1.1 Latar Belakang
Bawang merah (Allium
ascalonicum L.) merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang
mempunyai peluang besar dalam sektor agribisnis. Selama beberapa tahun terakhir
ini bawang merah termasuk enam besar komoditas sayuran komersial yang diekspor
bersama-sama dengan kubis, bunga kol, cabai, tomat dan kentang. Alasan mendasar
cerahnya prospek bawang merah adalah sebagai bumbu masak dan bahan baku
obat-obatan sehingga menyebabkan tingginya permintaan bawang merah di pasaran
(Anonim, 2002).
Kebutuhan bawang merah setiap tahunnya semakin meningkat
seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap gizi. Oleh karena itu perlu diimbangi dengan peningkatan produksi. Di
Indonesia produksi bawang merah pada tahun 2009 rata-rata mencapai 10,48
ton/ha, sedangkan di Sulawesi Tengah
produksi bawang merah pada tahun yang sama rata-rata mencapai 4,12 ton/ha. (Anonim, 2010). Bila dibandingkan dengan produksi nasional,
produksi bawang merah di Sulawesi Tengah masih tergolong sangat rendah.
Upaya yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan
produksi bawang merah antara lain dengan melalui program ekstensifikasi dan
intensifikasi, namun hasil yang dicapai belum dapat menunjukkan peningkatan
produksi. Masih rendahnya produksi tersebut antara lain karena penerapan teknik
budidaya yang kurang mendukung, termasuk serangan hama yang sulit dikendalikan.
Hama utama yang menyerang bawang merah adalah Spodoptera exiqua Hubner. (Lepidoptera, Noctuidae). Di Indonesia hama tersebut dikenal dengan
nama ulat bawang (Kalshoven, 1981). Serangan ulat bawang merupakan salah satu
faktor pembatas dalam usaha pengembangan bawang merah. Hama S. exigua dapat menyerang tanaman
bawang sejak awal pertumbuhan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang tidak
sedikit. Larva menimbulkan kerusakan dengan cara memakan daun tanaman. Menurut Sastrosiswojo (1994) kehilangan
hasil akibat serangan larva S. exigua
dapat mencapai 57%. Pada serangan berat
dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%, karena daun yang ada habis
dimakan oleh larva sehingga kegagalan panen tidak bisa dihindari. Serangan berat ini biasanya terjadi pada
musim kemarau yang mengakibatkan produksi tanaman menurun.
Sampai saat
ini untuk mengendalikan hama S. exigua para petani masih mengandalkan
insektisida kimia karena mereka menganggap insektisida merupakan jaminan untuk
keberhasilan usaha taninya. Aplikasi
penggunaan insektisida kimia dilakukan dalam selang waktu 2-3 hari sekali dan
bahan kimia yang disemprotkan merupakan campuran dari berbagai jenis
insektisida (Utami 1997). Hal ini sangat disayangkan mengingat
Indonesia sedang menuju era pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan,
sehingga penggunaan insektisida kimia sintetis harus digunakan seminimal
mungkin.
Salah
satu cara pengendalian hama S. exigua yang ramah lingkungan adalah
dengan menggunakan musuh alami serangga hama baik berupa predator, parasitoid
maupun patogen. Adanya
mikroba sebagai patogen serangga terhadap hama telah dikenal sejak lama, namun
manfaat dari mikroorganisme yang bersifat patogen terhadap serangga hama belum
banyak diketahui oleh petani. Salah satu
patogen yang telah diidentifikasi dapat mengendalikan serangga adalah cendawan Beauveria
bassiana. Cendawan tersebut dapat menginfeksi serangga hama ordo
lepidoptera, coleoptera, diptera dan hymenoptera. Di beberapa negara, cendawan ini
telah digunakan sebagai agensi hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai
dari tanaman pangan, hias, buah-buahan,
sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga tanaman gurun pasir (Tafoya et al.,
2004; dalam Sabbahi, 2006).
Di
Indonesia, hasil-hasil penelitian B.
bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk
mengendalikan hama jagung Spodoptera
litura, Helicoverpa armigera, dan Ostrinia
furnacalis. (Diana-Daud, 2002). hama
kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada
padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella dan Crocidolomia pavonana
pada sayur-sayuran kubis (Trizelia (2005; Hardiyanti,
2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah
kakao Hypothenemus hampei (Sudarmadji
dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006).
Karena B. bassiana
mempunyai kisaran inang yang luas, maka patogen ini tersebar pada kisaran
geografi yang luas. Hal demikian memungkinkan adanya
keanekaragaman isolat-isolat yang dikoleksi. Meskipun B. bassiana
mempunyai kisaran inang yang luas dan mampu menginfeksi serangga pada berbagai
umur dan stadia perkembangan, namun tidak semua B. bassiana dapat
membunuh hama, melainkan hanya strain tertentu yang virulen. Kenyataan tersebut merupakan kendala untuk
aplikasi cendawan entomopatogen yang tidak dapat mapan sendiri, karena perlu
diaplikasikan beberapa kali.
