Oleh : RAHMAT HIDAYAT
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Burung Maleo
yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung yang
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm. Burung Maleo adalah satwa
endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau
Sulawesi, Indonesia. Selain langka, burung ini ternyata unik karena anti
poligami. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Burung Maleo
memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah
kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda
keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam.
Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna
lebih kelam dibanding burung jantan.
Populasi
terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar
alam Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu
ini, populasinya ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit,
burung unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan
sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam
CITES Appendix I.
Populasi Maleo
terancam oleh para pencuri telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya.
Belum lagi musuh alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak.
Habitatnya yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di
dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air
panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas
bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
Anak maleo
yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah
sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang
induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama
kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak
jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan". Anak yang baru
saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan
mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk).
1.2
Manfaat dan tujuan
Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui respon fisiologis burung maleo yang mendapat
pakan pada saat pertumbuhan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Burung maleo yang dalam nama ilmiahnya dikenal dengan sebutan Macrocephalon maleo (Macrocephalon = kepala besar), termasuk
dalam keluarga Megapodidae (Megapoda
= kaki besar).
Burung maleo adalah salah satu hewan
endemik pulau Sulawesi, yang hanya dapat dijumpai
di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara (Whitten, 1987). Saat ini populasi burung maleo yang terdapat di Sulawesi Tengah, di
cagar alam Saluki, Kabupaten Sigi
dengan populasi sekitar 178 ekor dan di Taman Nasional Lore Lindu dengan
populasi diperkirakan mencapai 500 ekor (Mallombasang, 1995).
Pada
tahun 1990 Pemeritah Daerah Sulawesi Tengah berdasarkan SK. No. Kep. 188.44 / 1067 / RO
/ BKLH tanggal 24 Februari 1990, menetapkan burung maleo
sebagai “ Satwa Maskot ” Propinsi Sulawesi Tengah.
Burung maleo merupakan hewan yang berhabitat sangat khas, hanya bisa hidup
di dekat pantai
berpasir panas atau di pegunungan yang memiliki sumber mata air panas, sebab di
daerah ini burung maleo bisa mengerami
telurnya yaitu dengan cara mengubur telur di dalam pasir hingga kedalaman 15 cm (Gunawan, 1974). Hasil
penelitian di Tanjung Batikolo Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa tempat
bertelur burung maleo adalah pada pantai pasir putih dengan kondisi lingkungan
yang dibatasi langsung oleh vegetasi tumbuhan tingkat tinggi, dengan kedalaman peletakkan telur antara 60 dan 75 cm dari permukaan tanah (Anonymous, 1976 dalam Zulfikar, 2004).
Burung maleo bertelur sepanjang tahun, tetapi siklus bertelurnya sampai
saat ini belum diketahui. Wiriosoepartho (1980) menyatakan
bahwa satu siklus bertelur burung maleo memerlukan waktu antara 10 dan 13 hari.
Menurut Wiriosoepartho (1980), hasil wawancara dengan penduduk disekitar Cagar
Alam Panua (Sulawesi Utara) telah didapat kisaran waktu antara 6 dan 10 hari
burung maleo akan kembali ketempat bertelurnya untuk bertelur. Nurhayati (1986)
menemukan antara 10 dan 12 hari maleo kembali ketempat yang sama untuk bertelur
lagi.
Di Sulawesi
Tenggara, produksi telur burung maleo terlihat meningkat pada saat curah
hujan
rendah di
bulan Agustus – September,
sedangkan di Sulawesi Selatan
peningkatan produk telur berlangsung dari bulan April
– September
(Nurhayati, 1986). Mengenai waktu bertelur, beberapa
peneliti mengemukakan antara pukul 06.00 – 12.00 pagi hari dan bila tidak dapat
bertelur pada jam tersebut karena adanya gangguan, maka waktu bertelur diundur
sampai sore hari antara pukul 14.00 - 17.00 atau selambat – lambatnya pagi hari
esoknya (Kadillah, 1972 dalam Addin, 1992). Jumlah telur yang dihasilkan dalam
satu musim bertelur sekitar 19 butir (Wiriosoepartho, 1980).
Burung maleo merupakan satwa langka
yang terancam punah selain disebabkan oleh predator liar misalnya babi hutan,
biawak, ular dan burung
elang, juga
oleh
akibat
perburuan
manusia,
misalnya
dengan
perusakan
habitat
dan
eksploitasi
yang
berlebihan
dan tingkat
reproduksinya
yang lambat
(Kophalindo, 1994).
