I.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Penduduk
di Desa Jono Oge berjumlah 446 kk dengan 1900 jiwa umumnya adalah petani dengan
latar belakang pendidikan relatif rendah, yakni umumnya tamat SD dan SMP,
bahkan diantaranya adalah para remaja yang putus sekolah karena disebabkan oleh
faktor ekonomi kedua orang tuanya.
Meskipun demikian umumnya tergolong sebagai petani produktif karena
berusia relatif muda.
Sebagai petani umumnya
mengusahakan tanaman semusim diantaranya adalah tanaman cabai. Hal ini
ditunjang oleh keadaan geografi dan iklim daerah tersebut yang cocok untuk
pengembangan cabai, yakni daerah dataran rendah dengan tipe iklim kering
dengan sedikit curah hujan.
Berdasarkan data Dinas
Tanaman Pangan Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2008 (BPS Sulteng, 2007),
rata-rata produksi cabai merah di sentra penanaman Kabupaten Sigi baru mencapai
5 ton/ha. Produksi cabai tersebut masih
tergolong rendah bila dibandingkan dengan produksi nasional yakni mencapai 15
ton/ha. (BPS, 2007). Rendahnya produksi
cabai tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kehilangan
hasil yang tinggi karena serangan hama dan penyakit di pertanaman dan
kehilangan hasil karena penanganan pasca panen.
Salah
satu jenis hama yang menyerang cabai di pertanaman adalah lalat buah Bactrocera dorsalis Hend. (Kalshoven,
1981). Hama tersebut merupakan salah
satu hama utama tanaman cabai yang dapat menimbulkan kerugian cukup besar
karena dapat menyebabkan buah menjadi
matang sebelum waktunya, busuk dan akhirnya gugur. Kerusakan akibat serangan
lalat buah dapat mencapai 5–30% (Santika, 1995), bahkan jika terjadi ledakan
populasi dapat mengakibatkan kerusakan total pada cabai (Untung, dkk. 1980; Sarwono, 1998). Tanpa ada usaha pengendalian yang efektif dan
efisien dikhawatirkan produksi cabai akan semakin menurun sehingga kebutuhan
cabai harus diimpor dari negara lain.
Sampai saat ini
pengendalian lalat buah yang dilakukan petani di Desa jono Oge adalah dengan
menggunakan insektisida yang penggunaannya sangat berlebihan, karena kepedulian petani terhadap dosis,
waktu dan cara aplikasi yang tepat masih rendah sehingga menjadi kurang efisien dan dapat menimbulkan
dampak negatif bagi musuh alami hama, lingkungan dan konsumen. Penggunaan
insektisida yang sangat berlebihan juga berdampak pada biaya pengendalian yang
tinggi karena harga insektisida cukup mahal, sehingga pendapatan petani menjadi
berkurang. Dapat dikatakan bahwa teknik dan strategi pengendalian lalat buah
yang dilakukan petani, tidaklah sejalan dengan program nasional pengendalian
hama terpadu
Alternatif pengendalian
lalat buah yang dapat mengurangi dampak negatif akibat penggunaan insektisida
adalah penggunaan bahan pemikat lalat buah Metil Eugenol (ME). Metil eugenol
berfungsi sebagai umpan untuk menarik lalat buah jantan ke dalam perangkap
sehingga lalat buah akan mati karena kelaparan dan kekeringan. Pengendalian dengan cara ini ternyata cukup
efektif untuk menekan populasi lalat buah.
Selain itu buah cabai akan terbebas dari residu bahan beracun sehingga
menjadi aman bagi konsumen. Akan tetapi
karena harga metil eugenol (merek dagang
Petrogenol) di pasaran Kota Palu masih
tergolong mahal yaitu Rp. 7.500 per kemasan 5 ml atau setara dengan Rp.
1.500.000 per liter, menyebabkan penggunaannya masih terbatas dan menyebabkan
usaha tani mengalami biaya ekonomi tinggi.
Untuk memperoleh senyawa
metil eugenol dengan harga terjangkau dapat dilakukan dengan membuat ramuan
dari bahan-bahan alami tumbuhan seperti ekstrak tumbuhan cengkeh, ekstrak
tumbuhan selasih, ekstrak tumbuhan Melaleuca
bracteata (Mb) dan ekstrak tumbuhan viteks. Hasil analisis terhadap kandungan ekstrak
bahan tumbuhan tersebut dilaporkan mengandung senyawa eugenol sehingga dapat
digunakan sebagai atraktan bagi lalat buah.
