Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan
tropika humida dengan sederet atribut yang melekat
padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam
perjalanan pengelolaannya sampai saat ini kondisi hutan
sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang
berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan
sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah
menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang
berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang
kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi,
faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan
penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan
alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam
Indonesia - TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal
hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan
tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan
ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan
rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk
areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi
40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di
banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu
35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur
tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau
perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal untuk
mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada
pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas
tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan
produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan
tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi)
sangat diperlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang
Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh
hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem
silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan
dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang
dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak
pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan
terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis
kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk
yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan
masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah
namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus
terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang
diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan
peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan
lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level
propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu
penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada
produksi kayu saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru
untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola
konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus
didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam
akan beralih ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan
tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum
waktunya) hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk
terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan
semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang
tampaknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan
hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika
kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI
hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan
pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan,
pembebasan pertama, pengadaan bibit, pengayaan,
pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan
tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung
memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling
efektif. Hal ini terjadi karena tindakan penjarangan
memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon binaan yang terdiri dari
pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini
hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada
tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap
perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu
pohon pendamping tetap berfungsi sebagai pembentuk
struktur sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan
atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan
konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan
dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan
untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuaian
lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pengelolaan hutan
produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan
resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik)
sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan
sama baik produktivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya
yang sekiranya menjanjikan produksi hendaknya dikaji
lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hutan dapat lebih
dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini
sangat tergantung sumber daya manusianya, karena itu
penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.
sumber: http://indonesiaforest.net/silvika.html
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???