Jumat, 04 April 2014

Kehutanan Sosial Dan Kehutanan Masyarakat Menurut Para Ahli

Hutan Masyarakat


Istilah Kehutanan Sosial (Social Forestry) sudah muncul sejak tahun 1978 ketika Kongres Kehutanan Sedunia Ke-8 dilaksanakan di Jakarta dengan tema besar Hutan untuk Rakyat (Forest for People). Tema ini bergema ke seluruh dunia, dan baru mendapat perhatian dan implementasinya di Indonesia pada tahun 1986. Jadi kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema tersebut setelah 8 tahun kongres berlalu. Hal ini disebabkan pada zaman tersebut Indonesia sedang disibukkan oleh Boom minyak dan Boom kayu, yang berimplikasi hampir setiap orang khususnya diinstitusi-institusi pemerintahan melupakan peran masyarakat khususnya lagi masyarakat di dan sekitar hutan dalam pengelolaan SDH.

Westoby, seorang ahli kehutanan untuk pertama kalinya pada tahun 1968 telah menggunakan istilah Kehutanan Sosial (Social Forestry) dalam salah satu strategi pembangunan kehutanan. Menurut Westoby, Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari, 1983).
Sementara itu FAO pada tahun 1978 memperkenalkan istilah Kehutanan Masyarakat atau Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan.
Spektrum dari defenisi Kehutanan Masyarakat (CF) oleh FAO pada tahun 1978 tersebut meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan kebun kayu (woodlots) di wilayah yang kekurangan kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan penduduk lokal, menanam pohon kayu-kayuan dilahan usahatani masyarakat agar dapat menyediakan tanaman yang menguntungkan petani. Sangat mungkin sekali dalam spektrum defenisi tersebut juga meliputi kegiatan procesing hasil hutan pada tingkat usaha rumah tangga seperti industri kerajinan rumah tangga untuk menambah pendapatan, sebagai salah satu kegiatan masyarakat di sekitar desa-desa hutan. Kemudian FAO menyatakan bahwa Kehutanan Masyarakat (CF) sebenarnya berangkat dari pengertian partisipasi aktif dari masyarakat (Alavalapati and Gill, 1991).
Perkembangan Kehutanan Sosial (Social Forestry) di India agak sedikit berbeda. Komisi Nasional Pertanian India pada tahun 1976 bahwa defenisi Kehutanan Sosial (Social Forestry) didasarkan kepada pengertian yang berkaitan dengan “Sick Land” (Phisically) dan “Sick People” (Economically). Dengan luas lahan yang kecil dan kondisi hutan yang sebagian besar rusak, maka di India Kehutanan Sosial (Social Forestry) dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menghasilkan barang-barang seperti kayu bakar, fodder (pakan ternak berupa pohon), kayu-kayu berukuran kecil dan lain-lain, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disekitar hutan, terutama sekali masyarakat yang kurang mampu (Shah, 1985).
Menurut Foley dan Barnard (1984), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat.
Menurut Tewari (1983), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan erat sekali melibatkan masyarakat dengan suatu kepentingan pada penyediaan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk individu dan juga masyarakat.
Bachkheti (1984) mendefenisikan Kehutanan Sosial (Social Forestry) sebagai suatu kegiatan penanaman kayu di dalam dan sekitar lingkungan manusia. Tujuannya untuk menyediakan secara lokal kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk dengan penekanan pada kayu, bahan bakar (kayu bakar, buah-buahan, fodder) dan memulihkan keseimbangan ekologi yang semakin memburuk.
Dalam kaitannya dengan Kehutanan Sosial (Social Forestry) ini, Noronha dan Spears (1985) menyatakan bahwa yang paling utama dalam proyek Kehutanan Sosial (Social Forestry) terletak dalam kata “Social”, yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan memasukkan manfaat bagi masyarakat di dalam membuat rancangan dan pelaksanaan kegiatan penghutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat lokal. Perbedaan Social Forestry dengan Conventional Forestry, terutama sekali terletak pada aspek non-monetized bidang ekonomi, termasuk manfaat partisipasi, dan secara tidak langsung termasuk perbedaan sifat dan keahlian yang dimiliki oleh para rimbawan. Dalam kasus seperti ini memang antara Traditional Forester dengan Social Forester memiliki perbedaan yang mendasar, terutama sekali dalam pendekatan pengambilan keputusan mengenai perencanaan hutan.
Pelinck et al (1984) telah menggambarkan Community Forestry (CF) sebagai suatu kegiatan yang mempromosikan “kesadaran pembangunan”, pengetahuan dan bertanggungjawab atas kelestarian SDH dan masyarakat sekitar hutan serta memberi manfaat kepada mereka.
Sementara itu Wiersum (1984) memandang Kehutanan Sosial (Social Forestry) harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan kehutanan.
Hadley (1988) menggunakan istilah “Extention Forestry” dalam menggambarkan kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat. Dalam kaitan ini menurut Hadley, pengertian Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah suatu proses pendidikan informal yang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan, sepenuhnya melalui individu dan kelompok kecil masyarakat yang mempunyai kaitan dengan kegiatan komunikasi yang dicirikan oleh adanya partisipasi dari para anggotanya.
Foley and Barnard (1984) menjelaskan bentuk Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah “Farm and Community Forestry” dan mempunyai tujuan membantu memecahkan masalah supply kayu pada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memelihara lingkungan dimana mereka hidup, dengan jalan menamam pohon pada lahan pertanian mereka yang ada di sekitar desa mereka.
Sementara itu Cernea (1985) menyatakan bahwa program Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah suatu upaya mempercepat tindakan perubahan budaya dalam kaitan dengan tingkah laku sejumlah besar masyarakat, dengan kewajiban mematuhi menanam dan melindungi pohon-pohon.
Vergara (1985) telah berusaha meringkas mengenai karakteristik Kehutanan Sosial (Social Forestry) sebagai berikut : Kehutanan Sosial merupakan suatu operasi skala kecil tentang penggunaan lahan yang menjangkau pengertian dari kehutanan murni sampai agroforestry, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu atau kelompok/komunitas, untuk menghasilkan barang dan jasa, sehingga bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Dalam hal ini lahan lokasi kegiatan dapat berupa lahan milik, komunitas atau pemilikan bersama atau lahan yang dikontrak masyarakat dari pemerintah, tetapi petani mendapatkan beberapa kemudahan.