Untuk memperoleh Beauveria
spp. yang dapat mapan di lapangan diperlukan eksplorasi Beauveria
spp. pada berbagai lokasi dan asal
inang, kemudian dikarakterisasi secara morfologi untuk diformulasi menjadi
bioinsektisida. Hal tersebut merupakan
salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan penggunaan Beauveria
spp. sebagai agens hayati yang ramah lingkungan.
2.1 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh aplikasi isolat
cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dari daerah yang berbeda
terhadap intensitas serangan ulat bawang S. exigua dan bobot
umbi basah dan umbi kering bawang
merah lokal Palu.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tanaman Bawang Merah
Bawang merah adalah tanaman musiman yang berumpun. Daun panjang dan
berongga. Batang sangat pendek, dan hampir tidak kelihatan serta berakar
serabut. Umbi yang kelihatan utuh bila dikupas atau diiris melintang tampak berlapis-lapis. Umbi
terbentuk dari penebalan dasar daun, pertumbuhan lanjut menunjukkan bahwa daun
dekat pusat umbi tidak berkembang menjadi daun namun menjadi kelompok
persediaan makanan. Bunga bawang merah berwarna putih kehijauan (Kusumo, 1989).
2.1.1 Syarat Tumbuh
Bawang merah membutuhkan tanah yang berstruktur baik, gembur dan cukup
bahan organik dengan pH 6,0-6,8. Syarat
lain adalah tanah yang tidak tergenang air atau becek dan pertukaran udara
dalam tanah (aerasi) baik. Jenis tanah yang paling baik untuk pertanaman bawang
merah adalah tanah lempung berpasir atau lempung berdebu. Jenis tanah ini
mempunyai aerasi dan drainase yang baik karena tekstur tanahnya yang seimbang
antara liat, debu dan pasir ((Kusumo, 1989).
Menurut Soenarjono dan Soedomo (1983), tanaman bawang merah dapat di tanam
di dataran rendah sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut, dengan
curah hujan 300–2500 mm per tahun.
2.1.2 Budidaya Bawang Merah
Tanaman bawang merah umumnya diperbanyak dengan menggunakan umbi. Umbi
yang siap ditanam adalah yang sudah mengalami masa istirahat atau disimpan
selama 2-6 bulan. Sehari sebelum di tanam, ujung umbi dipotong sepanjang satu
pertiga bagian. Perlakuan ini bertujuan untuk umbi yang belum matang agar
pertumbuhan umbi merata atau serempak, memperbanyak anakan dan memperpendek
masa istirahat umbi. Jarak tanam biasanya 15 x 20 cm atau 20 x 20 cm tergantung
pada ukuran umbi dan lahan (Soenarjono dan Soedomo, 1983).
2.2. Hama Ulat Bawang Spodoptera
exiqua Hubner.
S. exiqua mempunyai sistematika
sebagai berikut : Phylum Arthopoda, Sub philum Mandibulata, Klas Insekta, Sub
klas Pterygota, Ordo Lepidoptera, Sub ordo Pitrysia (Frenata), Super famili Amphipyrinae, Genus Spodoptera.
Spesies S. exiqua (Borror, et. al., 1992).
2.2.1
Morfologi
Dalam perkembangannya hama S.
exiqua melewati stadia telur, larva,
pupa dan imago sehingga digolongkan sebagai metamorfosis sempurna. Ngengat
betina meletakkan telurnya di permukaan dan secara berkelompok-kelompok
terbentuk bulat atau lonjong yang berwarna putih yang dilindungi atau ditutupi
oleh lapisan bulu-bulu putih (Pracaya, 1991). Seekor betina mampu bertelur
500-6000 butir, lama stadium telur berkisar antara 2-4 hari (Rukmana, 1994).
Larva yang baru keluar dari telur hidup berkelompok dan setelah memakan
daun hidup sendiri-sendiri, larva mengalami perubahan warna selama
perkembangannya dan ukuran panjang normal biasanya 2,5 cm (Sastrosiswojo, 1983,
dalam Engelwati, 2001).
Larva yang baru keluar dari telur hidup berkelompok. Beberapa jam
kemudian larva tersebut langsung melubangi daun yang terdapat di dekat tempat
peletakan telurnya dan masuk ke dalam daun memakan jaringan epidermis dalam
daun (Sastrosiswojo, 1983 dalam Engelwati, 2001). Warna larva dewasa
bervariasi tergantung umur. Larva dapat mencapai panjang berkisar 37-50 mm
(Hill, 1983;dalam Kalshoven, 1981).
Larva dewasa menjatuhkan diri ke tanah sewaktu akan menjadi kepompong
kira-kira 0,635 cm di bawah permukaan tanah. Panjang kepompong berkisar antara
10-12 mm dan berwarna cokelat mengkilap. Stadium kepompong sekitar 6 hari
(Hill, 1983;dalam Kalshoven, 1981).
Imago yang berupa ngengat atau kupu-kupu berwarna kelabu yang pada sayap
depannya mempunyai bintik-bintik berwarna kuning, dan aktif pada malam hari
(Rukmana 1994). Kalshoven (1981) menambahkan bahwa ukuran ngengat betina lebih
besar dari pada ngengat jantan dan lama hidup imago berkisar antara 8-10 hari.
