Sabtu, 24 Agustus 2013

Cara Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan

[FORESTER UNTAD BLOG].. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan merupakan salah satu wujud pelaksanaan konstitusi negara. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan secara bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai kelompok kepentingan baik rimbawan, petani, peternak, peramu hasil hutan, masyarakat hukum adat maupun kepentingan lainnya. Akses dan hak pemanfaatan atas berbagai kategori hutan harus diatur sebaik-baiknya bagi semua kelompok
               masyarakat dengan memperhatikan berbagai aspek sebagaimana ditegaskan dalam Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2: “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
               Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh negara untuk penyelenggaraan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Keberhasilan masyarakat
               dalam hutan rakyat telah menjadi inspirasi dan motivasi untuk dapat mengelola kawasan hutan. Akses masyarakat terhadap sumber daya hutan harus diatur tidak hanya yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan hak tetapi juga akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan negara.
               Mengenai hak atas hutan, berdasarkan Pasal 5 Undang Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 hutan dikelompokkan berdasarkan kepemilikannya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada di atas lahan yang tidak dibebani hak (milik). Hutan negara dapat berupa hutan adat, dimana status hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Selain hak akses atas hutan, masalah yang perlu mendapatkan perhatian  adalaha lokasi lahan hutan. Berdasarkan Undang Undang Kehutanan, kawasan hutan dikelompokkan menurut fungsinya dalam tiga kategori besar yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya hanyalah merupakan sebagian dari pengertian alokasi lahan hutan karena sejatinya alokasi lahan hutan tidak hanya mencerminkan posisi dan fungsi dalam komponen ekosistem hutan (biofisik), tetapi lebih dari itu juga merefleksikan tanggung jawab dan otoritas atas lahan hutan.
Sesungguhnya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan suatu hal yang baru. Departemen Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen masyarakat lainnya telah banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Meskipun kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan selama ini tidak semuanya menuai sukses, namun juga tidak sedikit manfaat yang telah dapat dirasakan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Disadari bahwa kelemahan kegiatan pemberdayaan masyarakat selama ini adalah sangat kurangnya koordinasi antar instansi dan pelaku pemberdayaan masyarakat sehingga tidak ada sinergitas, kurang terarah, dan bahkan sering terjadi tumpang tindih kegiatan.

a.  Strategi Pemberdayaan Masyarakat
1.  Penyadaran
               Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan  tidak mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka  miliki.  Akibatnya  banyak  potensi  yang  tak  termanfaatkan  atau mubasir,  sementara  kehidupan  masyarakatnya  memprihatinkan.  Oleh karena  itu sering kita  jumpai  ironi dalam masyarakat  ibarat  ”ayam  lapar di lumbung  padi”  atau    itik  kehausan  ditengah  sungai”.  Oleh  karena  itu penyadaaran  ini  penting  agar  masyarakat  desa  tahu  potensi,  peluang, ancaman dan tantangan di masa depan.

2.  Pengorganisasian
               Satu  sumber  kesalahan  yang  paling  mendasar  dalam  pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang lemah maka mereka secara  refleksi memperkenalkan organisasi modern dengan bentuk  dan  pola  yang  serba  seragam  dengan  daerah  lain.  Padahal organisasi  modern  tersebut  belum  tentu  sesuai  dengan  karakteristik masyarakat  setempat.  Alhasil  banyak  organisasi  introduksi  tersebut  tidak melembaga  dalam  masyarakat.  Mungkin  organisasi  tersebut  berhasil  di suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain.
Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarAkat secara sukarela  agar  memudahkan  mereka  mengelola  potensi  sosial  ekonomi yang  dimiliki.  Kinerja  kelembagaan  lokal  itu  perlu  dinilai  kembali, disempurnakan  dan  terus  dimotivasi  agar  nilai-nilai    dan  norma  yang terkandung  didalamnya  dapat  lebih  hidup  dan  menjiwai  kelembagan  itu. Seperti  semangat  ”Mapalus”  dimasyarakat  Minahasa,  ”Sisaro”  di  Tana Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan  itu dapat berkembang menjadi ”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan kompetitif.

