KEBUN JATI

Terletak di Desa Talaga Kecamatan Dampelas, dengan Luas 7 ha.

PANTAI BAMBARANO

Pantai berkarang indah ini terletak di Desa Sabang kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.

JEMBATAN PONULELE

Jembatan Kebanggan warga Palu ini berada diwilayah pantai talise menuju arah donggala.

TANJUNG KARANG

salah satu objek wisata pantai, yang terletak di ujung pantai Donggala, dengan suasana pantai yang terasa nyaman.

situs Tadulako dan Pokekea

situs sejarah ini berada di lembah Besoa, Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah..

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 November 2015

lokasi invent hhk desa tolai kec.torue





Jumat, 16 Mei 2014

PESAN BAPAK UNTUK ANAKNYA DI FACEBOOK (bahan renungan)


Seorang pemuda duduk di hadapan laptopnya. Login facebook. Pertama kali yang dicek adalah inbox.Hari ini dia melihat sesuatu yang tidak pernah dia pedulikan selama ini. Ada 2 dua pesan yang selama ini ia abaikan. Pesan pertama, spam. Pesan kedua…..dia membukanya. Ternyata ada sebuah pesan beberapa bulan yang lalu.Diapun mulai membaca isinya
:“Assalamu’alaikum. Ini kali pertama Bapak mencoba menggunakan facebook. 
Bapak mencoba menambah kamu sebagai teman sekalipun Bapak tidak terlalu paham dengan itu. Lalu bapak mencoba mengirim pesan ini kepadamu. Maaf, Bapak tidak pandai mengetik. Ini pun kawan Bapak yang mengajarkan.Bapak hanya sekedar ingin mengenang. 
Bacalah !Saat kamu kecil dulu, Bapak masih ingat pertama kali kamu bisa ngomong. Kamu asyik memanggil : Bapak, Bapak, Bapak. Bapak Bahagia sekali rasanya anak lelaki Bapak sudah bisa me-manggil2 Bapak, sudah bisa me-manggil2 Ibunya”.Bapak sangat senang bisa berbicara dengan kamu walaupun kamu mungkin tidak ingat dan tidak paham apa yang Bapak ucapkan ketika umurmu 4 atau 5 tahun. Tapi, percayalah. Bapak dan Ibumu bicara dengan kamu sangat banyak sekali. Kamulah penghibur kami setiap saat.walaupun hanya dengan mendengar gelak tawamu.Saat kamu masuk SD, bapak masih ingat kamu selalu bercerita dengan Bapak ketika membonceng motor tentang apapun yang kamu lihat di kiri kananmu dalam perjalanan.Ayah mana yang tidak gembira melihat anaknya telah mengetahui banyak hal di luar rumahnya.Bapak jadi makin bersemangat bekerja keras mencari uang untuk biaya kamu ke sekolah. Sebab kamu lucu sekali. Menyenangkan. Bapak sangat mengiginkan kamu menjadi anak yang pandai dan taat beribadah.Masih ingat jugakah kamu, saat pertama kali kamu punya HP? Diam2 waktu itu Bapak menabung karena kasihan melihatmu belum punya HP sementara kawan2mu sudah memiliki.Ketika kamu masuk SMP kamu sudah mulai punya banyak kawan-kawan baru. Ketika pulang dari sekolah kamu langsung masuk kamar. Mungkin kamu lelah setelah mengayuh sepeda, begitu pikir Bapak. Kamu keluar kamar hanya pada waktu makan saja setelah itu masuk lagi, dan keluarnya lagi ketika akan pergi bersama kawan-kawanmu.Kamu sudah mulai jarang bercerita dengan Bapak. Tahu2 kamu sudah mulai melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi.

 Kamu mencari kami saat perlu2 saja serta membiarkan kami saat kamu tidak perlu.Ketika mulai kuliah di luar kotapun sikap kamu sama saja dengan sebelumnya. Jarang menghubungi kami kecuali disaat mendapatkan kesulitan. Sewaktu pulang liburanpun kamu sibuk dengan HP kamu, dengan laptop kamu, dengan internet kamu, dengan dunia kamu.Bapak bertanya-tanya sendiri dalam hati. Adakah kawan2mu itu lebih penting dari Bapak dan Ibumu? Adakah Bapak dan Ibumu ini cuma diperlukan saat nanti kamu mau nikah saja sebagai pemberi restu? Adakah kami ibarat tabungan kamu saja?Kamu semakin jarang berbicara dengan Bapak lagi. Kalau pun bicara, dengan jari-jemari saja lewat sms. Berjumpa tapi tak berkata-kata. Berbicara tapi seperti tak bersuara. 

Bertegur cuma waktu hari raya. Tanya sepatah kata, dijawab sepatah kata. Ditegur, kamu buang muka. Dimarahi, malah menjadi-jadi.Malam ini, Bapak sebenarnya rindu sekali pada kamu.Bukan mau marah atau mengungkit-ungkit masa lalu. Cuma Bapak sudah merasa terlalu tua. Usia Bapak sudah diatas 60 an. Kekuatan Bapak tidak sekuat dulu lagi.Bapak tidak minta banyak…Kadang-kadang, Bapak cuma mau kamu berada di sisi bapak. Berbicara tentang hidup kamu. Meluapkan apa saja yang terpendam dalam hati kamu. Menangis pada Bapak. Mengadu pada Bapak.Bercerita pada Bapak seperti saat kamu kecil dulu.Andaipun kamu sudah tidak punya waktu samasekali berbicara dengan Bapak, jangan sampai kamu tidak punya waktu berbicara dengan Alloh.Jangan letakkan cintamu pada seseorang didalam hati melebihi cintamu kepada Alloh.Mungkin kamu mengabaikan Bapak, namun jangan kamu sekali2 mengabaikan Allah.Maafkan Bapak atas segalanya. Maafkan Bapak atas curhat Bapak ini. Jagalah solat. Jagalah hati. Jagalah iman. ”Pemuda itu meneteskan air mata, terisak. Dalam hati terasa perih tidak terkira................... Bagaimana tidak ? Sebab tulisan ayahandanya itu dibaca setelah 3 bulan beliau pergi untuk selama-lamanya.

Jumat, 06 Desember 2013

kumpulan Puisi indah di film AADC

salam blogger, pastinya sudah pernah nonton film AADC (ada apa dengan cinta) kan ?? ituloh film remaja yang rilis tahun 2002, dibintangi Nicholas saputra dan dian sastro wardoyo, film remaja smu yang sangat menguras perasaan. beda dengan film-film remaja zaman sekarang yang hanya menonjolkan kekerasan dan keindahan tubuh doank. kalo sudah nonton pasti sudah dengar juga kan puisi-puisi indahnya si Rangga ? berikut ini kumpulan puisi-puisi yang ada difilm AADC. 


1.      Oleh: Rako Prijanto

Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus adalah kata
Angan, debur dan emosi
Bersatu dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat
Lidah kita menyatu
Maka apa terucap adalah sabda pendita ratu
Ahh.. diluar itu pasir diluar itu debu
Hanya angin meniup saja
Lalu terbang hilang tak ada
Tapi kita tetap menari
Menari cuma kita yg tau
Jiwa ini tandu maka duduk saja
Maka akan kita bawa
Semua
Karena..
Kita..
Adalah..
SATU


2.      Oleh: Rako Prijanto

Kulari ke hutan kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai kemudian teriakku
Sepi… sepi dan sendiri aku benci
Ingin bingar aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga jika kusendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang ditembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai


3.      Oleh: Rako Prijanto

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur dihatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja

Senin, 29 April 2013

restu astuti.. !!!!



Minggu, 06 Januari 2013

Cerpen Remaja "Menjelang matahari baru"


Ah, pesta akan berlangsung besok malam. Ike menatap langit dengan mata buram. Gerimis turun lagi. Ike pasrah

