PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pembangunan
kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan
sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah
kerentanan terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan
tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas.
Serangan
hama dan penyakit jika tidak dikelola dengan tepat maka akan mengakibatkan
ketidakseimbangan ekosistem. Selain dari itu, serangan hama dan penyakit
berdampak pada prokduktifitas dan kualitas standing
stock yang ada. Diantaranya adalah menurunkan rata-rata pertumbuhan,
kualitas kayu, menurunkan daya kecambah biji dan pada dampak yang besar akan
mempengaruhi pada kenampakan estetika hutan.
Seiring
dengan permintaan pasar internasional, pengelola hutan dituntut untuk
menghasilkan produk hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
Prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari telah dirumuskan oleh sebuah lembaga
internasional Forest Stewardship Council
(FSC) yang lebih dikenal dengan Prinsip dan Kriteria (P & C FSC).
Prinsip dan Kriteria Pengelolaan Hutan Lestari standar
FSC terdiri dari :
Prinsip 1.
Ketaatan pada hukum dan prinsip-prinsip FSC
Prinsip 2. Tenure, hak guna dan tanggung jawab
Prinsip 3. Hak
masyarakat adat
Prinsip 4.
Hubungan masyarakat dan hak-hak pekerja
Prinsip 5.
Manfaat dari hutan
Prinsip 6.
Dampak lingkungan
Prinsip 7.
Rencana pengelolaan
Prinsip 8.
Monitoring dan evaluasi
Prinsip 9.
Hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF)
Prinsip 10.
Hutan tanaman
Dari 10 prinsip
tersebut, pengelolaan hama dan penyakit secara detail disyaratkan pada Prinsip
6 kriteria 6 :
”Sistem pengelolaan harus mendukung perkembangan dan adopsi metode non
kimia yang ramah lingkungan dalam pengelolaan pestisida dan berusaha untuk
mencegah penggunaan pestisida kimia. Pestisida hidrokarbon khlorin Tipe 1A dan
1B menurut WHO; pestisida tetap, beracun atau yang bahan aktif biologisnya
tetap ada dan terakumulasi dalam makanan diluar penggunaan normalnya; sama
halnya dengan pestisida yang dilarang menurut kesepakatan internasional, harus
dilarang penggunaanya. Jika bahan-bahan kimia ini digunakan, peralatan yang
layak dan pelatihan harus disediakan untuk meminimalisir risiko kesehatan dan
lingkungan”
Prinsip 10 kriteria 7 :
”Langkah-langkah harus diambil guna mencegah dan menekan mewabahnya hama,
penyakit, kebakaran dan masuknya tanaman pengganggu. Pengelolalan hama terpadu
harus menjadi bagian penting dari rencana pengelolaan, dengan lebih
mengandalkan pada pencegahan dan metode-metode kendali biologis daripada pupuk
dan pestisida kimia. Pengelolaan penanaman harus melakukan segala cara untuk
beralih dari pupuk dan pestisida kimia termasuk pemakaiannya dalam pembibitan.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka pengelola hutan dituntut harus bisa mengelola hama dan
penyakit tanaman dengan pendekatan sistem pengendalian hama dan penyakit secara
terpadu yang efektif dan efisien.
- Tujuan
Pengelolaan
pengendalian hama dan penyakit tanaman ini bertujuan untuk :
1.
Melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit
2.
Mengurangi kerusakan/kerugian yang ditimbulkan akibat serangan hama dan
penyakit
3.
Menjaga keseimbangan ekosistem di hutan yang masing-masing unsur lingkungan
saling mendukung bagi pertumbuhan tanaman
- Kegunaan
Pengelolaan pengendalian
hama dan penyakit tanaman ini dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
montoring, identifikasi, pencegahan, dan pemberantasan hama dan penyakit
tanaman serta tindakan perbaikan pasca pemberantasan.
HAMA DAN
PENYAKIT TANAMAN KEHUTANAN
A.
Hama dan Penyakit Tanaman Jati
Hama dan penyakit pada tanaman jati yang teridentifikasi
dan terdokumentasi di hutan tanaman jati seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis hama dan penyakit pada tanaman jati
No
|
Jenis Hama
|
Nama Umum Hama
|
Bagian Tanaman Yang diserang
|
Lokasi
|
1
|
Duomitus ceramicus
|
Oleng-oleng
|
Batang
|
Lapangan
|
2
|
Neotermes tectonae
|
Inger-inger
|
Batang
|
|
3
|
Hyblaea puera
|
Ulat jati
|
Daun
|
Lapangan
|
4
|
Pyrausta machaeralis
|
Ulat jati
|
Daun
|
Persemaian, lapangan
|
5
|
Phyllophaga sp
|
Uret
|
Akar
|
Persemaian, lapangan
|
6
|
Acarina sp.
|
Tungau merah
|
Daun
|
Persemaian
|
7
|
Kutu putih/lilin
|
Daun/pucuk
|
Persemaian
|
|
8
|
Lalat Putih
|
Batang
|
Persemaian
|
|
9
|
Dumping off
|
Penyakit layu/busuk semai
|
Leher akar
|
Persemaian
|
10
|
Rayap
|
Akar
|
Lapangan
|
|
11
|
Penggerek pucuk jati
|
Pucuk
|
Lapangan
|
|
12
|
Pseudococcus
|
Kutu putih/sisik
|
Daun dan batang
|
Lapangan
|
13
|
Peloncat Flatid
Putih
|
Kupu putih
|
Daun dan batang
|
Lapangan
|
14
|
Xyleborus destruens
|
Kumbang bubuk basah
|
Batang
|
Lapangan
|
15
|
Pseudomonas
tectonae
|
Penyakit
layu bakteri
|
Batang
|
Lapangan
|
16
|
Loranthus Sp.
|
Benalu
|
Batang
|
Lapangan
|
1. Hama ulat jati (Hyblaea
puera & Pyrausta machaeralis)
Hama ini
menyerang pada awal musim penghujan, yaitu sekitar bulan Nopember – Januari.
Daun-daun yang terserang berlubang-lubang dimakan ulat. Bila ulat tidak banyak
cukup diambil dan dimatikan. Bila tingkat serangan sudah tinggi, maka perlu
dilakukan pengendalian dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida.
2. Hama
Uret (Phyllophaga sp)
Hama ini
biasanya menyerang pada bulan Pebruari – April. Uret merupakan
larva dari kumbang. Larva ini aktif memakan akar tanaman baik tanaman kehutanan
(tanaman pokok dan sela) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija, dll)
terutama yang masih muda, sehingga tanaman yang terserang tiba-tiba layu,
berhenti tumbuh kemudian mati. Jika media dibongkar akar tanaman terputus/rusak
dan dapat dijumpai hama uret.
Kerusakan dan kerugian paling besar akibat
serangan hama uret terutama terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan,
tanaman menjadi mati. Serangan hama uret di lapangan berfluktuasi dari tahun ke
tahun, umumnya bilamana kasus-kasus serangan hama uret tinggi pada suatu tahun, maka pada tahun
berikutnya kasus-kasus kerusakan/serangan menurun.
Pengendalian
a.
Kasus-kasus serangan hama uret umumnya menonjol pada lokasi-lokasi dengan jenis tanah berpasir (regosol)
b.
Pencegahan dan pengendalian hama uret dilakukan dengan penambahan
insektisida-nematisida granuler (G) di lubang tanam pada saat penanaman tanaman
atau pada waktu pencampuran media di persemaian, khususnya pada lokasi-lokasi
endemik/rawan hama uret.
c.
Untuk efektivitas dan efisiensi langkah pengendalian, informasi tentang
fluktuasi serangan hama uret dari tahun ke tahun perlu dimiliki pengelola
lapangan. Ini penting untuk menentukan perlu tidaknya memberikan tindakan
pencegahan/ pengendalian pada suatu penanaman pada suatu waktu.
3.
Hama Tungau Merah (Akarina)
Hama ini
biasanya menyerang pada bulan Juni – Agustus. Gejala yang timbul berupa daun
berwarna kuning pucat, pertumbuhan bibit terhambat. Hal ini terjadi diakibatkan
oleh cairan dari tanaman/terutama pada daun dihisap oleh tungau. Bila diamati
secara teliti, di bawah permukaan daun ada tungau berwarna merah cukup banyak
(ukuran ± 0,5 mm) dan terdapat benang-benang halus seperti sarang laba-laba.
Pengendalian hama tungau dapat dilakukan dengan menggunakan akarisida.
4.
Hama kutu putih/kutu lilin
Hama ini biasa menyerang setiap saat. Bagian tanaman
yang diserang adalah pucuk (jaringan meristematis). Pucuk daun yang terserang
menjadi keriting sehingga tumbuh abnormal dan terdapat kutu berwarna putih
berukuran kecil. Langkah awal pengendalian berupa pemisahan bibit yang
sakit dengan yang sehat karena bisa menular. Bila batang sudah mengkayu, batang
dapat dipotong 0,5 – 1 cm di atas permukaan media; pucuk yang sakit
dibuang/dimusnahkan. Jika serangan sudah parah dan dalam skala yang luas maka
dapat dilakukan penyemprotan dengan menggunakan akarisida.
5. Hama Lalat Putih
Hama lalat
putih merupakan serangga kecil bertubuh lunak. Lalat putih ini bukan lalat
sejati, tetapi masuk dalam Ordo Homoptera. Hama ini berkembang sangat
cepat secara eksponensial. Lalat putih betina dapat menghasilkan 150 – 300
telur sepanjang hidupnya. Waktu yang dibutuhkan dari tingkat telur sampai
dengan dewasa siap bertelur hanya sekitar 16 hari. Lalat putih dapat
menyebabkan luka yang serius pada tanaman dengan mencucuk mengisap cairan
tanaman sehingga menyebabkan layu, kerdil, atau bahkan mati. Lalat putih dewasa
dapat juga mentransmisikan beberapa virus dari tanaman sakit ke tanaman sehat.
Lalat putih
sering sangat sulit dikendalikan. Lokasi hama yang berada di permukaan bawah
daun membuatnya sulit bagi insektisida untuk mencapai posisi hama. Hama lalat
putih juga dengan cepat dapat mengembangkan resistensi ke insektisida yang
digunakan untuk melawan mereka. Suatu jenis insektisida yang efektif untuk
lalat putih pada suatu kasus kerusakan pada suatu waktu, dapat tidak efektif
untuk aplikasi di lokasi dan waktu yang berbeda.
Tahap telur
dan pupa lebih tahan terhadap insektisida dibandingkan tahapan dewasa dan
nimfa. Konsekuensinya eradikasi (pengendalian) populasi lalat
putih biasanya memerlukan 4 – 5 kali penyemprotan dengan interval penyemprotan
5 – 7 hari. Pengendalian biologi dapat diterapkan untuk melawan lalat putih.
Lalat putih memiliki musuh alami sejumlah predator dan parasitoid. Kerusakan
parah pada bibit di persemaian (JPP) terutama terjadi pada semai ukuran < 10
cm, terparah terjadi pada semai < 5 cm.
Rekomendasi dan Pengendalian
·
Perlu dilakukan wiwil daun dan
penjarangan bibit dalam bedengan, untuk meningkatkan kesehatan bibit dan memudahkan penyemprotan insektisida
·
Untuk penyemprotan dapat dilakukan
dengan campuran insektisida - larutan deterjen atau larutan insektisida.
