Rabu, 12 November 2014

Sikap Masyarakat Desa Ngatabaru terhadap Kawasan Konservasi TAHURA

 

Sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu yang berkaitan dengan keyakinan, perasaan dan kecenderungan untuk bertindak dalam hal ini terhadap pemanfaatan kawasan konservasi TAHURA. Dalam penelitian ini sikap masyarakat yang dimaksud adalah sikap positif atau sikap negatif. Sikap yang positif adalah sikap yang ditunjukkan melalui respon yang setuju dalam upaya pemanfaatan yang berkelanjutan (konservatif) yang mana mereka hanya mengambil manfaat dari kawasan konservasi TAHURA, keaktifan dalam mengikuti program TAHURA, melakukan upaya melestarikan kawasan konservasi TAHURA. Sedangkan sikap negatif dimaksudkan adalah sikap yang ditunjukkan melalui pemanfaatan yang tidak berkelanjutan atau sifatnya merusak (destruktif), yakni mengubah fungsi dari kawasan konservasi TAHURA.
Melalui aspirasi masyarakat yang dituang dalam ide atau tenaga yang sesuai dengan kapasitas yang ada maka akan memunculkan dorongan untuk ikut berpartisipasi sehingga akan tercipta rasa memiliki terhadap sumber daya alam yang ada, sehingga dalam pengelolaan kawasan hutan dapat menjamin keberlanjutan dan kelestariannya (Flamin,A dan Asnaryati, 2013).


Dari data di atas, dapat diketahui bahwa sikap masyarakat Desa Ngatabaru secara keseluruhan dikategorikan tinggi (94). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, masyarakat bersikap favorable terhadap kawasan konservasi. Hal penelitian ini sejalan dengan Nahrun (2009), bahwa sebagian besar masyarakat Desa Ngatabaru mendukung penetapan lokasi PPN XXX sebagai kawasan konservasi TAHURA karena dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Dengan terjaganya ekosistem maka dapat mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan seperti banjir dan erosi.
Dari wawancara mendalam yang telah dilakukan, maka dapat diidentifikasi bahwa beberapa faktor yang menyebabkan besarnya sikap masyarakat Desa Ngatabaru terhadap kawasan konservasi TAHURA, sebagai berikut:
a.  TAHURA dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata   
Kawasan TAHURA Sulawesi Tengah khususnya eks lokasi PPN XXX dijadikan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata.TAHURA menjadi semakin banyak dikunjungi sebagai obyek wisata karena lokasi tersebut telah dibangun sarana rekreasi dan pariwisata. Masyarakat Desa Ngatabaru ikut menikmati fasilitas rekreasi yang dikelola oleh UPTD TAHURA Dinas Kehutanan bekerjasama dengan inas Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah.  Beberapa fasilitas outbond yang sudah tersedia meliputi :Burmadan Elvis Brigde, Flying Fox, Jembatan Ayun dan Titian V. Tempat ini telah dilengkapi permainan yang mengasikkan serta jalur Tacking. Fasilitas tersebut yang semakin bervariasi telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung wisata, apalagi tempat rekreasi tersebut telah didukung tempat menginap bagi wisatawan atau masyarakat yang berkunjung ke sana. Bagi pengunjung yang membawa kendaraaan, juga tersedianya lokasi perparkiran di kawasan TAHURA, tepatnya di Dusun Kapopo Desa Ngatabaru.
Waktu tempuh dari Kota Palu menuju kawasan rekreasi dan pariwisata di TAHURA dapat mencapai 15 sampai 20 menit dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Hal ini secara tidak langsung ikut mempengaruhi perkembangan pergaulan bagi masyarakat Desa Ngatabaru, khususnya bagi penduduk yang bermukim di Dusun Kapopo.Walaupun sifatnya terbatas, dengan keberadaan  tempat rekreasi tersebut menjadi salah satu aspek yang dapat mendukung perekonomian masyarakat Desa Ngatabaru yang bertempat tinggal di sekitar kawasan TAHURA.

b.  TAHURA sebagai lokasi pemberdayaan masyarakat 
Program pemberdayaan masyarakat saat ini sedang dilaksanakan oleh pengelola TAHURA, dimana masyarakat turut berperan serta atau ikut   berpartisipasi khususnya dalam mendukung program pemerintah seperti kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, program menanam sejuta pohon yang turut melibatkan masyarakat setempat.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui program rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan konservasi TAHURA dapat membantu melindungi ekosistem di Desa Ngatabaru. Adanya kawasan konservasi dapat memproteksi bagi pihak-pihak yang ingin leluasa masuk untuk menebang pohon atau kayu, sehingga kelestarian alam dapat terjaga. Dengan terjaganya ekosistem maka dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti banjir maupun erosi.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa sikap masyarakat Desa Ngatabaru terhadap kawasan konservasi TAHURA tergolong tinggi, namun 50%  (15 orang) responden menyatakan bahwa mereka tidaksetuju terhadap kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh responden sehingga tidak menyetujui keberadaan TAHURA, yakni:
- Masyarakat tidak banyak yang mengetahui manfaat dari program konservasi TAHURA
Masyarakat Desa Ngatabaru menganggap bahwa penetapan kawasan konservasi masyarakat tidak banyak memberikan manfaat bagi sebagian warga karena tidak semua warga memahami manfaat penting dari penetapan kawasan TAHURA. Secara umum, hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa hanya sebagian kecil responden yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai manfaat program konservasi yang dilakukan oleh pihak pengelola TAHURA. Hal ini terkait erat dengan taraf pendidikan responden yang masih rendah (53,3% berpendidikan SD),sebagaimana telah dicantumkan pada Tabel 5.
- Kawasan Konservasi TAHURA membatasi aktivitas warga
Sebagian Desa Ngatabaru telah menjadi kawasan konservasi, namun, responden yang telah diwawancarai sebagian besar menganggap bahwa Kawasan konservasi TAHURA pada zaman dahulu telah didiami dan dijadikan warga untuk beraktivitas seperti berkebun, menanam tanaman semusim dan beternak. Dari hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa penetapan kawasan TAHURA dianggap membatasi aktivitas penduduk seperti menebang pohon untuk membuat pondok di kebun, dan membatasi usaha sampingan sebagian besar petani untuk mencari pakan ternak khususnya kambing dan sapi yang mereka pelihara.
- Sebagian lokasi TAHURA dianggap sebagai tanah adat masyarakat
Sebagian responden atau masyarakat Desa Ngatabaru beranggapanbahwa  batas kawasan TAHURA tidak tepat bagi mereka karena lokasi tersebut termasuk dalam tanah adat masyarakat. Pada tabel lampiran ditunjukkan bahwa terdapat responden yang mengklaim lahan di lokasi TAHURA pada mulanya adalah tempat berkebun dan bermukim nenek moyang mereka.Penetapan kawasan TAHURA saat ini dianggap menghilangkan tanah adat yang telah turun temurun sebagai warisan dari nenek moyang masyarakat Desa Ngatabaru.


0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???