisi: 119° 53’ 15” s.d 120° 14’ 53” BT
dan 0° 05’ 57” s.d 0° 28’ 13” LU. Berdasarkan
administrasi pengelolaan hutan berada di dalam wilayah Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Donggala dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Parigi Moutong.
Bila dilihat dari keberadaannya pada wilayah Daerah Aliran Sungai,
lokasi KPH-P Model berada di dua DAS, yaitu: wilayah DAS Tawaili-Sampaga (±
458.399,85 ha), dan wilayah DAS Towera-Lambunu (358.720,46 ha). Berdasarkan
fungsi kawasan hutan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) terdiri atas:
Tabel 6. Fungsi Kawasan Hutan di KPH-P Model
(KPH-P Dampelas-Tinombo)
Fungsi Kawasan
|
Luas (Ha)
|
Kawasan Lindung
|
28.461,53
|
-
Hutan Lindung (HL)
|
28.461.53
|
Kawasan Budidaya
|
74.747,13
|
-
Hutan Produksi
Terbatas (HPT)
|
65.293,32
|
-
Hutan Produksi
Tetap (HP)
|
9.453,81
|
Luas
Kawasan Hutan
|
103.208,53
|
Sumber:
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2008
Gambar 4. Peta Fungsi
Kawasan Hutan KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
4.2.2. KEADAAN FISIOGRAFI
Kecamatan Balaesang terletak pada ketinggian 1 - 550
meter dari permukaan laut, di mana sebagian terbesar Wilayahnya didominasi oleh
pegunungan. Demikian halnya dengan kecamatan Sojol terletak pada ketinggian 1 -
2.570 meter dari permukaan laut, dengan persentase terbesar wilayahnya adalah
pegunungan. Sedangkan di Kecamatan
Damsol terletak pada ketinggian 1 -.1.000 meter di atas permukaan laut.
Sementara itu di Kecamatan Tinombo, ketinggian tempat dari permukaan laut
antara 0 – 1.865 meter. Persentase terbesar wilayahnya adalah pegunungan.
Berbeda dengan kecamatan Tinombo Selatan, dimana sebagian besar wilayahnya
tergolong datar, dengan ketinggian tempat antara 1 - 850 meter dari permukaan
laut.
4.2.3.
Keadaan Iklim
Tipe
iklim di wilayah rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo secara umum memiliki tipe
iklim A menurut kelasifikasi Scmith dan Ferguson. Dari data Stasiun Pengamat
Iklim Stasiun Meteorologi Kayu
Agung (Kotaraya) priode
tahun 1995 - 2005 yang merupakan stasiun klimatologi terdekat
dengan daerah Tinombo diketahui bahwa curah hujan tahunan di daerah ini rerata
2.993 mm/tahun dengan hari hujan 211 hari per tahun. Curah hujan maksimum sebesar 228,60 mm
terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Mei dengan lama hujan rata-rata 18
hari hujan/bulan, sedangkan curah hujan minimum terjadi sebesar 69,90 mm pada
bulan Agustus dengan lama hujan 7 hari.
Selanjutnya
berdasarkan hasil pengamatan dari dua stasiun penakar curah hujan yang ada
dalam wilayah Dampelas ds dalam periode 10 tahun, yaitu Stasiun Pengamat Curah Hujan BPP Tompe (periode tahun
1991-2000), maka menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson bertipe iklim A
(rerata curah hujan tahunan masing-masing 2.780 mm/thn, dengan nilai Q =
0%). Dari data tersebut, jumlah bulan
basah sebanyak 12 bulan, dengan curah hujan tertinggi dicapai pada bulan
Nopember-Desember, dan terendah pada bulan Juli-Agustus.
4.2.4. Keadaan
Hidrologi
Lokasi KPH-P Model berada di dua DAS, yaitu: wilayah DAS
Tawaili-Sampaga dan wilayah DAS Towera-Lambunu. Sungai-sungai yang terdapat di
lokasi model antara lain:
-
Untuk wilayah KPH-P model Tinombo yang tercakup dalam wilayah DAS
Towera-Lambunu terdapat sungai-sungai utama seperti; Sungai Tinombo, Bainaa,
Sidoan, Maninili dan Tada. Sungai-sungai ini mengalirkan airnya ke Teluk
Tomini.