·
Penyemprotan dilakukan sedini mungkin
ketika hama lalat putih mulai terlihat di persemaian, jangan menunggu jumlah
populasi meledak sehingga menyulitkan pengendalian.
·
Penyemprotan diarahkan ke permukaan
daun bagian bawah, karena serangga mengisap cairan dan tinggal di permukaan
daun bagian bawah.
·
Selain pengendalian dengan kimiawi
(insektisida), disarankan penggunaan mekanis, menggunakan alat penjebak lalat
putih (colour trapping). Alat yang
digunakan adalah kotak karton/papan kayu.
·
Pemupukan menggunakan pupuk NPK cair,
untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan semai.
·
Penggunaan alat penjebak lalat putih (colour trapping) sebagai cara
pengendalian mekanis, menggunakan kotak atau papan bercat/berwarna kuning
terang, kemudian diolesi dengan bahan perekat/getah (lem tikus, getah
kayu/nangka, stirofoam yang direndam dalam bensin/minyak tanah, oli).
Kotak/papan dipasang di atas bedengan.
6.
Penyakit
Layu – Busuk Semai
Serangan penyakit pada persemaian terjadi pada
kondisi lingkungan yang lembab, biasanya pada musim hujan. Berdasarkan karakteristik serangannya,
penyakit yang muncul pada persemaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
serangan
penyakit dipicu oleh kondisi lingkungan yang lembab.
Gejala yang timbul biasanya bibit busuk.
Penanganan secara mekanis dapat dilakukan dengan penjarangan bibit, wiwil daun,
serta pemindahan bibit ke open area, dengan tujuan untuk mengurangi kelembaban.
serangan
penyakit dipicu oleh hujan malam hari/dini hari pada awal musim hujan (penyakit
embun upas).
Gejala yang timbul berupa daun layu seperti
terkena air panas. Serangan penyakit ini umumnya muncul pada saat pergantian
musim dari musim kemarau ke musim penghujan, saat hujan pertama turun yang
terjadi pada malam hari atau dini hari pada awal musim hujan. Serangan penyakit
terutama pada bibit yang masih muda, jumlah bibit yang terserang relatif
banyak, cepat menular melalui sentuhan atau kontak daun, dan bersifat mematikan.
7.
Hama rayap
Serangan
dapat terjadi pada tanaman jati muda pada musim hujan yang tidak teratur dan
puncak kemarau panjang. Pada kasus serangan di puncak kemarau disebabkan
rendahnya kelembaban di dalam koloni rayap sehingga rayap menyerang tanaman
jati muda. Prinsip pengendaliannya dengan mencegah kontak rayap
dengan batang/perakaran tanaman
Cara-cara
pengendalian rayap yang dapat dilakukan :
1) Preventif
- secara
tradisional dilakukan dengan menaburkan abu kayu di pangkal batang pada waktu
penanaman
- pemberian
insektisida granuler (G), pada lubang tanam ketika penanaman, khususnya pada lokasi
yang diketahui endemik/rawan rayap
- mengurangi
kerusakan mekanis pada perakaran dalam sistem tumpang sari
- menghilangkan
sarang-sarang pada lokasi
2) Pengendalian :
-
mengoleskan kapur serangga di pangkal batang
-
pemberian insektisida granuler di pangkal batang
-
penaburan abu kayu di sekeliling pangkal batang
-
menghilangkan sarang-sarang pada lokasi
8.
Hama penggerek
batang/oleng-oleng (Duomitus
ceramicus)
Siklus Hidup
Duomitus ceramicus merupakan sejenis ngengat, telurnya menetas antara bulan Maret – April,
aktif pada malam hari. Setelah kawin ngengat betina bertelur pada malam hari
dan diletakkan pada celah kulit batang. Telur berwarna putih kekuningan atau
kuning gelap, bentuk silinder, panjang 0,75 cm. Telur diletakkan berkelompok
pada bekas patahan cabang atau luka-luka di kulit batang. Stadia telur ± 3
minggu.
Larva menetas pada bulan
Mei, hidup dalam kulit pohon, selanjutnya menggerek kulit batang menuju kambium
dan kayu muda, memakan jaringan kayu muda. Larva pada tingkat yang lebih tua
membuat liang gerek yang panjang, terutama bila pohon jati kurang subur. Pada
tempat gerekan terjadi pembentukan kallus
(gembol). Larva menggerek batang dengan diameter 1 – 1,5 cm, panjang 20 – 30 cm
dan bersudut 90 °. Kotoran larva dari
gerekan kayu dikeluarkan dari liang
gerek. Fase larva sangat lama antara
April – September.
Selanjutnya larva masuk ke stadium pupa, tidak aktif, posisinya mendekati
bagian luar liang gerek. Fase pupa berlangsung antara September – Pebruari.
Seluruh siklus hidupnya, dari stadia telur sampai menjadi ngengat memerlukan
waktu ± 1 tahun.
Pengendalian
·
Oleng-oleng
termasuk serangga hama low density insect
pest (serangga hama yang kepadatannya rendah). Dalam 1 batang tanaman jati umumnya terdapat
1 ekor serangga larva, jarang 2 atau lebih. Meskipun hanya 1 ekor sudah
dapat merusak satu batang jati.
·
Kerusakan
parah terutama pada serangan tanaman jati muda, umur 1 – 3 tahun. Tanaman jati
muda mudah patah akibat lubang serangan pada batang jati muda.
·
Berkembangnya
hama oleng-oleng difasilitasi oleh tingginya kelembaban dan suhu lingkungan di
lantai dasar hutan.
·
Umumnya
serangan oleng-oleng pada batang jati pada ketinggian 1 – 2 m dari tanah,
dengan jumlah titik serangan 1 - 2. Namun demikian pada lokasi serangan endemik
yang parah, titik serangan dapat mencapai 5 titik dengan ketinggian titik
serangan mencapai 4 meter.
·
Teknik
pengendalian hama dengan sifat seperti oleng-oleng diusahakan supaya
insektisida yang dipakai harus dapat mengenai sasarannya. Oleh karena itu
teknik pemakaian insektisida fumigan dapat dipakai karena dengan cepat mengenai
sasarannya.
10. Hama
Kutu Putih (Pseudococcus/mealybug)
Kutu putih/kutu sisik (famili Coccidae, ordo Homoptera)
yang pernah dilaporkan menyerang tanaman jati antara lain : Pseudococcus
hispidus dan Pseudococcus
(crotonis) tayabanus.
Kutu ini mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Waktu
serangan terjadi pada musim kering (kemarau). Seluruh tubuhnya dilindungi oleh
lilin/tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih;
pada bagian belakang didapati benang-benang tawas yang lebih panjang.
Telur-telurnya diletakkan menumpuk yang tertutup oleh tawas.
Kerusakan pada tanaman jati muda dapat terjadi bilamana
populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi antara lain : daun mengeriting,
pucuk apikal tumbuh tidak normal (bengkok dan jarak antar ruas daun memendek).
Gangguan kutu ini akan menghilang pada musim penghujan.
Namun demikian kerusakan tanaman muda berupa bentuk-bentuk cacat tetap ada. Hal
tersebut tentunya sangat merugikan regenerasi tanaman yang berkualitas.
Kutu-kutu ini memiliki hubungan simbiosis dengan semut
(Formicidae), yaitu semut gramang (Plagiolepis [Anaplolepis] longipes)
dan semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) yang memindahkan kutu dari
satu tanaman ke tanaman lain.
Pengendalian
Pengendalian dilakukan bila populasi kutu per tanaman
muda cukup besar. Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan pada
tanaman-tanaman yang terserang. Langkah-langkah pengendalian hama kutu putih
antara lain sebagai berikut :
a. Penyemprotan
dengan insektisida nabati
b. Untuk memulihkan
bentuk-bentuk yang cacat maka dapat dilakukan pemotongan sampai pada batas atas
kuncup ketiak, yang kelak akan menjadi tunas akhir yang lurus dan baik. Kegiatan
pemotongan bagian-bagian yang cacat ini hendaknya dilakukan pada awal musim
penghujan.
11. Hama Kupu Putih
(Peloncat Flatid Putih)
Kasus serangan hama kupu putih dalam skala luas pernah terjadi pada
tanaman jati muda di KPH Banyuwangi Selatan pada musim kemarau tahun 2006.
Serangga ini hinggap menempel di batang muda dan permukaan daun bagian bawah.
Jumlah individu serangga tiap pohon dapat mencapai puluhan sampai ratusan
individu.
Hasil identifikasi serangga, diketahui bahwa serangga yang menyerang
tanaman jati muda ini adalah dari kelompok peloncat tumbuhan (planthopper) flatid warna putih (famili
Flatidae, ordo Homoptera/Hemiptera). Dari kenampakan serangga maka kupu putih
yang menyerang jati ini sangat mirip dengan spesies flatid putih Anormenis chloris. Jenis-jenis serangga
flatid jarang dilaporkan menyebabkan kerusakan ekonomis pada tanaman budidaya.
Nilai kehadiran serangga kupu putih (flatid putih) ini menjadi penting
karena waktu serangan terjadi pada musim kemarau yang panjang. Tanaman jati
yang telah mengurangi tekanan lingkungan
dengan menggugurkan daun semakin meningkat tekanannya akibat cairan tubuhnya
dihisap oleh serangga flatid putih. Dengan demikian serangan serangga flatid
putih ini dapat meningkatkan resiko mati pucuk jati muda selama musim kemarau.
Pengendalian :
Serangga jenis-jenis peloncat flatid jarang dilaporkan menyebabkan
kerugian ekonomis pada tanaman budidaya. Namun demikian bilamana populasi
serangga tiap individu pohon sudah tinggi dan dalam skala luas serta dalam musim
kemarau yang panjang maka kehadiran serangga flatid putih ini dapat memperbesar
tekanan terhadap tanaman jati muda berupa peningkatan resiko mati pucuk di
lapangan.
Pengendalian hama seperti peloncat flatid putih di atas dapat dilakukan
dengan aplikasi insektisida sistemik melalui batang (bor atau bacok oles), dan
penyemprotan bagian bawah daun, ranting-ranting, dan batang muda jati dengan
insektisida racun lambung. Pemilihan jenis pestisida mengacu pada Lampiran 2.
12. Hama Kumbang Bubuk Basah (Xyleborus destruens Bldf.)
Xyleborus
destruens atau kumbang bubuk basah atau
kumbang ambrosia menyebabkan kerusakan pada batang jati. Serangan kumbang ini
pada daerah-daerah dengan kelembaban tinggi. Pada daerah-daerah dengan curah
hujan lebih dari 2000 mm per tahun serangan hama ini dapat ditemukan sepanjang
tahun.
Gejala serangan yang mudah dilihat yaitu kulit batang berwarna coklat
kehitaman, disebabkan adanya lendir yang bercampur kotoran X. destruens. Bila lendir dan campuran kotoran sudah mengering
warnanya menjadi kehitam-hitaman.
Serangan hama ini tidak mematikan pohon atau mengganggu pertumbuhan
tetapi akibat saluran-saluran kecil melingkar-melingkar di dalam batang jati
maka menurunkan kualitas kayu.
