Dari Repelita hingga masa Reformasi”
Pada tahap awal pembangunan
nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya untuk mengumpulkan
devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi hutan diluar jawa, melalui ekspor log
(kayu bulat) dan hutan menjadi agen pembangunan selama tiga dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam
yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan,
sistem budaya hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih
Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam
Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan
Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75
persen diantaranya eksport.
Pendapatan kotor devisa dari
sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun 1969 menjadi US$ 564 juta tahun
1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5
juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10
juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang selanjutnta disebut “hutan negara”. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10 perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH
berjumlah 445 menguasai areal seluas 54 juta hektar lebih, hampir 50% masih
dikuasai 10 perusahaan besar yang sama. Namun demikian, pada pertengahan tahun
1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum
dan menurunnya nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari
100 HPH tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda
kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan milik
negara (Inhutani I – V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan antara
perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998,
hanya 39 juta ha tetap berada ditangan pemegang konsesi diperusahaan swasta,
sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5 perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada
dibawah perusahaan patungan swasta dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan
sebagai wilayah non kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya
tinggal 279, sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006,
dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan
yang memliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006
tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya
sebanyak 154 unit (diatas luasan 17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan
pemerintah antara lain: tidak sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak
profesional, rendahnya komitmen, konflik internal dan ada pemegang izin yang
hanya ingin menguasai lahan “rent seeker”. Sementara faktor eksternal yang
mempengaruhi diantaranya ada inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah,
masalah illegal logging, aspek keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak
ada insentif dan tuntutan yang berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun
pihak perusahaan membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang
tingginya biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar
ketentuan yang berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan
biaya produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak
aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu,
pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1
juta meter kubik pertahun.
Hampir seluruh hutan produksi
merupakan hutan alam. Hutan produksi tanaman terdapat di Jawa yang sebagian
besar berupa hutan jati. Sejak tahun 1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar
dilakukan oleh swasta dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun
waktu tersebut produksi rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter
kubik. Selama empat tahun terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu
bulat turun menjadi 24,2 juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi
579 buah dengan luas areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin
kelestarian hutan, para pemegang HPH dipersya¬ratkan untuk menyusun Rencana
Karya Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan
sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan pena¬naman baru
di areal yang tidak produktif serta melaksanakan pengamanan hutan.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan hak.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan hak.
Perkembangan industri hasil hutan
berupa kayu gergajian, kayu lapis, block board, particle board, pulpa dan
beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya dengan jumlah pabrik dan
kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993 kebutuhan bahan baku industri
perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta
meter kubik. Perkembangan industri ini sangat bermanfaat untuk peningkatan
nilai tambah, kesempatan kerja dan usaha, serta pendapatan masyarakat dan
negara. Kapasi¬tas industri pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari
hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi
industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan hutan tanaman industri
(HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN),
kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini
digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan
sebagian dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah
berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare. Sebagian besar HTI yang telah
dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan
industri kehutanan terhadap produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan
penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI
Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program
transmigrasi telah pula dimulai dalam Repelita V.
Pada tahun 1993, luas kawasan
hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4 juta hektare, di antaranya
adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan konversi 21,6 juta hektare.
Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari hutan produksi tetap
mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu dihasilkan pula rotan
101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil hutan nonkayu lainnya
sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun campuran juga menghasilkan berbagai
jenis kayu dan bambu yang digunakan untuk keperluan peru¬-mahan, kayu bakar,
bahan baku industri, dan lain-lain.
Sejak tahun 1969 sampai dengan
tahun 1992, investasi di bidang kehutanan rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per
tahun. Pada tahun 1993 total investasi swasta pada bidang kehutanan
diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun, yaitu terdiri atas investasi
industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun dan kegiatan pembalakan
(logging) sebesar Rp8,1 triliun.
Industri penggergajian merupakan
industri kehutanan terbe¬sar. Walaupun demikian produktivitas per unit industri
penggerga¬jian relatif rendah, yaitu sekitar 9 ribu meter kubik per tahun
dibanding dengan kapasitas per unit industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter
kubik per tahun. Pada tahun 1993 realisasi pro¬duksi kayu gergajian 4,0 juta
meter kubik, kayu lapis 9,1 juta meter kubik dan pulpa 450 ribu meter kubik.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan. Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat menjadi ekspor kayu olahan.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan. Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat menjadi ekspor kayu olahan.
Pada tahun 1990 ekspor kayu
gergajian setengah jadi dike¬nakan pajak ekspor yang tinggi. Kebijaksanaan ini
dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian hutan alam dan mengembangkan
industri kehutanan yang menghasilkan barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan
ini telah menurunkan ekspor kayu gergajian se¬tengah jadi, tetapi telah
meningkatkan industri kehutanan dalam negeri yang mengolah bahan jadi. Industri
kehutanan ini yang mencakup antara lain industri perabot rumah tangga, komponen
bangunan dan pulpa dan kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai
tambah ekspor hasil hutan yang berupa barang jadi.
Pada tahun 1973 total ekspor kayu
Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter kubik dengan nilai sekitar US$583,9
juta, dan ekspor kayu lapis baru mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah
kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu
olahan setengah jadi dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu
lapis telah meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar
US$3,487 miliar. Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber
daya hutan per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan
manfaat nilai tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80
persen pasaran kayu tropis dunia.