Mimpi
mereka hanya satu, melihat bunga Rafflesia arnoldii tumbuh aman dan
terjaga. Empat laki-laki bersaudara kandung itu tidak ingin anak cucu
mereka atau dunia luar kelak hanya mengenal bunga eksotis itu dari foto
atau gambar saja. Mereka ingin masyarakat tetap dapat datang ke habitat
bunga raksasa itu di hutan-hutan Provinsi Bengkulu dan menikmati
keelokannya.
Niat tulus itulah yang mendorong empat bersaudara kandung: Holidin (42), Zul Zum Dihamzah (40), Burmansyah (37), dan Jumadi (28) membentuk kelompok pelestari bunga langka Rafflesia arnoldii pada 2006. Kelompok itu mereka namakan Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Rafflesia arnoldii.
Sebelum membentuk TPPL, empat bersaudara dari tujuh bersaudara asal Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, itu sudah mengenal cukup lama bunga raflesia. Mereka pertama kali berjumpa dan melihat keindahan Rafflesia arnoldii pada 1985.
”Saat itu Jumadi masih empat tahun dan saya duduk di sekolah dasar,” ujar Burmansyah.
Burmansyah mengungkapkan, betapa mereka waktu itu sangat tertarik akan keberadaan bunga raksasa tersebut. Alhasil, mereka menjadi sering keluar masuk hutan, sekadar untuk mengetahui bentuk yang sesungguhnya dari tunas menjadi besar siap mekar. Kebetulan, desa tempat mereka tinggal terletak berdampingan dengan hutan lindung Rindu Hati dan Bukit Daun yang merupakan salah satu habitat raflesia.
Pada tahun 1993, saat mereka menginjak usia remaja, sama seperti masyarakat Kepahiang lainnya yang mengetahui ada bunga raksasa itu sedang mekar, mereka akan memasang tanda plang bertuliskan ”Ada Rafflesia Mekar”.
Papan pengumuman dipasang di pinggir jalan. Pengendara yang lewat atau wisatawan alam yang tengah melintas jalan penghubung Kepahiang-Kota Bengkulu pasti akan tertarik dan berhenti.
”Sudah pasti mereka akan berhenti dan meminta kami menunjukkan bunga yang tengah mekar itu,” ujar Burmansyah.
Keinginan kuat melestarikan dan menjaga raflesia muncul tahun 1998. Pada tahun itu mereka menemukan bunga bangkai Amorphophallus titanum yang tersisa di antara lahan kritis di hutan lindung dekat rumah mereka.
Mereka menyelamatkan umbi Amorphophallus dan membawanya ke rumah di Desa Tebat Monok. Umbi seberat 65 kilogram mereka pecah-pecah dan tanam lagi sehingga menjadi tanaman baru.
Dari penyelamatan itu sampai sekarang, mereka sudah menanam empat dari 11 spesies Amorphophallus yang tumbuh endemik di Sumatera. Awal penyelamatan Amorphophallus itu akhirnya mendorong mereka untuk sekaligus menyelamatkan bunga Rafflesia arnoldii. Apalagi, bunga itu sudah ditetapkan sebagai bunga langka melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993.
Penjagaan bunga
Zul menuturkan, tahun 1998-2000 mereka kembali masuk dan keluar hutan lindung. Mereka mencari titik-titik tumbuh raflesia, membuat barak pangkalan penjagaan sekaligus mempelajari secara otodidak proses pembungaannya.
”Tahun itu, bahkan, sampai sekarang, ada saja orang jahil dan merusak raflesia,” ujar Zul.
Zul menceritakan, pada 1998, tepatnya saat malam takbiran, ia baru dua jam meninggalkan raflesia yang tengah mekar. Saat kembali ke pangkalan yang ia bangun dekat bunga yang mekar, ia mendapati bunga berdiameter 85 sentimeter itu sudah hilang.
Selain itu, mereka juga sering mendapati masyarakat yang jahil mencungkil bunga, mencacah-cacah kelopak bunga, bahkan memotong akar bunga hingga mati. ”Saya sangat kesal waktu itu,” ujar Zul.
Namun, seiring niat tulus mereka, kegiatan mencari titik tumbuh, menjaga tunas hingga mekar, serta mempelajari Rafflesia arnoldii tetap mereka lakukan. Sebagai pelestari mandiri dan tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari mana pun, kegiatan menjaga raflesia mereka lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun atau ladang mereka.