-
Untuk wilayah KPH-P model Dampelas
yang tercakup dalam wilayah DAS Tawaili-Sampaga terdapat sungai-sungai utama
seperti; Sungai Taipa, Silandoya, Panii, Sioyong, dan Sibayu. Sungai-sungai ini
mengalirkan airnya ke Selat Makassar.
Umumnya sungai-sungai di wilayah
rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo memiliki pola aliran dendritik dan
parallel. Sungai-sungai yang ada umumnya mengalirkan air sepanjang tahun dengan
dasar sungai dangkal dan berbatu.
4.2.5
Keadaan
Flora dan Fauna
Vegetasi Alami: Pada kawasan rencana KPH-P model
Dampelas-Tinombo terdapat beberapa jenis vegetasi hutan yang dapat
diidentifikasi seperti: Eboni (Diospyros
celebica Bakh), Binuang (Octomeles sumatrana), Dahu (Dracontaleon dao), Nyatoh (Palaquium sp), Palapi (Terrietia javanica), Meranti (Shorea sp), Ketapang (Terminalia catappa), Jabon (Anthochepalus cadamba), Cempedak,
Enau (Arenga pinnata) dan jenis palem lainnya. Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang dapat dijumpai adalah Rotan (Calamus sp), Bambu Hutan (Bambusa sp), Rerumputan/Alang-alang,
Paku-pakuan, Liana dan jenis tumbuhan bawah lainnya.
Secara umum di lokasi Hutan Produksi telah mengalami
kerusakan vegetasi sebagai akibat aktifitas HPH, perambahan hutan, pemanfaatan
lahan untuk lahan kering yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
tanah serta sistim perladangan secara tebang bakar yang terus berlanjut sampai
saat ini. Kondisi seperti itu memberikan gambaran bahwa interaksi hutan dengan
masyarakat sekitarnya sebagai penyangga kehidupan sudah tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Vegetasi buatan: Vegetasi buatan yang dimaksud adalah hasil
budidaya tanaman. Jenis-jenis tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat
adalah jenis tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan
kacang-kacangan), jenis tanaman sayuran-sayuran (cabe, kacang panjang), jenis tanaman
buah-buahan (semangka, rambutan, jeruk, langsat, pisang, dsb.). Selain tanaman pangan, juga banyak diusahakan
tanaman perkebunan (Kakao, Cengkeh, Kelapa dalam, Kopi, Jambu mete, dsb),
tanaman kayu-kayuan (Jati super, Sengon, Gmelina, dsb.), dan tanaman MPTS (Kemiri, sukun, durian, mangga, nangka,
dsb.).
Jenis Fauna: Jenis-jenis satwa yang
terdapat adalah Monyet Hitam (Macaca sp),
Tupai (Tupaia sp), Babi Hutan (Sus celebensis), Bajing (Callosciurus notetus), Ular Sawah (Phyton recticulantus), Burung Gagak (Corvus sp), Burung Nuri (Trichoglossus ornatus), Kakatua (Cacatua sulphurea) dan Burung Elang (Haliastorindus sp), dan satwa lainnya.
4.2.6.
Aksesibilitas
Aksesibilitas di dalam dan di sekitar areal
KPH-P model secara umum cukup memadai. Sebagian besar desa-desa di sekitar
lokasi memiliki aksesibilitas yang baik, dan terjangkau, baik dengan kendaran
roda dua maupun roda empat. Kondisi ini
sangat menunjang rencana pengembangan areal KPH-P model.
4.3.
KEADAAN SOSIAL,
BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT
4.3.1 Keadaan
penduduk
Seperti
diuraikan sebelumnya, areal model KPH-P Dampelas-Tinombo berbatasan langsung
dengan lima kecamatan, yaitu kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol kabupaten
Donggala, serta kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan kabupaten Parigi Moutong.
Secara rinci keadaan penduduk di kelima kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah
Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
|
Kecamatan
|
Luas (Km2)
|
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
|
Seks
Rasio
|
||
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
||||
1
|
Balaesang
|
612,57
|
16.168
|
15.326
|
31.496
|
105
|
2.
|
Sojol
|
872,02
|
17.037
|
16.997
|
34.034
|
100
|
3.
|
Damsol
|
600,70
|
14.614
|
14.450
|
29.064
|
101
|
4.
|
Tinombo
|
529,79
|
15.905
|
14.806
|
30.711
|
107
|
5.
|
Tinombo Selatan
|
391,23
|
11.731
|
10.935
|
11.666
|
107
|
Sumber:
BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Selanjutnya
apabila dilihat dari luas wilayah masing-masing kecamatan, maka dapat dihitung
kerapatan jumlah penduduk per kilometer persegi secara geografis, sbb.:
-
Kecamatan Balaesang dengan kerapatan penduduk
sebesar 51 jiwa/km2.