Salah satu cara
untuk
pelestarian burung maleo yaitu dengan
cara penangkaran. Penangkaran adalah merupakan
kegiatan yang ditunjukkan untuk meningkatkan populasi satwa liar, baik yang
dilaksanakan di habitat aslinya (in situ)
maupun diluar habitat aslinya (ex situ).
Kegiatan penangkaran ini mencakup usaha pengumpulan bibit, telur, pembiakan,
penetasan telur, pemeliharaan, pembesaran dan pelepasan ke alam bebas (restocking) (Addin, 1992). Dalam upaya pembiakan, perlu di lakukan misalnya
dengan peningkatan kinerja
reproduksinya,
memperhatikan status fisiologis burung maleo dengan pemberian pakan.
Penangkaran ex situ telah dilakukan dengan mengontrol pola pemberian pakan.
Pola pemberian pakan yang diberikan dengan mengatur imbangan energi dan
protein. Berdasarkan pengamatan yang telah di peroleh menunjukkan PBBH
(Pertambahan Bobot Badan Harian) yang baik sehingga burung maleo dapat
melakukan adaptasi dengan baik. Permasalahan yang timbul adalah reproduksi
tidak bisa terjadi dengan normal (Rusiyantono et al, 2011). Pemberian pakan pada awal kehidupan anak burung maleo
akan berpengaruh terhadap proses fisiologis yang selanjutnya akan berdampak
secara fisik terhadap performans burung maleo pada periode selanjutnya.
III.
PEMBAHASAN
3.1
Klasifikasi Maleo
Kingdom
: Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Galliformes
Family : Megapodiidae
Genus : Macrocephalon
Species : Macrocephalon maleo
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Galliformes
Family : Megapodiidae
Genus : Macrocephalon
Species : Macrocephalon maleo
3.2
Sifat Hidup
Maleo
termasuk jenis satwa yang aneh kerena tak pernah memperhatikan kelangsungan
hidup dari keturunannya. Burung ini meletakkan telurnya didalam pasir panas dan
dibiarkan tanpa pengawasan sama sekali dari induknya sampai telur menetas.
Maleo kecil yang baru lahir harus mencari makan sendiri tanpa bimbingan dari
pengasuh untuk mulai hidup di alam bebas.
Meskipun
memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki
dari pada terbang. Biasanya yang dewasa sering diketemukan berpasangan ditempat
terbuka dan berpasir panas. Dalam bertelur, Maleo jantan dan betina secara
bergantian menggali lubang untuk meletakkan telurnya. Telur tadi ditimbun
lagi dan ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus lagi.
Maleo
(Macrocephalon maleo) memakan aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang
serta berbagai jenis hewan kecil.
3.3 habitat dan penyebaran
Habitat
atau tempat hidup Maleo adalah daerah berpasir atau pada aliran sungai yang
berpasir maupun disekitar sumber-sumber air panas di dalam hutan sampai daerah
pasir pantai.
Maleo
(Macrocephalon maleo) termasuk jenis burung endemik Sulawesi dan
penyebaran di Sulawesi Tengah relatif luas namun saat ini mulai terancam punah
karena habitat yang semakin
sempit dan telur-telurnya yang diambil oleh manusia.
Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini. Maleo(Macrocephalon
maleo) tergolong satwa liar yang langka dan dilindungi
Lokasi
kawasan konservasi yang telah ditunjuk/ditetapkan sebagai tempat konservasi
Maleo, diantaranya Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai (Sulawesi
Tengah, Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop di Kabupaten Toli-toli (Sulawesi
Tengah), Cagar Alam (CA) Morowali di Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah),
Taman Nasional (TN) Lore Lindu di Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah),
dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Kabupaten Bolaang Mongondow
(Sulawesi Utara) dan Kabupaten Gorontalo (Gorontalo). Selain di tempat-tempat
tersebut, maleo masih terdapat di hutan-hutan yang ada di Sulawesi Tengah.
Sejak
tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari
1990 "Maleo" ditetapkan sebagai "Satwa Maskot" daerah
Sulawesi Tengah. Ini merupakan kebanggaan bagi masyarakat Sulawesi Tengah dan
Indonesia pada umumnya. Demikian juga menjadi citra bagi bangsa Indonesia di
dunia Internasional.
