1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kondisi hutan di Indonesia telah mengalami degradasi dan
deforestasi. diakibatkan antara lain
oleh: pembangunan infrastuktur, pembangunan pertanian, perkebunan, dan pemukiman,
dll. Selain itu banyak kawasan hutan yang belum ada pengelola dan pemanfaatnya
sehingga menjadi wilayah-wilayah open
access, sehingga dapat menimbulkan kerawanan dari kejahatan kehutanan,
antara lain: illegal logging,
perambahan dan sebagainya.
Kondisi tersebut memerlukan langkah-langkah konkrit di lapangan.
Ditjen Planologi Kehutanan sebagai Institusi dari Kementerian Kehutanan
mempunyai tanggung jawab untuk menjawab permasalahan tersebut khususnya dari
segi pemantapan kawasan hutan, karena pemantapan kawasan hutan merupakan
prakondisi kepastian di lapangan dalam rangka Pengelolaan kawasan hutan.
Pemantapan kawasan hutan (sesuai dengan amanat UU No. 41 tahuan
1999 tentang Kehutanan) tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan
khususnya di “Perencanaan Kehutanan”.
Sesuai peraturan perundangan, perencanaan kehutanan terdiri atas:
Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan,
pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan. Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan
tersebut salah satu yang terpenting adalah terbentuknya wilayah pengelolaan
hutan dan institusi pengelolanya, yang merupakan Organisasi Tingkat Tapak (teritory) dalam wujud Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).
Untuk menuju pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi
tingkat tapak sebagai organisasi teritory (wilayah). Organisasi tingkat tapak yang
dimaksud adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang benar-benar menjalankan
fungsi menajemen/pengelolaan kawasan hutan pada wilayahnya. Pembentukan KPH telah menjadi amanat
peraturan perundangan bidang kehutanan.
Peran Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam mendukung
penyelenggaraan pembangunan kehutanan diwujudkan dalam bentuk Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan
serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH di
tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman permasalahan
riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan
bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik. Selain itu
KPH Menjadi salah satu wujud nyata
bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP adalah
organisasi perangkat daerah.
Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki 21 unit KPH yang
tersebar di seluruh
kabupaten/kota di Sulawsi
Tengah, salah satunya yaitu wilayah KPH model Dampelas-Tinombo
(unit V), Arahan pengelolaannya adalah Model Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPH-P). yang selanjutnya ditetapkan oleh menteri Kehutanan melalui SK Mentri No.SK-792/Menhut-II/09 pada
tanggal 07
desember 2009.
1.2 Rumusan
Masalah
Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk
mewujudkan suatu pencapaian hutan lestari berdasarkan tata hutan, rencana
pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan
konservasi. Pengelolaan yang “benar”
akan memberikan dampak yang luas dan berjangka panjang, demikian pula
sebaliknya, kesalahan dalam pengelolaan hutan secara biofisik dapat menimbulkan
degradasi lahan, bahkan berdampak luas, sosial, ekonomi, dan bahkan politik.
Pembentukan KPH Model Dampelas Tinombo di
Propinsi Sulawesi Tengah telah berlangsung sejak tahun 2008 melalui proses
pencadangan oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah bersama dengan Pemerintah Kabupaten
Parigi Moutong serta Pemerintah Kabupaten Donggala, kemudian ditetapkan oleh
Menteri Kehutanan pada Tahun 2009. Namun
sampai saat ini pengelolaanya belum berjalan sesuai yang telah direncanakan
seperti Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan
KPH-P Model Dampelas-Tinombo, Pengelolaan
dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P,
Pengelolaan KWL / DAS di dalam dan di sekitar wilayah KPH-P, dll. untuk
itu perlu adanya pengkajian kendala yang dihadapi oleh KPH Model tersebut.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan kendala penerapan dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo.
Sedangkan kegunaan dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kendala penerapan dalam
pembangunan KPH Model Dampelas Tinombo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Kesatuan Peneglolaan Hutan (KPH)
Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan
menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan oleh
suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa
kehutanan yang melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secara efisien dan
lestari (Baplan, 2006)
Sesuai dengan
amanat UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal
17 bahwa: (1)
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: a. Provinsi,
b. Kabupaten/kota, dan c. unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan
hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,
sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Dalam penjelasan Pasal 17 ini,
wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah
provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Wilayah pengelolaan
hutan tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah Kabupaten/Kota
yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan
adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, antara lain
kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi
(KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan
hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan
kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS). Inti dari wilayah
pengelolaan hutan seperti termaktub dalam Pasal 17 ini adalah membagi habis
semua kawasan hutan kedalam unit-unit pengelolaan, sehingga tidak ada bagian
hutan yang luput dari tata kelola. (Dishut Sumba, 2007)
Kegiatan pembangunan KPH secara nasional telah dimulai
sejak tahun 2006 yang ditandai dengan Pengembangan
Kebijakan Pembangunan KPH yang terdiri dari empat kegiatan; Penyiapan Pedoman
Pembangunan KPH, Formulasi Kebijakan SDM
tingkat Nasional, Penyusunan Kurikulum pembekalan/lokalatih bagi personal
Pelaksana KPH, dan Formulasi Kebijakan SDM Tingkat Provinsi,
(Baplan,
2007).