Pencegahan dan Pengendalian :
Tidak menanam jati di daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2000
mm per tahun.
Menebang dan memusnahkan pohon-pohon yang diserang terutama pada waktu
penjarangan.
Mengurangi kelembaban mikro tegakan, misalnya dengan mengurangi tumbuhan
bawah.
Melakukan penjarangan dengan baik.
13. Penyakit Layu
Bakteri
Penyakit ini dapat menyerang tanaman jati di persemaian dan juga jati
muda di lapangan. Di lapangan diketahui pertama kali menyerang tanaman jati
pada tahun 1962 di Pati. Di persemaian,
diketahui bahwa persemaian Kucur di Ngawi (1996, 1998) dan persemaian Pongpoklandak,
Cianjur (1999) pernah terserang.
Kasus kerusakan jati muda akibat penyakit layu bakteri di lapangan
akhir-akhir ini mulai banyak yang muncul, seperti di Haur Geulis, Indramayu
(2005), Jember (2006), Pati Utara (2006 – 2008). Bahkan kasus serangan penyakit
layu bakteri di Pati Utara sudah sangat luas, menyerang tanaman jati muda s.d.
umur 5 tahun, dengan demikian memerlukan penanganan yang serius.
Gejala Serangan Penyakit Layu Bakteri :
Tanaman yang
dapat terserang penyakit layu bakteri ini umumnya tanaman di bawah umur 1
tahun. Namun demikian pada kondisi iklim dan tanah yang mendukung, maka tanaman
jati sampai dengan umur 5 tahun dapat terserang dan mengalami kematian.
Daun menjadi
layu, menggulung, kemudian mengering dan rontok. Batang kemudian layu dan
mengering. Bilamana akar diperiksa, kondisi akar sudah rusak.
daun layu
(gejala awal), kondisi kulit batang tampak masih terlihat segar/sehat. Namun
bilamana diperiksa lebih lanjut dengan memotong dan menyeset kulit/membelah
batang yang terserang maka akan dapat dilihat bahwa bagian jaringan kambium dan
kayu gubal (xylem) telah mengalami
kerusakan, walaupun jaringan kulit (floem)
masih terlihat hijau segar. Pada kambium atau permukaan luar kayu gubal dapat
dilihat garis-garis hitam membujur sepanjang batang.
Untuk
mengetahui penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini (penyebab penyakit
jamur ataukah bakteri), dapat dilakukan uji cepat di lapangan. Caranya adalah
dengan memotong batang atau cabang tanaman yang mengalami gejala layu dan
memiliki garis-garis hitam membujur sepanjang xylem di atas. Batang muda
atau cabang yang telah berkayu dipotong dengan panjang 20 – 30 cm, kemudian
potongan di bagian ujung batang/cabang dimasukkan ke dalam gelas yang berisi
separuh gelas air jernih. Bilamana penyebab penyakit layu disebabkan bakteri,
maka akan keluar cairan putih susu kental keluar dari potongan batang yang di
dalam air. Cairan putih ini adalah koloni bakteri patogen.
Bilamana gejala
kerusakan terjadi pada tanaman di atas 1 tahun, untuk mengecek keberadaan
bakteri dapat dilakukan dengan memotong cabang/batang tanaman yang telah
terserang. Potongan cabang/batang dibiarkan beberapa menit, maka akan terlihat
cairan putih kental keluar dari bagian xylem
atau dari kambium (jaringan antara xylem
dan floem). Cairan putih kental ini
merupakan tanda adanya infeksi bakteri pada tanaman.
Bakteri
penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini adalah bakteri Pseudomonas tectonae. Bakteri ini
berkembang pada lahan jati terutama pada kondisi solum yang sangat lembab,
yaitu pada musim hujan dengan curah hujan tinggi dan dengan kondisi drainase
buruk.
Waktu antara
gejala awal penyakit sampai dengan tanaman jati muda yang terserang menjadi
mati tergantung pada umur tanaman yang terserang. Tanaman < 1 tahun : proses kematian berkisar 1 – 2 minggu;
sedangkan pada serangan pada tanaman > 1 tahun : proses kematian mencapai beberapa
bulan.
Pengendalian penyakit layu bakteri pada
jati :
Untuk pengendalian penyakit
layu bakteri dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara biologi, cara
kimiawi, dan cara silvikultur. Untuk serangan pada masa persemaian, cocok
dilakukan pengendalian dengan cara biologi dan kimiawi. Adapun untuk kasus
serangan pada tanaman yang sudah ada di lapangan, maka cara silvikultur lebih
efektif dan aman.
Cara biologi, dilakukan dengan
menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas
fluorescens dengan konsentrasi 108 cfu/ml dengan dosis 15 – 25 ml/pot semai,
disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Hasil uji coba
Pseudomonas fluorescens efektif
menekan bakteri patogen P. Tectonae,
dengan meningkatnya persen tumbuh bibit dari 70% menjadi 100%.
Cara kimiawi, menggunakan
bakterisida, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran.
Cara silvikultur, dilakukan
dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat
diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk
penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan
pengaturan jenis tumpang sari pada tanaman pokok jati. Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar
dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah
persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase
lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase khususnya di
daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi cenderung
menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok jati.
14. Hama
Inger-Inger (Neotermes tectonae)
Neotermes
tectonae merupakan suatu golongan rayap tingkat rendah. Koloni
inger-inger tidak begitu banyak, hanya beberapa ratus sampai beberapa ribu
individu.
Gejala
kerusakan dapat dijumpai berupa pembengkakan pada batang, kebanyakan pada
ketinggian antara 5 – 10 m, namun juga ada pada 2 m atau sampai 20 m. Jumlah
pembengkakan dalam satu batang bervariasi, mulai satu sampai enam titik lokasi
pembengkakan.
Waktu mulai
hama menyerang sampai terlihat gejala memerlukan waktu 3-4 tahun, bahkan sampai
7 tahun.
Kasus serangan
hama inger-inger di lapangan umumnya dijumpai terutama pada lokasi-lokasi
tegakan yang memiliki kelembaban iklim mikro yang tinggi. Hal ini disebabkan
oleh kerapatan tegakan yang terlalu tinggi. Penyebabnya adalah tidak
dilakukannya ataupun terlambatnya kegiatan penjarangan, padahal kegiatan
penjarangan merupakan bagian dari upaya silvikultur untuk menjaga kesehatan
tegakan.
Akibat serangan
inger-inger ini adalah pada bagian yang diserang kayunya sudah tidak bernilai
sebagai kayu pertukangan dan harus dikeluarkan dari hitungan perolehan massa
kayu bahan pertukangan.
Pencegahan dan Pengendalian
Metode
penjarangan yang telah ditetapkan dan berlaku bagi hutan-hutan jati di
Indonesia apabila dilakukan dengan teratur dapat mencegah meluasnya serangan
inger-inger. Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan sebelum hujan pertama
atau kira-kira bulan oktober guna mencegah penyebaran sulung (kelompok hama inger-inger yang mengadakan perkawinan).
Penjarangan
agak keras dianjurkan bagi daerah-daerah yang menderita serangan lebih dari 30%
tegakan. Bagi daerah-daerah yang serangannya lebih dari 50% periodisitas
penjarangan perlu ditingkatkan, yaitu untuk KU II tiap 3 tahun, KU III dan KU
IV tiap 5 tahun.
Dalam kegiatan
penjarangan perlu diusahakan agar pohon-pohon yang ditebang tidak menimpa
pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut akan mengakibatkan
cacat-cacat yang berupa patah-patah cabang, luka-luka batang dan sebagainya yang
akan menjadi pintu masuk bagi inger-inger.
Cara
pengendalian di alam selama ini kurang efektif. Hampir semua binatang pemakan
serangga dapat menjadi musuh/pemangsa bagi hama inger-inger. Burung pelatuk,
kelelawar, tokek, lipan, kepik buas, cicak, katak pohon merupakan musuh alami
yang cukup penting dalam mencegah penyebaran hama inger-inger pada pohon jati
yang sehat. Karena itu keberadaan predator-predator tersebut harus dijaga
keberadaannya di hutan jati.
Untuk
pengendalian secara kimia, dalam pelaksanaannya ditujukan untuk hama
inger-inger di dalam batang, dan sulung hama inger-inger yang berada di luar
batang.
B.
Hama dan Penyakit Tanaman Pinus
Hama yang
menyerang tanaman pinus yang saat ini sedang banyak terjadi adalah kutu lilin.
Sementara pada lokasi persemaian biasanya bibit/semai terserang penyakit lodoh
semai (dumping off) yang diakibatkan
oleh jamur/fungi dan bercak daun pestalotia.
1.
Penyakit lodoh semai (damping off)
Penyakit lodoh semai (damping off) merupakan penyakit yang
menyerang bibit di persemaian pada periode sukulen pinus. Periode sukulen
adalah periode semai ketika jaringan batang masih lunak dan belum terbentuk
jaringan kayu. Periode ini dimulai sejak benih berkecambah sampai sekitar semai
umur satu bulan pasca sapih.
Gejala yang muncul berupa busuk
pangkal batang; pangkal batang/leher akar semai muda menjadi lunak kemudian
semai roboh. sehingga semai menjadi rebah. Penyebab penyakit ini antara lain
jamur Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium.
Tingkat kematian semai akibat
penyakit ini cukup tinggi, namun hampir tidak pernah didata. Data kematian
semai umur sebulan pasca overspin/sapih akibat penyakit damping off ini dapat mencapai 30%.
Upaya
regular untuk menekan kematian akibat penyakit ini dilakukan dengan sterilisasi
media dan benih dengan penjemuran media dan pemberian fungisida.
2.
Penyakit Bercak Daun Pestalotia
Penyakit
bercak daun Pestalotia muncul sebagai problem persemaian pinus setelah periode
sukulen semai berakhir. Awal kerusakan semai di persemaian umumnya dimulai
setelah semai berumur 3 atau 4 bulan pasca sapih.
Gejala kerusakan diawali dengan
timbulnya bercak-bercak kuning pada daun jarum semai, yang kemudian meluas
sehingga daun-daun jarum tampak menguning (klorosis). Gejala lebih lanjut
berupa mengeringnya (nekrosis) daun-daun diawali dari pucuk daun jarum ke arah
pangkal, dari bagian daun bagian bawah kemudian menyebar ke arah pucuk semai.
Semai yang terserang parah biasanya seluruh daun sudah mengering, hanya tersisa
bagian hijau di pucuk semai. Serangan penyakit bercak daun ini sering berakhir
dengan kematian ribuan semai pinus di persemaian. Untuk kasus-kasus serangan
penyakit bercak daun pada semai yang lebih muda, terkadang gejala kematian
diawali dari pucuk semai, sehingga semai menjadi mati pucuk.
Penyebaran penyakit antar semai
dibantu oleh angin dan kelembaban udara sehingga model penyebaran kerusakan
semai akan tampak berupa titik-titik (spot) yang mengelompok dan semakin
meluas dengan cepat menular ke semai-semai di sekitarnya.