Usia untuk satu generasi kurang lebih 23 hari pada pengamatan di Bogor.
2.2.2
Gejala Serangan
Tanaman inang utama S. exiqua
adalah bawang merah, bawang putih dan bawang daun (Rukmana, 1994). Selain itu dapat menyerang tanaman lain
seperti krotalaria sampai beberapa jenis sayuran, sorghum, jagung, tembakau,
kapas dan beberapa jenis rumput-rumputan (Wibowo, 1998).
Setelah menetas koloni ulat kecil-kecil membuat lubang pada daun,
kemudian merusak jaringan vaskuler dan masuk ke dalam daun sambil memakan
daging daun sebelah dalam (Rukmana, 1994). Sedangkan bagian luar dari daun
tampak terkulai seperti layu, berwarna putih. Bagian daun yang ditinggalkan
hanya lapisan epidermis sehingga daun tampak seperti membran (Anonim, 1991).
Wibowo (1998) menambahkan bahwa daun bawang tampak berlubang dan dekat lubang
tersebut terdapat kotoran ulat.
2.3 Beauveria bassiana
2.3.1
Klasifikasi dan morfologi
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes,
ordo Hypocreales dari family Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga
ini pertama kali ditemukan oleh Agostino
bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada
ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan
penyakit pertama pada serangga, tetapi
juga yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama
Beauveria bassiana. Cendawan B.
bassiana juga dikenal sebagai
penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang
dihasilkan berwarna putih (Gambar 1),
bentuknya oval, dan tumbuh secara zig
zag pada konidiofornya.
Gambar 1. Konidia putih pada berbagai
stadium larva Helicoverpa armigera
(kiri)
dan
miselia putih pada larva H. armigera
(kanan) (Sumber : Soetopo dan Indrayani, 2008)
Tanada
dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa cendawan kelas hypomycetes merupakan cendawan yang
mempunyai hubungan dengan insekta. Beberapa spesies seperti Beauveria
sp, Metharizium sp, Neumuraea
sp sangat virulen terhadap artropoda dan dapat mematikan.
Menurut Riyatno dan Santoso
(1991) Konidia dari jamur B. bassiana
menempel pada ujung dan sisi
konidiofor atau cabang-cabangnya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa konidiofor jamur B. bassiana berbentuk zig-zag dan berkelompok dengan
miselia di bawahnya menggelembung, konidia berukuran (2,0-3,0) x (2,0-2,5) mm
tersusun seperti buah anggur pada konidiofornya.
Menurut utomo dan Pardede dan
Salam (1988), didalam mengembangbiakkan jamur
B. bassiana, perlu diperhatikan bahwa jamur lain (Penicelium sp., Fusarium sp. dan Curvularia sp.) dapat tumbuh bersama-sama jamur B. bassiana sehingga
dibutuhkan ketelitian dalam mengidentifikasi jamur ini. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ciri
miselia jamur B. bassiana yaitu padat dan menggumpal yang berbentuk
seperti tonjolan, sedang ketiga jamur lainnya bentuk pertumbuhan miselianya
datar dan meskipun pertumbuhan miselia jamur B. bassiana ini agak lambat tetapi mampu bersaing dalam
hal tempat tumbuh dengan ketiga jamur tersebut.
2.3.2
Virulensi B. bassiana
Virulensi adalah total
kemampuan yang dimiliki oleh jasad mikroorganisme untuk menyebabkan inangnya
sakit atau mati (Agrios, 2005). Virulensi dipengaruhi oleh faktor genetika mikroorganisme, misalnya
kemampuan menghasilkan toksin, organel tubuh yang berfungsi sebagai senjata,
dan kemampuan menghasilkan metabolit ekstraseluler yang bersifat racun. Kesemua
faktor virulensi tersebut berfungsi sebagai sarana mikroba untuk menyebabkan
inang atau organisme targetnya menjadi sakit atau mati.Beauvericin juga
menyebabkan gangguan pada sel saat pertukaran zat dari satu sel ke sel lainnya
pada Leucophase maderae (Tanada dan Kaya, 1993).
Cendawan B. bassiana
memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera,
Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada
serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988)
Larva yang terinfeksi menjadi
keras dan kaku kemudian sesudah beberapa hari diselimuti miselia jamur berwarna
putih sehingga tampak seperti mumi (Utomo dkk,1988).
2.3.3
Gejala dan mekanisme penetrasi
Steihanus (1963) dalam
Patulak (1995) menguraikan bahwa gejala
sakit awal pada serangga yang terinfeksi jamur B. bassiana ialah serangga yang terserang kadang-kadang
menampakkan noda-noda hitam pada bagian kutikula sebagai titik infeksi yang
pertama. Dalam hitungan hari,
serangga akan mati. Setelah itu, miselia jamur akan tumbuh ke seluruh bagian
tubuh serangga. Serangga yang terserang cendawan B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan
tertutup oleh benang-benang hifa berwarna putih (Anonim, 2008).
