Perkawinan dalam pengertian sederhana
diartikan yaitu ikatan pribadi antara pria dan wanita untuk membentuk
suatu keluarga atau hubungan kekerabatan. Memiliki fungsi sebagai
legalisasi akan kebutuhan seks, memelihara keturunan atau reproduksi dan
lain sebagainya. Hal tersebut dilegalkan oleh lingkungannya atau hukum
masyarakat sekitar tempat ia hidup. Lebih lanjut mengenai tujuan dan
syarat-syarat perkawinan di Indonesia dipaparkan pada UU nomor 1 tahun
1974 mengenai perkawinan. Undang-undang tersebut pada Bab II pasal 8
juga menerangkan adapun beberapa larangan perkawinan yaitu: (1)
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; (2)
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang
saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya. (3) berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu
atau bapak tiri. (4) sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. (5) sehubungan saudara
dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang. (6) Mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin.[1]
Pada pedalaman hutan Boliyohato tepatnya
di daerah Gorontalo terdapat suatu suku yang bernama Suku Polahi yang
masih tradisional, untuk mencapai ke lokasi perkampungan Polahi harus
menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam, menurut cerita yang
berkembang di masyarakat Gorontalo bahwa Suku Polahi adalah mereka yang
tidak mau di tindas dan dijajah oleh Belanda. sehingga dari beberapa
kolompok masyarakat banyak yang mengamankan diri mereka dengan cara
berpindah tempat masuk kedalam hutan. Pola hidup mereka berpindah-pindah
dari satu wilayah ke wilayah lain “nomaden”.
Keseharian hidupnya mereka habiskan di
dalam hutan. Berburu adalah cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Cara memasak mereka juga masih sangat sederhana yaitu dengan memasukkan
seluruh bahan makanannya kedalam satu bambu, kemudian bambu tersebut
mereka bakar sampai retak atau pecah yang menurut mereka sebagai tanda
bahwa masakan mereka telah matang. Masakan tersebut masih belum
tercampuri oleh bumbu-bumbuan, mereka hanya mencampurkan semua bahan
yang berniat mereka makan. Kekita di dalam hutan, Laki-laki dan
perempuan masyarakat Polahi tradisional hanya menggunakan pakaian
semacam celana dalam yang terbuat dari daun-daunan untuk menutupi alat
kelamin mereka.[2]
Pada masyarakat Suku Polahi tradisional, mereka masih menganut perkawinan sedarah atau incest.
Hal semacam ini sudah menjadi salah satu adat di kebudayaan mereka
yaitu apabila suatu keluarga memilki anak laki-laki dan perempuan maka
secara otomatis dua bersaudara ini akan saling menikah atau dinikahkan,
dari sini kita dapat melihat bagaimana anak mereka sekaligus juga
menjadi menantu untuk mereka. Begitu juga sang ayah atau ibu mereka
dapat menikah dengan anak-anaknya sendiri, jelas disini kita dapat
melihat adanya ketidakteraturan pada susunan kekerabatan mereka.
Secara sudut pandagan budaya, incest lebih bersifat emosional daripada masalah hukum. Maka istilah tabu lebih dipilih daripada hanya sekedar larangan.[3] Dalam antropologi incest di pandang sebagai hal yang universal, incest dipandang
secara berbeda dalam masyarakat yang berbeda, dan pengetahuan tentang
pelanggarannya pun menimbulkan reaksi yang sangat berbeda dari
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Beberapa masyarakat
menganggap incest hanya meliputi mereka yang tinggal dalam satu
rumah, atau yang berasal dari klan atau keturunan yang sama; masyarakat
lain menganggap incest meliputi “saudara sedarah”; sedangkan yang lainnya lagi lebih jauh mengkaitkannya dengan adopsi atau perkawinan.[4]
Ada berbagai macam pendapat mengenai ketidaktepatan perkawinan sedarah atau tabu incest ini.
salah satunya seperti sudut pandang sosial, antropolog Claude
Levi-Strauss yang mengembangkan argumen pada universalitas tabu incest dalam masyarakat manusia. Argumennya dimulai dengan pernyataan bahwa tabu incest merupakan
dampak pelarangan terhadap endogami, dan efek ini adalah untuk
mendorong eksogami. Melalui eksogami, rumah tangga atau garis keturunan
yang tidak sekerabat akan membentuk relasi melalui perkawinan, sehingga
memperkuat solidaritas sosial.
Pernyataan tersebut dilatar belakangi
oleh usulannya yang disebut teori aliansi. Levi-Strauss mengusulkan apa
yang disebut sebagai teori aliansi adalah transaksi yang melibatkan
seorang wanita untuk menjebatani relasi, sebuah aliansi, di antara
kelompok manusia. Ia memandang pernikahan sebagai pertukaran perempuan
di antara dua kelompok sosial membuat jalinan kerja-sama antar seorang
individu manusia akan lebih luas dan yang menguntungkan, entah itu dalam
perluasan sumber daya dalam suatu keluarga atau lain sebagainya.[5]
Dengan demikian argumen Levi-Strauss
mencerahkan sebuah pandangan bahwa tabu incest terkait dengan preferensi
bagi keuntungan eksogami. Yaitu dengan kata lain saya mengasumsikan
perkawinan eksogami di luar dari kelompok keluarga luas akan mungkin
lebih menguntungkan untuk pengembangan kehidupan manusia daripada
perkawinan sedarah atau incest yang cenderung akan membatasi aliansi,
kerja-sama antar individu kelompok sosial tertentu.
Namun terlepas akan larangan perkawinan
sedarah di Negara ini, yang berkaca pada ketentuan hukum yang telah
dijelaskan di paragraf pertama. Kita juga harus memahami di balik sekian
permasalahan yang diuraikan di atas. Terdapat hal-hal yang juga
mendukung untuk tetap tumbuhnya perkawinan sedarah. Seperti yang terjadi
di suku polahi ini misalnya, disamping adanya adat-adat mengenai
perkawinan sedarah, akibat jarak tempat tinggal yang terlalu jauh dengan
kelompok-kelompok lain; membuat mereka sulit bertemu dan melakukan
perkawinan eksogami. Tersimpulkan disini, bahwa sistem kekerabatan yang
orang polahi pertahankan dan wariskan, sebenarnya adalah solusi adaptif
dari kehidupan mereka. Anjuran eksogami yang dapat membentuk jaringan
relasi memang mengutungkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, namun pada
beberapa suku atau masyarat terkadang hal ini juga tidak efektif.
Pernyataan ini juga telah mempercerah pandangan antropologi mengenai incest sebagai hal yang universal, incest dipandang
secara berbeda dalam masyarakat yang berbeda, dan pengetahuan tentang
pelanggarannya pun menimbulkan reaksi yang sangat berbeda dari
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Sekedar mungkin untuk refleksi kita
semua, tidak hanya bagi para unit pemerintahan saja. Sehendaknya kita
juga harus lebih memperhatikan bagaimana keadilan tentang pemerataan
progam-progam pemerintah tentang pembangunan transportasi, ekonomi,
pendidikan, yang mengedepankan Sosial-Budaya di Negara kita ini. Yang di
harapkan nantinya agar berdampak lebih luas pada hal-hal yang lain
seperti pada masalah perkembangan organisasi sosial yang lebih baik,
dalam hal ini keluarga misalnya. Masih banyak orang-orang lain yang
nasibnya sama seperti orang-orang Polahi ini, yang sangat membutuhkan
perhatian dari kita sebagai orang yang mungkin lebih mengerti dari pada
mereka, untuk kemajuan, keberadaban bangsa ini.
0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:
Posting Komentar
sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???