Penyebab Penyakit
Jamur Pestalotia sp. telah
diidentifikasi sebagai jamur penyebab penyakit bercak daun. Ciri-ciri Pestalotia
sp. adalah, bila menyerang tanaman akan menimbulkan bercak-bercak pada daun
dengan area nekrosa yang tampak kering pada bagian tengahnya, berbintik-bintik
kecil (cairan) yang berwarna hitam yang disebut acervuli jamur. Pada bagian
pinggir serangan tampak berwarna coklat atau merah.
Kerusakan semai pinus di persemaian
yang cukup tinggi akibat penyakit bercak daun Pestalotia sp. lebih
dipicu oleh kondisi semai yang lemah akibat kondisi lingkungan yang buruk
(penurunan vigoritas semai akibat kekahatan unsur hara). Hal ini karena pada
dasarnya jamur Pestalotia sp. dalam kondisi normal sebenarnya merupakan
parasit lemah yang mengadakan infeksi melalui luka-luka (patogen sekunder) dan
umum dijumpai berasosiasi dengan daun berbagai jenis tanaman.
Pencegahan dan Pengendalian
Untuk pencegahan dan pengendalian
penyakit bercak daun pinus di persemaian, perlakuan-perlakuan yang dilakukan
memiliki dua fungsi, yaitu :
a)
perlakuan yang berfungsi meningkatkan tingkat kesehatan (vigoritas) semai, antara lain melalui pemupukan (organik
dan an organik), pemberian mikoriza, pemberian pelet Trichoderma atau
Gliocladium. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :
-
Pupuk yang
digunakan sebaiknya jenis pupuk lambat tersedia (slow release fertilizer), misal Dekastar.
- Waktu pemupukan sebaiknya setelah
semai berumur 2-3 bulan sejak sapih. Hal ini dengan pertimbangan jaringan
batang sudah mengeras (tidak sukulen lagi). Pemupukan pada semai sukulen sering
meningkatkan kematian bibit.
- Pupuk lambat
tersedia di tabur dan dimasukkan dekat polibag (1-1,5 cm dari pangkal batang)
sebanyak 10 butir.
- Pelet
Trichoderma atau Gliocladium dicampur dengan media pada saat pembuatan media
semai. Dosis aplikasinya : 5 pelet Trichoderma untuk setiap polibag. Sedangkan
bila Gliocladium yang dipakai, maka dosisnya ½ sendok teh per polibag.
- Adapun dosis
tablet mikoriza per polibag adalah sebanyak 1 butir.
- Pupuk organik
cair juga dapat diberikan pada bibit. Pupuk cair berasal dari rendaman kotoran
kambing yang sudah matang. Pupuk cair diencerkan dan disemprotkan ke bibit di
persemaian.
b) perlakuan yang bersifat
mematikan jamur patogen (melalui penyemprotan fungisida).
Dalam
pelaksanaan tindakan pengendalian penyakit di persemaian, kedua fungsi di atas
tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perlakuan
penting pertama sebagai langkah preventif diterapkan pada bibit di persemaian
sejak awal sebelum bibit terserang. Dengan pertumbuhan dan vigoritas yang
optimal maka ketahanan semai terhadap resiko terberat penyakit bercak daun
berupa kematian bibit, dapat dipertahankan sampai dengan semai siap tanam.
Tindakan
pencegahan dalam kasus serangan penyakit bercak daun pinus harus menjadi
pilihan utama. Hal ini mengingat seringkali tindakan pengobatan penyakit bercak
daun pinus berakhir dengan kematian ribuan bibit (bibit gagal diselamatkan),
terutama bilamana gejala kerusakan terlambat ditangani.
Dalam
pelaksanaan pengobatan/recovery semai, di samping tindakan mematikan jamur
patogen, semai harus segera disuplai nutrisi tambahan agar semai dapat pulih
dan tumbuh sehat.
Berikut ini
langkah-langkah pengendalian bilamana terjadi serangan penyakit bercak daun
Pestalotia :
- Seleksi dan
Sortasi Bibit : bibit-bibit dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahan
serangan.
- Tindakan wiwil
daun dan pucuk semai yang terserang : daun-daun atau pucuk semai yang kering
akibat serangan penyakit bercak daun harus digunting/dipotong. Daun-daun kering
atau pucuk semai yang mati kering dapat menularkan penyakit ke daun-daun/semai
pinus yang masih sehat. Gejala serangan bercak daun di pucuk semai biasanya
terjadi pada semai umur awal (± umur 3 bulan), bila serangan terjadi
- Daun-daun
kering bekas terserang di atas, harus dimusnahkan/dibakar agar tidak menularkan
jamur Pestalotia ke semai-semai lainnya.
- Pemberian
suplemen tambahan guna meningkatkan kesehatan semai (antara lain pupuk
kimia/organik cair, pelet Trichoderma
- T. reesei atau Gliocladium)
- Penyemprotan
dengan menggunakan fungisida. Untuk pencegahan penyemprotan 10 hari sekali
selama 3 bulan, untuk pengobatan penyemprotan 5 hari sekali selama 3 bulan.
3. Hama Kutu Lilin Pinus
Hama kutu lilin
menyerang tanaman Pinus merkusii semua tingkatan umur, mulai umur 1 tahun
sampai dengan tegakan akhir daur. Kutu ini mengisap cairan pohon, terutama di
pucuk-pucuk ranting tajuk pinus.
Tanda-tanda
adanya serangan kutu lilin dapat dilihat berupa adanya bintik-bintik putih atau
lapisan putih menempel pada ketiak daun di pucuk-pucuk ranting pinus. Lapisan
putih ini merupakan benang-benang lilin yang dikeluarkan kutu, merupakan tempat
berlindung kutu. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan
pucuk menjadi rontok dan kering.
Untuk serangan
pada tegakan (pohon besar), indikasi serangan dapat diamati secara okuler
dengan perubahan warna dan kelebatan tajuk pohon. Tajuk pohon yang sehat
berwarna hijau dan segar, sedangkan tajuk pohon pinus yang sakit (terserang)
berwarna hijau kusam, kekuningan. Tajuk pohon yang terserang juga berubah
menjadi tipis akibat daun-daun yang rontok.
Identifikasi Kutu Lilin
Dari
identifikasi yang dilakukan oleh pakar (Dr. Gillian W. Watson, ahli insect biosystematist, USA) diketahui
bahwa spesies kutu lilin adalah Pineus
boerneri. Adapun taksonomi hama kutu lilin (Pine Adelgid) selengkapnya adalah sebagai berikut :
Subordo : Stenorrhyncha
Superfamili : Aphidoidea
Famili : Adelgidae
Genus : Pineus
Species : boerneri
Annand, 1928
Scientific Name : Pineus
boerneri Annand, 1928
Pada umumnya
kutu lilin tubuhnya lunak, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di
pangkal pucuk bagian luar dari pohon Pinus. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari lubang
yang terdapat di bagian dorsal.
Kutu betina
mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, spirakel pada abdomen dan tidak
aktif bergerak (sessile).
Sebagian besar
famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri adalah kutu yang aseksual
sepanjang tahun dan memproduksi telur secara parthenogenesis. Biasanya mengisap
spesies Pinus yang berdaun 2 dan 3.
Dengan sifat
aseksual dan produksi telur parthenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan),
maka populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda. Bila suatu petak tanaman
pinus merkusii diketahui telah terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon
di petak-petak sekitarnya telah terserang namun populasi hama masih cukup
rendah sehingga belum menunjukkan efek merusak yang terlihat mata.
Penyebaran dan
fluktuasi populasi hama kutu lilin di lapangan dipengaruhi oleh faktor barrier (penghalang) berupa barrier alam
(jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya vegetasi lain selain pinus), dan musim.
Pertanaman pinus yang memiliki barrier alam dan vegetasi lain yang tinggi
cenderung lebih lambat terserang dibanding pertanaman yang berada di bentang
alam yang terbuka. Namun seiring waktu bilamana pohon-pohon pinus sudah tinggi
(tinggi pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier yang ada) maka tingkat
serangan hama kutu lilin juga meningkat. Serangan hama kutu lilin meningkat
pada musim kemarau; pada musim hujan kutu lilin tertekan namun tetap ada dalam
tegakan dalam populasi terbatas.
Dampak Serangan Hama Kutu Lilin Pinus
Ribuan hektar tanaman muda dan produktif telah terserang
Ribuan pohon, tanaman muda dan pohon umur produktif hidup merana, dan sudah banyak yang mati.
Akibat serangan pada pohon pinus yang sedemikian luas, maka produksi
getah pinus sebagai sumber pendapatan perusahaan dapat terancam
kelangsungannya.
Hama Kutu Lilin sangat mengancam kelangsungan tegakan pinus di Jawa
Pengendalian Hama Kutu Lilin
Dari berbagai data dan informasi diketahui bahwa ternyata hama jenis
pencucuk pengisap (superfamili Aphidoidea) banyak menyebabkan kerusakan dan
permasalahan sangat serius pada pohon-pohon jenis konifer (jenis-jenis pinus
dan daun jarum) di berbagai negara. Serangan hama pencucuk pengisap telah
mengakibatkan krisis di kehutanan negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini
serangan hama aphid (pencucuk pengisap) ini sudah berjalan selama 40 tahun
(keberadaan hama pertama kali diketahui tahun 1968).
Mengingat seriusnya permasalahan hama kutu lilin bagi keberlangsungan
pengelolaan hutan pinus, maka diperlukan pengendalian hama secara terpadu, berkelanjutan dan menyeluruh oleh berbagai
pihak terkait.
Upaya yang dapat diterapkan antara lain :
a.
Karantina
b.
Survei dan Monitoring : cara ini penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan
(penyebaran dan dampak) serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara
detail. Dengan demikian maka keputusan langkah pengendalian (kapan dan dimana)
dapat diambil secara tepat.
c.
Pengendalian secara kimiawi : keuntungannya merupakan cara cepat untuk
melindungi pohon; kerugiannya antara lain dapat mematikan parasit dan predator,
di samping dampak polusi lingkungan..
d.
Manipulasi Silvikultur : penggunaan jenis-jenis spesies alternatif, pemilihan
tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan tegakan yang terserang
untuk meningkatkan kesehatan (vigoritas) pohon, penanaman lebih dari satu jenis
spesies pada suatu lokasi pertanaman.
e.
Pengendalian secara mekanik : melalui penggunaan perangkap dan penyemprotan air
volume tinggi ke cabang-cabang. Cara ini tidak menimbulkan efek negatif pada
lingkungan, tapi belum teruji untuk hama kutu lilin, juga perlu banyak tenaga
pelaksana.
f.
Observasi resistensi genetik : pada suatu tegakan pinus yang terserang hama
kutu lilin. Dari berbagai observasi lapangan diketahui bahwa terdapat peluang
adanya pohon resisten (pohon sehat
hijau tidak dijumpai adanya serangan kutu lilin, pohon bersih dari kutu lilin)
dan juga pohon toleran (kutu lilin
menyerang, tapi pohon tetap sehat hijau tidak menunjukkan gejala sakit).
Untuk mendapatkan pohon yang benar-benar resisten ataupun toleran, maka
observasi kontinyu perlu dilakukan terhadap pohon-pohon kandidat resisten –
toleran yang telah dipilih.
g.
Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami
hama kutu lilin.
C.
Hama dan Penyakit Tanaman Mahoni
Mahoni (Switenia sp) merupakan spesies dengan
mutu kayu yang baik untuk bahan bangunan. Beberapa hama
dan penyakit yang terindentifikasi antara lain :
a)
Serangan pada persemaian mahoni disebabkan oleh Xylosandrus compactus (scolytid
beetle) sejenis kumbang sisik yang menyerang batang semai. Merupakan famili
Coleoptera, Scolyptidae. Hama ini meletakan telurnya di dalam batang, dan
larvanya hidup di dalam batang tersebut, sehingga mengakibatkan kerusakan, dan
semai tersebut roboh/mati. Selain pada semai, kadang hama ini juga meletakan
telur-telurnya pada ranting dan cabang pohon lainnya.
b)
Penggerek pucuk Hypsipyla robusta (shoot borer)
Merupakan famili Lepidoptera; Pyralida. Pada tingkat
larva menyerang tegakan pada tingkat sapling terutama pada umur 3 – 6 tahun
dengan tinggi antara 2 – 8 m, pada pohon dengan umur tua jarang dijumpai
serangan ini. Dengan daur hidup 1 – 2 bulan, berbagai tingkatan larva dapat
sekaligus melakukan penyerangan berulang kali.
Gejala yang
nampak adalah pucuk tiba-tiba menjadi layu, mengering dan lama-lama mati. Jika
dipotong bagian batang pucuk yang mati akan dijumpai terdapat larva kumbang
(seperti ulat) berada di dalamnya.
Sampai saat ini
belum ditemukan metode yang efektif guna mengatasinya. Pencegahan yang
diajurkan antara lain penanaman multikultur (campur) antara mahoni dan akasia
mangium (Matsumoto et al, 1997) dan pencampuran dengan Azadirachta indica (mimbo). (Suharti, 1995)
c) Ulat
pemakan daun
Hama lain yang
menyerang tanaman mahoni adalah ulat pemakan daun Attacus atlas (Lepidoptera, Saturnidae) dan sejenis lebah pemotong
daun Megachile sp (Hymenoptera,
Megachilidae). Serangan hama ini belum dianggap merugikan karena intensitas dan
dampaknya yang masih minor/kecil.
d) Jamur
akar
Jamur ini
menyerang pada pertengahan musim hujan tumbuh dari bawah menyebar dengan cepat
dan seringkali menyebabkan kematian pohon pada akhir musim hujan. Jamur ini
diperkirakan menular melalui aliran air terutama pada daerah miring serta masuk
lewat luka pada akar tanaman dan menyerang seluruh bagian tanaman. Serangan
penyakit ini pernah terjadi pada tegakan mahoni di Puwodadi dan menyerang
hampir 40% dari tegakan yang ada (Sumardi dan Widyastuti, tidak
dipublikasikan).
D.
Hama dan Penyakit Tanaman Sengon
Hama dan penyakit yang menyerang tanaman mahoni yang teridentifikasi
seperti pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Jenis Hama dan Penyakit Tanaman Sengon
No
|
Bagian Tanaman yang diserang
|
Jenis hama dan penyakit
|
Nama HPT umum
|
Keterangan
|
1.
|
Menggerek Batang
|
Xystrocera festiva (Coleoptera, Ceramycidae)
X. globosa
|
Hama boktor
|
|
2.
|
Pemakan daun
|
Pteroma plagiophleps (Lepidoptera,Psychidae)
Eurema blanda (Lepidoptera, Pieridae)
|
Ulat kantong kecil
Ulat kupu-kupu kuning
|
Serangan spradis
|
3.
|
Pemakan akar
|
Beberapa spesies (Coleoptera, Scarabaeidae)
|
Ulat putih
|
Menyerang sapling
|
4.
|
Pemakan kulit batang
|
Indarbela quadrinotata (Lepidoptera, Indarbelidae)
|
Ulat kulit batang
|
|
5.
|
Penggerek batang
|
Xylosandrus morigerus (Coleoptera, Scolytidae)
|
Kumbang sisik
|
|
6.
|
Damping-off
|
Pythium sp.
Phytoptora sp.
Rhizoctonia sp.
|
Lodoh akar/batang
|
Menyerang semai
|
7.
|
Penyakit Antraknosa
|
Colletotrichum sp.
|
Antraknosa
|
Menyerang semai
|
8.
|
Busuk akar
|
Botryo diplodia sp.
Ganoderma sp.
Ustulina sp.
Rosellinia sp.
|
Jamur akar
|
Menyerang tanaman muda
|
9.
|
Kanker karat/puru
|
Uromycladium
tepperianum
|
Jamur karat
|
Menyerang semua umur
|
Sumber : Nair (2000)
Berikut dijelaskan beberapa jenis HPT yang berpotensi besar kerusakannya.
1. Penyakit Karat Puru
Serangan karat
puru pada sengon ditandai dengan terjadinya pembengkakan (galls) pada ranting/cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan
helaian daun. Gall ini merupakan tubuh buah dari jamur.
Penyakit karat
puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon.
Penyebaran penyakit ini sangat cepat. Penyakit ini menyerang sengon mulai dari
persemaian sampai lapangan dan pada semua tingkat umur. Kerusakan serius bila
serangan terjadi pada tanaman muda (umur 1- 2 tahun), karena titik-titik
serangan (gall) bisa terjadi di
batang utama sehingga batang utama rusak/cacat, tidak dapat menghasilkan pohon
berkualitas batang yang tinggi).
Penyebab
penyakit karat puru yang menyerang tegakan sengon adalah jamur Uromycladium tepperianum. Jamur ini
dikenal sebagai jamur karat yang menyerang lebih dari seratus spesies Acacia, jenis-jenis Paraserianthes/Albizia spp., Racosperma spp. (ketiganya merupakan anggota famili Fabaceae {= Leguminosae}),
menyebabkan pembengkakan (gall) yang
menyolok pada dedaunan dan ranting pohon.
Setiap gall karat puru dapat melepaskan ratusan
sampai ribuan spora yang dapat menularkan ke pohon-pohon sekitarnya dengan
cepat melalui bantuan angin. Ukuran,
bentuk, dan warna gall bervariasi tergantung bagian tanaman yang terserang dan
umur gall. Warna gall
pada awalnya hijau kemudian berubah menjadi coklat. Warna coklat indikasi bahwa
spora-spora yang melimpah siap dilepaskan.
Sebaran
geografi penyakit ini adalah di Australia, New Caledonia, Papua New Guinea
(1984), Maluku (1988/1989), Afrika Selatan (1992), Sabah (1993), Philiphina
(1997), Timor-Timur (mulai tahun 1998), dan Jawa (mulai 2003). Di Jawa,
beberapa sentra sengon yang diketahui telah terserang penyakit karat puru
antara lain : Lumajang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Malang, Wonosobo,
Boyolali, Salatiga, dan Wonogiri.
Pencegahan dan
Pengendalian :
1. Untuk serangan penyakit
karat puru di persemaian, maka semai yang menunjukkan gejala serangan harus
segera dicabut dan dimusnahkan (dibakar).
2. Untuk mencegah perluasan
sebaran penyakit karat puru, perlu pengawasan yang ketat tentang transportasi
benih, bibit, dan kayu tebangan dari daerah yang diketahui telah terserang ke
daerah yang belum terserang.
3. Pemeliharaan tanaman yang
sudah ada (pemupukan dan penjarangan).
4. Untuk tanaman yang telah
terserang, maka upaya yang perlu dilakukan adalah menghilangkan gall dan bagian tanaman yang terserang
sedini mungkin, sebelum gall membesar
dan berwarna coklat. Langkah selanjutnya adalah mematikan sel-sel penyakit
karat puru di bagian yang terserang agar tidak tumbuh gall lagi.
5. Untuk mematikan sel-sel
penyakit di bekas gall di atas dapat
digunakan spiritus, kapur, garam, dan belerang. Caranya adalah sebagai berikut
:
Spiritus : Bagian tanaman yang terserang dibersihkan
dengan cara mengelupas gall tersebut dari batang/cabang/pucuk. Kemudian bagian
tersebut disemprot/ dioles dengan spirtus
Kapur + garam
(5 kg kapur + 0,5 kg garam) dicampur dalam
5 – 10 liter air. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya, kemudian disemprot/dioles dengan campuran kapur garam
Belerang 1 kg +
kapur 1 kg (1 : 1) + air 10/20 liter, diaduk hingga rata. Bagian tanaman yang
terserang dibersihkan dari gallnya,
kemudian bagian tersebut disemprot/dioles larutan belerang kapur.
6. Menghindari penanaman
sengon untuk sementara, terutama di dataran tinggi yang berkabut.
7. Untuk pengendalian
jangka menengah dan jangka panjang dilakukan dengan cara rotasi tanaman dan
pemuliaan tanaman sengon.
a. Rotasi tanaman :
penggantian sengon sebagai tanaman pokok, diganti dengan jenis-jenis FGS yang
potensial dan tidak menjadi inang jamur Uromicladium
sp. Selama ini yang menjadi inang penyakit karat puru adalah dari
jenis-jenis famili Fabaceae/Leguminosae, seperti jenis-jenis Acacia spp, Paraserianthes/Albizzia spp. dan Racosperma spp.
b. Pemuliaan tanaman sengon
: dicari individu-individu pohon sengon yang tahan terhadap penyakit karat
puru.
2. Hama Boktor (Xystrocera festiva, ordo Coleoptera)
Titik awal serangan hama boktor adalah
adanya luka pada batang. Umumnya telur diletakkan pada celah luka di
batang. Telur baru ditandai utuh, belum berlubang-lubang; bila telur sudah
berlubang-lubang dimungkinkan bahwa telur sudah menetas.
Sejak larva keluar dari telur yang baru beberapa saat menetas, larva
sudah merasa lapar dan segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan
kulit batang di sekitar lokasi dimana larva berada. Bahan makanan yang disukai
larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem). Adanya serbuk gerek halus yang
menempel pada permukaan kulit batang merupakan petunjuk terjadinya gejala
serangan awal.
Pengendalian Hama Boktor
Ada 6 prinsip pengendalian hama boktor pada tegakan sengon, yaitu cara
silvikultur, manual, fisik/mekanik, biologis, kimiawi dan terpadu.
Pengendalian
secara silvikultur dilakukan dengan :
Upaya pemuliaan, melalui pemilihan benih/bibit yang berasal dari sengon
yang memiliki ketahanan terhadap hama boktor.
Penebangan pohon terserang dalam kegiatan penjarangan (Tebangan E).
Pengendalian
secara manual, antara lain dilakukan dengan :
Mencongkel kelompok telur boktor pada permukaan kulit batang sengon,
menyeset kulit batang tepat pada titik serangan larva boktor sehingga
larva boktor terlepas dari batang dan jatuh ke lantai hutan
diperlukan ketrampilan petugas dalam mengenali tanda-tanda serta gejala
awal serangan hama boktor.
Pengendalian
secara fisik/mekanik, antara lain dilakukan dengan :
kegiatan pembelahan batang sengon yang terserang boktor,
pembakaran batang terserang boktor sehingga boktor berjatuhan ke tanah,
dengan cara pembenaman batang terserang ke dalam tanah.