3.4
pemanfaatan
Maleo
adalah jenis satwa yang peka terhadap gangguan. Gangguan di alam bebas antara
lain : terdesaknya habitat terutama yang berada di luar kawasan konservasi,
pemanfaatan telurnya oleh manusia serta predator antara lain : Biawak (Varanus
sp), Babi Hutan (Sus sp).
Upaya
budi daya/penangkaran relatif masih sulit dan belum ada yang berminat
melakukannya. Namun demikian justru perkembangan populasi secara alamiah pada
habitat aslinya yang diutamakan. Apabila ini terjadi sudah tentu akan menjamin
kelangsungan hidupnya sepanjang masa.
Pemanfaatan
yang dapat dilakukan antara lain untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu
pengetahuan/pendidikan budidaya. Pemanfaatan lain yakni sebagai atraksi wisata
secara terbatas, pada habitat alamnya baik di kawasan konservasi (suaka alam)
maupun diluar kawasan konservasi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
·
Status faali burung maleo (Macrocephalon maleo), yaitu sebesar
40,72 ± 1,58 terhadap suhu tubuh, 60,89 ± 3,61 terhadap frekuensi respirasi dan
58,83 ± 1,33 terhadap frekuensi pulsus.
·
Suhu tubuh, frekuensi respirasi dan
frekuensi pulsus memiliki korelasi yang positif dimana peningkatan suhu tubuh
juga diikuti oleh peningkatan frekuensi respirasi dan frekuensi pulsus.
·
Status faali dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain luas permukaan tubuh ternak, aktifititas ternak,
temperatur, kondisi tubuh, jenis kelamin, aktifitas metabolisme dan faktor umur.
4.2.
Saran
Diperlukan
studi lebih mendalam tentang cara yang paling tepat untuk meningkatkan pola
produktifitas dan reproduktifitas burung maleo (Macrocephalon maleo).
DAFTAR
PUSTAKA
Addin, A., 1992. Karakteristik Mikro Habitat Tempat Bertelur
Burung Maleo (Macrocephalon maleo)
pada Habitat Alami dalam Upaya Penangkaran di Suaka Margasatwa Buton Utara.
Sulawesi Tenggara. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. IPB.
Bogor.
Gunawan, H.,1974. Sedikit Keterangan Mengenai Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846).
Majalah Kehutanan Indonesia, Tahun 1 Desember 1974.
Hafez, E.S.E., 1968. Adaptation of
Domestics Animals. Lea Febiger, Philadelphia.
Kophalindo., 1994. Keanekaragaman
Hayati di Indonesia. Kajian Lingkungan Hidup.
.
Kinnaird, MF., 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah
Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea. GEF-Biodiversity Collections Project.
SULUT.
MacKinnon, J., 1981. Methods for the
Conservation of Maleo Birds, Macrocephalon Maleo on the Island of Sulawesi,
Indonesia. Biologi Conservation.
Mallombasang,
S. N., 1995. Pengelolaan Satwa Liar. PAU-IPB, Bogor.
Nurhayati, B.N.,1986. Masalah Pelestarian Burung Maleo.
Makalah Pengelolaan Suaka Alam dan Margasatwa; Program Studi Ilmu Lingkungan
Ekologi Manusia. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Indonesia.
Priyono, A., 1997. Pengaruh Pencukuran dan Level Energi
Ransum Terhadap Performa Domba Lokal. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung.
Rusiyantono,Y., I. Mumu and M. Tanari.,2011. Conservation of
Maleo (Macrocephalon maleo) Arrooght
Regulation of Feeding Management J. Biodiversitas. 11. 196-225.
Siregar, S.B., 1982. Pengaruh Ketinggian Tempat dan
Penggunaan Makanan terhadap Status Faali dan Pertumbuhan Kambing dan Domba
Lokal. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.
Sumoprastowo, C.D.A., 1987. Beternak Kambing yang Berhasil.
Bhrata Niaga Mega, Jakarta.
Zulfikar., 2004. Karakteristik Fisik Lubang Bertelur Burung
Maleo (Macrocephalon maleo) di Suaka
Margasatwa Tanjung Matop Kabupaten Tolitoli, Skripsi. Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Trimakasi,,,,,,,,, sangat membantu kmi
BalasHapus