Selasa, 07 Agustus 2012

latar belakang KPH dampelas tinombo

1.      PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
            Kondisi hutan di Indonesia telah mengalami degradasi dan deforestasi.  diakibatkan antara lain oleh: pembangunan infrastuktur, pembangunan pertanian, perkebunan, dan pemukiman, dll. Selain itu banyak kawasan hutan yang belum ada pengelola dan pemanfaatnya sehingga menjadi wilayah-wilayah open access, sehingga dapat menimbulkan kerawanan dari kejahatan kehutanan, antara lain: illegal logging, perambahan dan sebagainya. 
Kondisi tersebut memerlukan langkah-langkah konkrit di lapangan. Ditjen Planologi Kehutanan sebagai Institusi dari Kementerian Kehutanan mempunyai tanggung jawab untuk menjawab permasalahan tersebut khususnya dari segi pemantapan kawasan hutan, karena pemantapan kawasan hutan merupakan prakondisi kepastian di lapangan dalam rangka Pengelolaan kawasan hutan.
Pemantapan kawasan hutan (sesuai dengan amanat UU No. 41 tahuan 1999 tentang Kehutanan) tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan khususnya di “Perencanaan Kehutanan”.  Sesuai peraturan perundangan, perencanaan kehutanan terdiri atas: Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan.  Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan tersebut salah satu yang terpenting adalah terbentuknya wilayah pengelolaan hutan dan institusi pengelolanya, yang merupakan Organisasi Tingkat Tapak (teritory) dalam wujud Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Untuk menuju pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi tingkat tapak sebagai organisasi teritory (wilayah). Organisasi tingkat tapak yang dimaksud adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang benar-benar menjalankan fungsi menajemen/pengelolaan kawasan hutan pada wilayahnya.  Pembentukan KPH telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan.
Peran Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kehutanan diwujudkan dalam bentuk  Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik. Selain itu KPH  Menjadi salah satu wujud nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi perangkat daerah.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki 21 unit KPH yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sulawsi Tengah, salah satunya yaitu wilayah KPH model Dampelas-Tinombo (unit V), Arahan pengelolaannya adalah Model Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P).  yang selanjutnya ditetapkan oleh menteri Kehutanan melalui SK Mentri No.SK-792/Menhut-II/09  pada tanggal 07 desember 2009.



