Landasan hukum pengelolaan hutan di
Indonesia setelah Kemerdekaan dan secara nyata berpengaruh kepada
pengelolaan hutan di luar Jawa, adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan ((LN. Tahun 1967 No. 8
dan Tambahan LN. No. 2823). Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan
mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi
eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970
yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Segera setelah Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya
hutan secara besarbesaran dilakukan pemerintah, terutama di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian
konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam
negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Suasta (BUMS) maupun kepada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tersebut diamanatkan bahwa : Pasal 10 ( UU Nomor 5 Tahun 1967) disebutkan: 1. Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan Hutan Negara yang sebaikbaiknya, maka dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuankesatuan Pengusahaan Hutan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri. 2. Pengurusan Hutan Negara dilaksanakan oleh Badan-badan Pelaksana yang diatur lebih lanjut oleh Menteri
Pengorganisasian pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa pada saat itu adalah melalui institusi / birokrasi Dinas Kehutanan do Provinsi, yang dibawahnya ( tingkat Kabupaten) dibentuk Cabang-cabang Dinas Kehutanan (CDK) yang juga berfungsi sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dari UU Nomor 5 Tahun 1967 diatas. Pola / struktur organisasi yang diadopsi hampir mirip dengan KPH pada Perum Perhutani, dibawah tingkat CDK/KPH dibentuk BKPH (Bagian KPH) dan dibawahnya lagi terdapat organisasi RPH (Resort Polisi Hutan). CDK / KPH seperti ini merupakan organisasi pelaksana tingkat lapangan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kehutanan tingkat Provinsi, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengurusan hutan.
PENGELOLAAN HUTAN DI LUAR PULAU JAWA SAAT INI
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang cenderung lebih peduli dengan peran public dalam pengelolaan kawasan hutan. Namun seiring dengan itu pada tahun yang sama terjadi juga tekanan pergeseran kewenangan dan komplikasinya. Sejak diundangkannya UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Anggaran, pemerintah pusat mulai mendesentralisasikan sebagian kewenangannya ke tingkat kabupaten dan propinsi. UU no 22/1999 lebih menekankan desentralisasi politik dan administrasi, sedangkan UU no. 25/1999 adalah sebuah sistem pembagian sumber daya finansial pada tingkat pemerintahan yang berbeda. Kedua undang-undang ini mulai dilaksanakan mulai Januari 2001. Seharusnya desentralisasi ini merupakan sebuah momentum bagi masyarakat untuk mendapatkan ruang aspirasi yang lebih besar, terutama dalam proses-proses politik, termasuk di dalamnya proses penyusunan kebijakan.
Implikasi dari perubahan poliitik dan kebijakan ini adalah terjadinya perubahan tata kelola kawasan hutan, yang tidak lagi menyediakan organisasi pelaksana pengurusan hutan di tingkat tapak ( sampai tingkat resort setara wilayah kecamatan.
Gejala peningkatan deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi, telah disadari diakibatkan oleh adanya kesenjangan / kekosongan institusi pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Pengembangan konsepsi reformasi tata kelola kawasan hutan yang dilaksanakan sejak Tahun 1980’an oleh banyak pihak dalam kerangka bantuan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen / Kementerian Kehutanan , akhirnya dapat disintesakan dan diadopsi sebagai kebijakan Kementerian Kehutanan mulai Tahun 2006 sehingga keluar PP No 7 tahun 2007 Jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah ditetapkan tugas pokok dan fungsi KPH yang merupakan awal dari pengelolaan hutan di Luar Pulau Jawa.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tersebut diamanatkan bahwa : Pasal 10 ( UU Nomor 5 Tahun 1967) disebutkan: 1. Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan Hutan Negara yang sebaikbaiknya, maka dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuankesatuan Pengusahaan Hutan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri. 2. Pengurusan Hutan Negara dilaksanakan oleh Badan-badan Pelaksana yang diatur lebih lanjut oleh Menteri
Pengorganisasian pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa pada saat itu adalah melalui institusi / birokrasi Dinas Kehutanan do Provinsi, yang dibawahnya ( tingkat Kabupaten) dibentuk Cabang-cabang Dinas Kehutanan (CDK) yang juga berfungsi sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dari UU Nomor 5 Tahun 1967 diatas. Pola / struktur organisasi yang diadopsi hampir mirip dengan KPH pada Perum Perhutani, dibawah tingkat CDK/KPH dibentuk BKPH (Bagian KPH) dan dibawahnya lagi terdapat organisasi RPH (Resort Polisi Hutan). CDK / KPH seperti ini merupakan organisasi pelaksana tingkat lapangan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kehutanan tingkat Provinsi, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengurusan hutan.
PENGELOLAAN HUTAN DI LUAR PULAU JAWA SAAT INI
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang cenderung lebih peduli dengan peran public dalam pengelolaan kawasan hutan. Namun seiring dengan itu pada tahun yang sama terjadi juga tekanan pergeseran kewenangan dan komplikasinya. Sejak diundangkannya UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Anggaran, pemerintah pusat mulai mendesentralisasikan sebagian kewenangannya ke tingkat kabupaten dan propinsi. UU no 22/1999 lebih menekankan desentralisasi politik dan administrasi, sedangkan UU no. 25/1999 adalah sebuah sistem pembagian sumber daya finansial pada tingkat pemerintahan yang berbeda. Kedua undang-undang ini mulai dilaksanakan mulai Januari 2001. Seharusnya desentralisasi ini merupakan sebuah momentum bagi masyarakat untuk mendapatkan ruang aspirasi yang lebih besar, terutama dalam proses-proses politik, termasuk di dalamnya proses penyusunan kebijakan.
Implikasi dari perubahan poliitik dan kebijakan ini adalah terjadinya perubahan tata kelola kawasan hutan, yang tidak lagi menyediakan organisasi pelaksana pengurusan hutan di tingkat tapak ( sampai tingkat resort setara wilayah kecamatan.
Gejala peningkatan deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi, telah disadari diakibatkan oleh adanya kesenjangan / kekosongan institusi pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Pengembangan konsepsi reformasi tata kelola kawasan hutan yang dilaksanakan sejak Tahun 1980’an oleh banyak pihak dalam kerangka bantuan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen / Kementerian Kehutanan , akhirnya dapat disintesakan dan diadopsi sebagai kebijakan Kementerian Kehutanan mulai Tahun 2006 sehingga keluar PP No 7 tahun 2007 Jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah ditetapkan tugas pokok dan fungsi KPH yang merupakan awal dari pengelolaan hutan di Luar Pulau Jawa.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???