Empat saudara itu juga masih mau membagi kebahagiaan melihat dan mengamati raflesia meski hanya sesaat. Setiap kali ada bunga mekar, mereka pasti menginformasikan hal tersebut.
Ribuan wisatawan mancanegara dan domestik, yang datang berkunjung ke Tebat Monok, pasti meminta dipandu oleh empat saudara itu untuk melihat raflesia di dalam hutan. Sampai hari ini, ada 21 titik tumbuh raflesia yang mereka jaga.
”Kalau lokasi tempat 21 titik tumbuh itu dipastikan aman, medannya sulit dan jauh dari jalan,” ujar Zul.
Zul mengungkapkan, dengan melihat langsung Rafflesia arnoldii, selain menumbuhkan kepedulian, juga sekaligus meluruskan pemahaman masyarakat. Selama ini masyarakat memahami raflesia sebagai bunga bangkai dan itu salah. Bunga bangkai adalah Amorphophallus titanum.
Niat tulus itulah yang mendorong empat bersaudara kandung: Holidin (42), Zul Zum Dihamzah (40), Burmansyah (37), dan Jumadi (28) membentuk kelompok pelestari bunga langka Rafflesia arnoldii pada 2006. Kelompok itu mereka namakan Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Rafflesia arnoldii.
Sebelum membentuk TPPL, empat bersaudara dari tujuh bersaudara asal Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, itu sudah mengenal cukup lama bunga raflesia. Mereka pertama kali berjumpa dan melihat keindahan Rafflesia arnoldii pada 1985.
”Saat itu Jumadi masih empat tahun dan saya duduk di sekolah dasar,” ujar Burmansyah.
Burmansyah mengungkapkan, betapa mereka waktu itu sangat tertarik akan keberadaan bunga raksasa tersebut. Alhasil, mereka menjadi sering keluar masuk hutan, sekadar untuk mengetahui bentuk yang sesungguhnya dari tunas menjadi besar siap mekar. Kebetulan, desa tempat mereka tinggal terletak berdampingan dengan hutan lindung Rindu Hati dan Bukit Daun yang merupakan salah satu habitat raflesia.
Pada tahun 1993, saat mereka menginjak usia remaja, sama seperti masyarakat Kepahiang lainnya yang mengetahui ada bunga raksasa itu sedang mekar, mereka akan memasang tanda plang bertuliskan ”Ada Rafflesia Mekar”.
Papan pengumuman dipasang di pinggir jalan. Pengendara yang lewat atau wisatawan alam yang tengah melintas jalan penghubung Kepahiang-Kota Bengkulu pasti akan tertarik dan berhenti.
”Sudah pasti mereka akan berhenti dan meminta kami menunjukkan bunga yang tengah mekar itu,” ujar Burmansyah.
Keinginan kuat melestarikan dan menjaga raflesia muncul tahun 1998. Pada tahun itu mereka menemukan bunga bangkai Amorphophallus titanum yang tersisa di antara lahan kritis di hutan lindung dekat rumah mereka.
Mereka menyelamatkan umbi Amorphophallus dan membawanya ke rumah di Desa Tebat Monok. Umbi seberat 65 kilogram mereka pecah-pecah dan tanam lagi sehingga menjadi tanaman baru.
Dari penyelamatan itu sampai sekarang, mereka sudah menanam empat dari 11 spesies Amorphophallus yang tumbuh endemik di Sumatera. Awal penyelamatan Amorphophallus itu akhirnya mendorong mereka untuk sekaligus menyelamatkan bunga Rafflesia arnoldii. Apalagi, bunga itu sudah ditetapkan sebagai bunga langka melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993.
Penjagaan bunga
Zul menuturkan, tahun 1998-2000 mereka kembali masuk dan keluar hutan lindung. Mereka mencari titik-titik tumbuh raflesia, membuat barak pangkalan penjagaan sekaligus mempelajari secara otodidak proses pembungaannya.
”Tahun itu, bahkan, sampai sekarang, ada saja orang jahil dan merusak raflesia,” ujar Zul.
Zul menceritakan, pada 1998, tepatnya saat malam takbiran, ia baru dua jam meninggalkan raflesia yang tengah mekar. Saat kembali ke pangkalan yang ia bangun dekat bunga yang mekar, ia mendapati bunga berdiameter 85 sentimeter itu sudah hilang.