Jamur B. bassiana dapat juga
menginfeksi saluran pencernaan melalui daun tanaman yang dimakannya, spora yang
termakan terbawa ke dalam perut dan lalu menembus dinding anus (Robert, 1981 dalam Jauharlina, 1999).
2.3.4
Patogenisitas Cendawan Beauveria spp. Terhadap Serangga
Cendawan Beauveria
spp. Termasuk dalam cendawan
kelas hypomycetes mempunyai hifa yang bersekat-sekat, tetapi ada juga yang
berbentuk sel tunggal dan sering membentuk pseudomiselium jika lingkungan
menguntungkan (Dwijoseputro, 1987).
Cendawan ini berkembang secara aseksual dan seksual tergantung dari
faktor-faktor lingkungan seperti suhu,
cahaya, dan nutrisi (Alexopaulus dan Mims, 1979).
Tanada
dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa cendawan kelas hypomycetes merupakan cendawan yang
mempunyai hubungan dengan insekta. Beberapa spesies seperti Beauveria
sp, Metharizium sp, Neumuraea
sp sangat virulen terhadap artropoda dan dapat mematikan.
Konidia
adalah bagian yang paling efektif dari sebagian besar cendawan untuk
menginfeksi serangga. Cendawan menginfeksi inangnya melalui
kutikula, mulut, alat pernafasan, dan alat pencernaan. Penetrasi cendawan yang paling mudah adalah
melalui saluran pencernaan, karena dapat menghasilkan zat yang bersifat asam
sehingga pempengaruhi penularan cendawan dan berkembang di saluran pencernaan
(Sila, 1983).
Sebelum
konidia mencapai organ-organ vital serangga, terlebih dahulu berkecambah
membentuk hifa. Hifa ini secara
bersama-sama membentuk misilium lalu mengadakan penetrasi ke dalam tubuh
serangga inangnya (Sila, 1983). Setelah
berhasil melakukan penetrasi ke dalam tubuh inang, misilium akan mengikuti aliran darah dan menyebar di
seluruh bagian tubuh serangga. Di dalam
tubuh serangga cendawan akan memperbanyak diri dan memproduksi racun
beauviricin yang akan merusak struktur membran sel dan mengakibatkan kematian
serangga inang (Riyatno dan Santoso, 1991).
Gejala
awal serangga yang terinfeksi cendawan Beauveria spp yakni kadang-kadang
serangga yang terinfeksi berubah warnanya dengan noda-noda hitam pada bagian
kutikula sebagai titik infeksi yang pertama. Serangga yang terinfeksi cendawan terlihat lemah
serta terkulai dan setelah mati seluruh tubuhnya akan ditutupi benang hifa yang
kemudian menjadi kering. Pada larva
lepidoptera, infeksi spora cendawan terutama terjadi melalui penetrasi
permukaan kulit larva. Diduga infeksi ini terjadi melalui lubang spirakel
maupun bagian-bagian tubuh yang lebih lunak diantaranya ruas-ruas tubuh larva.
Infeksi cendawan Beauveria spp. Pada larva serangga selain melalui
penetrasi pada permukaan kulit, spora cendawan juga dapat tertelan sewaktu
larva menggerek/makan organ tanaman, sehingga spora terbawa ke dalam perut dan
menembus dinding usus. Larva yang terinfeksi biasanya mengeluarkan cairan
kemerahan dari mulutnya secara terus menerus dan akhirnya larva tersebut mati.
Setelah mati, mula-mula tubuh larva masih lunak tetapi dalam waktu sekitar 5
jam larva menjadi kaku (mumi), kemudian sehari setelah itu tubuh larva
diselimuti warna putih yang sebenarnya adalah miselia dan spora Beauveria
spp. Cendawan Beauveria spp. Dapat juga menginfeksi saluran pencernaan
melalui daun tanaman yang dimakannya, kemudian spora terbawa ke dalam perut dan
menembus dinding usus. (Roberts, 1981)
2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan dan Infeksi Cendawan Beauveria spp.
Terhadap Serangga
Faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
dan infeksi cendawan terhadap serangga adalah suhu, kelembaban, angin, cahaya,
dan kuantitas cendawan itu sendiri.
Kelembaban yang tinggi merupakan unsur iklim yang penting untuk pertumbuhan spora dan penularan patogen dari
suatu serangga ke serangga lainnya. Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan
misilium dari cendawan tersebut. Konidia
cendawan B. Bassiana ini dapat berkembang baik pada suhu antara 20 oC–30
oC disertai dengan kelembaban yang cukup tinggi.
Konidiofor berkembang baik pada kelembaban tinggi yakni 90% serta pH yang
dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah
antara 3,3 – 8,5. (Mc.Coy et al.,
1988).
Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat virulensi Beauveria spp. Terhadap
serangga inang sangat bervariasi. Perbedaan virulensi ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain karena lingkungan dan perbedaan strain dari Beauveria
spp. (Wiryadiputra, 1994). Terjadinya
perbedaan ras (strain) dari cendawan disebabkan oleh perbedaan inang (host) dan
lokasi (tempat).