3.  Kaderisasi pendampingan
               Setiap program pembangunan ada  jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma  tersebut  berjalam  masyarakat  berpartisipasi  aktif  karena  ada tujuan  yang  didapat  didalamnya,  misalnya  gaji/upah,  kesempatan  kerja yang  bersifat  jangka  pendek.  Namun  setelah  pembanguna  itu  berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi.
Oleh  sebab  itu  sebelum  pembangunan  tersebut  berkahir  seharusnya masyarakat  dipersiapkan  untuk  melanjutkan  memelihara  dan mengembangkan  sendiri  secara  swadaya  karena  selama  pelaksanan pembangunan  tersebut  itu  merupakan  kegaitan  investasi  awal  dari pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas  pendampingan  setelah  program  berakhir.  Ukuran  keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader  lokal untuk memerankan diri sebagai pendamping  bagi  masyarakat.  Disinilah  peran  strategis  LSM  lokal  untuk melakukan  pendampingan  agar  partisipasi  masyarakat  terus  tumbuh berkembang dalam mendukung setiap pembangunan.

4.  Dukungan teknis
               Pembaharuan  dalam  suatu  masyarakat  umumnya  memerlukan  bantuan teknis dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan  teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan  itu menjadi kenyataan.  Organisasi  pendukung  teknis  sebaiknya  dari  insitusi  yang berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta.

5.  Pengelolaan Sistem
               Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik.

b.  Teknik Pemberdayaan Masyarakat
               Pendampingan  sosial  sebaiknya  lebih  dahulu  dilakukan  sebelum kegiatan  pendampingan  yang  lain  dalam  rangka  pemberdayan  kelompok  yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan. Dalam  proses  pemberdayaan  juga  terjadi  proses  belajar  bersama  dan berusaha  bersama  memecahkan  masalah-masalah  yang  dihadapi  masyarakat. Berikut  ini  adalah  proses  pendampingan  yang  dapat  dilakukan  dalam  rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri:

1.  Membangun kedekatan
               Kedekatan  antara  pendamping  dengan  masyarakat  sangat diperlukan  dalam  melakukan  pendampingan.  Hal  ini  dapat  dipelajari  dari pengalaman  kegagalan  dalam  pembinaan  masyarakat  pedesaan  yang  pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada  kepentingan  kemudian  meninggalkan  desa  dan  masyarakatnya.  Oleh karena  itu  membangun  kedekatan  adalah  sangat  penting,  dan  berarti  para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.

2.  Membangun pertemanan
               Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pendamping.  Hal  ini  bisa  terjadi  karena  pendamping  hidup  bersama-sama masyarakat. Mewujudkan  pertemanan  bukanlah  hal  yang mudah,  oleh  karena itu  baik  pendamping  maupun  masyarakat  harus  memahami  prinsip-prinsip pertemanan.  Prinsip-prinsip  yang  dikembangkan  oleh  P3AE-UI  dkk.  dalam pendampingan  masyarakat  antara  lain  adalah  kesetaraan,  demokrasi  dan keadilan.  Kesetaraan  artinya  semua  individu  mempunyai  status  atau  derajat yang  sama,  tidak membeda-bedakan  antara  pendamping  dengan masyarakat maupun  antar  individu  di  dalam  masyarakat.  Demokrasi  artinya  semua mempunyai  hak  yang  sama,  hak  untuk  mengemukanan  pendapat, mengungkapkan  permasalahan  dan  menyampaikan  keinginan.  Sedangkan keadilan  artinya  mereka  mempunyai  kewajiban  dan  hak  yang  sama  dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama.
Suatu  hal  yang  sangat  perlu  ditumbuh  kembangkan  dalam pertemanan  adalah  rasa  saling  senasib  sepenanggungan,  saling menjaga antara sesama  teman, saling menghormati dan saling memberi  toleransi. Senasib  sepenanggungan  karena  mereka  mempunyai  permasalahan  dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi  kerena  pada  dasarnya  mereka  terdiri  dari  individu-individu  yang berbeda.

3.  Membangun kepercayaan
               Kepercayaan  tidak dapat dibangun hanya dengan  janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa  apa  yang  diucapkan  itulah  yang  kemudian  dilakukan.  Untuk  itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan  upaya  berbuat  bersama  antara  pendamping  dan masyarakat. Membangun  kepercayaan  adalah  sangat  penting  karena  rasa  saling  percaya merupakan  pilar  utama  dari  semua  interaksi  antar  individu maupun  kelompok dalam  masyarakat.  Dengan  rasa  saling  percaya  kita  dapat  menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.

4.  Membangun keterbukaan
               Keterbukaan  diperlukan  dalam  mengungkapkan  masalah  yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan  yang  ada.  Keterbukaan  ini  tidak  akan  dapat  dilakukan  apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya.
Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan  terkandung kegiatan identifikasi  masalah  dan  potensi  yang  terdapat  di  dalam  masyarakat.  Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan  mengalir  dengan  sendirinya.  Berdasarkan  hasil  identifikasi  masalah  dan potensi  yang  diungkapkan  oleh  masyarakat  dengan  cara  keterbukaan  tadi, kemudian  pendamping  bersama-sama  masyarakat  dapat  menarik  kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula,  dan  juga  memiliki  potensi  yang  dapat  diberdayakan  untuk  mencapai keinginan bersama tersebut.