Selain itu, mereka juga sering mendapati masyarakat yang jahil mencungkil bunga, mencacah-cacah kelopak bunga, bahkan memotong akar bunga hingga mati. ”Saya sangat kesal waktu itu,” ujar Zul.
Namun, seiring niat tulus mereka, kegiatan mencari titik tumbuh, menjaga tunas hingga mekar, serta mempelajari Rafflesia arnoldii tetap mereka lakukan. Sebagai pelestari mandiri dan tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari mana pun, kegiatan menjaga raflesia mereka lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun atau ladang mereka.
Empat saudara itu juga masih mau membagi kebahagiaan melihat dan mengamati raflesia meski hanya sesaat. Setiap kali ada bunga mekar, mereka pasti menginformasikan hal tersebut.
Ribuan wisatawan mancanegara dan domestik, yang datang berkunjung ke Tebat Monok, pasti meminta dipandu oleh empat saudara itu untuk melihat raflesia di dalam hutan. Sampai hari ini, ada 21 titik tumbuh raflesia yang mereka jaga.
”Kalau lokasi tempat 21 titik tumbuh itu dipastikan aman, medannya sulit dan jauh dari jalan,” ujar Zul.
Zul mengungkapkan, dengan melihat langsung Rafflesia arnoldii, selain menumbuhkan kepedulian, juga sekaligus meluruskan pemahaman masyarakat. Selama ini masyarakat memahami raflesia sebagai bunga bangkai dan itu salah. Bunga bangkai adalah Amorphophallus titanum.
Uji coba
Pada tahun 2003 empat bersaudara itu memindahkan area pelestarian Amorphophallus ke lahan kebun di tepi jalan lintas Kota Bengkulu-Kepahiang, Desa Tebat Monok, Kepahiang. Lahan itu di belakang rumah Zul itu itu diperoleh dari kedua orangtua mereka, Syamsudin (70) dan Sihawati (65), sebagai bentuk dukungan atas kegiatan anak-anaknya. Dengan adanya lahan itu, mereka juga bermimpi bisa menumbuhkan raflesia.
Jumadi menuturkan, tahun 2006, saat memutuskan membentuk kelompok pelestari bernama TPPL, mereka sudah mempelajari raflesia tumbuh di batang atau liana yang rebah di tanah dan berakar, bukan dari spora. Batang tersebut juga tumbuh dekat dengan sumber air atau di tanah yang mengandung air.
”Begitu lamanya waktu yang dibutuhkan satu bunga raflesia untuk mekar beberapa hari,” ujar Jumadi.
Ketika TPPL terbentuk dan yakin dengan pengamatan mereka selama ini, empat bersaudara itu berusaha menumbuhkan liana batang raflesia itu, di kebun di belakang rumah Zul. Mereka membuat setek dari batang itu dan menanamnya di kantong plastik (polybag). Beberapa setek kini sudah tumbuh.
Sayangnya, upaya pelestarian itu belum mendapat respons dari Pemkab Kepahiang atau Pemprov Bengkulu. Namun, tindakan pelestarian TPPL sudah mendapatkan respons dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA menilai positif tindakan itu dan mendukung mereka. Sementara Pemkab Kepahiang masih sebatas mengusulkan TPPL sebagai penerima Kalpataru 2010.
Mereka tidak terlalu berharap pada bantuan. Empat kakak-beradik itu tetap berpegang teguh pada niat tulus, melestarikan Rafflesia arnoldii yang sekarang nyaris punah.
BIODATA
• Nama: Holidin • Lahir: Bengkulu Selatan, 14 Mei 1967
• Nama : Zul Zum Dihamzah • Lahir: Bengkulu Selatan, 13 Mei 1970
• Nama: Burmansyah • Lahir: Bengkulu Selatan, 7 Agustus 1973
• Nama: Jumadi • Lahir: Kepahiang, 24 April 1981
• Pendidikan: Semua lulus SMA Kepahiang
• Pekerjaan: Petani kopi dan pelestari bunga Rafflesia arnoldii
Sumber :
Kompas
Helena F Nababan dan Agus Mulyadi
Kredit Foto :
Kompas
Agen Judi Online
BalasHapusDaftar Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Moratti Dukung Inter Milan Rebut Scudetto
Inter Milan Tekuk AC Milan, Montella Tetap Bangga
3 Hattrick Heroik Icardi di Inter Milan
Foto Ayu Ting Ting Bareng Raffi Ahmad Jadi Perdebatan
Pelat Nomor Mobil Sama, Farhat Abbas Somasi Raffi Ahmad