Khusus tumbuhan viteks (Viteks
negundo L) yang dikenal oleh
masyarakat Palu dengan nama tumbuhan Sidondo
banyak dijumpai tumbuh di dataran Kota Palu dan sampai saat ini belum
dimanfaatkan sehingga dengan memanfaatkan ekstrak tumbuhan viteks tersebut
menjadi bahan pemikat lalat buah akan memberi nilai guna bagi tumbuhan tersebut
dan masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi dalam melaksanakan
pengendalian lalat buah. Dengan demikian diperlukan partisipasi aktif bagi
anggota kelompok tani yang ada di desa tersebut untuk melakukan pengendalian
lalat buah dengan menggunakan sumberdaya lokal yang tersedia agar populasi
lalat buah dapat dikurangi sehingga
hasil cabai dapat ditingkatkan dan pendapatan petani juga turut
meningkat.
1.2 Tujuan dan kegunaan
Praktek Kerja Lapang(PKL)
ini bertujuan untuk mengetahui keefektifitasan daun viteks negundo terhadap seramgan lalat buah di desa jono oge kecematan sigi biromaru.
III.
METODE PRAKTEK
3.1 Tempat dan Waktu
Praktek kerja lapangan (PKL) ini dilaksanakan didaerah
sentra produksi pertanaman cabai
di desa jono oge. Kecamatan sigi biromaru dan laboratorium hama penyakit
tumbuhan. Dan dilakukan selama 2
minggu dari tanggal 15 sampai dengan 29 desember 2011.
3.2 Bahan
dan Alat
Alat yang digunakan yaitu botol
plastik bekas kemasan air mineral 1500
ml, kawat penggantung ,tali,pisau atau
carter,kapas,blender, dan lain-lain.
Bahan yang digunakan yaitu atraktan daun
viteks(viteks negundo L)
3.3 Pembuatan perangkap
Pertama-tama yang dilakukan adalah mengambil botol plastik bekas kemasan
air mineral 1500ml. Sepertiga bagian kepala botol dipotong, kemudian potogan
dimasukkan kebotol dengan mulut botol berada dibagian dalam (tutup botolnya
dibuka). Bagian depan dan belakang botol
diikat dengan kawat agar mudah
digantung. Perangkap dipasang agak
miring agar air tidak tumpah (Kardinan,2007).
3.4 pembuatan ekstrak
1.
daun tumbuhan dicuci dan
dipotong-potong kecil supaya lebih mudah untuk di blender,
2.
daun yang sudah
dipotong-potong kecil kemudian diblender, dan perbandiganya 5kg daun viteks
dengan 1liter air, Masing-masing daun tumbuhan
yang telah diblender di masukkan
ke dalam wadah baskom plastik kemudian dtambahkan / direndam air suling (air aquades) sebanyak 1
liter. Waktu direndaman dilakukan selama
1 x 24 jam, atau 2 x 24 jam.
3.
Selanjutnya dilakukan penyulingan secara
sederhana, yaitu menggunakan botol untuk menampung hasil
sulingan, sedangkan pada bagian mulut botol dipasang kertas saring. Larutan ekstrak yang telah direndam kemudian
dimasukkan ke dalam botol saring melalui mulut botol yang telah dipasang kertas
saring. Hasil saringan tersebut kemudian disimpan untuk dijadikan sebagai bahan
pemikat(Rukmana,2011)
3.5 Cara
mengaplikasikan ketanaman cabai
Cara mengaplikasikan daun
viteks ketanaman cabai yaitu:
Didalam 1 hektar tanaman cabai kita
memasang 25 perangkap tipe steiner ,
perangkap dipasang pada ketinggian 1 m
dari permukaan tanah dengan bantuan tiang atau kayu , jarak perangkap
dalam satu plot 20cm ,luas masing-masing plot 3 x 1,40cm.setelah itu kita
memgambil kapas yang berukuran kecil ,kemudian dicelup kedalam atraktan daun
viteks yang sudah siap untuk di aplikasikan ketanaman.setelah itu kita masukkan
kapas kedalam perangkap yang sudah tersedia, setelah semua terpasang kita
tinggal menunggu lalat buah datang dan terperangkap kedalam perangkap yang
sudah tersedia.kerena atraktan daun viteks ini mengandung bahan aktif metil
eugenol yang mampu menarik datangya lalat buah.