Berdasarkan pada pengertian defenisi-defenisi diatas dan gambaran dari tinjauan literatur serta pengalaman praktis lapangan maka defenisi Kehutanan Sosial (Social Forestry) yang lebih komprehensif dan tepat guna dapat diusulkan sebagai berikut (berdasarkan Alavalapati dan Giil, 1991) : Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengolahan, dimana sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara individu atau komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsistem, komersial masyarakat dan untuk kebutuhan lingkungan.

Walaupun defenisi di atas mempunyai elemen-elemen yang sama, tetapi keberadaannya berbeda di dalam hal cakupan, tujuan dan pendekatan. Misalnya Komisi Nasional Pertanian India (1976) menetapkan target groupnya adalah bagian masyarakat yang serba kekurangan atau kurang mampu. Sementara Westoby, Pelinck et al (1984) menitikberatkan pada seluruh komunitas masyarakat. Noronha and Spears (1985) membatasi defenisi mereka pada kegiatan-kegiatan kehutanan yang meliputi hanya sektor “non-monetized”. Dalam banyak program Kehutanan Sosial (Social Forestry), usahatani kehutanan komersial merupakan suatu komponen utama. Kehutanan Sosial (Social Forestry) di Gujarat India merupakan salah satu contoh terbaik. Didalam tujuannya, mereka seperti Westoby dalam Tewari (1983), NCA (1976) dan Bachkheti (1984) membatasi defenisi mereka pada manfaat lingkungan, bahan bakar, fodder, buah-buahan dan ketersediaan kayu ukuran kecil. Defenisi FAO (1978) meliputi semua bidang kegiatan dari penanaman pohon sampai processing hasil-hasil hutan, mulai tingkat subsistem sampai tingkat komersial. Westoby dalam Tewari (1983), NCA (1976) dan Bachkheti (1984), defenisi partisipasi masyarakat tidak dinyatakan dengan tegas. Dalam defenisi Hadley (1988), Pelick et al (1984) dan Cernea (1985), pendekatan pendidikan dikhususkan pada pengembangan kesadaran dan pengetahuan, dalam rangka mengembangkan perubahan tingkah laku masyarakat.
Dalam sebuah seminar internasional satu dekade yang lalu mengenai Kehutanan Social (Social Forestry) yang dilaksanakan di Fakultas Kehutanan UGM tanggal 29 Agustus sampai 2 September 1994, berdasarkan perumusan hasil seminar, terdapat 6 macam defenisi Kehutanan Social (Social Forestry) yang dapat diuraikan sebagai berikut (Simon et al, 1994):
1).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu nama kolektif untuk berbagai strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus pada distribusi pemerataan hasil-hasil hutan yang berkaitan dengan kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dalam populasi dan untuk meningkatkan partisipasi organisasi lokal dan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan biomasa kayu (Wiersum, 1994).
2).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) dapat didefenisikan sebagai satu strategi pembangunan atau intervensi organisasi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk aktif merangsang pelibatan penduduk lokal dalam skala kecil. Diversifikasi kegiatan pengelolaan hutan sebagai satu tujuan untuk meningkatkan kondisi pekerjaan penduduk tersebut (Wiersum, 1994).
3).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah satu strategi yang dititikberatkan pada pemecahan masalah-masalah penduduk lokal dan pemeliharaan lingkungan. Oleh karena itu, hasil utama kehutanan tidak semata-mata kayu. Lebih dari itu, kehutanan dapat diarahkan untuk menghasilkan berbagai macam komoditi sesuai dengan kebutuhan penduduk disuatu wilayah, termasuk bahan bakar, bahan makanan, pakan ternak, air, hewan alam yang liar dan yang menarik (Simon, 1994).
4).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah secara mendasar diarahkan pada peningkatan produktivitas, pemerataan, dan kelestarian didalam pembangunan hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi penduduk yang efektif (Rebugio, 1994).
5).     Sistem Kehutanan Sosial (Social Forestry) yang dilaksanakan oleh Perhutani adalah suatu sistem dimana penduduk lokal berperanan aktif di dalam pengelolaan hutan dengan memberikan tekanan khusus kepada pembangunan hutan tanaman. Tujuan sistem Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah berhasilnya suatu kegiatan penghutanan kembali untuk mendapatkan fungsi hutan yang optimum dan pada saat yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk lokal (Perum Perhutani, 1994).
6).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) dilaksanakan dalam wilayah hutan yang sedang dikelola oleh Perum Perhutani, sementara Community Forestry (CF) dilaksanakan di lahan milik (Perum Perhutani, 1994).


0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???