“KAMU melihat matahari, Ke?”
Ike tersentak dari lamunan panjangnya.
“Ada matahari, Ke?!” teriak Mama dari dalam kamar lebih keras lagi setelah agak lama tak mendengar sahutan dari Ike.
Ike beranjak dari duduknya, berjalan ke belakang jendela dan menyingkap gorden untuk melihat suasana di luar. Buram? Berkabut? Ike tersentak. Ia mengusap matanya. Matanya yang buram dan berkabut. Ada genangan tipis airmata yang kini mengalir keluar.
Cuaca memang kelam, langit mendung, tapi tidak berkabut. Ike membuka jendela, membiarkan aroma tanah basah akibat hujan deras semalam memasuki rumah dengan lebih leluasa. Dingin.
Sudah jam delapan pagi, tapi langit masih gelap.
“Nggak ada matahari, Ma. Mendung seperti kemarin dan kemarinnya lagi.” Ucapan Ike tak terlalu keras, tapi ia yakin mamanya bisa mendengar ucapannya.
Terdengar gerutuan yang tidak terlalu jelas dari dalam kamar. Suara ribut sebentar, kemudian Mama keluar dari dalam kamar sudah berdandan rapi.
“Rapi benar? Mama mau ke pasar atau...?” Ike menatap keheranan ke arah mamanya setelah yakin tak ada lagi sisa air di matanya.
“Seminar jam sembilan. Tapi kok mendung begini? Jangan-jangan hujan lagi.”
“Seminar?” Ike tak bisa menyembunyikan keheranannya.
“Peluang bisnis baru. Semacam multilevel marketing, tapi yang ini lebih menjanjikan. Mama lagi ingin menjajagi kemungkinan terjun di bisnis itu.”
“Oooh ...” Ike menghela nafas lega. Kemudian merasa iba. Iba sekaligus bangga.
Mama memang wanita yang pantang menyerah. Ia telah mencoba banyak hal untuk mengatasi kesulitan ini, dan sering gagal, tapi mama tak jera untuk mencoba lagi.
“Sarapan untuk Oka ada di kulkas, sisa semalam, tinggal ngangetin.”
“Mama nggak ngebangunin Oka dulu? Anak itu kelewatan bener. Mentang-mentang libur sekolah, lalu bebas nonton siaran langsung sepakbola sampai pagi.”
“Biar aja. Paling sebentar lagi juga bangun.”
“Ma...?”
Mama merandek di dekat pintu dan menoleh. “Ya?”
Ike terlihat gugup dan ragu-ragu.
“Ada apa?”
“Ah, nggak apa-apa.”
“Kamu menyimpan sesuatu?” Mama menatap Ike tanpa berkedip, kemudian berpaling. “Sudahlah, nanti aja kita bicarakan persoalanmu. Sekarang mama harus berangkat. Kalau jalanan macet, mama bisa terlambat tiba disana.”
Mama bergegas, bertongkat payung. Ia harus segera menuju ke halte bis kota.
Sepeninggal mama, Ike kembali duduk terpekur di belakang jendela yang telah dibuka gordennya. Menatap langit muram dari balik kaca. Dan kini Ike tak perlu ragu-ragu lagi untuk menangis. Airmatanya tumpah, mengalir di pipi, dan kemudian jatuh ke lantai di dekat kakinya.
Kenapa keadaan semakin sulit begini?
Kenapa hanya uang seratus ribu rupiah saja bisa membuat situasi begini rumit? Ike yakin Mama masih memiliki seratus ribu. Mungkin masih ada uang sekitar sekitar dua juta rupiah, sisa pesangon dari perusahaan yang mama terima.
Tapi itulah uang mama seluruhnya, yang untuk sementara ini dan entah sampai kapan, mungkin tidak akan bertambah melainkan akan berkurang dengan cepat. Semua harga melonjak mengikuti kenaikan harga BBM yang melangit. Semua serba mahal di jaman yang apa-apa serba pakai uang ini.
Jika mama harus berhemat menggunakan minyak tanah, apakah pantas meminta seratus ribu untuk pesta tahun baru itu?
Kesepakatan telah dicapai bersama. Menyambut malam tahun baru nanti, teman-teman sekelas Ike sudah setuju untuk mengumpulkan uang masing-masing seratus ribu rupiah untuk sebuah pesta yang asyik. Seratus ribu itu sebuah keharusan. Jika tidak, silahkan membuat acara sendiri!
Pantaskah di masa sulit seperti ini meminta seratus ribu rupiah hanya untuk berpesta, sementara mama setiap hari selalu memberi contoh untuk berhemat? Bagi orang lain seratus ribu mungkin bukanlah jumlah yang cukup berarti. Tapi bagi mama, dalam kondisi seperti sekarang ini, seratus ribu rupiah amatlah berat.
Keadaan memang teramat sulit. Kenaikan harga BBM itu membuat perusahaan tempat Mama Ike bekerja melakukan efisiensi habis-habisan yang berbuntut PHK, dan Mama Ike terpaksa harus puas dengan menerima pesangon yang jumlahnya tak seberapa.
Mama memang tak banyak mengeluh, tapi Ike tahu mama amat tertekan. Dan sebagai seorang janda yang juga kepala keluarga, mama tak punya pilihan lain kecuali segera bekerja untuk memperoleh penghasilan. Padahal di masa sulit begini sungguh tak gampang memperoleh pekerjaan baru.
Mama belum mengatakan, tapi Ike sudah bisa membuat perhitungan sendiri. Jika mama tak segera mendapat pekerjaan atau kesibukan yang menghasilkan uang, tidak tertutup kemungkinan Ike akan berhenti sekolah dengan alasan tak ada beaya. Ironis. Seorang gadis dengan otak cemerlang dan segudang prestasi harus putus sekolah lantaran tak bisa membayar sekolah karena kebutuhan sehari-hari harus menjadi prioritas pertama.
Ah, pesta akan berlangsung besok malam. Ike menatap langit dengan mata buram. Gerimis turun lagi. Ike pasrah. Ia akan melewatkan malam pergantian tahun di rumah dalam kesedihan dan kesendirian, sementara teman-temannya akan melewatkannya dalam kebersamaan penuh canda, kenikmatan dan kemewahan.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan, persis di depan rumah.
Andai punya mobil sebagus itu dan dijual, mungkin bisa untuk hidup dua tahun hingga selesai SMA, lamun Ike.
Seorang laki-laki turun dari mobil itu. Tangannya memegang payung yang terbuka. Pergelangan tangannya dihiasi rantai emas yang besar dan mencolok. Pria bergelang emas.
Mama telah menjual seluruh perhiasannya, batin Ike nelangsa.
Ike tersentak dari lamunannya. Pria itu berlari sambil berpayung memasuki halaman rumah.
Bel berbunyi, Ike buru-buru menguakkan pintu.
“Mencari siapa?”
“Ibu Santika ada? Benar disini rumah ibu Santika?” Pria perlente berusia empat puluh tahunan itu tersenyum ramah. Senyum itu seketika menghilangkan bayangan Ike tentang orang kaya yang sombong.
“Mama pergi setengah jam yang lalu.”
“Lama?”
Ike menggeleng. “Saya kurang tahu. Mungkin lama juga.”
“Nomor telepon genggamnya?”
Ike menggeleng lagi. “Mama nggak punya handphone.”
Terlihat ekspresi kekecewaan di wajah pria itu, cuma sebentar. “Kalau begitu sampaikan ke mamamu bahwa Om Barada datang kemari, dan nanti siang akan datang lagi.”
Ike mengangguk.
“Kamu mirip sekali dengan mamamu. Cantik sekali ...”
Ike tersentak. Siapa pria yang seringan ini mengeluarkan pujian? Jangan-jangan... Ah! Ike buru-buru menepis pikiran buruk itu dan mengantar pria itu berlalu dengan senyuman.

Tapi ketika pria itu telah pergi dengan mobil bagusnya, pikiran itu tak kunjung benar-benar sirna. Siapa pria perlente itu? Cuma kenalan mama atau...? Jangan-jangan mama sudah punya pacar!
Ike tersentak dari lamunannya karena bunyi televisi dari dalam kamar. Itu tandanya Oka sudah bangun tidur. Ike berjalan menuju kamarnya dan menghempaskan tubuh mungilnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang tak putih lagi. Berbagai bayangan bergantian terpampang di depan matanya. Pesta tahun baru yang meriah tanpa kehadirannya. Hari-hari di tahun baru yang semakin sulit, menunggak uang SPP, keluar dari sekolah!
Siapa pria itu? Pacar Mama? Mama mau menikah lagi dengan orang kaya demi ...
***
Ike terbangun oleh suara-suara itu. Matanya masih berat dan belum mampu terbuka.
Tapi suara-suara itu telah memasuki telinganya lebih jelas.
“Kamu memang gila, Bar.” Suara Mama Ike terdengar nyaring, dan... genit? “Apakah kamu memang orang yang gila kerja atau ...?”
“Terpaksa, Tika. Maunya sih di rumah dan menikmati malam pergantian tahun. Tapi kami benar-benar dikejar waktu. Semua harus segera selesai, diproses akhir di Australia dan beredar bulan Februari. Kamu masih merayakan Vallentine’s Day? Kiranya itu waktu yang tepat untuk sesuatu yang romantis.”
Sesuatu yang romantis?! Ike tersentak. Ia duduk di kasur dan makin menegaskan pendengarannya. Ia yakin bahwa suara itu adalah suara milik pria perlente bergelang emas yang datang tadi pagi.
“Nggak apa-apa. Aku nggak sendiri, puluhan kru mengalami hal yang sama. Senasib.”
Percakapan terus berlanjut. Rupanya ada begitu banyak kenangan yang berusaha mereka satukan. Seringkali Ike mendengar tawa gembira mamanya. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Berbunga-bungakah hati mama? Tidak adil! mama bisa segembira itu, sementara hatinya tetap mendung.
Ike kesal. Diambilnya bantal dan ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur sambil menutupi telinganya dengan bantal. Ia tak ingin mendengar lagi percakapan di luar itu.
Ike baru menyingkirkan bantal dari telinganya ketika ia menyadari pintu kamarnya dibuka dan mama berdiri dengan senyum terkembang. Pertama kali yang Ike lihat adalah senyum itu. Senyum yang teramat cerah.
“Kamu jadi ikut pesta tahun baru bareng teman-temanmu?”
Ike menggeleng dengan malas.
“Ikutlah,” mama masih tersenyum. “Kamu tinggal menelpon panitia, kan?”
“Tapi seratus ribu?”
“Mama bayar dengan sisa tabungan Mama.”
“Nggak usah, Ma. Ike udah rela nggak ikut pesta itu.”
“Ikutlah. Nanti kamu menyesal. Kesempatan sekali dalam setahun.”
“Tapi ...” Ike tetap ragu.
“Bulan depan Mama sudah terima gaji. Sehari setelah libur tahun baru, Mama bukan pengangguran lagi.”
Ike menatap mamanya tanpa berkedip kemudian menubruk dan memeluknya penuh sukacita. “Syukurlah, Ma. Terimakasih, Tuhan ...”
“Berkat doa kamu,” bisik Mama.
“Pasti berkat kegigihan Mama yang nggak kenal lelah.”
“Andai kamu juga mau bekerja ...” Mama tak segera meneruskan ucapannya. Agak lama sebelum akhirnya: “Maksud Mama, kalau kamu bersedia, kamu juga punya kesempatan untuk mencoba pengalaman baru, memperoleh penghasilan dan punya tabungan sendiri. Memang berat. Tapi di masa serba sulit seperti sekarang ini apa salahnya sekolah sambil bekerja.”
“Multilevel marketing?” Ike melepaskan pelukannya.
“Bukan. Main film.”
“Mimpi kali, ye ...” Ike mencibir.
“Kata Om Barada, kamu cantik sekali.”
“Tadi pagi dia juga memuji begitu.”
“Mama bilang kamu nggak Cuma cantik, tapi juga pandai berakting dan ikut kelompok drama di sekolah.”
“Lalu apa hubungannya?”
“Om Barada itu produser sekaligus sutradara film dan kebetulan sekarang tengah menggarap film remaja yang sebagian mengambil lokasi syuting di kota ini. Om Barada sempat bertanya ke Mama, kamu mau dan boleh main film atau enggak.”
“Mama jangan bercanda!”
“Sungguh! Beliau menawarkan itu. Sekarang memang cuma figuran dengan peran yang amat kecil. Tapi jika kamu memang mampu dan mendapat nilai bagus di mata beliau, siapa tahu Om Barada akan memberikan porsi yang lebih berarti di film dan sinetronnya yang akan datang. Terserah kamu.”
Ike terdiam. Bayangan yang tidak mengenakkan itu kembali memenuhi kepalanya.
“Mama pacaran sama Om Barada?”
“Jangan ngawur!” Mama membentak sangat keras. “Barada itu teman lama Mama. Teman SMA. Dulu kami memang pernah dekat, pacaran atau apalah, tapi kemudian ia lebih memilih Chintya si Kembang Sekolah. Mana mungkin Mama merebut suami teman sendiri!”
Ike menghembuskan nafas keras-keras. Entah kenapa ia kini merasa amat lega.
“Gimana, Ke? Kamu mau enggak?”
Ike masih diam. Ia berjalan keluar, menyongsong cahaya yang masuk ke rumah melewati kaca jendela. Ike membuka pintu dan berdiri di halaman rumah. Ia mendongak ke langit. Hari sudah sore, dan ada matahari yang terang-benderang di atas sana.
***
Oleh Donatus A. Nugroho

Cerpen Remaja "Pangeran Dari kota"

Daim tiap hari datang dengan segala ulahnya. Dan celakanya, Ibu dan Bapak amat senang menerimanya. Mungkin mereka mulai berpikir jauh.”
 
WAKTU mendengar kabar bahwa Bang Martin datang lagi ke desa ini, Rini gembira bukan main. Dalam angan-angannya, yang sengaja didramatisir, Rini membayangkan Bang Martin adalah pangeran berkuda yang menyelamatkannya dari tawanan penjahat yang keji. Ya, Bang Martin yang baik hati itu pasti mau menolong, atau paling tidak mau mendengarkan keluh-kesahnya. Ah, Abang yang pintar itu pasti mau memberinya jalan keluar, batin Rini penuh harap.

Pada suatu kesempatan, yang telah direncanakannya, Rini berhasil menemui Bang Martin di halaman Balai Desa.
“Bener, kan? Aku datang lagi, seperti janjiku tiga bulan yang lalu.” Bang Martin berteriak gembira begitu Rini berada di depannya.
Dan Rini meronta-ronta turun karena malu dan risih. Bang Martin mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, seolah memperlakukannya sebagai seorang bocah.

