Hutan Masyarakat |
Istilah Kehutanan Sosial (Social
Forestry) sudah muncul sejak tahun 1978 ketika Kongres Kehutanan Sedunia
Ke-8 dilaksanakan di Jakarta dengan tema besar Hutan untuk Rakyat (Forest
for People). Tema ini bergema ke seluruh dunia, dan baru mendapat perhatian
dan implementasinya di Indonesia pada tahun 1986. Jadi kesadaran orang
Indonesia tersentuh oleh tema tersebut setelah 8 tahun kongres berlalu. Hal ini
disebabkan pada zaman tersebut Indonesia sedang disibukkan oleh Boom minyak dan
Boom kayu, yang berimplikasi hampir setiap orang khususnya diinstitusi-institusi
pemerintahan melupakan peran masyarakat khususnya lagi masyarakat di dan
sekitar hutan dalam pengelolaan SDH.
Westoby, seorang ahli kehutanan
untuk pertama kalinya pada tahun 1968 telah menggunakan istilah Kehutanan
Sosial (Social Forestry) dalam salah satu strategi pembangunan
kehutanan. Menurut Westoby, Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan
suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi
manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari, 1983).
Sementara
itu FAO pada tahun 1978 memperkenalkan istilah Kehutanan Masyarakat atau Community
Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan
penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan.
Spektrum
dari defenisi Kehutanan Masyarakat (CF) oleh FAO pada tahun 1978
tersebut meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan kebun kayu (woodlots)
di wilayah yang kekurangan kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan
penduduk lokal, menanam pohon kayu-kayuan dilahan usahatani masyarakat agar
dapat menyediakan tanaman yang menguntungkan petani. Sangat mungkin sekali
dalam spektrum defenisi tersebut juga meliputi kegiatan procesing hasil
hutan pada tingkat usaha rumah tangga seperti industri kerajinan rumah tangga
untuk menambah pendapatan, sebagai salah satu kegiatan masyarakat di sekitar
desa-desa hutan. Kemudian FAO menyatakan bahwa Kehutanan Masyarakat (CF)
sebenarnya berangkat dari pengertian partisipasi aktif dari masyarakat
(Alavalapati and Gill, 1991).
Perkembangan
Kehutanan Sosial (Social Forestry) di India agak sedikit berbeda. Komisi
Nasional Pertanian India pada tahun 1976 bahwa defenisi Kehutanan Sosial (Social
Forestry) didasarkan kepada pengertian yang berkaitan dengan “Sick Land”
(Phisically) dan “Sick People” (Economically). Dengan luas lahan
yang kecil dan kondisi hutan yang sebagian besar rusak, maka di India Kehutanan
Sosial (Social Forestry) dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menghasilkan
barang-barang seperti kayu bakar, fodder (pakan ternak berupa pohon),
kayu-kayu berukuran kecil dan lain-lain, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
disekitar hutan, terutama sekali masyarakat yang kurang mampu (Shah, 1985).
Menurut
Foley dan Barnard (1984), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu
dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan
yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara aktif
guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk anggota
masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat.
Menurut
Tewari (1983), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu dan seni
mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan yang ada
dan mengelola hutan yang ada dengan erat sekali melibatkan masyarakat dengan
suatu kepentingan pada penyediaan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa
untuk individu dan juga masyarakat.
Bachkheti
(1984) mendefenisikan Kehutanan Sosial (Social Forestry) sebagai suatu
kegiatan penanaman kayu di dalam dan sekitar lingkungan manusia. Tujuannya
untuk menyediakan secara lokal kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk dengan
penekanan pada kayu, bahan bakar (kayu bakar, buah-buahan, fodder) dan
memulihkan keseimbangan ekologi yang semakin memburuk.