-
Kecamatan Sojol dengan kerapatan penduduk
sebesar 40 jiwa/km2.
-
Kecamatan Damsol dengan kerapatan penduduk
sebesar 48 jiwa/km2.
-
Kecamatan Tinombo dengan kerapatan penduduk
sebesar 52 jiwa/km2.
-
Kecamatan
Tinombo Selatan dengan kerapatan penduduk sebesar 58 jiwa/km2.
Dari hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa kecamatan dengan
kerapatan penduduk secara geografis tertinggi adalah kecamatan Tinombo Selatan,
diikuti kecamatan Tinombo, Balaesang, Damsol dan Sojol.
Keadaan tenaga kerja di kecamatan sekitar areal model KPH-P tergolong
cukup potensial. Hal ini dapat dilihat jumlah penduduk umur produktif (15 s.d.
55 tahun) yang tergolong potensial. Di kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol
masing-masing sebesar 52,66%, 60% dan 53,3% dari total jumlah penduduknya.
Sementara itu di kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan masing-masing sebesar
52,39% dan 52,42% dari total jumlah penduduknya. Untuk jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Keadaan
Tenaga Kerja Produktif di Lima Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
|
Kecamatan
|
Tenaga Kerja Produktif (Jiwa)
|
|
Umur 15 s.d 55 tahun
|
Persentase (%)
|
||
1
|
Balaesang
|
16.586
|
52,66
|
2.
|
Sojol
|
18.157
|
53,35
|
3.
|
Damsol
|
17.440
|
60,00
|
4.
|
Tinombo
|
16.091
|
52,39
|
5.
|
Tinombo Selatan
|
11.882
|
52,42
|
Sumber:
BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Sementara
itu, keadaan penduduk di empat kecamatan menurut pekerjaan utama disajikan pada
Tabel 9 sebagai berikut.
Tabel
9. Keadaan Penduduk di Sekitar Areal KPH-P model Menurut Pekerjaan Utama
No
|
Kecamatan
|
Mata Pencaharian Penduduk
|
Jumlah
|
|||
Petani
|
Nelayan
|
Swasta
|
PNS/ABRI
|
|||
1
|
Balaesang
|
8.919
|
767
|
2.420
|
399
|
12.505
|
2
|
Sojol
|
8.291
|
676
|
66
|
126
|
9.159
|
3.
|
Damsol
|
16.015
|
557
|
468
|
400
|
17.440
|
4
|
Tinombo
|
10.389
|
767
|
1.105
|
609
|
14.435
|
5
|
Tinombo Selatan
|
8.024
|
753
|
855
|
219
|
9.851
|
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi
Moutong 2007
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk bermata pencaharian
petani (termasuk buruh tani) mendominasi di seluruh kecamatan yang ada di
sekitar areal KPH-P model. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa
ketergantungan sebagian besar masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan
tergolong tinggi.
4.3.2. Keadaan
Penggunaan Lahan
Keadaan
penggunaan lahan pada lima kecamatan di dalam dan di sekitar areal KPH-P model
Dampelas-Tinombo disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10.
Keadaan Penggunaan Lahan di Lima Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No.
|
Jenis Penggunaan
Lahan
|
Luas (Ha)
|
||||
Balaesang
|
Sojol
|
Damsol
|
Tinombo
|
Tinombo Selatan
|
||
1.
|
Permukiman
|
442,95
|
572
|
ND
|
1.327
|
110
|
2.
|
Sarana/prasarana umum
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
3.
|
Sawah irigasi
|
1.662
|
4.322,7
|
3.592,50
|
370
|
1.973,75
|
4.
|
Sawah tadah hujan
|
238,5
|
105
|
ND
|
43
|
135
|
5.
|
Sawah desa
|
120
|
ND
|
268,00
|
54
|
ND
|
6.
|
Hutan Rakyat
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
7.
|
Kebun
|
715,5
|
8.883,87
|
9,465.00
|
6.188,75
|
2.328
|
8.
|
Ladang/Huma
|
ND
|
3.647,96
|
ND
|
1.447
|
348
|
9.