2.2 Implementasi Kebijakan Perundang-undangan
Pembangunan KPH
di Indonesia telah
menjadi komitmen pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat, yang telah dimandatkan melalui UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanan
Kehutanan, PP No.6Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, dan PP
No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/ Kota, PP No.41 Tahun 2007 tentang organisasi Perangkat Daerah
dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peratuan Pemerintah No.6Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan, yang semuanya bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan
yang efisien dan lestari ( Iis Alviya, 2008)
Perubahan Pembaruan kebijakan
pada dasarnya memperbaiki norma, hak, dan batasan‐batasan yang diatur. Pembaruan kebijakan tidak akan
banyak berarti, apabila secara sosiologis tidak diikuti oleh proses‐proses yang memungkinkan dicapainya kesepakatan
bersama. Di sinilah tantangan akan muncul, terutama bagi kalangan birokrasi
Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang biasanya terlalu kaku dan hanya melihat
hitam‐putihnya suatu peraturan (Hariadi, 2007).
Menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara
apa yang diharapkan (direncanakan)
dengan apa yang senyatanya dicapai dalam
implementasi kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung pada apa yang disebut Implementation
capacity dari organisasi atau
kelompok organisasi atau aktor yang
dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation
capacity tidak lain adalah kemampuan
suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy
dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai, (Wahab, 1997)
Menyatakan bahwa harus
ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan
yang terlibat dalam suatu program kebijakan.
Edward III (1980) dalam Helis
setiani (2005) juga mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang
mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi
penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi,
konsistensi dan rincian tujuan komunikasi. (Wahab, 1997)
Selain itu Rhodes (1996) dan Stoker (1998) dalam Wahab, (1999), melihat bahwa dalam mensosialisasikan suatu kebijakan/program
harus ada produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi yang
terlibat.
Presman dan Wildavsky (1973) dalam Abdul Wahab
(1997) yang juga mengingatkan bahwa proses implementasi kebijakan perlu
mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah
jika ada yang berasumsi bahwa proses implementasi kebijakan dengan sendirinya
akan berlangsung tanpa hambatan. Selain itu masih dalam Abdul Wahab (1997)
Udoji (1991) mengatakan dengan jelas bahwa pelaksanaan suatu kebijakan adalah
sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus
yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Setyodarmodjo (2000) menjelaskan bahwa dalam suatu
proses kebijakan, proses implementasi merupakan proses yang tidak hanya
kompleks (complicated), namun juga
hal yang sangat menentukan. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah
dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya mencapai
tujuan, hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-cara
lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor
subyektif para pelaksananya (policy
actors) maupun dari masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung
terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.
2.3 Penerapan
KPH
Kebijakan
pengelolaan hutan sering mengalami berbagai tantangan dalam penerapanya. Hal tersebut sering
terjadai akibat sulitnya mencari bentuk tata kelola yang dapat mengakomodir
kompleksitas fungsi hutan, serta beragam kepentingan didalamnya, dengan tidak
mengesampingkan prinsi-prinsip kelestarian (Dishut Sulteng, 2008).
Sejak
diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda), pembangunan dan
pengelolaan hutan memulai babak baru dalam aspek pengelolaanya.
Dengan lahirnya Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan yang kemudian muncul dengan
harapan menjadi dasar pengelolaan hutan sekaligus solusi pengelolaan yang lebih
efisian namun tetap lestari, sebagaimana pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan pada seluruh
kawasan hutan konservasi, lindung dan produksi” (Heru Komarudin, 2008)
Pengelolaan hutan oleh KPH merupakan usaha
untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berdasarkan tata hutan, rencana
pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan
konservasi. Dalam hal ini seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH yang
merupakan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Diharapkan dengan dibentuknya KPH kelestarian hutan
dapat tercapai, karena dalam kawasan hutan tersebut telah memiliki
”pengelola” (KPH) yang
harus bertanggungjawab baik dalam hal perencanaan pengelolaan
hinggaimplementasi dilapangan.
Permasalahan yang menghambat dalam pembangunan KPH yang secara umum
ditemui di lapangan,
antara lain sosial
ekonomi dan kelembagaan
baik menyangkut belum bersinerginya antara
pemangku kepentingan,
masalah pembiayaan maupun kesiapan masyarakat
dengan terbentuknya KPH.