(Retno Astuti, 2007)
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari hasil praktikum tentang pengendalian
lalat buah Batrocera dorsalis Hend dengan pengunaan atraktan alami tumbuhan
viteks (Viteks negundo.L) maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Gambar 1. Tehnik Pembuatan Ekstrak Bahan
Pemikat Lalat Buah
Gambar 2. Botol
Bekas Air Mineral yang Akan Dijadikan Alat Trap Lalat Buah
v
Gambar 3. Model perangkap tipe steiner trap yang
dimodifikasi yang terbuat dari botol bekas minuman air mineral
Gambar 4. Perangkap yang sudah terpasang dipertanaman
cabai.
Gambar 5. Lalat Buah Yang Datang Pada Saat Pemasangan Perangkap Dilahan Pertanaman
Cabai milik Petani.
Gambar 6. Lalat Buah Yang Terperangkap dan Mati di Dalam Perangkap
4.2 Pembahasan
Pada gambar 1 hasil yang didapatkan yaitu proses
pembuatan ekstrak bahan pemikat lalat buah,daun viteks (Viteks
negundo L.) . Dimana langkah
pertama yaitu memotong daun sidondo
hingga berbentu kecil, sehinggah
memudahkan untuk diblender. Setelah
dipotong-potong kemudian dimasukkan kedalam blender yang perbandinganya 5kg
daun viteks dengan 1liter air .
Setelah
itu masing-masing daun tumbuhan yang telah diblender dimasukkan kedalam wadah
baskom plastik kemudian ditambahkan/direndam air suling (air aquades) sebanyak 1liter. Waktu rendaman 1x24 jam.atau 2x24 jam. Selanjutnya dilakukan penyulingan secara sederhana, yaitu
menggunakan botol untuk menampung hasil sulingan, sedangkan pada bagian
mulut botol dipasang kertas saring.
Larutan ekstrak yang telah direndam kemudian dimasukkan ke dalam botol
saring melalui mulut botol yang telah dipasang kertas saring. Hasil saringan
tersebut kemudian disimpan untuk dijadikan sebagai bahan pemikat. Setelah itu bisa digunakan
sebagai pengendalianLalat buah Batrocera dorsalis Hend pada pertanaman cabai.
Salah satu hama yang menyerang buah cabai di pertanaman adalah lalat buah (Bactrocera sp.). Hama tersebut bersifat polifag dan menyerang berbagai jenis buah-buahan diantaranya mangga, pisang, pepaya, jambu biji, alpukat, jeruk, markisa, dan lain-lain (Vargas dan Chang, 1991; Rukmana dan Saputra, 1997).
Pada gambar 2 dan 3 merupakan contoh botol bekas yang akan
dijadikan perangkap lalat buah yang
sudah diwarnai merah,putih. dan kuning.kenapa memilih 3 warna ini kerna
Warna ini sangat disukai lalat buah .adapun
cara pembuatanya yaitu : Alat perangkap berupa
botol plastik air mineral volume 1 liter dimodifikasi dengan cara memotong
bagian leher botol sepanjang 10 cm dari
mulut botol, kemudian dibalik dan dimasukkan ke dalam potongan badan botol
sehingga mulut botol berbentuk corong. Perangkap
digantungkan pada permukaan tajuk tanaman cabai dengan posisi horizontal.
Gambar 4 yaitu perangkap yang sudah
terpasang dipertanaman cabai. kerena
Kebutuhan cabai terus meningkat
setiap tahun sejalan dengan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku
cabai. Meskipun kebutuhan terhadap cabai
meningkat, tetapi produksi cabai di Indonesia masih rendah. Dan para petani
masih sering mengunakan pestisida tampa memikirkan dampak yang terjadi(Santika,
2002).
Gambar 5 dan 6 merupakan gambar lalat
buah. Dimana digambar 5 lalat buah yang
datang pada saat pemasangan perangkap dilahan pertanaman cabai milik
petani. Sedangkan gambar 6 merupakan
lalat buah yang terperangkap dan mati didalam perangkap.
Serangan lalat buah dapat menyebabkan buah menjadi matang sebelum waktunya, busuk dan akhirnya gugur. Pada jambu biji yang berwarna kekuningan serangan lalat buah dapat mencapai 95% (Stark et al., 1991), sedangkan pada cabai dapat mencapai 5–30% (Santika, 1995), bahkan jika terjadi ledakan populasi dapat mengakibatkan kerusakan total pada cabai (Sarwono, 1998). Tanpa ada usaha pengendalian lalat buah yang efektif dan efisien dikhawatirkan produksi cabai akan semakin menurun sehingga kebutuhan cabai harus diimpor dari luar negeri.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 kesimpulan
Dari hasil diatas, maka dapat
diperoleh suatu kesimpulan sebagai berikut :
1.Tumbuhan viteks (Viteks negundo L). Merupakan atraktan alami tumbuhan yang mampu
mengendalikan lalat buah Batrocera dorsalis Hend , dihamparan pertanaman cabai di desa jono
oge,kecematan sigi biromaru.
