ANEKA PRAKTEK AGROFORESTRY DI
INDONESIA
Oleh : RAHMAT HIDAYAT
teknik agroforestry |
Indonesia memiliki dua ratus juta
penduduk dari berbagai kelompok etnis sehingga muncul aneka-ragam pilihan
sistem usahatani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili
oleh para pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama sehingga
permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi pendorong
proses pembangunan bermacam-macam agroforest. Sekarang ini sistem agroforest
sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil. Usaha- usaha agroforest
kebanyakan bisa ditemukan di sekitar pemukiman penduduk. Sekeliling
rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan
hutan, karena memudahkan pengawasannya.
Kebun-kebun pekarangan
(homegarden) memadukan berbagai sumberdaya tanaman asal hutan dengan
jenis-jenis tanaman eksotis yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti
buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa:
empon-empon ), tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki
kegunaan gaib. Sebagai contoh, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon
kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) dapat
digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber’ilmu’,
ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular, dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan
di atas, kebun pekarangan di Jawa
memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas
pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi
semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan
seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis
tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epiphyte (misalnya
anggrek liar).
Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa
pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki
keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis
tanaman pada lahan seluas 400 m2. Bila diperhatikan dari struktur kanopi
tajuknya, kebun-kebun itu memiliki lapisan/strata
tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang
dijumpai di hutan. Kemiripan dengan kanopi hutan ini menyebabkan estimasi
luasan hutan berdasarkan hasil foto udara menjadi kurang dapat dipercaya.
Sesuai dengan jenis kebunnya, tingkat
lapisan tajuk vegetasi dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai dari
lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu (pisang, pepaya, tanaman
hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m, misalnya damar, durian,
duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai hutan ini lebih banyak
mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik
budidaya perkebunan. Sebagai contoh, kasus
terbentuknya damar agroforest di Krui (Lihat Box 2). Contoh kasus 2: Kebun
damar di Krui, Lampung Barat (De Foresta et al., 2000)
Tanaman yang dominan di agroforest di
Pesisir Krui adalah Shorea javanica (jenis Dipterocarpaceae (kelompok meranti).
Tanaman ini merupakan pohon besar yang berasal dari hutan setempat, yang
menghasilkan getah damar mata kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan
industri cat . Hingga awal abad XX, pengumpulan getah damar di hutan alam
merupakan kegiatan ekonomi utama petani, sementara agroforest yang telah
dibangun hanya merupakan semacam sabuk hijau pohon buah-buahan di sekeliling
desa dengan luas yang terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah
mendorong petani melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun.
Keberhasilan budidaya itu telah mendorong terjadinya transformasi mendasar
agroforest tradisional secara besar-besaran, yang diikuti perluasan areal
agroforest.
Budidaya damar ini sangat berbeda
dengan silvikultur monokultur. Bersama damar, tumbuh pula berbagai jenis pohon
buah-buahan, pohon kayu-kayuan, jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya yang
sengaja ditanam dan dirawat di kebun. Selain itu terdapat pula sejumlah
tumbuhan liar yang berasal dari hutan primer ataupun dari hutan sekunder. Aneka
jenis kombinasi yang khas ini menghasilkan berbagai struktur dan fungsi. Bagian
kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m didominasi oleh pohon damar dan
pohon durian. Di bawahnya, terdapat beberapa kelompok pohon buah-buahan seperti
duku, manggis, dan rambutan yang memadati ruang pada ketinggian 10 sampai 20
meter. Di antara keduanya, pada ketinggian 20 sampai 25 meter terdapat kelompok
lapisan tengah, seperti jenis-jenis Eugenia (jambu-jambuan), Garcinia
(manggis-manggisan), dan Parkia (petai- petaian) yang dapat mencapai ketinggian
35 meter. Lapisan terbawah ditumbuhi rerumputan dan semak liar. Masalah praktis
yang sering dijumpai di lapangan (misalnya tidak menentunya penyediaan bibit,
menurunnya daya tahan bibit, sulitnya infeksi mikoriza pada akar tanaman muda,
dsb) dapat diatasi sendiri oleh petani setempat. Petani lebih memilih ‘kebun
bibit’ (seed bank) daripada memiliki ‘gudang benih’ (seedling bank).
Dengan menanam bibit dari permudaan alam langsung di kebun akan memberikan
kesempatan terjadinya infeksi mikoriza yang lebih besar, dan memudahkan
permudaan alam untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Contoh Kasus 2. (Lanjutan)
Bagaimana proses terbentuknya kebun
damar? Perkembangan terbentuknya kebun damar disajikan secara skematis pada
gambar 5. Pada stadia awal, lahan masih berupa hutan alam baik primer maupun
sekunder, atau padang alang-alang yang ditebang dan dibakar. Padi gogo ditanam
secara tumpangsari dengan tanaman komersial lainya misalnya kopi, lada dan
pohon-pohon pelindung lainnya seperti dadap dan gamal. Pengusahaan tanaman
semusim hanya berlangsung 2-3 tahun saja. Bibit pohon yang diperoleh dari kebun
petani sendiri (misalnya damar dan pohon buah-buahan) ditanam di antara tanaman
pangan. Pepohonan ini nantinya akan menjadi komponen utama dari sistem
agroforest.
Bila pohon damar mulai memproduksi
resin (setelah berumur 20 – 25 tahun), petak lahan disiangi namun membiarkan
tumbuhan bawah yang berguna tetap hidup. Dengan demikian kebun damar telah
melalui beberapa stadia yaitu: tanaman semusim, tanaman komersial, fase non-
produktif dan agroforest yang produktif sepenuhnya. Setelah tanaman semusim
dipanen terakhir kalinya, kopi dan lada dibiarkan tumbuh selama kurang lebih
8-15 tahun. Permudaan alam lainnya akan tumbuh kembali sehingga akan diperoleh
kebun campuran. Pada periode ini kompetisi intensif (antara tanaman semusim
dengan pepohonan atau tanaman bawah lainnya) kemungkinan besar akan terjadi.
Penanaman tanaman semi-perenial (seperti lada, kopi) merupakan usaha petani
dalam meningkatkan pendapatannya sehingga sering menjadi kompetitor terbesar
bagi pepohonan.
Dengan demikian pembentukan agroforest
mengalami sedikit penundaan waktu. Keuntungan dari sistem agroforest Fungsi
ekonomi agroforest di Pesisir Krui terutama adalah produksi damar. Delapan
puluh persen pendapatan sebagian besar desa di Pesisir Krui dihasilkan dari
kebun-kebun damar. Selain itu kebun damar juga memasok buah-buahan, sayuran,
rempah-rempah, gula, kayu bakar, kulit kayu, daun, bambu, dan kayu bangunan.
Dengan aneka produk yang dihasilkan, kebun damar telah menggantikan
fungsi hutan dalam ekonomi pedesaan. Karenanya, agroforest mengurangi
kegiatan pengumpulan hasil hutan dari hutan-hutan alam di sekitarnya. Petani
membuka hutan hanya untuk kebutuhan produksi makanan pokok, yakni membuka
ladang padi: namun seringkali alasan sebenarnya adalah untuk membangun kebun
damar yang baru. Sebagai hutan buatan yang dikelola dengan cermat, agroforest
dapat memproduksi selain kayu juga kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan
berkembangnya agroforest, peran hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin
lama semakin menghilang. Bila tuntutan lain terhadap hutan alam, yaitu sebagai
cadangan lahan untuk perluasan pertanian juga dapat berkurang, maka upaya
perlindungan bisa menjadi lebih efisien.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Terimakasih atas informasinya
BalasHapusirhamabdulazis271.student.ipb.ac.id