Banyak informasi yang
diperlukan selama proses pengelolaan hutan yang dipergunakan untuk
melandasi berbagai analisis yang diperlukan, diantaranya memparkan identifikasi faktor-faktor
internal dan eksternal serta evaluasi bagi implementasi
kegiatan KPH dan strategi pembangunan KPH ke depan. Berdasarkan hal tersebut,
secara khusus dalam penelitian ini disajikan hasil: (1) identifikasi permasalahan
dan faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan KPH
Banjar, dan (2)
kajian implementasi dan
strategi pembangunan KPH Banjar (Elvani, 2009.)
2.4 Kendala
Penerapan KPH
Pemerintah
mengeluarkan kebijakan pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mewujudkan kelestarian
fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi lingkungan dari hutan dapat berjalan
secara efisien dan optimal.
Program pembangunan KPH diawali dengan merumuskan Draft SK atas 7 KPH
Model di Indonesia diantaranya adalah KPH Rinjani Barat. Wacana fokus kegiatan
pembangunan KPH secara bertahap mulai tahun 2006 - 2009 dengan tahapan: persiapan pembangunan KPH Model tahun 2006,
pembangunan KPH Model tahun 2007, pengembangan KPH tahun 2008, dan validasi dan
formalisasi KPH Model menjadi KPH (Baplan,2007). Namun demikian, hingga saatini proses pembangunan
KPH banyak mengalami hambatan.
Adapun permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dalam pembentukan KPH antara lain adalah: 1) belum dipahaminya dan
belum sinerginya Peraturan Perundangan-undangan yang yang terkait dalam
pembentukan KPH, 2) Perbedaan kesiapan di masing-masing daerah, 3) Belum
disepakatinya bentuk organisasi KPH dan (4) Sumberdaya manusia (Kartodiharjo,
2008).
Selain itu, menurut Suryandari dalam Elvida (2009) menunjukkan bahwa
permasalahan utama yang ditemui di lapangan terkait dengan pembangunan KPH
antara lain adalah faktor sosial ekonomi dan kelembagaan yang meliputi belum
bersinerginya antara stakeholder yang terkait dalam membangun KPH dan rancangan
perencanaan yang belum optimal sehingga implementasi pembangunan KPH yang masih
rendah. Lebih lanjut Prahasto dalan
Elvida (2009) sebagian besar kawasan KPH yaitu KPH Model telah diokupasi oleh
masyarakat sehingga dalam membangun KPH harus melibatkan partisipasi aktif
stakeholder lain dan masyarakat untuk menghindari konflik di masa
yang akan datang.
Dalam membangun KPH
belum ada sinergi
antar instansi pemerintah di
daerah, sehingga pembangunan KPH yang dilakukan selamaini masih terbatas
dilakukan oleh dinas kehutanan dan perkebunan.
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan waktu
Penelitian ini
akan dilakukan pada instansi yang terkait
dengan Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah di antaranya yaitu, KPH Model
Dampelas-Tinombo; Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah; Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong; Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Donggala; BP2HP; serta BPKH Provinsi Sulawesi Tengah, dengan bidang kajian utamanya masalah Kendala Penerapan KPHP di Sulteng. Adapun lokasi penelitian pada kelima Instansi tersebut karena
masing-masing instansi memiliki Tupoksi yang berbeda. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan
April sampai Juni 2010.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dokumen kebijakan terkait
pembangunan KPH, dan dokumen teknis pembangunan KPH. Alat yang digunakan adalah kuisioner, kamera
sebagai sarana
dokumentasi, alat
tulis menulis, dan recorder sebagai alat bantu dalam pelaksanaan wawancara.
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis
data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi sejarah
perkembangan rencana
pengelolaan
pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah dan program yang telah dilakukan di lokasi KPH Model, Sedangkan data sekunder
meliputi gambaran umum lokasi dan data-data lain yang menunjang penelitian. Sumber data primer berasal dari pengumpulan data melalui wawancara, dan kuisioner. Sedangkan data sekunder berasal
dari studi literature yang relevan dengan penelitian.
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan terdiri atas studi literatur dan wawancara mendalam. Studi literatur digunakan
untuk menggambarkan perkembangan Penerapan KPH
Model dalam rentang waktu tertentu. Sedangkan wawancara mendalam (Indept interview) digunakan untuk
mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH Model di
Sulawesi Tengah, untuk tahap selanjutnya metode ini digunakan pula untuk
mengumpulkan data-data menyangkut peran masing-masing stakeholder secara lebih rinci dan mendalam.
Pemilihan informan secara purposive sampling yaitu dengan
menggunakan informan kunci, yaitu dari pihak Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Tengah, untuk menetukan informan selanjutnya dilakukan metode snowball sampling berdasarkan informasi
dari informan awal. Setelah ditemukan beberapa dinas yang terkait dengan
Pembangunan KPH Model, selanjutnya mencari staf intansi yang selama ini
terlibat dalam pembangunan KPH Model dari tiap-tiap dinas.
halooo.... blognya sangat keren, materinya bagus. salam kenal ya...
BalasHapusyaps,.. sama-sama mas broo,.. thanks dh berikan tanggapannya..
Hapus