Ras
adalah suatu sifat genetik yang berperan secara geografis dengan kelompok
persilangan-persilangan tertentu dalam suatu spesies (Anonim, 1983). Ras-ras
cendawan terutama deuteromycetes dapat diidentifikasi berdasarkan morfologi,
fisiologi dan biokimia. Identifikasi ras
dengan metode konvensional berupa pengamatan secara morfologis terhadap ciri
morfologinya kurang sempurna sehingga perlu cara lain yang lebih teliti seperti
uji patogenitas dengan inang tertentu. Cara ini banyak dilakukan untuk cendawan
Pyricularia orizae.
Tipe-tipe kanopi tanaman juga
berpengaruh terhadap deposit konidia pada daun karena berkaitan dengan paparan
sinar ultraviolet. Tanaman dengan tipe kanopi rimbun lebih menaungi
konidia dengan yang bertipe terbuka. Inglis
et al. (1993) melaporkan bahwa inaktivasi
konidia lebih lambat pada daun-daun
bagian bawah tanaman karena konidia tidak terkena cahaya matahari secara
langsung. Untuk mempertahankan efektivitas B.
bassiana dan untuk meningkatkan hasil
pengendalian di lapang menurut Prayogo (2006) adalah dengan melakukan
aplikasi pada sore hari dan mempertinggi frekuensi aplikasi. Temperatur dan
kelembapan tidak mempengaruhi infektivitas B.
bassiana (Wright et al., 2000),
tetap curah hujan sangat potensial mengurangi jumlah konidia dari permukaan
daun akibat hanyut terbawa air hujan (Ferron et al., 1991).
Kontak antara konidia dan inang
serangga di lapang biasanya terjadi secara intensif melalui deposit konidia
pada permukaan daun dibanding dengan cara aplikasi langsung pada tanaman. Dalam
mekanisme infeksi, cendawan memiliki beberapa kelebihan lain, seperti virus atau bakteri, yaitu
kemampuannya menginfeksi selain melalui kutikula juga melalui lobang-lobang sistem pernafasan,
saluran pencernaan dan lobang mulut. Namun demikian, prospek cendawan B.
bassiana sebagai kandidat agensi hayati sangat ditentukan oleh kemampuan
menyeleksi isolat-isolat yang memilki tingkat adaptasi tinggi terhadap karakter
morfologi tanaman dan gangguan faktor abiotik (Tanada dan Kaya, 1993).
2.4 Hipotesis
Aplikasi isolat cendawan entomopatogen Beauveria
bassiana dari daerah yang berbeda
diduga berpengaruh terhadap intensitas serangan ulat bawang S. exigua.
Dan bobot umbi basah dan umbi kering bawang merah lokal Palu.
III. METODE
PENELITIAN
3.1 Waktu
dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Tadulako serta di lahan pertanaman bawang merah di Desa Sidera
Trans Kecamatan Sigi Biromaru.
Penelitian berlangsung selama empat bulan yakni dimulai pada bulan
Desember 2010 sampai dengan Maret 2011.
3.2 Bahan
dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah isolat-isolat Beauveria
spp. Lokal Sulawesi Tengah, medium
pertumbuhan mikroba, dan tanaman bawang merah.
Alat yang digunakan adalah
inkubator, autoklav, botol lempeng, cawan petri, mikroskop, deck glass, backer
glass, pinset, jarum ose, lampu bunsen, kompor,
nampan, loyang.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 (empat) perlakuan sebagai
berikut:
B1 = Isolat
B.
bassiana Asal Poso
B2 = Isolat
B. bassiana Asal Donggala
B3 = Isolat
B. bassiana Asal Parigi Moutong
B4 = Isolat
B. bassiana Asal Sigi
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3
(tiga) kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian.
3.4.1 Koleksi Isolat Beauveria spp.
Untuk
memperoleh koleksi isolat-solat cendawan Beauveria spp, dilakukan
pengumpulan isolat dari berbagai lokasi
dan dari berbagai asal inang. Untuk daerah (lokasi) pengambilan isolat mencakup
seluruh wilayah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah terutama pada daerah-daerah
sentra produksi pertanian di Kabupaten Sigi, Donggala, Poso, dan Kota Palu,
sedangkan asal inang diambil pada serangga hama yang memperlihatkan gejala
terinfeksi cendawan Beauveria spp. Isolat-isolat cendawan Beauveria spp.
Dikumpulkan kemudian dimurnikan di laboratorium dengan cara mengisolasi
cendawan tersebut dari inangnya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam 100 ml air
steril, lalu disuspensikan. Suspensi isolat tersebut diencerkan sampai 10-5. Hasil pengenceran kemudian
dibiakkan pada media PDA kemudian diinkubasikan selama 2 x 24 jam. Koloni tunggal yang muncul setelah 2 x 24 jam
dipindahkan ke media PDA lain yang ada pada cawan petri. Seluruh isolat
selanjutnya dikarakterisasi secara morfologis dengan menggunakan buku
identifikasi. Hasil identifikasi isolat
tersebut yang menunjukkan spesies Beauveria bassiana digunakan untuk penelitian
selanjutnya.