1.2   Rumusan Masalah
Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan suatu pencapaian hutan lestari berdasarkan tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi.  Pengelolaan yang “benar” akan memberikan dampak yang luas dan berjangka panjang, demikian pula sebaliknya, kesalahan dalam pengelolaan hutan secara biofisik dapat menimbulkan degradasi lahan, bahkan berdampak luas, sosial, ekonomi, dan bahkan politik.
Pembentukan KPH Model Dampelas Tinombo di Propinsi Sulawesi Tengah telah berlangsung sejak tahun 2008 melalui proses pencadangan oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah bersama dengan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong serta Pemerintah Kabupaten Donggala, kemudian ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada Tahun 2009.  Namun sampai saat ini pengelolaanya belum berjalan sesuai yang telah direncanakan seperti Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan KPH-P Model Dampelas-Tinombo, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P, Pengelolaan KWL / DAS di dalam dan di sekitar wilayah KPH-P, dll.  untuk itu perlu adanya pengkajian kendala yang dihadapi oleh KPH Model tersebut.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kendala penerapan dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kendala penerapan  dalam pembangunan KPH Model Dampelas Tinombo.
II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kesatuan Peneglolaan Hutan (KPH)
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secara efisien dan lestari (Baplan, 2006)
Sesuai dengan amanat UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal 17 bahwa:            (1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: a. Provinsi, b. Kabupaten/kota, dan c. unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Dalam penjelasan Pasal 17 ini, wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Wilayah pengelolaan hutan tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS). Inti dari wilayah pengelolaan hutan seperti termaktub dalam Pasal 17 ini adalah membagi habis semua kawasan hutan kedalam unit-unit pengelolaan, sehingga tidak ada bagian hutan yang luput dari tata kelola. (Dishut Sumba, 2007)
Kegiatan pembangunan KPH secara nasional telah dimulai sejak tahun 2006 yang ditandai  dengan Pengembangan Kebijakan Pembangunan KPH yang terdiri dari empat kegiatan; Penyiapan Pedoman Pembangunan KPH,  Formulasi Kebijakan SDM tingkat Nasional, Penyusunan Kurikulum pembekalan/lokalatih bagi personal Pelaksana KPH, dan Formulasi Kebijakan SDM Tingkat Provinsi, (Baplan, 2007).            
2.2  Implementasi Kebijakan Perundang-undangan
Pembangunan  KPH  di  Indonesia  telah  menjadi  komitmen  pemerintah,  dunia usaha dan masyarakat, yang telah dimandatkan melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan, PP No.6Tahun 2007 tentang Tata  Hutan  dan  Penyusunan  Rencana  Pengelolaan  Hutan  serta  Pemanfaatan Hutan, dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang  Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,  Pemerintahan  Daerah  Provinsi,  dan  Pemerintahan  Daerah  Kabupaten/ Kota, PP No.41 Tahun 2007 tentang organisasi Perangkat Daerah dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peratuan Pemerintah No.6Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang semuanya bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari ( Iis Alviya, 2008)
            Perubahan Pembaruan kebijakan pada dasarnya memperbaiki norma, hak, dan batasanbatasan yang diatur. Pembaruan kebijakan tidak akan banyak berarti, apabila secara sosiologis tidak diikuti oleh prosesproses yang memungkinkan dicapainya kesepakatan bersama. Di sinilah tantangan akan muncul, terutama bagi kalangan birokrasi Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang biasanya terlalu kaku dan hanya melihat hitamputihnya suatu peraturan (Hariadi, 2007).
Menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara apa yang  diharapkan (direncanakan) dengan apa yang  senyatanya dicapai dalam implementasi kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung  pada apa yang disebut  Implementation capacity  dari organisasi atau kelompok organisasi atau  aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation capacity tidak lain adalah  kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan  (policy dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai, (Wahab, 1997)
Menyatakan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu program kebijakan.  Edward III (1980)  dalam Helis setiani (2005) juga mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasi kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi dan rincian tujuan komunikasi. (Wahab, 1997)
Selain itu Rhodes (1996) dan Stoker (1998) dalam Wahab, (1999), melihat bahwa dalam mensosialisasikan suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi yang terlibat.
Presman dan Wildavsky (1973) dalam Abdul Wahab (1997) yang juga mengingatkan bahwa proses implementasi kebijakan perlu mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah jika ada yang berasumsi bahwa proses implementasi kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung tanpa hambatan. Selain itu masih dalam Abdul Wahab (1997) Udoji (1991) mengatakan dengan jelas bahwa pelaksanaan suatu kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Setyodarmodjo (2000) menjelaskan bahwa dalam suatu proses kebijakan, proses implementasi merupakan proses yang tidak hanya kompleks (complicated), namun juga hal yang sangat menentukan. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya mencapai tujuan, hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-cara lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor subyektif para pelaksananya (policy actors) maupun dari masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.
2.3  Penerapan KPH
Kebijakan pengelolaan hutan sering mengalami berbagai tantangan  dalam penerapanya. Hal tersebut sering terjadai akibat sulitnya mencari bentuk tata kelola yang dapat mengakomodir kompleksitas fungsi hutan, serta beragam kepentingan didalamnya, dengan tidak mengesampingkan prinsi-prinsip kelestarian (Dishut Sulteng, 2008).
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda), pembangunan dan pengelolaan hutan memulai babak baru dalam aspek pengelolaanya. Dengan lahirnya Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian muncul dengan harapan menjadi dasar pengelolaan hutan sekaligus solusi pengelolaan yang lebih efisian namun tetap lestari, sebagaimana pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat  atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan pada seluruh kawasan hutan  konservasi, lindung dan produksi” (Heru Komarudin, 2008)
  Pengelolaan hutan oleh KPH merupakan usaha untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berdasarkan tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan konservasi. Dalam hal ini seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH yang merupakan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok  dan peruntukannya yang  dapat dikelola  secara efisien dan lestari. Diharapkan  dengan dibentuknya KPH kelestarian hutan dapat tercapai, karena dalam kawasan hutan tersebut telah  memiliki    ”pengelola”    (KPH)    yang   harus   bertanggungjawab   baik  dalam   hal perencanaan pengelolaan hinggaimplementasi dilapangan.  Permasalahan yang menghambat dalam pembangunan KPH yang secara umum ditemui  di  lapangan,  antara  lain  sosial  ekonomi  dan  kelembagaan  baik  menyangkut belum    bersinerginya    antara  pemangku kepentingan,  masalah   pembiayaan      maupun kesiapan  masyarakat  dengan  terbentuknya  KPH.  Banyak  informasi  yang  diperlukan selama proses pengelolaan hutan yang dipergunakan untuk melandasi berbagai analisis yang diperlukan, diantaranya memparkan      identifikasi  faktor-faktor   internal  dan eksternal serta evaluasi bagi implementasi kegiatan KPH dan strategi pembangunan KPH ke depan. Berdasarkan hal tersebut, secara khusus dalam penelitian ini disajikan hasil: (1) identifikasi permasalahan dan faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap    pembangunan       KPH     Banjar,   dan   (2)  kajian   implementasi     dan   strategi pembangunan KPH Banjar (Elvani, 2009.)
2.4  Kendala Penerapan KPH
            Pemerintah  mengeluarkan  kebijakan  pembangunan  Kesatuan  Pengelolaan  Hutan (KPH) untuk mewujudkan kelestarian fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi lingkungan dari hutan dapat berjalan secara efisien dan optimal.        Program pembangunan KPH diawali dengan merumuskan Draft SK atas 7 KPH Model di Indonesia diantaranya adalah KPH Rinjani Barat. Wacana fokus kegiatan pembangunan KPH secara bertahap mulai tahun 2006 - 2009 dengan tahapan:  persiapan pembangunan KPH Model tahun 2006, pembangunan KPH Model tahun 2007, pengembangan KPH tahun 2008, dan validasi dan formalisasi KPH Model menjadi KPH (Baplan,2007).  Namun demikian, hingga saatini proses pembangunan KPH  banyak mengalami hambatan.
        Adapun permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembentukan KPH antara lain adalah: 1) belum dipahaminya dan belum sinerginya Peraturan Perundangan-undangan yang yang terkait dalam pembentukan KPH, 2) Perbedaan kesiapan di masing-masing daerah, 3) Belum disepakatinya bentuk organisasi KPH dan (4) Sumberdaya manusia (Kartodiharjo, 2008).
Selain itu, menurut Suryandari dalam Elvida (2009) menunjukkan bahwa permasalahan utama yang ditemui di lapangan terkait dengan pembangunan KPH antara lain adalah faktor sosial ekonomi dan kelembagaan yang meliputi belum bersinerginya antara stakeholder yang terkait dalam membangun KPH dan rancangan perencanaan yang belum optimal sehingga implementasi pembangunan KPH yang masih rendah. Lebih lanjut  Prahasto dalan Elvida (2009) sebagian besar kawasan KPH yaitu KPH Model telah diokupasi oleh masyarakat sehingga dalam membangun KPH harus melibatkan partisipasi aktif stakeholder lain dan masyarakat untuk menghindari konflik di  masa  yang  akan  datang.  Dalam  membangun  KPH  belum  ada  sinergi  antar  instansi pemerintah di daerah, sehingga pembangunan KPH yang dilakukan selamaini masih terbatas dilakukan oleh dinas kehutanan dan perkebunan.