|
Tambak
|
57,25
|
64,5
|
ND
|
26
|
16
|
10
|
Hutan Negara
|
ND
|
66.820,27
|
ND
|
ND
|
ND
|
11
|
Kolam
|
2
|
ND
|
ND
|
2
|
ND
|
12
|
Rawa
|
ND
|
110
|
ND
|
ND
|
ND
|
13
|
Lahan kosong
|
ND
|
872,4
|
ND
|
ND
|
ND
|
14
|
Perkebunan
|
11.812,5
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
15
|
Lainnya
|
41.593
|
2.106
|
ND
|
ND
|
57
|
Jumlah
|
56.643,7
|
87.504,7
|
13,325.50
|
9.457,75
|
4.967,75
|
Sumber: BPS Kabupaten
Donggala dan Parigi Moutong 2007 (ND =
Non Data).
Dari Tabel 10 di atas, secara keseluruhan penggunaan lahan untuk lahan
kebun masih mendominasi, khususnya di kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan, masing-masing
sebesar 65,44% dan 46,86%. Sementara untuk kecamatan Balaesang, penggunaan
lahan untuk sektor perkebunan mendominasi sebesar 20,85%.
BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktur
KPH Dalam Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2004
Dalam
Tujuan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang
efisien dan lestari.
4.1.1 Hirarki
Wilayah Pengelolaan
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk
tingkat :
a.
Provinsi;
Wilayah
pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan wilayah-wilayah
pengelolaan hutan tingkat kabupaten/ kota dan unit-unit pengelolaan hutan
lintas kabupaten/kota dalam provinsi.
b.
Kabupaten/Kota;
c.
Wilayah
pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota terbentuk dari himpunan unit-unit
pengelolaan hutan di wilayah kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah
kabupaten/kota.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota
merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup
kegiatan-kegiatan:
•
perencanaan
kehutanan;
•
pengelolaan
hutan;
•
penelitian
dan pengembangan; pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
•
pengawasan
d.
Unit
pengelolaan.
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan
hutan terkecil pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan
pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.1.2
Wilayah Pengelolaan Tingkat Unit Pengelolaan (KPH)
Unit
Pengelolaan Hutan terdiri dari :
•
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) pada hutan konservasi;
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi
pokoknya dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari Hutan Cagar Alam, Hutan
Suaka Margasatwa, Hutan Taman Nasional, Hutan Taman Wisata Alam, Hutan Taman
Hutan Raya, dan Hutan Taman Buru.
•
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) pada hutan lindung;
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya
merupakan hutan lindung.
•
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) pada hutan
produksi.
Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi
pokoknya merupakan hutan produksi.
4.1.3 Kriteria
Pembentukan Unit Pengelolaan
Unit Pengelolaan Hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh Menteri, yang mempertimbangkan :
1.
karakteristik
lahan;
2.
tipe
hutan;
3.
fungsi
hutan;
4.
kondisi
daerah aliran sungai;
5.
kondisi
sosial, budaya, ekonomi masyarakat;
6.
kelembagaan
masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat;
7.
batas
administrasi pemerintahan;
8.
hamparan
yang secara geografis merupakan satu kesatuan;
9.
batas
alam atau buatan yang bersifat permanen;
10. penguasaan lahan.
Unit
pengelolaan dibentuk sesuai dengan fungsi hutannya, dimana di dalam
pengelolaanya dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
4.1.4 Prosedur
Pembentukan
1)
KPHK
a.
Instansi
Kehutanan Pusat di Daerah yang bertanggungjawab di bidang konservasi
mengusulkan rancang bangun unit pengelolaan hutan konservasi berdasarkan
kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
b.
Berdasarkan
usulan sebagaimana dimaksud butir a, Menteri menetapkan arahan pencadangan unit
pengelolaan hutan konservasi.
c.
Menteri
menetapkan kesatuan pengelolaan hutan konservasi berdasarkan arahan pencadangan
unit pengelolaan hutan konservasi).
2)
KPHP
dan KPHL
Gubernur dengan pertimbangan
Bupati/Walikota menyusun Rancang Bangun Unit Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit
Pengelolaan Hutan Produksi.
a.
Rancang
Bangun Unit Pengelolaan Hutan disusun berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh Menteri.
b.
Rancang
Bangun Unit Pengelolaan Hutan diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri.
c.
Berdasarkan
usulan sebagaimana butir b, Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit
Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
d.