3.4.2. Formulasi cendawan B. Bassiana sebagai bioinsektisida
Pelaksanaan perbanyakan cendawan B. Bassiana di mulai dengan mengambil media
tumbuh jamur berupa beras jagung, kemudian dicuci sampai bersih dan dikukus
selama 15 menit, lalu dikering anginkan.
Selanjutnya beras jagung yang sudah dingin, dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Tiap plastik berisi 30 sampai 50 gram beras
jagung, ujung plastik diikat kemudian disterilkan dalam autoklaf (suhu 120 0C
selama 30 menit). Setelah dingin lalu
dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Setelah itu perbanyakan dan pembiakan B. bassiana dilakukan dalam ruang yang
steril atau bersih dengan cara mengambil B.
bassiana dengan pinset sebanyak 10 gram, lalu diinokulasikan ke dalam media
jagung giling tersebut kemudian dibiarkan sekitar 21 hari. Dari hasil inokulasi tersebut diperoleh spora B. bassiana yang merupakan
bahan bioinsektisida yang siap digunakan.
3.4.3 Persiapan dan Penanaman Bawang Merah
1.2 Pengolahan Lahan
Lahan yang akan digunakan terlebih dahulu
harus dibersihkan dari gulma dan diolah sampai gembur. Selanjutnya tanah
diratakan dan dibuat bedengan dengan ukuran 2 x 1 meter, tinggi bedengan 25 cm
sedangkan antar bedengan dalam satu satuan kelompok diberi jarak 30 cm dan antar
kelompok diberi jarak 50 cm.
b. Pemupukan
Pemberian pupuk dilaksanakan berdasarkan
petunjuk teknis budi daya tanaman bawang merah yaitu untuk setiap satu hektar
diperlukan N, P, K 100 kg. Pemupukan dilakukan dua kali yang pertama diberikan
sekaligus saat tanam dan pemupukan yang kedua, yaitu empat minggu setelah
tanam. Pemberian pupuk diberikan secara dibenamkan
c. Penanaman
Sebelum bibit bawang merah di tanam, maka
bibit dipotong sepertiga pada bagian atas umbi. Bibit ditanam dengan cara dibenamkan
2/3 bagian masuk ke dalam tanah dengan jarak tanam 20 x 20 cm.
d. Pemeliharaan
Tanaman
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan,
penyulaman, penyiraman dan
penggemburan/pembumbunan.
e. Aplikasi
Bioinsektisida B. bassiana
Pengaplikasian cendawan B. bassiana dilakukan sesuai dengan
masing-masing perlakuan dengan waktu aplikasi pertama pada 14 hari setelah tanam. Selanjutnya diulang setiap
minggu sampai menjelang panen. Aplikasi
dilakukan pada sore hari. Dosis B. bassiana yang digunakan adalah 2 g
/ liter air.
3.4.4 Pengamatan
a.
Intensitas Serangan S. exigua
Intensitas
serangan yang diamati sesuai dengan cara pada pengamatan populasi larva, dan dihitung
dengan menggunakan rumus serangan mutlak
yaitu,
a
I
= ------------- x
100 %
b
Keterangan :
I =
Intensitas serangan (%)
a =
Jumlah daun yang rusak dimakan
b
= Jumlah daun yang diamati
b.
Hasil panen bawang merah.
Hasil panen
bawang merah dihitung dengan menimbang berat umbi basah pada setiap perlakuan (14
umbi per petak) dan umbi kering ditimbang setelah dikering anginkan
selama seminggu, kemudian dikonversi ke hektar.
3.4.5 . Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis
keragamannya dengan Sidik Ragam dan uji Beda Nyata Jujurl (BNJ) taraf
5%
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Intensitas Serangan Larva Spodoptera
exigua Hubner.
Data pengamatan Intensitas Serangan
larva S. exiqua pada tanaman
bawang merah di desa Sidera Trans
Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi
yang diaplikasi cendawan B. bassiana yang diperoleh dari daerah
yang berbeda di Sulawesi Tengah pada waktu pengamatan pada 21, 28, 35, 42,
49, dan 56 HST disajikan masing-masing pada Lampiran 1a, 2a,
3a, 4a, 5a dan 6a, sedangkan sidik ragam
disajikan masing-masing pada lampiran 1b, 2b,3b, 4b, 5b dan 6b.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi cendawan B. bassiana berpengaruh
nyata terhadap intensitas serangan
larva S. exiqua. Rata-rata intensitas serangan larva S. exiqua pada setiap
periode pengamatan di sajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata
Intensitas Serangan Larva Spodoptera
exigua (%) pada Pertanaman Bawang
Merah Yang Diapilkasi Dengan Cendawan B.
bassiana
Perlakuan
|
Waktu
Pengamatan (HSA)
|
|||||
21
|
28
|
35
|
42
|
49
|
56
|
|
B1 ( Asal Poso )
|
12,25a
|
12,54a
|
13,16a
|
14,01a
|
14,96a
|
15,50a
|
B2 (Asal Donggala)
|
9,47ab
|
9,76ab
|
10,21ab
|
12,10ab
|
13,42ab
|
14.28ab
|
B3 (Asal Parigi)
|
10,02a
|
10,44a
|
10,79a
|
12,68a
|
14,95a
|
16,68a
|
B4 (Asal Sigi)
|
6,92b
|
7,28b
|
7,64b
|
9,15b
|
10,74b
|
12.45b
|
Nilai BNJ 5%
|
3,3879
|
3,3811
|
3,2770
|
3,2200
|
3,0695
|
2,2685
|
Keterangan
: Nilai yang diikuti oleh huruf yang
sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada Uji BNJ
Taraf 5 %
Hasil uji BNJ 5% pada semua waktu pegamatan menunjukkan bahwa
perlakuan B4 berbeda nyata dengan perlakuan
B1 dan B3 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2. Perlakuan
B1, B2 dan B3 juga tidak berbeda nyata pada semua waktu pengamatan.