“Nggak usah dibesar-besarkan, Bang. Ngaku aja, Abang kemari bukan lantaran janji, apalagi mau ketemu saya. Nggak mungkin Abang datang jauh-jauh dari Jakarta cuma buat menemui Rini.” Rini memberengut manja.
Bang Martin tertawa terbahak.

“Iya deh, iya! Abang emang masih ada urusan lagi disini. Masih ada data yang Abang perlukan, yang harus dikumpulin.”
“Masih urusan skripsi ya?”
“Apa lagi kalau bukan itu. Tinggal sedikit lagi, lalu ngetik, lalu ujian ...”
“Lalu insinyur pertanian yang lupa lagi pada desa ini. Apalagi cuma pada gadis dusun bernama Rini!” tukas Rini agak sengit.
Bang Martin tertawa lagi, lalu mencubit pipi Rini dengan gemas.

“Mana bisa lupa sama anak secantik kamu? Eh, sadar enggak sih, kamu? Dua atau tiga tahun lagi kamu bakal jadi kembang desa yang jadi rebutan cowok-cowok.”
Rini melengos, memerah pipinya.
“Abang masih lama disini? Menginap di rumah Pak Lurah seperti dulu?”
“Ya, tapi paling juga dua atau tiga hari. Waktunya udah mepet banget. Mesti buru-buru ngerampungin semuanya. Jadwal yang harus kupenuhi. Lagian, Abang nggak mau kelamaan jadi mahasiswa.”

“Ah, mahasiswa sepintar Abang ...” gumam Rini.
Rini tercenung sebentar. Ia teringat pada tiga bulan yang lalu, ketika untuk pertama kalinya Bang Martin datang ke desa ini. Ia adalah mahasiswa Fakultas Pertanian yang datang kemari demi skripsi yang tengah disusunnya. Desa ini adalah salah satu sample penelitiannya, disamping dua desa lain di Jawa Tengah dan di Lampung. Rini tak begitu mengerti lebih banyak. Otak SMP-nya belum cukup mampu memahami itu semua.

Yang Rini tahu, Bang Martin itu orangnya superbaik dan supel. Dulu, semasa hampir dua minggu tinggal disini, ia cepat sekali akrab dengan semua orang. Rasanya hampir tak ada seorang pun penduduk desa ini yang tidak kenal Bang Martin. Ia adalah pendatang kesayangan seisi desa.

Dulu, dalam dua minggu itu, Rini sangat akrab dengannya. Sering menemaninya jalan-jalan mengenal seluk-beluk desa. Dan pada waktu senggangnya, Rini dengan sukarela membantu menuliskan data-data yang telah dikumpulkan. Rini pernah pula mengajak Bang Martin ke Karang Taruna dan kemudian berhasil membujuknya agar membagikan kehandalannya bermain gitar kepada para anggota.

Entah mengapa waktu itu mereka menjadi cepat akrab. Mungkin karena Bang Martin suka pada kepolosan Rini, sedangkan Rini sendiri merasa banyak belajar dari kedewasaan Bang Martin.

“Nanti sore Abang mau datang ke rumah, kan?”
“Yap! Bahkan itu udah aku rencanain sejak berangkat dari Jakarta. Ada oleh-oleh kecil buat ibumu.”
Rini seperti tak mendengar ucapan itu. Katanya “Ada masalah kecil yang tengah Rini hadapi, Bang ...”
Bang Martin mengerenyitkan dahinya. “Masalah apa? Baru tiga bulan udah banyak kemajuan, ya? Pusing gara-gara pacar? Hayo! Kamu udah punya pacar?”
“Ah, Abang ini! Jangan punya prasangka begitu! Rini masih kecil dan... nggak laku.”
Bang Martin tertawa lepas. “Jadi, ada apa? Seserius apa masalah itu?”
“Pokoknya nanti sore Abang harus datang ke rumah!”
“Baiklah.”

***
IBU diam-diam memperhatikan dari jauh ketika Rini tengah mengusapkan bedak ke pipinya.
“Begitu seharusnya jadi anak perawan. Harus bisa dandan, bukannya sibuk manjat pohon belimbing!”
Rini tersipu.

“Daim mau datang lagi?”
“Mungkin,” jawab Rini ketus. “Tapi Rini dandan bukan buat dia!”
Rini tak ingin ibunya berprasangka yang bukan-bukan, apalagi terbuai dengan bayangan kosong.
“Bang Martin mau datang, Bu.”

“Ya, ibu sudah tahu. Dia pasti mampir kemari.”
Rini kecewa melihat reaksi ibunya cuma sebatas itu. Apakah tiga bulan telah membuat rasa simpati itu hilang? Atau karena kehadiran Daim? Dulu ibu selalu menggebu-gebu ketika menyambut kehadiran Bang Martin.

“Dia terlalu dewasa buatmu, Rin. Dan dia bukan berasal dari dunia kita ...”
Ucapan yang tiba-tiba itu menyentakkan Rini. “Ibu ini bicara apa?”
Ibu tidak menjawab dan berlalu meninggalkan Rini. Rini tercenung seorang diri. Sesaat kemudian terdengar lagi suara ibu dari luar:
“Siap-siap, Rin! Mungkin nanti Daim akan mengajakmu jalan-jalan!”

Rini mendengus kesal. Ah, ibu telah berpikir terlalu jauh. Banyak orang yang kini silau oleh penampilan Daim, termasuk ibu.
Selepas maghrib Bang Martin datang.

“Diminum tehnya, Bang ...” Rini menyodorkan secangkir teh pada Bang Martin untuk memecah kebisuan.
“Kamu punya masalah apa?” tanya Bang Martin setelah menyeruput teh hangatnya yang terlalu manis. “Sekolah kamu?”
Rini menggeleng.
“Pacar?”

Memerah pipi Rini. “Seorang laki-laki... eh, maksud Rini, seorang cowok. Maksudku... ia adalah Daim.”
“Daim, ya? Hmm, anak mana? Kalian saling suka tapi ...”

“Bang Martin jangan suka menebak-nebak lagi! Namanya Daim. Dulu Daim tinggal di desa ini, tepatnya di barat sana. Di tempat yang sekarang dijadikan bendungan itu. Enam tahun yang lalu, ketika proyek irigasi primer dimulai, tempat tinggal keluarga Daim harus tergusur. Tapi orangtuanya menolak ditransmigrasikan. Mereka memilih pergi merantau ke Jakarta.”

“Ya, banyak orang mencoba mengadu untung di Jakarta.” Bang Martin menganguk-angguk.
“Seminggu ini Daim dan keluarganya datang lagi kemari, karena ada saudaranya disini yang mau mantu.”
Bang Martin tertawa kecil. “Dan Daim kini sudah dewasa, kan? Dan ia melihat kamu bukan lagi cewek ingusan, tapi sudah cantik dan ...”
“Abang!”
“Ibumu nggak setuju?”
“Mas ini!” Rini memberengut. “Daim tiap hari datang dengan segala ulahnya. Dan celakanya, ibu dan bapak amat senang menerimanya. Mungkin mereka mulai berpikir jauh.”
“Daim calon menantu yang ideal, kan?”
“Calon menantu apa! Rini masih kecil, Bang. Rini belum pernah mikir yang begituan!”
“Jadi?”
“Rini kehabisan akal untuk menghindarinya, sementara ibu dan bapak justru makin ... seperti kena pelet. Daim itu ... apa ya ...? Agresif? Pokoknya norak gitu loooh!”
“Ngotot?”
“Begitulah. Rini nggak suka gayanya. Tengil! Sok moderen dan mungkin malahan sudah malu kalau ketahuan dulunya anak dusun. Pakaiannya aneh, tapi katanya trendi. Katanya biar seperti selebriti. Oh, dia itu sombong sekali dan maunya selalu menonjolkan kehebatannya. Rini nggak suka cowok yang sombong!”
“Mungkin dia hanya ingin jujur dan apa adanya. Menjadi diri sendiri gitu looh.”
“Nggak gitu, Bang. Dia sengaja tampil hebat untuk mendapatkan hati bapak dan ibu.”
“Itu sih sah-sah aja, Rin. Sekarang Daim masih tinggal di Jakarta?”
“Ya. Konon, ortunya kini kaya-raya. Tiap pulang berlebaran mereka selalu naik mobil bagus yang berbeda. Bagi-bagi duit dan oleh-oleh buat semua orang kampung. Pamer kekayaan, ya?”

“Itu namanya murah hati,” kata Bang Martin bijak “Jangan berprasangka buruk.”
“Katanya dia sekarang kuliah di kedokteran dan sebentar lagi jadi dokter. Apa iya ada dokter eh, calon dokter yang kelakuannya seperti itu?”
“Seperti itu gimana?” Bang Martin menahan senyum.

“Tengil! Pokoknya tengil! Menurut Rini tetap saja itu namanya sombong dan ... agak urakan. Mungkin istilah paling tepat ya ... norak!”
“Norak gimana?”

“Lihat saja nanti. Sebentar lagi dia akan datang seperti kemarin-kemarin. Merayu saya. Rini nggak suka dirayu. Katanya Daim mau ngajarin Rini main sepatu roda. Aneh, kan? Mana bisa main sepatu roda disini? Di sini nggak ada jalan yang rata dan mulus. Tapi nyatanya Daim kemana-mana selalu bawa-bawa sepatu rodanya.
“Sepatu roda?” Bang Martin berusaha menahan tawa yang sulit terbendung.

“Daim bawa sepatu roda itu ke mana-mana, biar pun sadar nggak mungkin untuk memakainya disini. Paling banter dia cuma bisa muter-muter di tempat perjemuran padi di rumahnya Pak Heru.”

Kini Bang Martin benar-benar tertawa. “Wah, dia itu benar-benar anak muda yang menyenangkan. Tapi ...”
“Nah, itu dia manusianya!” Tiba-tiba Rini memandang keluar dengan wajah memucat. “Tolong Rini, Bang. Bang Martin harus pura-pura jadi tunangan Rini!”
“Mana boleh begitu?” Bang Martin terbelalak.

“Rini hanya mau menghindarinya. Rini bosan dengan gangguannya.”
“Ah, sebentar lagi dia juga kembali ke Jakarta, kan?”
Rini berdiri dengan cepat. “Tapi kalau dia nekat melamar Rini? Aduh!” Rini cemas sekali.
Bang Martin memutar kepalanya dan memandang ke luar. Ada seorang cowok berjalan lincah memasuki pekarangan rumah. Cowok dengan jins dan jaket kulit imitasi yang hitam mengkilap. Dan tangan kanannya menenteng sepasang sepatu roda. Bukan sepatu roda biasa, melainkan Rollerblade yang justru sudah ketinggalan jaman.
Bang Martin memicingkan matanya. Memandang cowok itu dengan lebih seksama.
“Itu yang namanya Daim?”

“Iya, Bang. Sini! Abang duduknya di sebelah Rini!” Rini menggerak-gerakkan tangannya. Cemas.
Bang Martin berdiri. Tidak mendekati Rini tapi justru keluar menyambut kedatangan tamu itu.
“Heh?! Elo ini, Mar? Elo ada disini juga?” Bang Martin menghadang Daim.
Cowok itu, Daim, nampak amat sangat terkejut dan mendadak sekali wajahnya menjadi pucat seperti mayat.
“Bang Martin? Eh, kok ada Abang disini juga?”
“Busyet dah elo, Mar. Elo ternyata anak sini?”
“Anu, Bang ... eh, anu ... saya ... saya ...”
“Anumu kenapa? Tunggu. Mar! Elo ini sebenarnya siapa, sih? Nama elo Damar atau Daim?”
Damar alias Daim atau Daim alias Damar salah tingkah.