2. Pestisida botani merupakan
pestisida yang berasal dari tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai pengendalian hama maupun penyakit
ramah lingkungan.
3. Pemberian ekstrak tumbuhan vitex
dapat menekan populasi lalat buah yang ada pada tanaman cabai sehingga jumlah
produksi cabai lebih meningkat.
4. Daun viteks negundo efektif mengendalikan
serangan lalat buah Batrocera dorsalis
Hend.
5.2 Saran
Ekstrak atau atraktan alami tumbuhan
Viteks dapat digunakan sebagai salah satu bentuk pengendalian lalat buah yang
efektif dan murah ,serta dapat dipadukan
dengan cara pengendalian yang lain yang mengacu pada konsep pengendalian hama
terpadu (PHT),
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Atraktan Serangga
Tertariknya serangga terhadap makanan, tempat bertelur dan berkopulasi merupakan bagian yang menarik dan telah digunakan sebagai atraktan untuk pengendalian serangga. Atraktan serangga terdiri dari dua pendekatan yaitu Phytomone dan Pheromone. Phytomone adalah suatu zat kimia yang menstimuli serangga untuk datang pada sumber makanan. Sifat demikian dipakai sebagai dasar untuk mensintesis phytomone atau atraktan makanan (food attractant) yang digunakan sebagai umpan dalam rangka mengendalikan hama. Sedangkan Pheromone adalah suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh serangga betina atau suatu zat kimia yang disekresi binatang untuk merangsang beberapa bentuk tanggap fisiologi atau perilaku dari anggota suatu spesies (Blum, 1996). Zat kimia tersebut termasuk atraktan seks, selain itu serangga dapat pula mengeluarkan zat kimia lain yang dapat mempengaruhi tingkah laku dari individu yang termasuk dalam satu spesies (Baehaki, 1993).
Dalam
konsep pengendalian hama terpadu penggunaan senyawa atraktan berupa sex
feromon merupakan salah satu komponen
pengendalian yang mulai mendapatkan perhatian terutama untuk pengendalian hama
lalat buah yang menyerang komoditi buah-buahan karena penggunaan insektisida
selain tidak efektif juga adanya residu pada buah yang dapat membahayakan
konsumen (Untung, 1996). Senyawa yang
berperan sebagai atraktan bagi lalat buah telah dikenal antara lain metil
eugenol. Metil eugenol banyak diisolasi
dari tanaman cengkeh Syzigium aromaticum
(L) Merr ) karena struktur kimia senyawa tersebut menyerupai hormon seksual yang dikeluarkan
oleh lalat buah (Matsumoto, 1985).
Selain tanaman cengkeh beberapa tumbuhan juga telah digunakan untuk dijadikan
sebagai atraktan lalat buah antara lain tumbuhan Melaleuca bracteata (Nurjannah et. al., 1993; Wikardi et. al.,
1993), dan tumbuhan Vitex
negundo (Kasrudin, 2004).
Hasil
uji pemanfaatan ekstrak tumbuhan vitex sebagai bahan pemikat lalat buah
memperlihatkan bahwa pada tanaman nangka jumlah lalat buah yang terperangkap pada
alat perangkap sebesar 184 ekor dan pada tanaman jambu air sebesar 263 ekor
selama sebulan (Kasrudin, 2004).
2. 2 Bioekologi Hama Lalat Buah (Bactrocera spp)
Dalam
taksonomi binatang lalat buah (Bactrocera sp.) termasuk dalam:
Phylum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo
Diptera, Famili Tephritidae dan Genus Bactrocera (Borror dkk., 1992). Lalat buah
bersifat polifag yakni mempunyai banyak tanaman inang diantaranya mangga,
pisang, pepaya, jambu biji, alpukat, jeruk, markisa, dan lain-lain (Vargas dan
Chang, 1991; Rukmana dan Saputra, 1997).