Pengendalian
secara biologis, dilakukan dengan :
menggunakan peranan musuh alami berupa parasitoid, predator atau patogen
yang menyerang hama boktor,
caranya dengan membiakkan musuh alami kemudian melepaskannya ke lapangan
agar mencari hama boktor untuk diserang, musuh alami ini diharapkan akan mampu
berkembang biak sendiri di lapangan.
Teknik pengendalian secara biologis yang pernah dicoba antara lain :
parasitoid telur boktor (kumbang pengebor kayu Macrocentrus ancylivorus), jamur parasit (Beauveria bassiana), dan
penggunaan predator boktor (kumbang kulit kayu Clinidium sculptilis).
Pengendalian
secara kimiawi, dilakukan dengan :
aplikasi insektisida melalui cara bacok tuang, takik oles, bor suntik
maupun semprot;
cara kimiawi tersebut ternyata tidak efektif untuk mengendalikan hama
boktor.
Pengendalian
secara terpadu, dilakukan dengan :
penggabungan dua atau lebih cara pengendalian guna memperoleh hasil
pengendalian yang lebih baik;
contohnya pengendalian dengan cara menebang pohon yang terserang,
kemudian batang yang terserang tersebut segera dibakar atau dibelah agar tidak
menjadi sumber infeksi bagi pohon yang belum terserang.
3. Hama Ulat Kantong
Hama ulat kantong (Pteroma
plagiophleps : Lepidoptera, Psychidae) menyerang daun-daun tanaman sengon.
Hama ini tidak memakan seluruh bagian daun, hanya parenkim daun yang lunak;
menyisakan bagian daun yang berlilin. Daun-daun tajuk yang terserang terdapat
bercak-bercak coklat bekas aktivitas ulat. Bilamana populasi ulat tinggi dapat
menyebabkan kerugian yang serius.
4. Penyakit Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.)
Serangan penyakit jamur akar merah menyebabkan kematian pohon-pohon di
tegakan sengon. Gejala yang mudah diamati adalah menipisnya daun-daun di tajuk
sengon kemudian pohon mengering. Tanda keberadaan jamur dapat diamati pada
pangkal pohon yang terserang; pada pangkal batang/leher akar keluar tubuh buah
jamur Ganoderma berwarna merah kecoklatan, terutama pada musim penghujan.
Keluarnya tubuh jamur mengindikasikan bahwa serangan pada pohon telah
berlangsung lama, tingkat serangan sudah parah. Jamur ini menyebabkan busuknya
perakaran pohon sehingga tanaman mati.
Kasus kerusakan akibat penyakit jamur akar merah ini di tegakan sengon
masih jarang, belum banyak dijumpai. Namun demikian bilamana kasus serangan
sudah dapat dijumpai maka pada tahun-tahun mendatang potensi kerusakan/kematian
pohon pada tegakan akan semakin membesar.
Hal ini seperti yang telah terjadi pada pengusahaan tanaman Acacia
mangium di HTI Luar Jawa, dan di Semenanjung Malaysia. Penyakit ini telah
menyebabkan kerusakan yang serius, menyebabkan kematian cukup besar pada
tanaman Acacia mangium. Kerusakan yang
cukup besar pernah dilaporkan terjadi bahwa pada penyakit ini menjadi utama pada
tanaman A. mangium umur 3 tahun dan menyebabkan kerusakan sebesar 40% dari
total tanaman umur 8 tahun. Kerusakan yang ditimbulkan pada daur kedua umumnya
lebih parah dan lebih awal menyerang tanaman dibandingkan serangan pada tegakan
daur tebangan pertama.
Upaya
pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembersihan tonggak
pohon-pohon pada lokasi yang telah terserang, pembuatan parit isolasi, serta
penggunaan pestisida.
E.
Hama dan Penyakit Tanaman Acasia mangium
Pada persemaian
Akasia mangium seringkali terjadi
serangan hama diantaranya serangga tanaman, belalang dan ulat kantong dan jamur
akar yang menyebabkan berbagai kerusakan. Beberapa hama dan penyakit yang
teridentifikasi antara lain :
Tabel 3. Jenis hama dan Penyakit tanaman Akasia mangium
No
|
Tipe
Kerusakan
|
Penyebab
|
Keterangan
|
|
Nama Ilmiah
|
Nama Umum
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Penggerek akar
|
Coptotermes
curvignathus (Isoptera, Rhinotermitidae)
|
Rayap
|
Menyebabkan kematian tingkat saplings
|
2
|
Pemakan daun
|
Pteroma
plangiophelps
(Lepdoptera,
Psychidae)
|
Ulat kantong
|
Menyerang pada saplings muda
|
Valanga
nigricormis
(Orthoptera,
Acrididae)
|
Belalang
|
|||
3
|
Pencucuk pengisap
|
Helopeltis
theivora
|
Serangga nyamuk
|
Menyerang pada saplings muda
|
4
|
Penggerek ranting
|
Xylosabdrus
sp dan Xyleborus fomicatus
|
Penggerek ranting
|
Menyerang cabang muda
|
5
|
Penggerek batang
|
Xytocera
festiva
|
Penggerek batang
|
|
6
|
Karat daun
|
Atelocauda
digitata
|
Karat daun
|
|
7
|
Powder mildew (daun)
|
Oidium spp.
|
Embun tepung
|
|
8
|
Black mildew (daun
|
Meliola spp.
|
Embun jelaga
|
|
9
|
Bintil daun
|
Cercospora,
petalotiopsis, Collectitricum spp.
|
Bintil daun
|
|
10
|
Kanker batang
|
Corticium
salmonicolor
|
Penyakit pink
|
|
11
|
Kanker hitam
|
Pytophtora
palmivora
Cystospora
sp.
Hypixylon
mammatum
|
Kanker hitam
|
|
12
|
Busuk hati
|
Phellinus
noxius
Rigidoporus
hypobrunneus
Tinctoporellus
epimitinus
|
Jamur upas
|
|
13
|
Busuk akar merah
|
Ganoderma
philipii
|
Jamur akar merah
|
|
14
|
Busuk akar putih
|
Rigidoporus
microporus
|
Jamur akar putih
|
Sumber : Nair
(2000)
Di antara hama
di atas Helopeltis theivora merupakan
jenis hama yang paling potensial menyebabkan kerusakan. Hal ini terjadi karena
hama menghisap cairan tanaman yang masih berumur muda, sehingga akan
mengakibatkan tanaman kekeringan lalu mati.
Penyakit pada
tanaman akasia mangium yang teridentifikasi antara lain :
Busuk
hati/penyebab jamur upas (Corticium
salmonicolor). Gejala-gejala yang dijumpai yaitu :
- Tanaman muda
daun-daunnya mengalami klorosis, menguning hampir secara sistematik menyeluruh
pada semua daun.
- Terdapat bercak
kecoklatan
tidak beraturan pada helaian daun yang telah menguning kemudian mengering dan
rontok
- Pada akar
ditemukan kerusakan dengan kulit akar mudah lepas
- Terdapat
gejala seperti tersiram air panas atau lonyoh
Adapun cara penanggulangan antara lain
dengan cara :
- Dengan aplikasi
pupuk tepung belerang dan pupuk organik berupa humus atau pupuk kandang untuk
menurunkan PH.
- Mengganti jenis
tegakan yang lebih mampu bertahan pada pH cukup tinggi.
F.
Hama dan Penyakit Tanaman Sonokeling
Serangan hama
dan penyakit pada tanaman sonokeling hanya menyebabkan kerusakan kecil pada
pohon (Prawiroadtmojo, 1993). Serangan hama umumnya menyerang akar yang
disebabkan oleh Macrotermes gilvus dan
Odontotermes grandiceps.
Kerusakan
akibat penyakit pada tanaman ditandai dengan daun muda yang menggulung (nglinthing – Jawa) dan perubahan warna
pada daun tua yang diikuti serangan warna merah pada kayu gubal yang akhirnya
akan menyebabkan kematian. Serangan ini disebakan oleh jamur Fusarium solani.
Serangan
penyakit lainnya adalah jamur akar Ganoderma yang dapat menyebabkan kematian
pohon. Pada persemaian sonokeling kematian tinggi disebabkan oleh jamur dumping-off penyebab jamur upas (Corticium salmonicolor).
G.
Hama dan Penyakit Tanaman Mindi
Mindi atau
sering disebut dengan nama gringging (Melia
azedarach L) merupakan tumbuhan berhabitus pohon termasuk dalam kelompok
Meliaceae. Pohon besar dapat mencapai
tinggi 45 m, diameter mencapai 60 -120 cm. Berdasarkan pengamatan di lapangan
tinggi bebas cabang 8-20 m bahkan dapat mencapai 25 m. Tajuk menyerupai payung,
dengan percabangan melebar, kadang menggugurkan daun.
Hama dan
penyakit yang menyerang tanaman mindi adalah hampir sama dengan jenis-jenis HPT
yang menyerang tanaman mahoni. Penyakit yang berupa bakteri dan jamur yang
menyerang bagian daun, ranting dan buah mindi, biasanya tidak menimbulkan
kerusakan yang berarti. Pohon mindi mudah diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta dan batangnya diserang
kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus yang dapat menyebabkan kualitas kayu menurun.
Pengendalian
hama penggerek pucuk dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur antara lain
menggunakan bibit yang tahan hama dan penyakit, menanam pohon dengan lahan yang
sesuai dan dilakukan penyiangan, pemupukan, pemangkasan cabang dan penjarangan
untuk mengurangi serangan hama. Dapat pula dengan melakukan penanaman campuran
dan memotong pucuk yang terserang. Cara lain dengan menyuntikkan insektisida
setelah batangnya ditakik. (Balitbang Kehutanan, 2001).
H.
Hama dan Penyakit Tanaman Kayu Putih (Melaleuca
cajuputi)
Sedikit sekali di Indonesia dijumpai hama dan penyakit pada tanaman kayu
putih. Berikut dijelaskan bebrapa jenis yang teridentifikasi pada hutan tanaman
kayu putih di pulau Jawa.
1. Hama Rayap
Hama rayap sering menjadi permasalahan utama penyebab kematian tanaman
kayu putih di lapangan. Rayap menyerang tanaman umur 0 – 5 tahun, dengan resiko
terparah pada tanaman kayu putih umur 0 – 1 tahun. Serangan hama rayap terjadi pada kondisi
hujan belum/tidak teratur (awal penghujan maupun akhir penghujan).
Rayap memakan akar atau kulit (jaringan floem) di leher akar dan pangkal
batang. Bila akar tanaman muda diserang maka distribusi nutrisi dari tanah
terputus sehingga tanaman layu dan mati. Bila kerusakan terjadi pada leher
akar/pangkal batang menyebabkan akar tidak mendapat suplai makanan sehingga
secara perlahan tanaman menjadi layu dan mati karena akar kehilangan energi
untuk menyerap nutrisi dari tanah. Serangan pada bagian akar lebih beresiko
dibandingkan serangan pada bagian leher akar.