Dalam
kaitannya dengan Kehutanan Sosial (Social Forestry) ini, Noronha dan
Spears (1985) menyatakan bahwa yang paling utama dalam proyek Kehutanan Sosial
(Social Forestry) terletak dalam kata “Social”, yang berarti
proyek menjamin kebutuhan lokal dengan memasukkan manfaat bagi masyarakat di
dalam membuat rancangan dan pelaksanaan kegiatan penghutanan kembali dan
pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat lokal. Perbedaan Social
Forestry dengan Conventional Forestry, terutama sekali terletak pada
aspek non-monetized bidang ekonomi, termasuk manfaat partisipasi, dan
secara tidak langsung termasuk perbedaan sifat dan keahlian yang dimiliki oleh
para rimbawan. Dalam kasus seperti ini memang antara Traditional Forester
dengan Social Forester memiliki perbedaan yang mendasar, terutama sekali
dalam pendekatan pengambilan keputusan mengenai perencanaan hutan.
Pelinck
et al (1984) telah menggambarkan Community Forestry (CF) sebagai suatu
kegiatan yang mempromosikan “kesadaran pembangunan”, pengetahuan dan
bertanggungjawab atas kelestarian SDH dan masyarakat sekitar hutan serta
memberi manfaat kepada mereka.
Sementara
itu Wiersum (1984) memandang Kehutanan Sosial (Social Forestry) harus
merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang
tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam
pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi
mereka ke dalam pembangunan kehutanan.
Hadley
(1988) menggunakan istilah “Extention Forestry” dalam menggambarkan
kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat. Dalam kaitan ini menurut Hadley,
pengertian Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah suatu proses
pendidikan informal yang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan, sepenuhnya
melalui individu dan kelompok kecil masyarakat yang mempunyai kaitan dengan
kegiatan komunikasi yang dicirikan oleh adanya partisipasi dari para
anggotanya.
Foley
and Barnard (1984) menjelaskan bentuk Kehutanan Sosial (Social Forestry)
adalah “Farm and Community Forestry” dan mempunyai tujuan membantu memecahkan
masalah supply kayu pada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka sendiri
dan memelihara lingkungan dimana mereka hidup, dengan jalan menamam pohon pada
lahan pertanian mereka yang ada di sekitar desa mereka.
Sementara
itu Cernea (1985) menyatakan bahwa program Kehutanan Sosial (Social Forestry)
adalah suatu upaya mempercepat tindakan perubahan budaya dalam kaitan dengan
tingkah laku sejumlah besar masyarakat, dengan kewajiban mematuhi menanam dan
melindungi pohon-pohon.
Vergara
(1985) telah berusaha meringkas mengenai karakteristik Kehutanan Sosial (Social
Forestry) sebagai berikut : Kehutanan Sosial merupakan suatu operasi skala
kecil tentang penggunaan lahan yang menjangkau pengertian dari kehutanan murni
sampai agroforestry, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu atau
kelompok/komunitas, untuk menghasilkan barang dan jasa, sehingga bermanfaat
bagi kepentingan masyarakat. Dalam hal ini lahan lokasi kegiatan dapat berupa
lahan milik, komunitas atau pemilikan bersama atau lahan yang dikontrak masyarakat
dari pemerintah, tetapi petani mendapatkan beberapa kemudahan.
Berdasarkan pada pengertian
defenisi-defenisi diatas dan gambaran dari tinjauan literatur serta pengalaman
praktis lapangan maka defenisi Kehutanan Sosial (Social Forestry) yang
lebih komprehensif dan tepat guna dapat diusulkan sebagai berikut (berdasarkan
Alavalapati dan Giil, 1991) : Kehutanan Sosial (Social Forestry)
merupakan suatu kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengolahan, dimana
sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman
perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara
individu atau komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsistem, komersial
masyarakat dan untuk kebutuhan lingkungan.
Walaupun defenisi di atas mempunyai
elemen-elemen yang sama, tetapi keberadaannya berbeda di dalam hal cakupan,
tujuan dan pendekatan. Misalnya Komisi Nasional Pertanian India (1976)
menetapkan target groupnya adalah bagian masyarakat yang serba kekurangan atau
kurang mampu. Sementara Westoby, Pelinck et al (1984) menitikberatkan pada
seluruh komunitas masyarakat. Noronha and Spears (1985) membatasi defenisi
mereka pada kegiatan-kegiatan kehutanan yang meliputi hanya sektor “non-monetized”.