“Elo ini gimana, sih? Pantesan aja kemarin-kemarin gue nyari elo nggak ketemu. Nggak taunya mudik. Mar, eh ... Im? Mami nyari-nyari kamu. Maunya elo segera betulin genteng di belakang itu. Gudang itu! Lagian, kata Mami, elo udah terima panjernya, kan? Udah dapet de-pe, kan? Mami udah ngasih duit, kok kamu malah ngacir?”
Daim makin pucat.

“Kalo kerja yang bener dong, Mar! Elo udah terima duitnya, nggak mau kerjaannya. Gue tonjok hidung jelek elo!”
“Aduh, Bang ... sori ... soriiii!” Daim menutupi wajahnya.
“Sori-sori apaan! Belagu ya elo!”

“Bang Martin, saya udah nunjuk wakil saya, kok. Sumpah! Itu si Tono udah saya suruh datang ke rumah.”
“Tono? Tono siapa?”
“Itu anak pengkolan yang saban hari jadi joki three in one itu, Bang.”
“Masa bodoh! Minggu depan semua harus udah beres. Ntar keburu musim hujan, bisa berabe tuh gudang.”
“Iya, Bang... iyaaa...”

Bang Martin menggeleng-gelengkan kepala dan tak bisa menahan senyum. Sekarang barulah ia bisa melihat penampilan Daim seutuhnya. Daim mengenakan pelindung siku dan lutut komplet. Bahkan memakai helm!
“Eh, Mar... Busyet! Daim aja ngakunya Damar! Tunggu, sejak kapan elo masuk kuliah di kedokteran?”
Daim alias Damar menunduk, tak berani berkutik. Apalagi ketika dia melihat, di balik punggung Bang Martin, Rini tengah mendekap mulutnya yang tak bisa berhenti tertawa.

Cerpen remaja "kartu Mati"

Aku menarik tubuh ke belakang. Membiarkan tumpukan kartu ramalanku membatu di samping tiga kartu yang tersusun berderet. Ketakutan merejang dari semua sisi. Mempercepat detak jantung dan memompa keringat menembus pori-pori.
Ini ketiga kali secara beruntut aku mendapatkan kartu berwarna dasar hitam dengan gambar bayangan putih menyerupai dua paruh badan manusia yang bertaut. Salah satu kepalanya berlingkar cincin, sedang kepala lainnya bercula. Aku menatapnya ketakutan. Gila!
Dua kartu referent di samping kartu main  yang kupegang ini masih tergeletak di hadapanku dalam posisi telungkup. Aku tak mau membukanya. Aku takut menemukan gambar yang sama lagi. Gambar bumi dan langit. Karena sudah dua kali aku mendapatkannya, dan ini yang ketiga. Apakah itu berarti aku benar-benar akan mati?!
Aku menarik tubuh ke belakang. Membiarkan tumpukan kartu ramalanku membatu di samping tiga kartu yang tersusun berderet. Napasku terhembus dan terhisap dengan cepat. Ketakutan merejang dari semua sisi. Mempercepat detak jantung dan memompa keringat menembus pori-pori.
“It’s not only a game, Vie. Ini ramalan kuno, yang diajarkan secara turum-temurun pada orang-orang tertentu. Orang-orang yang memiliki kepekaan dan konsentrasi tinggi seperti kamu.”
Otakku mencelat pada pertemuanku dengan Rinjani Dermeyde dua bulan lalu di koridor Kedutaan Besar Indonesia di Belanda. Rinjani kelahiran Suriname.
“Aku masih merasa sebagai orang Indonesia meski lahir di Suriname. Dan aku juga mengikuti mata kuliah Bahasa dan Budaya Indonesia,” ceritanya. “Meski belum pernah ke Indonesia, aku ingin suatu saat bisa ke sana. Tapi Papa bilang, orang-orang Indonesia tak seramah yang aku pelajari di sekolah.”
Gadis hitam manis dengan rambut keriting kecil itu lalu mengajakku ke perpustakaan. Dan di sanalah Rinjani mendemonstrasikan permainan ramalan kartunya.
Kartu  Mati, Yess Online
“Pejamkan matamu,” kata Rinjani setelah memberikan setumpuk kartu kepadaku. “Dan kocoklah perlahan.”
Aku menuruti. Ruangan perpustakaan yang besar ini terasa sunyi. Setumpuk kartu, kutaksir berisi sekitar lima belas kartu, aku kocok perlahan.
“Bayangkan seseorang yang ingin kau ketahui, dan ucapkan berulang-ulang di hatimu. Berulang-ulang sembari terus kau kocok. Berulang-ulang sampai kau sendiri ingin menghentikannya,” kudengar suaranya dalam kegelapan. Aku menuruti. Kubayangkan sosok Papa, dan memanggilnya berulang-ulang dalam hati. Lalu berhenti.
“Buka matamu,” ujar Rinjani sembari mengambil kembali tumpukan kartu dari tanganku. Lalu ia mengambil tiga buah kartu secara acak dan menatanya berurutan dengan telungkup.
Kartu pertama yang ia buka adalah kartu tengah yang disebutnya kartu main. Di situ tergambar langit biru. Rinjani tersenyum. Dua kartu referent di sampingnya ia buka kemudian. Dan senyum gadis itu kian merekah.
“Siapa pun yang kau bayangkan, dia akan mendapat suatu kebahagiaan, atau kegembiraan, atau apa pun semacam itu, dalam karir atau pekerjaan, atau… semacam tambahan finansial.”
Papa. Aku memikirkan Papa saat itu. Dan aku cuma tersenyum. Ketika seminggu kemudian Papa mengabarkan kenaikan pangkatnya, aku tertegun, teringat pada Rinjani dan ramalannya. Pada kartu-kartu yang ia berikan kepadaku setelah mengajariku bagaimana menerjemahkan makna kartu-kartu itu.
***
Iseng saja ketika sekembalinya dari Belanda aku memainkan permainan itu. Pertama, dengan Lina. Gadis mungil berkulit gelap yang mendamba punya pacar keren, tajir, dan pintar. Dan terutama, bertubuh tinggi tegap dan berkulit putih.
“Untuk perbaikan keturunanlah,” begitu katanya. “Coba, bagaimana ramalanmu bicara tentang Roni.”
Sudah kuduga, cowok kakak kelas kami itu yang dipikirkan Lina saat mengocok kartu. Aku berkonsentrasi penuh, membuka kartu-kartu itu dan mencoba menerjemahkannya.
“Ia sedang berduka, atau sedih, atau kecewa. Semacam itulah,” ujarku membaca kartu ramalanku.
Dan seminggu kemudian Lina menemuiku dengan berita mengerikan. Roni dan temannya kecelakaan. Roni sendiri tidak terlalu parah lukanya. Tapi temannya meninggal seketika karena terlempar dari boncengan dengan keras dan terjatuh tepat di depan roda bus.
Aku ternganga. Antara percaya dan tidak. Bibirku beku tanpa tawa seperti ketika setelah meramal itu. Ketika aku mencandainya, jangan-jangan Roni akan patah hati, dan itu berarti peluang emas untuknya!
Setelah itu ada Ninuk, Alin, Fita, Deno…. Benarkah semua ini benar-benar nyata? Dan kini….
“Tuhan…,” aku mendesah dalam keputusasaan. Mengiba pada Sang Pencipta. Segala kehidupan yang aku jalani terpampang bagai fragmen dalam layar perak. Betapa terlalu sedikit kebaikan yang kuperbuat selama ini. Betapa masih banyak dosa melumuri. Betapa…. Masih berapa lamakah waktuku?
***
 “Kau tampak beda belakangan ini, Vie.”
Aku mendongak, memindahkan perhatian dari buku yang baru saja kuambil dari rak perpustakaan. Alin menarik kursi di depanku dan mendudukinya. Aku tersenyum, berusaha bersikap wajar.
Sejak meramal itu, beberapa hari kengerian akan kematian memburu. Sepertinya ada ketidakrelaan jika belum tuntas semua kesenangan kureguk. Segala hal yang kusuka, kulakukan tanpa perduli. Tapi adakah kesenangan yang abadi?
Tanya itu melemparkanku. Membenturkanku kemudian pada pikiran lain. Apa yang akan kubawa dalam kematianku? Semua kesenangan itukah?
Lalu aku teringat Mama, Papa, orang-orang tercinta. Selama ini aku telah melalaikan mereka dan memburu kesenangan pribadi. Padahal waktuku tak lama lagi!
Sudah dua kali aku tidak ikut pesta bersama teman-teman. Rasanya, keinginan untuk berhura-hura itu telah lenyap seiring kesadaran akan kematian yang menelusup kemudian. Aku ingin, di sisa hidupku, tak ada waktu yang kubuang percuma.
“Semalam teman-teman membicarakanmu,” kata Alin.
“Aku hanya tidak mood, Lin. Pingin di rumah saja. Lama banget aku seperti asing dengan keluargaku,” kataku.
“It’s not only about the party, Vie. Tapi kamu memang seperti lain. Maksudku… sikapmu, tingkahmu, semuanya. Sepertinya kamu bukan Luvie yang kami kenal.”
Aku tertawa. “People change kan, Lin?”
Alin mengangguk.
“Jadi kalau Luvie berubah, suatu hal yang wajar, kan?”
“Tapi tanpa sebab?”
“Ada.”
“Apa?”
“Karena setiap hari usiaku berkurang, dan aku ingin menutup hidup dengan hal-hal yang berarti. Hal-hal yang selama ini terabaikan.”
“Omongmu kayak orang mau mati saja,” Alin bersungut.
Aku meringis. “Kita memang sering lalai bahwa kematian bisa datang kapan saja. Merasa masih muda dan jalan masih panjang. Padahal siapa yang tahu kapan Malaikat Maut menjemput?”
“Hebat. Ngutip khotbah siapa?” kata Alin.
Tak beda dengan teman lain. Betapa tak mudahnya memberi peringatan. Mereka tak akan tahu betapa berharganya waktu kecuali jika mereka mendengar vonis bahwa sebentar lagi maut akan menjemput!
***
Ini sudah dua bulan sejak aku meramal diri sendiri. Sejak berturut-turut kudapati kartu mati. Padahal beberapa kali ramalanku terjadi hanya berselang waktu sebulan.
“Ramalan itu omong kosong. Hanya orang bodohlah yang percaya akan ramalan. Kalaupun ramalan itu benar, hanyalah kebetulan semata yang dipadupadankan.” Aku ingat pada Izzah, anak rohis yang mulai dekat denganku.
Mungkin memang hanya omong kosong. Kebetulan semata jika terjadi. Bukankah sebetulnya, jika mau jujur, ramalanku juga lebih sering tak terjadi? Ketika aku mengatakan pada Dino bahwa pacarnya akan mendapat musibah, justru Dino yang mendapat musibah, karena kemudian pacarnya berpaling dan mengkhianati cinta cowok itu?
Meski kemudian aku berdalih bahwa terungkapnya pengkhianatan sang pacar itulah yang disebut musibah bagi ceweknya? Atau Fita, yang kuramal akan mendapat yang diinginkannya, kemudian ia membeli HP kamera terbaru, bukankah karena ia telah lama menabung untuk itu? Dan bukan sekedar kebetulan atau ketepatan ramalanku!
Dan kematianku? Kapan akan terjadi?
Sekarang aku memang tak lagi takut maut menjemput. Setidaknya, kalaupun aku mati sekarang, aku tak akan menyesalinya. Aku telah mendapatkan semua kebahagiaan. Mama yang mencintaiku, meski selalu sibuk dengan kegiatannya, Papa yang memanjakanku, kakak-kakak yang menyayangiku, teman-teman….
Kartu ramalan itu tak lagi kugunakan.
Kalaupun memang itu bisa menyibak rahasia Tuhan, biarlah tak kutahu semua rahasia-Nya. Kalaupun memang kartu itu bisa menyingkap rahasia, cukuplah sudah pelajaran kudapat bahwa waktu hidup kita begitu terbatas. Terbatas!