Tingginya kasus serangan hama rayap pada tanaman kayu putih tidak
terlepas dari tingginya bahan organik yang kaya selulosa yang menjadi sumber
makanan rayap di sebagian besar lokasi tanaman kayu putih. Bahan organik
tersebut berasal dari sisa-sisa tumpangsari (seperti : jagung, palawija, padi)
yang berlangsung terus-menerus di lokasi tanaman kayu putih. Sisa panen umumnya
ditumpuk di jalur tanaman pokok kayu putih. Dengan demikian rayap selalu ada di
petak tanaman kayu putih dan menimbulkan resiko kerusakan tinggi pada tanaman
muda.
Pencegahan dan Pengendalian :
Pemanfaatan abu
sisa serasah daun kayu putih atau sisa panen tumpangsari. Abu ditaburkan
di pangkal batang pada saat tanaman rawan serangan rayap, dan atau ditabur di
pangkal batang saat penanaman. Abu kayu dilaporkan dapat mencegah rayap
mendekati tanaman.
Monitoring
rutin terutama pada musim-musim dimana rawan serangan rayap. Dengan monitoring
rutin dapat diketahui secara dini gejala serangan, sehingga dapat segera
diambil tindakan guna pengendaliannya, mengurangi resiko kerusakan lebih besar.
Jika tanaman
muda telah terserang (pangkal batang/leher akar sudah terkelupas), maka untuk
mengurangi resiko kerusakan lebih parah (kematian), maka pangkal batang yang
rusak perlu ditimbun tanah. Hal ini berguna untuk merangsang pembentukan kalus
sehingga dapat tumbuh kulit baru ataupun tumbuh akar baru sehingga tanaman
dapat tumbuh lagi.
Mengurangi
kerusakan mekanis, terutama pada lahan tumpangsari. Rusak/terputusnya akar
akibat pengolahan tanah dapat meningkatkan stress (menurunkan vigoritas)
tanaman sehingga tanaman mudah terserang hama penyakit. Untuk itu jalur tanaman
pokok harus dibebaskan dari tanaman tumpangsari.
Bibit yang
ditanam di lapangan harus bibit siap tanam (ukuran tinggi minimal 40 cm, dalam
kondisi sehat/vigor) sehingga lebih tahan terhadap stress lingkungan di
lapangan. Bibit yang sehat cenderung kurang disukai oleh hama (rayap).
Mencegah
penumpukan sisa panen tumpangsari di jalur tanaman pokok ataupun tetap menumpuk
di dalam petak tanaman, karena sisa panen yang menumpuk tersebut akan
mengundang rayap. Serasah/sisa panen tumpangsari tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penyedia abu, yang dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap
pada tanaman-tanaman muda.
Menghilangkan sarang-sarang rayap.
Pemilihan
lokasi rendah resiko
2. Hama Pengisap Pucuk dan Ulat Penggerek Pucuk
Kayu Putih
(Penyebab Pucuk Daun Kayu Putih
Kering - Keriting)
Ada dua kelompok hama, yaitu kelompok hama pencucuk pengisap, dan
kelompok hama penggerek pucuk/daun.
Kedua hama ini menyebabkan pucuk-pucuk tanaman kayu putih menjadi kering
dan daun keriting. Hal ini mengakibatkan
produksi panen daun kayu putih menjadi berkurang.
Hama pengisap (ordo Homoptera-Hemiptera) yang mengisap pucuk-pucuk
ranting, memiliki ciri-ciri sebagai berikut : warna coklat tua, ukuran panjang ± 1,5 mm, tipe
mulut pencucuk pengisap, memiliki sungut/antena panjang, memiliki struktur
mirip kornikel panjang di bagian posterior dorsal abdomen, jumlah kaki 3
pasang, tubuh keras. Hama ini menyebabkan pucuk tunas muda layu dan kering.
Di samping kutu
coklat di atas, untuk kelompok hama pencucuk pengisap juga dapat dijumpai jenis
kutu putih/kutu sisik (pseudococcidae =
mealybug), yang sering bersimbiosis dengan semut hitam. Bilamana populasi tinggi
keberadaan hama ini juga merugikan.
Adapun ulat
penggerek pucuk menyebabkan daun berlubang-lubang, keriting, pucuk kering.
Aktivitas ulat penggerek dengan kutu pengisap pucuk menyebabkan turunnya
produksi biomassa kayu putih.
Pengendalian
hama pucuk kayu putih
Kegiatan
pengendalian dilakukan dengan penyemprotan insektisida, dilakukan bilamana
kerusakan sudah mencapai ambang ekonomis. Insektisida yang digunakan adalah
insektisida jenis kontak.
UPAYA
PENCEGAHAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Upaya pencegahan hama dan penyakit ditujukan untuk
mempersempit potensi serangan HPT. Upaya tersebut adalah dengan
mengelola/memanipulasi lingkungan bio-fisik yang tidak disukai HPT tersebut.
HPT akan berkembang dengan baik jika lingkungan bio-fisik mendukung perkembangannya
serta jumlah pakan/makanan tersedia melimpah. Oleh karena itu, upaya pencegahan
HPT didorong pada upaya monitoring rutin dan sistem silvikultur yang mendukung
tanaman dan tidak mendukung HPT.
A.
Monitoring hama dan penyakit
Monitoring hama
dan penyakit sebagai sistem pencegahan serangan hama dan penyakit merupakan
tindakan deteksi dini dan preventif untuk mengetahui secara cepat hama dan
penyakit yang menyerang sehingga dengan segera dapat dilakukan tindakan
pemberantasan. Monitoring secara prinsipnya dilakukan pada setiap elemen
kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan terutama diarahkan pada elemen kegiatan
dimana diindikasikan terkait erat dengan adanya serangan dan pemberantasan dan
atau pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode
yang akan disampaikan pada berikutnya. Secara detail monitoring mencatat lokasi
dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan kerugian
dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu serangan.
Adapun format Laporan Monitoring Hama dan Penyakit seperti pada lampiran buku
ini.
Monitoring hama
dan penyakit dilakukan pada kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai
berikut ;
- Kegiatan Persemaian
Persemaian
merupakan suatu areal atau tempat yang digunakan untuk memproses benih atau
bahan lain dari tanaman menjadi semai atau bibit siap tanam. Keberhasilan
pembuatan persemaian menjadi dasar bagian keberhasilan tahapan kegiatan
pengelolaan sumberdaya hutan selanjutnya. Secara umum beberapa tahapan kegiatan
persemaian antara lain :
Perencanaan
persemaian meliputi kegiatan pemilihan lokasi persemaian, penentuan luas
persemaian dan kebutuhan benih.
Persiapan
lapangan meliputi pembuatan rencana tapak, pembuatan dan pemasangan pal batas,
pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan penataan lapangan, pembuatan
bedengan, pembuatan naungan, penyiapan media dan penanganan benih.
Penyemaian
meliputi kegiatan perlakuan benih, pencapuran media tabur dan media sapih,
penaburan dan penyapihan.
Pemeliharaan
meliputi kegiatan penyiraman, pembersihan/penyiangan rumput, pemupukan,
penyulaman dan seleksi.
Monitoring diarahkan dengan sasaran obyek semai mulai
berkecambah sampai dengan bibit siap kirim ke lapangan. Dengan latar belakang
bahwa semai mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap serangan hama dan
penyakit maka monitoring dilaporkan setiap minggu oleh mandor persemaian.
Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode
seperti disampaikan pada bab berikutnya. Secara detail monitoring mencatat
lokasi dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan
kerugian dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu
serangan.
2.
Kegiatan Tanaman (1 – 3 tahun)
Kegiatan
tanaman (1-3 tahun) terdiri dari kegiatan penanaman, pemeliharaan tahun I dan
pemeliharaan tahun ke II.
a)
Kegiatan penanaman
Kegiatan penanaman terbagi ke dalam beberapa tahapan
kegiatan yaitu :
Persiapan
lapangan meliputi kegiatan pembersihan (tumpangsari dilaksanakan bulan Mei;
banjarharian bulan Agustus-September) dan pengolahan lapangan (tumpangsari
bulan Mei-Agustus; banjarharian 1-2 bulan sebelum penanaman).
Pembuatan dan
pemasangan acir (tumpangsari bulan Agustus-September; banjarharian September-Oktober).
Pembuatan
lubang tanaman (bulan September-Oktober)
Penanaman
(November-Desember)
Pada kegiatan penanaman monitoring dilakukan setiap
Triwulan dilakukan oleh Mandor Tanam.
Kerentanan pada lokasi tanaman Tahun I terjadi karena terkait siklus tata waktu
hama dan penyakit yang bersamaan dengan mulainya musim penghujan.
b) Kegiatan
pemeliharaan tanaman tahun II dan III
Pemeliharaan dilakukan pada lokasi tanaman dengan sistem
banjarharian meliputi :
Babat jalur
dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam satu tahun pada Triwulan I, II dan IV. Pembabatan
tanaman secara jalur slebar 2 m pada jalur tanaman pokok.
Dangir piringan
dilaksanakan 2 (dua) kali dalam satu tahun pada Triwulan I dan IV. Dangir piringan
berbentuk bundar dengan diameter 1 m pada tanaman pokok, pengisi dan tepi
dilakukan pendangiran jalur.
Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan
setiap selesai pekerjaan dilakukan oleh
Mandor Tanam atau Mandor Pelaksana lainnya.
3.
Kegiatan Pemeliharaan 4-5 tahun
Kegiatan
pemeliharaan 4-5 tahun (pemeliharaan lanjutan) merupakan rangkaian kegiatan
silvikultur guna mendapatkan tegakan yang bernilai tinggi. Kegiatan tersebut
ditujukan untuk membebaskan tanaman pokok dari gangguan persaingan dengan
tumbuhan liar atau semak belukar tanpa mengganggu perakaran tanaman pokok.
Kegiatan tersebut berupa :
Kegiatan
penyiangan/pembersihan tumbuhan liar
Pemangkasan
tanaman sela/pagar
Pangkas cabang
(pruning)
Gebrus jalur
Pemupukan
Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan
setiap selesai pekerjaan dilakukan oleh
Mandor RKP atau Mandor Pelaksana lainnya.
4.
Kegiatan Penjarangan
Penjarangan
adalah suatu perlakuan silvikultur berupa pengaturan ruang tumbuh tanaman dan
penyeleksian tegakan yang akan dipelihara hingga akhir daur sehingga diperoleh
tegakan yang merata (ruang tumbuh tidak rapat), tumbuh sehat dan berbatang
lurus dan memperoleh hasil antara dari kegiatan tersebut sehingga pada akhir
daur dapat diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu besar dan kualitas kayu
tinggi. Pada kegiatan Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan
penentuan pohon-pohon yang akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria
dan urutan prioritas pohon yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :
Pohon yang
terserang penyakit
Pohon yang
cacat/jelek
Pohon tertekan
yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).
Pohon yang
tumbuhnya abnormal
Pohon yang
terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.
Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan
jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat
mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang
akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger atau HPT yang lainnya.
B.