4.1.2
Bobot Umbi Bawang Merah
Data pengamatan bobot umbi bawang merah yang meliputi bobot basah umbi
dan bobot kering umbi disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 7a dan 8a,
sedangkan sidik ragamnya disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 7b dan 8b.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi cendawan B. bassiana berpengaruh
nyata terhadap bobot umbi basah dan umbi kering bawang merah. Rata-rata hasil panen bawang merah di
sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Hasil Panen Bawang Merah per 10 Rumpun
Perlakuan
|
Bobot Umbi (g/rumpun)
|
|
Umbi Basah
|
Umbi Kering
|
|
B1 (Isolat Asal Poso )
|
55,83 c
|
40,17 c
|
B2 (Asal Donggala)
|
72,67 ab
|
55,67 ab
|
B3 (Asal Parigi)
|
67,67 ab
|
48,67 ab
|
B4 (Asal Sigi)
|
77,50 a
|
59,50 a
|
Nilai BNJ 5%
|
2,6202
|
9,0864
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang
sama pada baris atau kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%.
Berdasarkan hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa perlakuan B4 berbeda nyata dengan perlakuan
B1 dan B3 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2 terhadap bobot
umbi basah dan umbi kering bawang merah.
Perlakuan B1, B2 dan B3 juga tidak berbeda nyata terhadap bobot umbi basah
dan umbi kering bawang merah.
4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aplikasi cendawan B.
bassiana berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan larva S. exiqua dan bobot umbi
basah dan umbi kering bawang merah
4.2.1
Intensitas Serangan Larva Spodoptera
exigua Hubner
Berdasarkan hasil
pengamatan menunjukkan bahwa aplikasi
cendawan B. bassiana berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan larva S. exiqua selama waktu
pengamatan 21, 28, 35, 42, 49, dan 56
HSA. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
intensitas serangan ulat bawang S. exigua yang tergolong rendah pada tanaman
bawang merah yang diaplikasikan oleh B.
bassiana yakni hanya mencapai 16,68%. Hal tersebut sesuai dengan
Sastrosiswojo (1994) bahwa serangan hama S. exigua pada pertanaman bawang merah yang tidak
dilakukan pengendalian dapat mencapai 57%, bahkan pada serangan berat dapat
menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%, karena daun yang ada habis dimakan
oleh larva sehingga kegagalan panen tidak bisa dihindari. Serangan berat ini biasanya terjadi pada
musim kemarau yang mengakibatkan produksi tanaman menurun (Shepard et al. 1997; dalam Utami 1997).
Sebagaimana data
pengamatan yang terdapat pada Tabel
1 memperlihatkan bahwa perlakuan B4 (isolat
asal daerah Kab. Sigi ) memberikan
intensitas serangan ulat bawang paling rendah dibandingkan dengan semua
perlakuan lainnya pada semua waktu pengamatan.
Pada pengamatan 21 HST intensitas serangan hanya mencapai 6,9 %, pada pengamatan
28 HST hanya mencapai 7,28%, pada 35 HST hanya 7,64%, 42 HST hanya 9,15%,
49 HST hanya 10,74% dan pada 56
HST hanya mencapai 12.45%, hal ini
diduga isolat B. bassiana asal sigi
telah mengalami proses adaptasi terhadap berbagai faktor fisik dan biofisik
yang berkaitan dengan kemampuan dan
viabilitas jasad mikroba tersebut bila dibandingkan dengan cendawn B.
bassiana lainnya yang berasal dari di luar daerah Sigi yaitu asal Poso,
Donggala dan Parigi Moutong.
Daya bunuh isolat Beauveria spp. sangat tergantung pada konsentrasi, daya kecambah
dan tingkat virulensi (Ferron et al,
1980; Feng et al, 1994). Faktor lain
yang turut berperan terhadap tinggi rendahnya virulensi suatu isolat adalah
adanya metabolik sekunder yang dihasilkan. Metabolik sekunder yang dihasilkan
oleh Beauveria spp. adalah enzim chitinase, protease, lipase, dan estrase ( Gupta et al., 1992; Shimizu, 1993; Huvukkala et al. (1993).