Cerpen remaja"Pilih yang mana"


Pemandangan pagi itu membuat dadanya sungguh sangat sesak. Dan Kana buru-buru menikung, masuk ke kelas.

Siapa sih yang nggak kenal Kana dan Antya? Dua sahabat yang konon ketemu waktu sama-sama dihukum karena terlambat datang saat MOS. Yang jelas dua cewek yang belum genap dua tahun berada di SMA Kartika ini telah memecahkan rekor sebagai penyumbang piala terbanyak. Belum lagi mereka terkenal karena otaknya yang encer. Antya, dengan dengan modal bawelnya itu kerap ikut lomba presenter, pidato maupun story telling. Sedang Kana, yang juga cerewet tapi tak separah Antya itu tak pernah absen ikut lomba karya ilmiah, debat, pokoknya yang sejenis itulah. Di mana ada Antya, pasti ada Kana. Lucunya, kalau hari itu Antya sedang lomba pidato, pasti Kana juga tidak masuk sekolah. Kenapa? Karena ia juga sedang lomba debat. Dan, keesokkan harinya mereka datang ke sekolah dengan membawa piala yang siap diserahkan ke sekolah mereka.  Hm... lucu memang melihat mereka berdua. Karena mereka bebas dari imej orang pinter yang berkacamata tebal dan gaya yang culun. Tak ada yang tahu bagaimana caranya memisahkan mereka berdua. Kompak banget sih.
Sampai suatu hari...
Kana melangkah ringan di koridor lantai dua SMA Kartika. Ia menuju ke kelas Sosiologi, mata pelajaran pertama di hari Jumat ini. (Di Kartika dipakai sistem moving class). Kana sangat menyukai kelas Sosiologi. Bukan hanya karena pelajarannya atau gurunya, Pak Anton yang selalu mengeluarkan joke-joke segar selama mengajar sehingga kelasnya tak pernah sepi dari tawa anak-anak kecuali saat ulangan tentunya, tapi Kana pun menyukai letak kelas ini. Karena dari koridornya, tak jarang Merapi menampakkan kemegahannya. Kana sangat menyukai pemandangan itu. Ia betah berlama-lama menyaksikannya sampai bel masuk berbunyi atau sampai Antya datang dan menyeretnya untuk masuk ke kelas. Hari ini Merapi tertutup kabut. Kana pun masuk ke kelas. Tapi, baru sampai di depan kelas, ia melihat pemandangan yang amat tidak disukainya. Antya, sahabatnya itu tengah bercanda ria sambil berpegangan tangan dengan Ben.
Ben! (Cowok paling nakal sepanjang sejarah sekolah ini berdiri sekaligus cowok yang paling dibenci Kana. Pernah, saat Kana hendak berkonsultasi tentang makalah lomba Ilmu Sosial, Ben merusak makalah yang ada di tangannya. Tak hanya itu, disket tempat file makalah itu disimpan juga jadi sasaran. Kana yang saat itu berambisi untuk memenangkan lomba, jelas sakit hati dan mulai tersulut api permusuhan dengan Ben).
Pemandangan pagi itu membuat dadanya sungguh sangat sesak. Dan Kana buru-buru menikung, masuk ke kelas.
“Pagi Kana,” sapa Antya, mengejarnya, membuyarkan lamunannya.
“Oh-eh, pagi juga,” jawabnya gugup.
“Duduk disini, Na.” Antya menunjuk kursi kosong di dekatnya.
“Ngggg..... gue lagi pengen duduk di depan nih.” Kana segera meletakkan tasnya di kursi terdepan lalu bergegas keluar. Ia sudah tak tahan melihat itu semua. Menjijikkan, pikirnya. Kini di kepalanya terbayang perpustakaan. Sepi, sendiri. Masih ada beberapa menit untuk itu sebelum pelajaran dimulai.
“Kana!” Seseorang memanggil, membuatnya menghentikan langkahnya. Ternyata Ventura, cowok ceking itu setengah berlari mengejarnya.
“Ada apa, Ven?” tanyanya
“Elo kenapa, sih? Pagi-pagi tampangnya bete banget?”
“Ah, nggak apa-apa kok. Gue cuma agak stres, deadline makalah karya ilmiah paling lambat hari Senin besok nih! Padahal gue masih kurang satu bab,” jawabnya, berkilah.
“Bohong. Pasti ada apa-apa.”
“Bener kok. Jangan sok tahu loh!”
“Kana, biar begini gue temen elo dari TK. Jadi gue tahu, elo nggak mungkin punya tampang bete cuma gara-gara itu. Pasti gara-gara Antya dan Ben. Bener nggak?”
“Kok tahu?”
“Gubrak! Ya iya-lah. Semua anak udah bisa nebak elo bakalan bete kalo ngeliat mereka mesra-mesraan apalagi jalan bareng.”
“Apa?! Mereka udah jalan bareng? Kok gue nggak tahu?”
“Gubrak lagi! Kamu ke mana aja sih, Non? Masak tiap malam Minggu nggak pernah ngeliat mereka jalan ke mal?”
“Dua kali malam minggu ini kan gue lembur ngerjain makalah. Nggak pergi ke mana-mana.”
“Bukan dua kali malam minggu ini, Non, tapi empat kali malam minggu ini elo ke mana aja?”
“Tiga minggu lalu gue ke Kudus, kakak sepupu gue menikah. Bulan lalu gue ke... Semarang, ke rumah Eyang. Eh, berarti mereka udah sebulan deket?!” Suara Kana meninggi.
“Ssssssttt... nggak usah teriak-teriak gitu kenapa sih? Kan, elo temen gue dan Antya temen gue juga. Gue nggak pengen Antya kenapa-kenapa gara-gara Ben. Elo tau kan, cerita mantan-mantannya Ben?”
Kana mengangguk, tercenung sebentar, kemudian bergumam…
“Ya, gue bakal ngomongin ini ke Antya.”
Tut .... tut ... tut ...
“Allow, selamat sore.” suara Antya terdengar di seberang sana.
“An, ada waktu nggak?”
“Ada, kenapa Kan?”
“An, elo kok nggak cerita kalo elo deket ama Ben?”
“Ngapain gue musti cerita ama loe? Gue udah tau kalo elo pasti nggak setuju.”
“Bagus deh kalo elo udah tahu. An, elo tau gimana rusaknya Ben? Ngapain elo nekat deketin dia juga?”
“Na, jangan sembarangan kalo ngomong! Ben itu nggak seperti yang elo kira. Dia itu cowok baik. Kalaupun rusak, dengan gue deket ama dia, Ben pasti berubah.”
“Iya, udah banyak cewek yang nyoba teori elo. Tapi, bisa dihitung dengan jari yang berhasil.”
“Na, gue udah gede dan nggak selamanya gue bareng loe terus. Gue juga pengen punya cowok. Lagian, mantannya Ben itu yang bodoh banget. Mau aja nyerahin mahkota mereka ke Ben”
“Dan elo mau kayak mereka? An, kalo jadi cewek yang selektif dong”
“Na, gue bosen elo ikut campur urusan gue. Lebih baik elo urus diri elo sendiri. Gue bisa jaga diri gue sendiri!!!”
Klik! Telepon diputus. Antara sadar atau tidak, Kana masih tidak percaya dengan kata-kata Antya. Air matanya menetes. Ia takut kehilangan sahabatnya itu. Tapi, Kana tahu prioritasnya saat ini adalah Lomba Karya Ilmiah. Segera dihapusnya air mata yang menggenang di pipinya lalu beranjak menuju meja komputer.
***
“Pagi, Kana!” Sapa Ventura pagi itu,  saat Kana sedang melintas di depan koridor aula sekolah.
“Pagi. Ada cerita apa nih selama dua hari kutinggal lomba?” Ventura terdiam.
“Ven, kok diem aja?” Kana mengguncang tubuh  Ventura yang kurus ceking itu.
“Duduk dulu deh,” katanya sambil menunjuk kursi panjang di depan aula.
“Sebenernya ...” Belum selesai Ventura berucap, segerombolan cewek datang.
“Kana, selamat ya.....” Ujar Pipin, salah satu dari mereka.
“Selamat buat apa? Kalo soal lomba kemaren, belum ada pengumumannya.”
“Nggak usah pura-pura nggak tahu deh Na. Itu lho... berita jadiannya Antya dengan Ben!”
“Hah????!!!”
“Oh ya, kamu nggak tahu ya? Kemaren kan kamu masih lomba. Padahal, beritanya itu diumumkan lewat radio sekolah lho ...! Udah dulu ya, kita mau masuk kelas dulu,” ujar Donna panjang lebar. Setelah mereka pergi, Kana terduduk lemas, sedang Ventura hanya terdiam. Kana merasa, hari itu mood-nya untuk mengikuti pelajaran sudah hilang.
***
“Kana, gue mau ngomong ama elo,” ujar Antya saat Kana sedang mengetik tugas di lab komputer.
“Nggak bisa sekarang. Gue lagi ngerjain tugas,” jawab Kana tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.
“Gue maunya sekarang!”
“Kok maksa, seeeh! Yang punya urusan siapa? Sabar dong!”
Di luar dugaan, Antya  langsung ke belakang Kana dan mematikan komputer yang sedang dipakai Kana untuk mengetik.
“Heh! Elo ini kenapa, sih? Ini tugas penting tau! Seenaknya aja matiin komputernya! Mana gue belum sempet nge-save!!!”
“Gue mau nanya, elo kan yang ngejelek-jelekin Ben di depan kakak gue? Kalo elo nggak bisa nerima gue jadian ama Ben, jangan kayak gitu caranya!” Suara Antya langsung meninggi. “Ngapain pake bawa kakak gue!”
“Denger An, gue bukannya mau ngejelek-jelekin cowok elo. Tapi, yang gue bilang ke kakak elo itu emang bener. Coba aja kakak elo tanya ke semua anak di sekolah ini. Jawabannya pasti nggak bakal jauh beda!” Suara Kana juga meninggi.
“Denger Kan, mulai hari ini gue nggak akan nganggep elo temen gue”
“OK. Kalo itu emang yang elo mau. Gue masih bisa hidup tanpa elo. Masih banyak kok yang mau jadi temen gue!” balasnya
Antya pun pergi.
***
 Bulan pun berlalu, Kana dan Antya tak pernah lagi bertegur sapa. Yang jelas, perubahan kontras terjadi pada diri Antya. Bukan Antya yang aktif ikut lomba presenter, atau sejenisnya. Tapi Antya yang kerap keluar-masuk ruang BP karena kelakuan buruknya, karena ketahuan membawa komik ke sekolah, dan sederet kenakalan lain yang memenuhi buku hitam sekolah. Sedangkan Kana makin melebarkan sayapnya. Prestasinya terus terukir, beragam penghargaan telah memenuhi ruang rektor. Bagi Kana, masa remaja itu masa persiapan untuk menuju masa depan. Bagaimana kita memanfaatkan masa-masa remaja yang singkat ini. Kalau kita tanya Antya, ia akan menjawab masa remaja itu singkat dan wajib dinikmati, karena dalam masa ini kita punya banyak pilihan. Kalau sudah mulai dewasa, sudah nggak pantes lagi.
Nah, kalian pilih yang mana? Seperti Antya atau Kana?
Kalau kalian memilih seperti Kana atas dasar pengakuan dia karena prinsip-prinsipnya, kalian akan kecele.
Kalian tahu kenapa?
Nggak banyak yang tahu, tapi sebenarnya sekarang Kana lagi seru-serunya jalan sama Ben!