Berdasarkan
arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan butir c, Gubernur membentuk Unit
Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
e.
Pembentukan
Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud butir d, disampaikan kepada Menteri
untuk ditetapkan sebagai Unit Pengelolaan
Hutan.
Dalam hal terdapat hutan konservasi dan atau hutan lindung, dan atau
hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan
hutan berdasarkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan
unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya.
4.1.5
Institusi Pengelola
Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola. Institusi
pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang
meliputi :
a.
perencanaan
pengelolaan;
b.
pengorganisasian
c.
Pelaksanaan
pengelolaan; dan
d.
pengendalian
dan pengawasan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, setiap unit pengelolaan hutan harus
didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan.
4.1.6 Rencana
Pengelolaan Hutan
Penyusunan Rencana pengelolaan hutan yang meliputi
Penyusunan Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Unit Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK), Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
4.2 Struktur
KPH Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007
4.2.1 Pengertian dan Posisi KPH, serta Pelimpahan
Wewenang Pengelolaan
•
Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya
disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
•
Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang
kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan di dalam wilayah yang
dikelolanya.
•
Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH,
yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
•
Pemerintah dapat melimpahkan
penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN bidang kehutanan.
•
Direksi BUMN yang mendapat pelimpahan
membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH.
•
Penyelenggaran
pengelolaan hutan oleh BUMN, tidak termasuk kewenangan Publik.
4.2.2 Wilayah KPH
•
Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi
pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi
pemerintahan.
•
Dapat terdiri lebih dari satu fungsi
pokok hutan, penetapan (nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya
dominan.
•
Menteri menetapkan luas wilayah KPH
dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu
wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem.
4.2.3 Organisasi KPH
–
Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangan, menetapkan organisasi
KPH.
–
Dalam menetapkan organisasi, khusus SDM
harus memperhatikan syarat kompetensi
•
Pemerintah
menetapkan organisasi :
–
KPHK;
atau
–
KPHL
dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
•
Pemerintah
provinsi, menetapkan organisasi:
–
KPHL
dan KPHP lintas kabupaten/kota.
•
Pemerintah
kabupaten/kota menetapkan organisasi:
–
KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota
4.2.4 Tupoksi
•
menyelenggarakan
pengelolaan hutan (5 kegiatan)
–
Melakukan
kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisasi hutan;
pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan
pemetaan.
•
menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikan;
–
menyusun
rencana pengelolaan jangka panjang & pendek
•
melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
–
melaksanakan
penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan hutan, termasuk
melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
–
melaksanakan
pemberdayaan masyarakat
–
bersama
lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
–
memfasilitasi
penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
–
mengusulkan
satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
•
melaksanakan
pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya;
–
tembusan
ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan hutan
–
tembusan
perpanjangan ijin-ijin pemanfaaatan hutan
–
pengesahan
rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan
–
menerima
laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun
•
membuka
peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
4.2.5
Pembangunan
KPH
•
Pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya
bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.
•
Dana
bagi pembangunan KPH bersumber:
-
APBN;
-
APBD;
dan
-
dana
lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.2.6
Pembinaan dan Pengendalian
•
Untuk
tertibnya pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
serta pemanfaatan hutan;
-
Menteri,
berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang
dilaksanakan gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
-
Gubernur,
berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksankan
bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
•
Menteri,
gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap
pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta
pemanfaatan hutan yang dilaksanakan oleh kepala KPH atau pemanfaat hutan,
dan/atau pengolah hasil hutan.
4.2.7 Target
Penetapan Wilayah KPH
Penetapan seluruh wilayah KPH diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun
sejak tanggal diberlakukannya peraturan pemerintah ini.
·
Penetapan KPH oleh Menteri ditindak lanjuti dengan
pembangunan kelembagaan KPH
·
Menteri menetapkan prioritas pembangunan
kelembagaan KPH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan.
4.3 Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Model Dampelas-Tinombo
Suatu kebijakan pemerintah berskala nasional yang dituangkan
dalam PP No. 6 tahun 2007 jo PP No. 03 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan yang telah
diterapkan di Propinsi Sulawesi Tengah, dimana seluruh kawasan hutan di
Sulawesi Tengah perlu dibagi pada wilayah KPH.
Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki salah satu wilayah
KPH model (1 unit wilayah KPH), yakni KPH Model Dampelas-Tinombo (unit V), yang telah
disepakati antara Dinas Provinsi, Dinas Kabupaten/Kota dan BPKH setempat,
berdasarkan kriteria pemilihan KPH model. Arahan pengelolaannya berdasarkan
dominasi fungsi pokoknya adalah Model Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPH-P).
Secara formal
KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V) telah ditetapkan di Bali pada tanggal 14
Desember 2009 oleh menteri dalam negeri.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, KPH-P Model (Unit V)
Dampelas-Tinombo berada di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan
Kabupaten Parigi-Moutong. Wilayah yang masuk di dalam Kabupaten Donggala adalah
Kecamatan Balaesang, Damsol, dan Sojol.
Sedangkan Kabupaten Parigi-Moutong adalah Kecamatan Tinombo dan Tinombo
Selatan.
Tabel 1.
Cakupan Wilayah Administrasi KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
No
|
Kab.
Donggala
|
Luas (Km2)
|
No
|
Kab.
Parigi-Moutong
|
Luas (Km2)
|
1.
2.
3.
|
Kecamatan
Balaesang
Kecamatan
Sojol
Kecamatan
Damsol
|
612,57
872,02
600,70
|
4.
5.
|
Kecamatan Tinombo
Kecamatan Tinomobo Selatan
|
592,79
391,23
|
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah 2008
Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk membentuk organisasi dan
institusi KPH namun tetap mengacu pada arahan dari pemerintah pusat yang
kemudian ditetapkan oleh menti kehutanan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
8 PP 3/2008.
Pada tahun 2009 berdasarkan Pergub Nomor 05/2009,
Pemerintah provinsi melalui dinas kehutanan Provinsi membentuk Institusi
Pengelola KPH dengan Pembangunan Infrastruktur dan menetapkan Struktur
Organisasi KPH Model di Sulawesi
Tengah. Struktur organisasi KPH Model Dampelas tinombo dapat dilihat dalam bagan berikut :
KEPALA
KPH-P
|
Kepala Bagian KPH Tinombo
|
Kepala Bagian KPH Dampelas
|
RPH Sojol & Staf
|
RPH Damsol & staf
|
RPH Balesang
& Staf
|
RPH Tinombo
& Staf
|
RPH Tinombo
Selatan & Staf
|
Kasi Perencanaan
|
Kasi Pengelolaan
|
Kasubag Tata Usaha
|
Staf
|
Staf
|
Staf
|
Gambar 4.
Struktur Organisasi KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V)
Berdasarkan
bagan di atas dapat dilihat dalam strukur tersebut kepala KPH adalah orang yang
bertanggung jawab atas berjalannya KPH
tersebut, tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
•
Kepala
KPH bertangungjawab terhadap pelaksanaan :
–
tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
–
penyelenggaraan
pengelolaan hutan
•
Sebagai
pelaksanaan pengelolaan hutan, Kepala KPH:
–
Menjabarkan
kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk diimplementasikan di
lapangan;
–
Melaksanakan
kegiatan pengelolaan mulai dari perencanaan, pengamanan, pelaksanaan dan
pengawasan serta pengendalian;
–
Pemantauan
dan penilaian atas pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya atau oleh
lembaga independen yang ditunjuk oleh
pejabat yang berwenang.
–
Wajib
membuka peluang investasi
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. KPH adalah merupakan areal/wilayah
yang didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk
memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan
rencana pengelolaan jangka panjang.
2.
Dalam
PP. No 6 th 2007 tentang ”tata hutan dan penyusunan perencanaan pengelolaan
hutan” di sebutkan
a. Pemerintah
dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai
kewenangan, menetapkan organisasi KPH.
b. Dalam
menetapkan organisasi,. khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi
3.
Secara formal KPH-P Model
Dampelas-Tinombo (Unit V) telah ditetapkan di Bali pada tanggal 14 Desember
2009 oleh menteri dalam negeri.
4.Berdasarkan
administrasi pemerintahan, KPH-P Model (Unit V) Dampelas-Tinombo berada di dua
Kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong. Wilayah yang
masuk di dalam Kabupaten Donggala adalah Kecamatan Balaesang, Damsol, dan
Sojol.
Sedangkan
Kabupaten Parigi-Moutong adalah Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan.
5.2 SARAN
Di harapkan KPH Mdel Dampeles-Tinombo bisa cepat menjadi
KPH yang mandiri agar dapat di lakukan Penelitian lebih lanjut dan dapat di
jadikn acuan untuk meningkatkan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???