Panjang
tubuh lalat buah berkisar 6 mm – 8 mm ; abdomen cokelat tua dengan bercak
kuning atau putih. Telur diletakkan
dengan ovipositor di dalam kulit buah
sedalam 6 mm. Bila temperatur berkisar antara 25°C -
30°C, maka 30 – 36 jam kemudian telur akan
menetas, dan larvanya langsung makan daging buah selama ± 1
minggu. Setelah itu, larva keluar dari
buah dan masuk ke dalam tanah sedalam ± 1
– 5 cm, lalu membuat puparium. Sepuluh
hari kemudian, lalat akan keluar dan pada umur ± 5
– 7 hari, lalat sudah dapat bertelur.
Larva berwarna putih kekuningan dan mempunyai kebiasaan melenting sampai
sejauh ± 30 cm.
Perkembangan dari telur sampai
imago berlangsung ± 25
hari, namun di daerah beriklim
dingin daur hidupnya relatif menjadi lama (Rukmana dan
Saputra, 1997).
Buah
yang terserang pada bagian permukaannya dapat dijumpai adanya bercak
hitam. Bercak tersebut merupakan bekas
infeksi yang disebabkan oleh lalat buah pada saat meletakkan telurnya. Pada saat telur menetas larva langsung
merusak buah dari bagian dalam. Buah
yang terserang menjadi busuk, daging buah hancur dan hanya tertinggal bagian
kulit luarnya. Bagian buah yang busuk
mengeluarkan cairan sehingga dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan
jamur atau pun bekteri tertentu (BPTP, 1997).
Kalie (1992) mengemukakan bahwa pada saat telur akan diletakkan
maka bakteri pun ikut masuk ke dalam
buah, sehingga menimbulkan kontaminasi
yang menyebabkan daging buah menjadi busuk dan berulat. Pada buah yang masak lunak, bintik bekas
tusukan alat peletak telur akan menjadi lebih gelap, dan akhirnya menjadi busuk
basah. Buah-buah busuk kemudian akan berguguran sehingga larva menjadi lebih
aman memasuki fase berkepompong di dalam tanah.
Bila buah yang terserang tetap menggantung pada pohon, larva akan keluar
dari buah, dengan menjatuhkan diri melalui bantuan benang sutra yang
dikeluarkannya, untuk kemudian berkepompong di dalam tanah.
2.3
Deskripsi tanaman Cabai (capsicum annum
L).
Tanaman
cabai merupakan salah satu komoditas sayuran,buahnya sebagai bahan penyedap
rasa dan sebagai pelengkap berbagai menu masakan khas indonesia. Kebutuhan cabai semakin meningkat sejalan
dengan semakin bervariasinya menu
makanan. Selain itu cabai juga penting
sebagai komoditi ekspor non migas yang dapat meningkatkan devisa negara
(Wahyudi
dan Topan,2011).
Tanaman
cabai dalam sismatika tumbuhan termasuk
kingdom:Plantae(Tumbuhan ),
Subkingdom:
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh),
Super devisi:
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga),
Kelas: Magnoliospsida (Berkeping dua/dikotil),
Sub
kelas: Asteridae,
Ordo: Solanales,
Family: Solanaceae (Suku terung-terungan),
Genus: Capsicum annum L. (Purwono dan Tim Lentera,2004).
Cabai
atau lombok termasuk dalam sukubterong-terongan dan merupakan tanaman yang
mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan
vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin,yang menyebabkan rasa pedas
dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (Bumbu
dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah
sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tampa harus membelinya di
pasar. Tanaman cabai cocok ditaanam pada
tanah yang kaya humus, Gembur dan sarang serta tidak
tergenanang air, Ph tanah yang ideal
berkisar sekitar 5-6 . Waktu tanam yang
baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Santika,2002).
2.4 3 Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah pestisida yang
bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk
tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil
pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan
dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida (Anonim, 2011).
Pestisida dari bahan nabati sebenarnya
bukan hal yang baru tetapi sudah lama digunakan, bahkan sama tuanya dengan
pertanian itu sendiri. Sejak pertanian masih dilakukan secara tradisional,
petani di seluruh belahan dunia telah terbiasa memakai bahan yang tersedia di
alam untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Pada tahun 40-an sebagian
petani di Indonesia sudah menggunakan bahan nabati sebagai pestisida,
diantaranya menggunakan daun sirsak untuk mengendalikan (Anonim, 2011).
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau
majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan (PPT). Pestisida nabati ini dapat berfungsi
sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk
lainnya (Kusumah, 2011).
Secara umum pestisida nabati diartikan
sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif
mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karen terbuat
dari bahan alami / nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai
(bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman
bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran
lingkungan dan keinginan untuk hidup selaras dengan alam serta berkembangnya
konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pestisida nabati kembali memperoleh
perhatian dari paara pakar dan praktisi termasuk di indonesia setelah beberapa
dekade teknik pengendalian hama tersebut nyaris dilupakan (Kusumah, 2011).