Larva yang mati kerena terinfeksi oleh Beauveria spp. mengeras dan berwarna coklat
kehitam-hitaman yang lama kelamaan berubah manjadi putih. Warna putih ini
disebabkan karena seluruh tubuh telah diselimuti oleh miselium dan Beauveria spp. Munculnya miselium
dipermukaan larva yang mati dimungkinkan karena kelembaban tempat penelitian
cukup tinggi. Kelembaban selama penelitian berlangsung bekisar 80%-94%. Menurut
Ferron (1977), kelembaban yang tinggi diperlukan untuk perkembangan miselium
dan pembentukan konidia pada permukaan tubuh serangga yang mati.
Kematian larva
memerlukan waktu beberapa hari setelah bioinsektisida diaplikasikan (Anonim,
2007), Hal ini terjadi karena
bioinsektisida dan larva mempunyai hubungan spesifik yang bersifat biologis
yang sangat dipengaruhi oleh sifat inokulum yang masuk kedalam tubuh larva yang
terinfeksi bioinsektisida yang lebih tinggi sehingga akan mengakibatkan
kematian larva yang semakin tinggi pula.
Kemampuan bioinsektisida untuk meracuni serangga dipengaruhi oleh
berbagai proses fisiologis dan biokimia yang dapat mempengaruhi toksisitas
bioinsektisida meliputi penetrasi bioinsektisida melalui absorbsi oleh dinding
saluran pencernaan, translokasi kebagian sasaran, pengikatan penyimpangan
keluar tubuh, penetrasi melalui lapisan pelindung bagian sasaran dan interaksi
insektisida bagian tersebut dengan bagian sasaran (Pracaya, 2007).
Sumahyono (2010)
melaporkan bahwa kematian larva disebabkan karena system enzim pada serangga
tidak mampu menguraikan bahan aktif insektisida yang terserap masuk kedalam
tubuh serangga sehingga bahan aktif tersebut masih tetap toksin sampai mencapai
sasaran yang mematikan serangga.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat rendahnya populasi adalah faktor dalam dan faktor
iklim. Semakin tinggi populasi maka
semakin tinggi intensitas serangan, sehingga makin besar kerugian yang
diakibatkannya. Faktor dalam seperti
berkembang biak,mempertahankan diri dan
umur imago sedangkan faktor luar adalah suhu, kelembaban, curah hujan, cahaya
dan angin. Serangga memiliki kisaran
suhu tertentu,diluar kisaran suhu tersebut dia akan mati(Rukmana,1994)
4.2.2
Bobot Basah Umbi Bawang Merah
Hasil pengamatan bobot basah
umbi bawang merah menunjukkan bahwa perlakuan B. bassiana sangat berpengaruh terhadap bobot umbi basah dan umbi
kering bawang merah per rumpun.
Dari
hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan B4 menghasilkan bobot umbi basah
per rumpun terberat akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan
konsentrasi B2. Sedangkan antara perlakuan B1, B2 dan B3 tidak
sangat berbeda nyata. Bobot umbi basah
per rumpun yang terberat adalah 77,50
gram dan umbi kering adalah 59,50 gram. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Rosmini (2006) yaitu perlakuan konsentrasi dan
waktu aplikasi B. bassiana berpengaruh sangat nyata
terhadap berat umbi basah bawang merah per rumpun dan berpengaruh nyata
terhadap berat bawang merah per rumpun
Pada pengamatan bobot umbi basah dan umbi kering bawang merah
memperlihatkan bahwa perlakuan B.
bassiana yang diaplikasikan
berpengaruh nyata, meskipun demikian perlakuan
B4 memperlihatkan bobot umbi
basah dan kering yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lainnya. Terjadinya
perbedaan hasil umbi yang dihasilkan akibat aplikasi B. bassiana tersebut berkaitan dengan intensitas serangan hama. S.
exiqua merusak bagian tanaman terutama daun dengan cara merusak jaringan
vaskuler dan masuk kedalam daun sambil memakan bagian daun sebelah dalam
sehingga menggangu aktivitas fotosintesis dan akhirnya pertumbuhan tanaman
menjadi terganggu (Triharso, 1994).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh,
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Aplikasi jamur Beauveria bassiana dari daerah Sigi
efektif untuk pengendalian larva Spodoptera
exigua dan berbeda nyata dengan B. bassiana
dari daerah Poso dan Parigi
Moutong tetapi tidak berbeda nyata
dengan B. bassiana asal daerah Donggala.
2. Intensitas serangan larva S. exigua akibat aplikasi B. bassiana yang terendah masing-masing
sebesar 6,92% (pada awal pengamatan) dan
12,45% (pada akhir pengamatan) diperoleh
pada aplikasi B. bassiana asal Sigi
3. Bobot
umbi basah dan umbi kering bawang masing-masing sebesar 77,5 g / umbi dan
sebesar 59,50 g/umbi diperoleh
pada perlakuan B. bassiana dari
daerah Sigi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan B. bassiana dari daerah Donggala.
5.2 Saran
Untuk mempermudah dalam pengamatan, sebaiknya
penelitian mengenai hama S. exigua
dilakukan pada waktu yang tepat bagi hama tersebut untuk mengendalikan,
sehingga lebih mudah mengamati intensitas serangannya.
mas boleh tau pengolahan data nya? penelitian saya pake RAK juga.
BalasHapus