5.  Membangun kerjasama
               Masing-masing  individu  dalam  masyarakat  pada  tahap  ini  sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula,  dan  juga  memiliki  potensi  yang  dapat  diberdayakan  untuk  mencapai keinginan  bersama  tersebut.  Akan  tetapi  potensi  yang  mereka  miliki  tidak mungkin  dapat  diberdayakan  untuk  memecahkan  masalah  dan  mencapai keinginan apabila potensi  tersebut masih  terpecah-pecah pada masing-masing individu.
Pada  tahap  inilah  saatnya  seluruh  masyarakat  bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun  kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa  saling  senasib  sepenanggungan,  saling menjaga  antara  sesama  teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi.
Setelah  masyarakat  memahami,  mau  dan  mampu  bekerjasama, maka  kegiatan-kegiatan  bermusyawarah  mulai  dapat  dilakukan.  Pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan  di  kawasan  hutan  dapat  dijadwalkan  secara  berkala.  Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status pengelolaan lahan garapannya tersebut.

6.  Membangun kelompok
               Kerjasama  dengan  berbagai  aktivitasnya  merupakan  proses  yang dinamis,  oleh  karena  itu  diperlukan  wadah  yang  dapat menampung  dinamika kerjasama  tersebut.    Pada  status  yang  demikian  perlu  dibentuk  kelompok sebagai  wujud  atau  wadah  dari  interaksi  atau  kerjasama  yang  sudah  dan sedang  dibangun.  Pembentukan  kelompok-kelompok  tersebut  dimaksudkan agar  kerjasama  diantara  anggota  kelompok  akan  menjadi  lebih  efektif  dan efisien. Dalam pembentukan kelompok di samping mempertimbangkan prinsip-prinsip yang  telah disebutkan di atas,  juga mempertimbangkan kesatuan  lokasi garapan dan kesatuan lokasi tempat tinggal.

7.  Membangun kelembagaan
               Kelembagaan  merupakan  kelanjutan  dari  kelompok  yang  telah dilengkapi  dengan  pranata-pranata  atau  aturan-aturan  yang  dibuat  dan disepakati  oleh  anggota  kelompok.  Di  samping  itu  kelompok  yang  sudah melembaga  juga memiliki  struktur  kepengurusan  sesuai  dengan  aturan-aturan yang  telah  disepakati  para  anggotanya.  Dengan  demikian  mekanisme  kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan ditekankan bahwa peran kepengurusan di dalam membangun kelembagaan adalah mewakili, memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh anggota kelompok.
               Kelembagaan  masyarakat  dalam  kaitannya  dengan  upaya pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan di Sumber Agung, Gunung Betung,  bukan  hanya  sekedar  bertujuan  memenuhi  persyaratan  untuk mendapatkan  kepastian  jaminan  dari  pemerintah.  Akan  tetapi  dalam membangun  kelembagaan  yang  lebih  penting  adalah  bagaimana  mencapai kemandirian masyarakat  dalam  upaya  pengelolaan  hutan  secara  lestari  dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera.
Seluruh proses pemdampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya  dilakukan  dengan  konsep  belajar  bersama  dan  mengikuti  arus perkembangan  yang  diinginkan  masyarakat.  Belajar  bersama  artinya  baik pendamping maupun masyarakat  dalam  kegiatan  ini  tidak  ada  yang merasa  lebih pintar,  lebih  tahu atau  lebih mampu dari pada yang  lain. Akan  tetapi mereka sama-sama  menyadari  bahwa  pendamping  harus  belajar  dari  masyarakat  karena kenyataannya masyarakatlah yang  lebih  tahu  tentang diri mereka sendiri, demikian juga masyarakat  belajar  dari  pendamping  karena  kenyataannya  pendamping  lebih banyak  mengetahui  kebijakan-kebijakan  pemerintah  tentang  ketentuan-ketentuan pengelolaan  hutan  oleh  masyarakat.  Demikian  juga  tentang  hal-hal  yang  lain menyangkut  pemberdayaan  masyarakat  di  sekitar  hutan,  mereka  saling  belajar.

*************************************FORESTER UNTAD BLOG*****************************

1 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya

    irhamabdulazis271.student.ipb.ac.id

    BalasHapus

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???