III.  MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.      Tempat dan waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada instansi yang terkait dengan Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah di antaranya yaitu,  KPH Model Dampelas-Tinombo; Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong; Dinas Perkebunan dan Kehutanan Donggala; BP2HP; serta BPKH Provinsi Sulawesi Tengah, dengan bidang kajian utamanya masalah Kendala Penerapan KPHP di Sulteng. Adapun lokasi penelitian pada kelima Instansi tersebut karena masing-masing instansi memiliki Tupoksi yang berbeda.  Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010. 
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumen kebijakan terkait pembangunan KPH, dan dokumen teknis pembangunan KPH.  Alat yang digunakan adalah kuisioner, kamera sebagai sarana dokumentasi, alat tulis menulis, dan recorder sebagai alat bantu dalam pelaksanaan wawancara.
3.3  Metodologi Penelitian
3.3.1  Jenis dan Sumber Data
Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi sejarah perkembangan rencana pengelolaan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah dan program yang telah dilakukan di lokasi KPH Model, Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum lokasi dan data-data lain yang menunjang penelitian.  Sumber data primer berasal dari  pengumpulan data melalui wawancara, dan  kuisioner. Sedangkan data sekunder berasal dari studi literature yang relevan dengan penelitian.
3.3.2   Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri atas studi literatur dan  wawancara mendalam. Studi literatur digunakan untuk menggambarkan perkembangan Penerapan KPH Model dalam rentang waktu tertentu. Sedangkan wawancara mendalam (Indept interview) digunakan untuk mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah, untuk tahap selanjutnya metode ini digunakan pula untuk mengumpulkan data-data menyangkut peran masing-masing stakeholder secara lebih rinci dan mendalam.  
Pemilihan informan secara purposive sampling yaitu dengan menggunakan informan kunci, yaitu dari pihak Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, untuk menetukan informan selanjutnya dilakukan metode snowball sampling berdasarkan informasi dari informan awal. Setelah ditemukan beberapa dinas yang terkait dengan Pembangunan KPH Model, selanjutnya mencari staf intansi yang selama ini terlibat dalam pembangunan KPH Model dari tiap-tiap dinas.

2 komentar:

  1. halooo.... blognya sangat keren, materinya bagus. salam kenal ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaps,.. sama-sama mas broo,.. thanks dh berikan tanggapannya..

      Hapus

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???