Oleh Donatus & Irene 

Cerpen Remaja"Hari pertama sekolah"


“Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. 

Bruk!
      “Kalo jalan liat-liat dong!”
      “Punya mata nggak sih?!”
      “Sorry…” Aku mengulurkan tangan ke arah seorang gadis yang baru saja kutabrak. Gadis itu menepisnya. Berusaha bangkit. Aku hanya meringis.
      Seperti tak puas dengan permintaan maafku, kedua temannya terus saja memaki-maki aku. Aku hanya membalas makian itu dengan senyum, sebelum ketiganya berlalu meninggalkan aku. “Hm, cantik juga…”
      “Mas Denny?” tegur seorang cewek seusia kakak perempuanku.
      Aku merengut. “Nama depan saya bukan Tomas, Mbak.”
      Cewek yang tubuh suburnya berbalut sweater itu tersenyum nyaris tertawa. “Iya deh. Hmm… Denny.”
      “Nah, begitu kan lebih asyik. Masa anak seimut saya disamain sama Mas-mas tukang becak?”
      Kembali cewek bertubuh subur itu memamerkan deretan giginya yang cukup pantas dijadiin model pasta gigi atau sikat gigi. “Mbak Dian sudah menunggu di bangku VIP.”
      “Wah, Mbak curang nih!”
      “Curang?” cewek itu mengerutkan keningnya, “curang kenapa?”
      “Mbak tau nama saya, tapi saya nggak dikasih tau nama Mbak.”
      “Panggil saja Mbak Ratna. Saya asisten pribadinya Mbak Dian.” Katanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih itu.
      “Nah, gitu dong. Jadi kalo polisi nanya, saya bisa jawab siapa orang yang membawa saya.”
      “Polisi?” kembali Mbak Ratna menampakkan raut bingung.
      “Siapa tau aja Mbak Ratna mau nyulik saya.”
      “Ha ha ha…” kali ini dia nggak mampu menahan tawanya, “Udah, ah, becandanya!”
      “Filmnya udah mulai ya?”
      “Belom. Sebentar lagi.”
      “Papa sama Mama datang juga.”
      “Iya. Mereka semua ada bersama kakakmu di bangku VIP.”
      Mbak Ratna segera menggiringku ke teater satu tempat film yang diproduksi Mbak Dian diputar.
***
      “Huuuaaaa…” aku membuka mata. What? Udah jam 7 lewat!
      Buru-buru aku meninggalkan kasur busa yang aku gelar di lantai kamar kosku. Melesat cepat dengan satu tujuan: kamar mandi! Sepuluh menit kemudian aku sudah keluar dari ruangan berukuran 2 X 2 meter itu.
 “Uh… di mana sih seragam sekolahku?”
      Aku memang belum sempat merapikan barang-barangku, sejak menempati kamar kos ini. Mungkin masih di dalam kéril? Yup! Ketemu juga. Aku sama sekali gak membutuhkan waktu lama untuk mengenakan seragam itu, sebelum berdiri di muka cermin, merapikan rambutku yang mulai menyentuh pundak. Beres! Aku tersenyum memandangi penampilanku.
      Hari pertama masuk ke sekolah, harus memberikan kesan yang luar biasa.
      Aku menyambar jaket jeans yang tergantung di kapstok belakang pintu. Memeriksa katung depannya, apakah kunci Vespaku masih ada di sana. Ternyata memang masih di sana. Aku membuka pintu kamar.
      “Wah, rajin sekali Mas… pagi-pagi buta begini sudah mau berangkat ke sekolah?” tegur Pak Sastro, pemilik kamar kos yang kutempati itu sedang menikmati sarapan pagi di beranda depan rumahnya.
      “Di depok jam tujuh masih gelap ya, Pak?” aku mendongak menatap langit.
      “Hua ha ha…” pria paro baya itu terbahak sampai makanan yang sedang dikunyahnya berhamburan keluar dari mulutnya. “Wah… kamu suka bercanda, rupanya…”
      “Lho, jam dinding di kamar saya…”
      “Baterainya belum sempat diganti sejak penghuni yang lama keluar tiga bulan yang lalu,” terangnya, “Sekarang baru setengah enam.”
      Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Sebelum melangkahkan kaki kembali ke kamar.
      “Mau ke mana toh? ndak mau ngeteh-ngeteh dulu?”
      “Mau Subuhan dulu, Pak!” kataku sambil tersenyum.
      “Kalau sudah selesai jangan langsung berangkat ya, temani bapak ngeteh dulu.”
      Aku tersenyum mengangguk. Keramahan Pak Sastro membuat aku serasa di rumah Abah di Lembang. Sedang apa ya beliau? Biasanya jam segini Abah udah berangkat ngontrol kebun tehnya.
      Papa yang memaksa aku pindah sekolah. “Kamu harus bantu-bantu Papa. Kamu kan anak lelaki Papa satu-satunya.”
      “Kan ada Mbak Dian, Pa,” ujarku, “Denny kan masih sekolah. Tar malah nggak fokus lagi…”
      “Justru karena kamu masih sekolah,” kata Papa, “Tahun depan Mbakmu itu mau melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dapat beasiswa dari salah satu Universitas ternama di London.”
      “Wah, hebat banget!”
      “Kalau kamu mau hebat, harus banyak belajar dari dia.”
      “Oke deh, Pa!” kataku menyetujui, “Tapi ada syaratnya.”
      “Sama orangtua sendiri pakai syarat-syaratan segala.”
      “Denny nggak minta mecem-macem, Pa. Denny cuma mau pindah kalo dibolehin kos.”
      “Tinggal di rumah sendiri kenapa sih?”
      “Nggak seru, Pa. Denny kan mau belajar mandiri.”
      “Iya deh, iya…”
      “Satu lagi.”
      “Apa?”
      “Tabungan Denny nggak cukup nih buat beli Vespa tua.”
      “Ya, udah. Uang tabungan kamu jangan diotak-atik. Nanti Papa belikan motor Vespa. Papa kira kamu mau beli mobil…”
      Begitulah. Akhirnya aku terdampar di kota Depok ini.
      Selepas menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Bu Sastro, aku meluncur tenang di aspal jalanan kota Depok. Kota ini lumayan semerawut. Yah, hampir nggak ada bedanya sama Bandung, kota tempat tinggalku terdahulu, kecuali cuacanya yang nggak bisa dibandingin sama Bandung yang suejuk abis!
Eh, alamat sekolah aku di mana ya?
“Wah, aku lupa tanya!”
Aku menepikan Vespaku. Aku merasakan getaran di saku jaketku. Ada SMS masuk. Dari Mama!