Dalam banyak program Kehutanan Sosial (Social Forestry), usahatani
kehutanan komersial merupakan suatu komponen utama. Kehutanan Sosial (Social
Forestry) di Gujarat India merupakan salah satu contoh terbaik. Didalam
tujuannya, mereka seperti Westoby dalam Tewari (1983), NCA (1976) dan Bachkheti
(1984) membatasi defenisi mereka pada manfaat lingkungan, bahan bakar, fodder,
buah-buahan dan ketersediaan kayu ukuran kecil. Defenisi FAO (1978) meliputi
semua bidang kegiatan dari penanaman pohon sampai processing hasil-hasil
hutan, mulai tingkat subsistem sampai tingkat komersial. Westoby dalam Tewari
(1983), NCA (1976) dan Bachkheti (1984), defenisi partisipasi masyarakat tidak
dinyatakan dengan tegas. Dalam defenisi Hadley (1988), Pelick et al (1984) dan
Cernea (1985), pendekatan pendidikan dikhususkan pada pengembangan kesadaran
dan pengetahuan, dalam rangka mengembangkan perubahan tingkah laku masyarakat.
Dalam
sebuah seminar internasional satu dekade yang lalu mengenai Kehutanan Social (Social
Forestry) yang dilaksanakan di Fakultas Kehutanan UGM tanggal 29 Agustus
sampai 2 September 1994, berdasarkan perumusan hasil seminar, terdapat 6 macam
defenisi Kehutanan Social (Social Forestry) yang dapat diuraikan sebagai
berikut (Simon et al, 1994):
1). Kehutanan
Sosial (Social Forestry) merupakan suatu nama kolektif untuk berbagai
strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus pada distribusi
pemerataan hasil-hasil hutan yang berkaitan dengan kebutuhan berbagai kelompok
masyarakat dalam populasi dan untuk meningkatkan partisipasi organisasi lokal
dan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan biomasa kayu (Wiersum,
1994).
2). Kehutanan Sosial (Social
Forestry) dapat didefenisikan sebagai satu strategi pembangunan atau
intervensi organisasi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya
dengan tujuan untuk aktif merangsang pelibatan penduduk lokal dalam skala
kecil. Diversifikasi kegiatan pengelolaan hutan sebagai satu tujuan untuk
meningkatkan kondisi pekerjaan penduduk tersebut (Wiersum, 1994).
3). Kehutanan Sosial (Social
Forestry) adalah satu strategi yang dititikberatkan pada pemecahan
masalah-masalah penduduk lokal dan pemeliharaan lingkungan. Oleh karena itu,
hasil utama kehutanan tidak semata-mata kayu. Lebih dari itu, kehutanan dapat
diarahkan untuk menghasilkan berbagai macam komoditi sesuai dengan kebutuhan
penduduk disuatu wilayah, termasuk bahan bakar, bahan makanan, pakan ternak,
air, hewan alam yang liar dan yang menarik (Simon, 1994).
4). Kehutanan Sosial (Social
Forestry) adalah secara mendasar diarahkan pada peningkatan produktivitas,
pemerataan, dan kelestarian didalam pembangunan hutan dan sumberdaya alam
melalui partisipasi penduduk yang efektif (Rebugio, 1994).
5). Sistem Kehutanan Sosial (Social
Forestry) yang dilaksanakan oleh Perhutani adalah suatu sistem dimana
penduduk lokal berperanan aktif di dalam pengelolaan hutan dengan memberikan
tekanan khusus kepada pembangunan hutan tanaman. Tujuan sistem Kehutanan Sosial
(Social Forestry) adalah berhasilnya suatu kegiatan penghutanan kembali
untuk mendapatkan fungsi hutan yang optimum dan pada saat yang sama untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk lokal (Perum Perhutani, 1994).
6). Kehutanan Sosial (Social
Forestry) dilaksanakan dalam wilayah hutan yang sedang dikelola oleh Perum
Perhutani, sementara Community Forestry (CF) dilaksanakan di lahan milik
(Perum Perhutani, 1994).
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???