Alam sebenarnya telah menyediakan
bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi serangan hama dan
penyakit tanaman. Memang ada kelebihan dan kekurangannya. Kira-kira ini
kelebihan dan kekurangan pestisida nabati. Banyak jenis tanaman yang telah diteliti
indikasi sifat insektisidal, fungisidal dan sifat-sifat pengendalian hama
lainnya, seperti kunyit, jahe,
kecubung, temu hitam, laos,
gadung, biji bengkuang
dan sirih (Kusumah, 2011).
2.4 Keunggulan dan
Kelemahan Pestisida Nabati
Dilihat dari konsep dan prinsip PHT
pestisida nabati mempunyai banyak keuntungan/keunggulan tetapi juga masih
banyak kelemahannya yang secara rinci diuraikan berikut ini:
Keunggulan
Menurut Stoll (1995) dibandingkan dengan pestisida
sintetik pestisida nabati mempunyai sifat yang lebih menguntungkan yaitu:
Ø Mengurangi resiko hama mengembangkan sifat
resistensi,
Ø Tidak mempunyai dampak yang merugikan bagi musuh
alami hama,
Ø Mengurangi resiko terjadinya letusan hama kedua,
Ø Mengurangi bahaya
bagi kesehatan manusia dan ternak,
Ø Tidak merusak lingkungan dan persediaan air tanah
dan air permukaan,
Ø Mengurangi ketergantungan petani terhadap agrokimia
dan
Ø Biaya dapat lebih murah.
Bahan nabati mempunyai sifat yang
menguntungkan karena daya racun rendah, tidak mendorong resistensi, mudah
terdegradasi, kisaran organisme sasaran sempit, lebih akrab lingkungan serta
lebih sesuai dengan kebutuhan keberlangsungan usaha tani skala kecil. Oka
(1993) juga mengemukakan bahwa pestisida nabati tidak mencemari lingkungan,
lebih bersifat spesifik, residu lebih pendek dan kemungkinan berkembangnya
resistensi lebih kecil.
Kelemahan
Menurut Martono (1997) kelemahan pestisida nabati
yang perlu kita ketahui antara lain:
Ø Karena bahan nabati kurang stabil mudah terdegradasi
oleh pengaruh fisik, kimia maupun biotik dari lingkungannya, maka penggunaannya
memerlukan frekuensi penggunaan yang lebih banyak dibandingkan pestisida
kimiawi sintetik sehingga mengurangi aspek kepraktisannya
Ø Kebanyakan senyawa organik nabati tidak polar
sehingga sukar larut di air karena itu diperlukan bahan pengemulsi
Ø Bahan nabati alami juga terkandung dalam kadar
rendah, sehingga untuk mencapai efektivitas yang memadai diperlukan jumlah
bahan tumbuhan yang banyak.
Ø Bahan nabati hanya sesuai bila digunakan pada
tingkat usaha tani subsisten bukan pada usaha pengadaaan produk pertanian
massal
Ø Apabila bahan bioaktif terdapat di bunga, biji, buah
atau bagian tanaman yang muncul secara musiman, mengakibatkan kepastian ketersediaannya
yang akan menjadi kendala pengembangannya lebih lanjut
Ø Kesulitan menentukan dosis, kandungan kadar bahan
aktif di bahan nabati yang diperlukan untuk pelaksanaan pengendalian di
lapangan, sehingga hasilnya sulir diperhitungkan sebelumnya
Fungsi dari Pestisida Nabati Pestisida Nabati memiliki beberapa fungsi,
antara lain:
ü Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal:
dengan bau yang menyengat
ü Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang
telah disemprot. Rasanya ngak enak kali.
ü Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
ü Menghambat
reproduksi serangga betina
ü Racun syaraf
ü Mengacaukan sistem hormone di dalam tubuh serangga
ü Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat
dipakai pada perangkap serangga.
ü Mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri
Agen Judi Online
BalasHapusDaftar Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Moratti Dukung Inter Milan Rebut Scudetto
Inter Milan Tekuk AC Milan, Montella Tetap Bangga
3 Hattrick Heroik Icardi di Inter Milan
Foto Ayu Ting Ting Bareng Raffi Ahmad Jadi Perdebatan
Pelat Nomor Mobil Sama, Farhat Abbas Somasi Raffi Ahmad