Apa kabar anak ganteng?
Sender: Mama 0811900003
Sent: 10 Jan 2005 06:45:53

Aku menekan tombol call. Sesaat kemudian terdengar nada sambung.
“Assalamu alaikum, Ma!”
“Waalaikum salam,” jawab Mama, “Kamu udah sarapan?”
“Teh hangat plus pisang goreng buatan ibu kos, Ma! Mereka baik sekali.”
“Wah, syukurlah. Mama jadi tenang.”
“Denny lagi jalan ke sekolah. Tapi Denny lagi bingung, Ma…”
“Bingung kenapa?”
“Alamat sekolah baru Denny di mana ya?”
“Ya, ampun!”
“He he he…” Aku meringis.
“Sebentar Mama tanya sama Papa, ya.”
“Lho, emang Mama gak tau?”
“Mama juga lupa…” terdengar suara tawa Mama di seberang sana.
Dasar, Mama sama anak sama saja. Sama-sama pikunnya!
      Vespaku berhenti di depan sebuah gerbang sekolah. Di atasnya ada plang besar bertuliskan SMU Favorit. Jadi ini sekolah baruku. Hm… lumayan besar juga. Lebih besar dari sekolah lamaku di Bandung.
      Tin… tin… tin…
      Suara klakson mobil seperti anjing penjaga yang menyalak galak meminta aku untuk segera enyah. Aku menoleh. Bumper sedan mewah itu hanya bebarapa centi saja dari Vespaku. Kulihat pengendaranya melambai-lambai tangan meminta aku segera enyah dari hadapan mereka.
      “Huh, sombongnya!”
      Traaannnnkkk… Traaaannnkkk… kumainkan gas motorku, membiarkan buangan asap kenalpotnya menyembur, menciptakan kabut tebal. Orang-orang membekap telinganya. Knalpot Vespa tahun tua memang lebih rombeng dari kaleng rombeng sekali pun. Seorang satpam memperingatkanku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk.
Setelah puas membuat pengendara sedan mewah berteriak-teriak dongkol, aku baru angkat roda vespa dari gerbang sekolah itu. Satpam yang tadi menegurku menunjukkan tempat motor-motor diparkirkan. Hampir kebanyakan motor-motor mewah keluaran tahun muda. Vespaku jadi kelihatan seperti seorang kekek tua yang centil, karen warna merahnya cukup membuatnya jadi pusat perhatian.
      “Hai!” tegur seorang cowok berperawakan kucel, memarkir motor Vespanya yang penuh airbrush, di sebelah Vespaku. “Tahun berapa?”
      “Gue?”
      “Motor vespa lo!”
      “Oh… tahun 65,” jawabku, “Punya lo?”
      “Lima tahun lebih muda dari motor lo.” Matanya seperti meneliti aku, “Anak baru ya?”
      “Lho, kok tau?”
      “Ya tau lah!” katanya lagi, “Cuma anak baru yang pake seragam abu-abu pas hari senin.”
      Aku melihat celana panjang kotak-kotak yang dikenakannya. “Tapi bisa aja kan celana gue lagi dicuci?” elakku.
      “Persoalannya, gak ada anak sekolah sini yang bawa Vespa tua selain gue.”
      Aku tersenyum, “Nama gue Denny!” kataku menyodorkan telapak tangan.
      “Gue Rivo.” Cowok itu menyambutnya. “Di kelas berapa?”
      “Belom tau.”
      “Udah di kelas gue aja!” tawarnya, “ceweknya cakep-cakep!”
      Seorang cewek berambut ikal turun dari sedan mewah yang tadi kukerjai. Lho… itu kan… wah, ternyata dia sekolah di sini!
      “Kalo cewek itu di kelas berapa?” tunjukku ke arah cewek cantik yang kini tampak asyik berbincang dengan kedua temannya, sebelum mereka melangkahkan kaki dan menghilang di tikungan. Kulihat sedan yang dikendarai oleh sopirnya meninggalkan pekarangan sekolah.
      “Dia anak kelas I A.”
      “Sekelas sama elo?”
      “Nggak. Kelas gue di sebelahnya.”
      “Di kelas lo ada yang lebih cantik dari dia?”
      “Wah, dia mah cewek tercantik di sekolah ini!”
      “Namanya?”
      “Ela Aurora Alexandra.”
      “Oke, sampe ketemu ya!” kataku menepuk pundak Rivo, sebelum melangkahkan kaki menjauhi cowok kucel itu.
      “Mau ke mana?” panggil Rivo.
      “Ke kelas 1 A!”
      Masih sempat kulihat Rivo tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.
      Hmm… ini dia kelasnya. Sebuah papan kecil bertuliskan Kelas I A melekat di bagian atas pintu kelas itu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Rupanya penghuni kelas ini cukup rajin juga. Sudah banyak siswa yang hadir di sana.
      “Halo semua!” sapaku sambil melambaikan tangan ke seluruh penghuni kelas itu. Mereka mengerubungi aku dengan tatapan penuh tanya dan sedikit curiga. Aku celingukan mencari-cari cewek bernama Ela Aurora Alexandra. Di mana mejanya?
      Mataku berkeliling mencari bangku yang masih tersisa.
      “Di pojok dekat jendela gak ada yang dudukin,” kata seorang gadis berwajah agak manis berambut agak kecoklatan sambil agak tersenyum ke arahku, menunjuk bangku di belakang tempat duduknya.
      Aku tersenyum sebelum melemparkan tas di atas meja.
      “Anak baru ya?”
      “Kok nuduh?” Aku mengempaskan tubuh di bangku sebelah gadis yang kupikir agak tomboy itu. “Nama gue Denny!”
      “Siapa?” Tanya gadis itu.
      “D-e-n-n-y,” ejaku, “Denny!” ulangku menegaskan.
      “Yang nanya?”
      Aku tersenyum kecut. Kena deh gue… cewek yang kupikir agak tomboy itu tertawa terbahak.
      “Nama lo siapa sih?” tanyaku kemudian.
      “Mau ngebales nih?” masih menyisakan tawa.
      Aku menggeleng. “Gue nggak pendendam kok. Apalagi sama cewek manis kayak elo!”
      “Gula kaleee manis!” katanya berseloroh, “Gue Anggun!”
      “Hah?” mataku membulat.
      “Elo mo bilang anggota ragunan kan?!” cewek itu mengepalkan tinjunya.
      “Orang Depok demen nuduh, ya?” kataku, “Gue cuma heran aja, masa cewek tomboy namanya Anggun. Gak cocok ah.”
      “Cocoknya apa?”
      “Kipli!” ujarku, disusul tawa. Sebuah tinju ringan mendarat telak di lengan atasku.
      “Tadi lo bilang anak Depok demen nuduh,” kata Anggun setelah tawaku mereda, “Emang elo anak mana?”
      “Gue lahir di Jakarta. Tapi sejak SMP sekolah di Bandung. Abis gue hopeless sama Jakarta yang panas.”
      “Terus, kenapa lo pindah ke mari?”
      “Bokap gue yang maksa. Dia gak tahan jauh-jauh dari anaknya yang keren ini.”
      “Huuuu! Narsis abis lo.”
      Suara bel mengudara. Para siswa segera berhamburan ke kelasnya masing-masing.
      “Minggir lo!” kata Anggun mengusirku dari bangku yang tengah kududuki. Seorang gadis tersenyum berdiri di belakang tubuhku. Aku segera menyingkir ke meja di belakang tempat duduk mereka.
      There she is! Aku benar-benar dibuat terpana oleh gemulai langkah Ela Aurora Alexandra bersama ketiga temannya.
      “Awas nanti ilernya netes!”
      “Hah?” aku buru-buru memeriksa ujung mulutku. Tak ada liur yang menggantung di sana. Kulihat Anggun dan teman sebangkunya terpingkal. “Huh! Nggak lucu!”
      Kulihat Ela memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya menyiratkan sebuah tanya. Anak mana nih nyasar ke sini? Begitu kali kalo diterjemahin ke dalam bentuk kalimat. Salah seorang temannya seperti menyadari sesuatu. Dia mencolek lengan Ela, sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu ketiganya berjalan menghampiri mejaku.
      “Elo kan yang waktu di bioskop…”
      “Nabrak elo!” sambarku memutus kalimat Ela.
      “Mau apa lo di sini?”
      “Kenalin,” Aku mengulurkan tangan, “Gue anak baru di kelas ini. Nama gue Denny.”
      Ela tidak segera menyambut uluran tanganku. Dia seperti berpikir sesuatu, sambil memandangi diriku dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Hmm… boleh juga,” katanya sambil tersenyum ke arah kedua temannya, sebelum kembali menatapku, “Oke deh Denny, elo udah tau kan nama gue?”
      Aku mengangguk-angguk sebelum menarik tanganku kembali. Hmm… sombong juga neh anak… Aku membalas senyum ketiga cewek itu. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Lihat aja nanti!
      Seorang pria berkaca mata, berambut jarang masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kayaknya guru killer nih. Aku mencolek bahu Anggun. Cewek tomboy itu menoleh takut-takut.
      “Siapa?” kataku berbisik.
      “Pak Andi Suhandi.”
      “Galak ya?”
      “Banget!”
      Baru saja Anggun selesai mengucapkan itu, sebuah spidol meluncur deras ke arahku. Untung aku pernah diajarin silat sama Abah, jadi hup! Spidol itu berhasil aku tangkap. Tapi… Pletak! Sebuah penghapus mampir di jidatku. Aduuuuhhh… Guru killer itu tersenyum penuh kemenangan.
      Aku berinisiatif mengembalikan spidol dan penghapus itu ke meja Pak Andi.
“Ternyata kamu nggak sehebat yang Bapak bayang kan. Tapi lumayan…” Pak Andi menepuk bahuku, “Baru kamu seorang yang bisa menangkap lemparan Bapak.”
Aku hanya meringis saja.
“Sepertinya… bapak tidak pernah melihat kamu sebelumnya?”
“Saya anak baru, Pak,” terangku, “Pindahan dari Bandung.”
      Pak Andi mempersilahkan aku duduk kembali. Bel tanda selesainya jam pelajaran Pak Andi hampir habis, saat seorang lelaki berkemeja biru motif garis-garis menapakkan kakinya di kelas, dengan sebuah map di tangannya.

      “Maaf mengganggu,” dia memohon ijin pada Pak Andi.

      “Oh, silahkan. Jam pelajaran saya sudah selesai.”

      Lalu lelaki berkemeja itu menatap ke arah bangku murid. “Ada anak baru yang namanya Denny?”

      Semua mata segera menyerbu ke arahku. Aku menoleh ke belakang seolah mencari-cari sesuatu, sebelum menyadari kalau yang mereka tatap itu adalah aku. He he he…
      “Saya Pak!” Aku mengacungkan telunjuk ke udara.

      “Kelas kamu bukan di sini. Tapi di kelas sebelah. Kelas I B.”

      “Yah, saya udah terlanjur betah di sini.”

      “Waduh… gimana ya? Habis wakasek bidang kesiswaan sudah terlanjur menempatkan kamu di kelas I B.”

      Dengan enggan kulangkahkan kaki meninggalkan kelas, setelah sebelumnya mengucapkan kata-kata pada anak-anak di kelas itu, “Maaf, sepertinya kalian belum beruntung bisa jadi teman sekelas saya! Gak usah kecewa ya!”

      “Huuuuuuu…!!!” seru mereka semua nyaris bersamaan, membuat kelas menjadi gaduh. Aku memutuskan untuk selekasnya angkat kaki sebelum mereka melempariku dengan apa saja!

      Rivo langsung tertawa ngakak begitu melihat aku diantar oleh pria berkemeja – yang belakangan baru kutahu bernama Pak Somad,  berkerja di bagian administrasi SMU Favorit itu –ke kelasnya, kelas I B. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Aku berjalan menghampirinya.

      “Nggak jadi sekelas sama Ela nih?”

      Aku hanya tersenyum meringis. “Masih kosong?” Aku menunjuk bangku di sebelahnya.

      “Ada yang nempatin. Tapi hari ini lagi nggak masuk. Namanya Chirex.”

      “Apa?” tanyaku, “Cireng? Kayak nama makanan aja…”

      “Chirex! Chirex!” ulang Rivo keki, “Nama sebenernya sih Nurhadiansyah.”

      “Kalo meja belakang?” Aku menunjuk meja kosong di belakang bangku Rivo.

      “Kosong. Baru kemaren penghuninya mati dibunuh.”

      “Hah, yang bener lo?!”

      “Tuh, mayatnya masih terkapar di situ!” telunjuknya mengarah ke kolong meja belakangnya. Ada seekor kecoa terkapar tak bernyawa.

      “Ah, gue kira beneran…”

      “Woi, anak baru!” teriak salah seorang penghuni kelas itu. “Kenalin dong nama lo!”

      Aku langsung angkat kaki ke depan kelas. Mempersembahkan senyum termanis pada teman-teman baruku itu.

      “Oke, tenang ya semuanya. Kalian siapin aja kertas sama pulpennya. Nanti gue tanda tanganin!”

      Suiiing… puluhan pulpen bercampur dengan pinsil melayang ke arahku.
Oleh Donald Ducky

Cerpen remaja"The last surprise"


 “Kenapa harus malu, sayang? Mama dulu juga pernah muda dan pernah merasakan apa yang sekarang putri cantik mama rasakan.”
 
Akhir-akhir ini Adit terlalu sibuk dengan urusannya sendiri seolah-olah sudah tak peduli lagi dengan keberadaanku di sisinya sebagai kekasih. Sedih. Tak ada lagi ucapan-ucapan sayang yang selalu dikirimkannnya padaku. Baik melalui telpon ataupun sms. Tak ada lagi ucapan selamat makan untukku. Tak ada lagi ucapan hangat menjelang aku terlelap dalam mimpi. Semua kini telah tiada. Aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Kehilangan sosok Adit yang selama ini selalu peduli padaku. Tapi itu dulu. Semuanya telah berbeda kini. Waktu dapat mengubah segalanya dalam waktu sekejap.
                Aku pernah bertanya, ke mana dia selama ini setelah sekian kali meng-cancel acara yang telah kita sepakati sebelumnya. Apa yang aku dapat? Hanya sebuah jawaban klise seorang cowok; pergi ke bengkel, nonton bola dan hang-out bareng teman-temannya yang lain. Hanya untuk hal-hal yang sepele seperti itu, Adit melupakanku. Ditambah ada Reno yang dengan setia mendampinginya ke mana pun. Seolah keberadaan Reno mampu menggantikan keberadaanku yang selalu menolak ajakan-ajakan dia untuk melakukan suatu hal yang di mataku tak pantas aku harus tahu. Gak penting!
                Tapi bagaimana pun Adit adalah manusia terbaik yang diberikan Tuhan dalam hidupku. Walau terkadang aku kesal dan marah padanya, aku tetap mencintainya, bahkan rasa cintaku kepadanya semakin hari semakin bertambah besar. Apalagi saat dia mampu membuatku selalu terkesima dengan kejutan-kejutannya yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Aku kembali bertekuk lutut di hadapannya. Aku pikir, semua cewek di dunia akan sangat bahagia mendapat surprise itu dari someone special-nya. Terbukti malam ini Adit mengajakku ke suatu tempat yang masih dirahasiakannya padaku. Adit bilang, “Adit bakal ajak Rara ke suatu tempat yang sangat-sangat romantis.” Tanpa mau menyebutkan di mana tempat yang sangat-sangat romantis itu. Dan Adit memintaku untuk mengenakan gaun yang diberikannnya padaku saat ultahku kemarin.
                “Rara... “ panggil mama yang tanpa sepengetahuanku telah hadir di kamarku. Memperhatikan putri kesayangannya sedang sibuk memperbaiki penampilan di depan cermin.
                “Ma... ma..., rengekku manja. “Kok masuk nggak bilang-bilang, sih?”
                Mama tersenyum geli. “Mama tadi udah ketuk pintu kamar kamu, tapi nggak ada jawaban. Kamu aja yang keasyikan dandan,” sindir  Mama yang langsung membuat wajahku merona merah.
                “Ma... ma...”
                “Kenapa harus malu, sayang? Mama dulu juga pernah muda dan pernah merasakan apa yang sekarang putri cantik mama rasakan.”
                “Udah deh, Ma. Nggak usah godain Rara terus,” ujarku kesal. “Buruan ada apa?”
                “Pangerannya sudah menunggu di bawah, tuan puteri, “ ujar mama bak seorang pemain opera Cinderela.
                Ups. Adit sudah datang. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat. Aku nervous, juga bahagia. Aku gugup  dan juga gemetar. Semuanya aku rasakan secara bersamaan. Entah perasaan apa itu namanya. Sudah seminggu aku tidak berjumpa dengannya, mungkin kerinduan yang membuncah selama ini menimbulkan perasaan itu. Aku kangeeen.
                “Adit?!” ucapku tercengang. Entah percaya atau tidak. Adit malam ini sungguh berbeda dengan hari-hari biasanya. Adit terlihat sangat tampan. “Ka-kamu tampan sekali, Dit!”
                “Rara juga cantik sekali malam ini,” ujarnya lembut sembari memberikan senyun terindah yang dimilikinya. Senyum yang membuatku jatuh hatinya padanya dulu.
                Aku terpaku menatap wajah tampannnya. Aku sangat bahagia memiliki seorang Adit. Tidak hanya kesempurnaan fisik yang dimiliki tapi juga ketulusan hatinya untuk selalu mencintaiku.
                “Ini untuk Rara,” ujarnya sembari memberikan satu buket mawar merah untukku yang disembunyikan dibalik badannya.
Kejutan untuk kedua kalinya malam ini, pekikku dalam hati. Aku tadi terlalu asyik menatap wajahnya tanpa mengetahui ada seseuatu yang dia sembunyikan dariku.
“Adit...,” pekikku lagi. Aku tidak bisa lagi berkata-kata dan hanya bisa memanggil namanya. Langsung aku berikan sebuah kecupan sayang di pipinya. Malam ini aku benar-benar menjelma sebagai puteri yang paling bahagia di dunia.
Setelah mendapat izindari kedua orangtuaku, Adit menuntunku masuk ke dalam mobilnya.
“Dit, makasih buat semuanya,” ujarku terharu sembari memandang wajahnya di sampingku.
“Itu semua Adit lakukan karena Adit bener-bener sayang sama Rara. Adit nggak mau menyakiti Rara lagi. Maafin Adit kalo selama ini pernah  membuat Rara sakit hati dan kecewa,” kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Membuat aku semakin yakin kalo Adit benar-benar tulus mencintaiku.
“Adit sayang kamu, Ra...” ujarnya lagi lalu memberikan sebuah kecupan di keningku. Lagi dan lagi aku hanya bisa tercekat. Aku speechless.
Mobil pun meluncur membelah kepadatan kota Jakarta yang malam ini terasa begitu dingin setelah seharian diguyur hujan. Entah di mana posisiku saat itu. Aku tidak tahu dan merasa asing dengan daerah sekitar sini, tanyaku dalam hati.
“Dit, kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
Matanya menatapku sekejap lalu kembali mata itu konsentrasi kedepan, menatap jalan yang ada di hadapnnya. “Tenang sayang, sebentar lagi kita sampai kok. Kenapa, Rara penasaran?”
‘Iya sih... habis, Adit pakai rahasia-rahasia segala, sih!”
“Namanya juga surprise!””
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di tengah jalan. Tepatnya di tengah persawahan. Tak ada satu pun rumah yang berada di sekitar kami. Aku cemas dan ketakutan. “Kok berhenti, Dit? Ada apa?”
“Rara, sebentar lagi kita akan sampai di tempatnya. Jadi...,” sembari memberikan sebuah sapu tangan padaku.
Aku bingung, “Untuk apa?”
“Adit pingin mata Rara tertutup.”
“Tapi untuk apa?” tanyaku lagi.
“Adit ingin Rara lebih penasaran lagi dengan kejutan Adit malam ini. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit mata Rara tertutup, setelah itu Rara akan tahu segala kejutan yang telah Adit persiapkan.”
Aku menuruti kata-kata itu. Dengan sigap Adit mengikatkan sapu tangan itu untuk menutup mataku. Terdengar desah nafasnya di telingaku. Membuatku bergidik geli.
Kurasakan mobil itu kembali meluncur, melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Aku hanya bisa diam dan menerka-nerka, kejutan apa lagi yang akan Adit berikan untukku? Dalam kegelapan, aku membayangkan kenangan-kenangan terindah yang pernah aku alami bersamanya.
Aku mengenalnya dua tahun lalu di sebuah pesta ultah sahabatku, Dinda. Awalnya kami hanya berkenalan biasa. Nothing special. Entah kenapa, beberapa hari kemudian kita ketemu lagi di sebuah mal. Saat itu aku lagi ingin jalan sendiri makanya aku tolak tawaran Dinda untuk menemaniku. Dia pun demikian, dia ingin menikmati kesendiriannya setelah baru saja ditinggal pergi kekasih hatinya. Lalu kita ngobrol bareng. Sejak itu kami mulai saling telpon dan sms satu sama lain. Yang membuat aku jatuh cinta padanya, karena dia selalu peduli padaku.
Setelah kami pacaran kepeduliannya padaku tak pernah berkurang sama sekali. Hanya sesekali dia tak mau lagi peduli padaku yaitu saat dia sedang asyik dengan hoby dan teman-temannya cowoknya. Tapi begitu dia minta maaf padaku, dia akan meberikan kejutan yang tak pernah aku bayangkan. Mungkin karena hal itu, aku selalu bisa memaafkan segala kesalahannya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, semoga Adit ditakdirkan menjadi belahan jiwaku, kini dan selamanya.

Aku tiba-tiba merasa terlalu lama dalam kegelapan. Waktu sepuluh menit ternyata begitu lama. Apalagi daalm keadaan penasaran dan rasa ketidakpastian.
“Dit... Adit...” aku memanggil nama itu pelan. Tapi tak ada jawaban. Sekali lagi aku mencoba memanggil nama itu dengan volume suara yang lebih tinggi. Namun aku tak berdaya melakukannya. Aku merasa lemah. Sangat lemah.
Kuberanikan diri membuka mata. Aku tak peduli lagi Adit marah karena merusak rencananya. Akan aku jelaskan, aku sudah tak tahan dengan kegelapan yang aku alami. Aku tidak kuat lagi.
Aku kembali merasakan sebuah keanehan. Butuh usaha dan tenaga yang cukup kuat hanya untuk membuak kedua kelopak mataku. Hanya untuk memandang indahnya dunia. Hanya untuk menatap sang belahan jiwa.
Bukan suasana malam pedesaan yang aku temui. Bukan tempat indah yang aku lihat. Bukan juga wajah Adit di hadapanku. Tapi... sebuah ruang. Ruangan serba putih. Tempat yang sangat asing bagiku.
Dengan susah payah aku mengamati sekeliling ruangan itu. Kudapati seorang wanita menangis sedih duduk disampingku. Kudapati benda-benda asing berada di dalam ruangan itu. Aku masih bertanya-tanya, di mana aku sekarang?
Tangisan wanita itu begitu pilu terdengar. Kembali kuamati wajah wanita itu. Wajah yang sepertinya sangat aku kenal. Wajah seseorang yang selalu bisa membuatku tersenyum di kala aku harus menangis. Wajah seseorang yang sangat mencintai aku. Itu mama, jeritku dalam hati.
“Ma...,” panggilku pelan. Wanita itu tetap menangis. Sepertinya suaraku kalah dibanding dengan tangisannya.
“Ma-ma...,” kembali kupanggil wanita itu dan tangisan itu berhenti sejenak. Wanita itu menatapku. Kulihat pancaran kesedihan di wajah tuanya. “Mama....”
Mendengar namanya disebut, langsung wanita itu menghambur ke arahku. Memelukku. Tangisnya kembali pecah. Aku juga tak kuasa menahan desakan airmataku yang ingin keluar. Aku pun menangis. Menangis bersama orang yang sangat kucintai. Berbagi kepedihan, kesedihan, dan penderitaaan bersama.
“Ma... Rara kenapa?” tanyaku setelah aku menyadari aku berada dalam sebuah kamar di rumah sakit.
Dengan berat hati mama menceritakan apa yang aku alami.
Ingatanku kembali ke malam itu. Tak lama setelah Adit melajukan kembali mobilnya, aku hanya mendengar sebuah dentuman keras. Layaknya dua benda keras bertabrakan. Aku hanya bisa mendengar suara itu. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku hanya bisa kembali menangis mengingat malam itu. Rasa nyeri begitu hebat menyesak dalam dadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan semua. Andai waktu bisa terulang kembali, aku akan menolak ajakan Adit., agar semuanya tak akan pernah terjadi. Tapi kini semuanya telah terjadi, sesalku.
Aku hanya bisa merenung, merenung, dan merenung. Tatapanku kososng entah kemana.
Terdengar pintu kamarku terbuka. Terdengar derap langkah memasuki kamar. Aku berharap sosok  manusia yang datang saat itu adalah Adit. Sejak kejadian itu, aku tak tahu sama sekali keadaan Adit. Mama pun tak tahu, padahal aku yakin mama tahu semuanya.
Seketika itu gairah hidupku tumbuh. Aku langsung bersemangat. Kutatap wajah itu. Bukan sosok Adit yang kudapati di sana, tapi Reno. Nyaliku kembali ciut. Gairah hidupku sedikit demi sedikit kembali menyurut. Aku memalingkan muka dari mereka.
“Rara...” panggil Reno. “Hanya ini yang tersisa dan didapatkan di tempat kejadian. Dan benda ini sebenarnya ingin diberikan untukmu malam itu.”
Kurasakan sebuah cincin disematkan di jari manisku.
Oleh Agus Muhajir