Sistem Silvikultur
Silvilkutur
adalah ilmu dan seni dalam mengelola sumberdaya hutan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Pendekatan silvikultur merupakan pendekatan yang
sangat penting dalam pencegahan hama dan penyakit tanaman. Pendekatan
silvikultur dapat dianggap sebagai pencegahan hama dan penyakit terpadu, dimana
permasalahan terletak pada beberapa faktor yang tidak dapat dikendalikan
sehingga strategi diarahkan pada faktor yang dapat dikontrol. Pencegahan hama
dan penyakit terpadu merupakan strategi yang menggunakan dan menggabungkan
metode pengendalian yang dapat dikontrol dengan tujuan untuk mengendalikan
populasi hama pada tingkat yang diterima, tanpa memusnahkan sama sekali yang
dapat berakibat menggganggu keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dilakukan
dengan mengendalikan jumlah populasi hama dan penyakit serta lingkungannya
sehingga diperlukan pengetahuan ekologi hama dan penyakit dan makluk hidup yang
terkait dengannya.
Pengendalian
hama terpadu juga harus mempertimbangkan biaya yang ada, jangan sampai biaya
yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan yang akan diterima. Kondisi lahan
dan pengelolaan tegakan yang baik akan meminimalisir dampak kerusakan hama dan
penyakit. Pada banyak kasus dijumpai bahwa lahan dengan tingkat drainase dan
aerasi baik serta kondisi pH 5,5 – 7 merupakan lahan ”yang tidak nyaman” bagi
tempat tinggal hama dan penyakit tanaman. Di sisi lain
kondisi lahan yang dikelola dengan tidak memernuhi persyaratan tersebut akan
membuat hama dan penyakit merasa cozy.
(FAO, tanpa tahun).
Tindakan
silvikultur diarahkan untuk mengendalikan populasi hama dan penyakit atau
mengelola lingkungan sehingga meminimalkan dampak serangan hama dan penyakit.
Efektifitas tindakan silvikultur juga tergantung pada karateristik hama dan
penyakit yang menyerang. Cara
silvikultur, dilakukan dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman
hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi.
Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan
memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tanaman tumpangsari pada
tanaman pokok jati/rimba. Kedua langkah
tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang,
tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang
sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase
khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi
cenderung menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok
jati.
Beberapa
tindakan atau kegiatan yang dilakukan guna melakukan pencegahan hama dan
penyakit antara lain :
1.
Lingkungan fisik
a)
Pengaturan drainase
Pengaturan drainase bertujuan untuk menciptakan sistem
tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga tingkat
kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan
berkembangnya hama dan penyakit.
b)
Pengolahan tanah
Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat
aerasi yang baik yang berguna bagi tanaman pokok dan menciptakan lingkungan
yang tidak nyaman bagi hama dan penyakit.
Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk
sehingga kandungan humus akan meningkat. Maka kemampuan tanah untuk mengikat
air menjadi tinggi dan tanah menjadi tidak mudah kering.
2.
Lingkungan Biologi
a)
Pemilihan jenis yang tepat
Jenis tanaman
dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh
secara alami atau dengan penerapan bioteknologi berupa pemuliaan pohon. Setiap
spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan penyakit
yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini tidak dapat bertujuan untuk menghilangkan hama sama
sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi tersendiri untuk
beradaptasi tapi minimal dapat menekan laju perkembangan hama dan penyakit.
Pemilihan jenis
yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama
tumbuh di tempat (indigenous trees)
dengan mempertimbangkan aspek lainnya. Penanaman jenis eksotis harus dicampur
dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan penyakit.
b)
Pemilihan bibit yang sehat
Pemilihan bibit
yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT yang
dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang), fisik
tidak tampak adanya serangan bakteri patogen, dll.
c)
Pengaturan pola tanam dan jarak tanam
Pengaturan pola
tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat
kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam dan pemilihan jenis
tanaman tumpangsari yang dapat mendukung berkembangbiaknya hama dan penyakit.
Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman.
Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari yang
tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila kondisi
lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang toleran
terhadap kelembaban tanah yang tinggi.
d)
Pemeliharaan intensif
Kegiatan
pemeliharaan intensif dapat dilakukan melalui :
Pembersihan
tanaman dari faktor-faktor pengganggu (gulma, benalu)
Pemupukan
(dilakukan pada awal penanaman, selang 3 bulan/6 bulan, setelah 2 tahun tidak
dilakukan pemupukan)
Pemantauan
adanya hama yang harus dilaksanakan secara terus-menerus
e)
Penjarangan
Pada kegiatan
Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan penentuan pohon-pohon yang
akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria dan urutan prioritas pohon
yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :
Pohon yang
terserang penyakit
Pohon yang
cacat/jelek
Pohon tertekan
yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).
Pohon yang
tumbuhnya abnormal
Pohon yang
terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.
Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan
jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat
mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang
akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger dan HPT lainnya.
Rencana
pengelolaan perlindungan sumber daya hutan dari gangguan hama dan penyakit
tanaman secara lengkap sesuai dengan Lampiran 1.
UPAYA PENGENDALIAN SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT
A. Identifikasi Gejala Dan Tanda Kerusakan Tanaman
Identifikasi
gejala dan tanda kerusakan ditujukan untuk memudahkan dalam mengambil kebijakan
pengendaliannya. Kesalahan dalam identifikasi tanda dan gejala akan
mengakibatkan kesalahan dalam pengendalian serangan HPT. Selain untuk
mengidentifikasi serangan hama dan penyakit juga untuk mengetahui penyebab
kerusakan apakah disebabkan oleh hama atau penyakit (patogen atau abiotik).
Mekanisme
pelaksanaan identifikasi gejala dan tanda dan inventarisasi lokasi terkena HPT
adalah sebagai berikut :
- Asper/KBKPH beserta KRPH melakukan kegiatan inventarisasi lokasi/petak-petak yang terserang hama penyakit. Inventarisasi lokasi dilakukan untuk mengetahui data-data detail meliputi : letak/lokasi, jenis tanaman yang terserang hama dan penyakit tanaman, luasan atau jumlah individu dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan serta proses kronologis serangan hama dan penyakit.
- Asper membuat laporan hasil inventarisasi ke KPH untuk dilakukan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit.
- Berdasarkan laporan dari BKPH, KPH membentuk tim pemeriksaan/identifikasi.
- Bersama Puslitbang SDH tim pemeriksa melakukan pemeriksaan dan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit dengan cara :
a)
Mengenali bentuk kerusakan pada tanaman yang terserang
Kerusakan oleh
penyakit tanaman lebih berisifat fisiologis, kemunduran aktifitas seluler yang
secara visual ditunjukkan oleh perubahan morfologi tanaman inang (gejala)
seperti : klorosis daun, layu pucuk, bercak daun, busuk pangkal batang, busuk
akar dan lainnya. Dengan demikian organ-organ tanaman seperti daun, ranting,
batang dan akar tanaman umumnya utuh tanpa kerusakan fisik-mekanik.
Kerusakan oleh
hama umumnya bentuk kerusakan berupa kerusakan/hilangnya bagian-bagian fisik
tanaman secara jelas, akibat aktifitas serangga hama dalam mencari makanan,
seperti akar muda putus bekas gerekan serangga, batang berlubang bekas gerekan
serangga, daun rusak bekas aktifitas serangga. Namun demikian ada tipe
kerusakan oleh serangan hama yang tidak menunjukkan adanya kerusakan
fisik-mekanik organ tanaman, kerusakan yang nampak sekilas mirip kerusakan oleh
penyakit tanaman.
b) Mengenali bentuk organisme penyebab
kerusakan
Langkah
selanjutnya setelah mengenali bentuk kerusakan adalah mengamati penyebab
spesifik jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman. Umumnya lebih mudah
dikenali pada saat pengamatan lapangan dilakukan. Pengenalan jenis serangga
yang menyerang dilakukan dengan mengamati serangga hama, sisa-sisa sekresi dan
sekresi serangga.
Kelompok
serangga-serangga yang banyak menyebabkan kerusakan tanaman kehutanan antara
lain : ordo Orthoptera (belalang), Coleoptera (kumbang bersayap keras), Lepidoptera (ulat), Isoptera (rayap), Hymenoptera
(kelompok lebah dan tabuh-tabuhan) dan Hemi-homoptera
(kelompok serangga pencucuk pengisap). Kelima ordo pertama menyebabkankerusakan
fisik-mekanik secara nyata. Sedangkan ordo Hemi-homoptera
tidak menunjukkan bentuk kerusakan fisik-mekanik organ tanaman, sehingga secara
sekilas bentuk kerusakan mirip gejala penyakit.
Penyebab
spesifik kerusakan oleh penyakit memerlukan langkah identifikasi lebih rumit
dan lama. Gejala kerusakan yang disebabkan penyakit biotik maupun abiotik
secara visual sama. Penyakit biotik di hutan antara lain disebabkan jamur
patogen, bakteri patogen dan virus. Identifikasi secara umum penyebab kerusakan
akan mudah dilakukan bilamana dapat dijumpai tanda-tanda penyakit (tubuh buah,
hifa dan spora dari kelompok jamur serta lendir pada jaringan xylem pada kasus serangan layu bakteri).
Adapun faktor
abiotik di lapangan antara lain disebabkan oleh defisiensi hara (lahan kritis),
defisiensi air (musim kemarau panjang) dan drainase buruk. Untuk mengenali
faktor abiotik dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang curah hujan,
pengamatan kondisi lahan (kondisi solum
tanah, bentuk topografi lahan) dan lain-lain.
5. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan
intensitas serangan. Kegiatan ini dengan cara membuat petak ukur (PU) dengan
bentuk lingkaran dengan jari-jari (r) 17,8 m atau sensus.
6. Berdasarkan
hasil identifikasi, disusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang berisi
intensitas serangan dan rekomendasi pengendaliannya.
7. Pengambilan
foto/dokumentasi
Pengambilan
dokumentasi dilakukan sebagai bukti visual dan sebagai bahan penelahaan bagi
solusi penanganannya.
B. Analisa Terhadap Tempat
Tumbuh dan Lingkungan
1. Analisa tempat
tumbuh dan pengambilan sampel tanah
Data-data yang
diperlukan guna analisa tergantung keperluan arah analisa yang akan dilakukan.
Secara umum informasi yang perlu dikumpulkan antara lain data curah hujan,
temperatur, pengamatan kondisi lahan (kondisi solum tanah, topografi dan
lain-lain). Analisa tempat tumbuh untuk mengetahui kondisi drainase, aerasi
pH dan bila memungkinkan mengetahui
kandungan unsur hara tanah untuk mengetahui kemungkinan adanya defiesiensi hara
atau air.
2. Pengambilan sampel
tanaman/bagian tanaman
Pengambilan
sampel tanaman atau bagian tanaman diperlukan guna melakukan pengamatan dan
identifikasi yang lebih spesifik atau mengetahui organisme perusaknya.
Identifikasi bisa menggunakan dasar literatur yang ada ataupun melakukan
konsultasi dengan ahli atau instansi terkait.
C. Studi Literatur Untuk Kajian Pembanding
Studi literatur diperlukan sebagai pembanding guna lebih
memantapkan langkah-langkah yang akan diambil. Studi literatur disarankan untuk
mengkaji lebih dari 2 sumber literatur guna memperkaya sudut pandang.
D. Penyusunan Rekomendasi Pemberantasan Hama dan Penyakit
Rekomendasi
pengendalian dengan 3 pilihan :
a.
Pemeliharaan bila dikarenakan faktor abiotik
b.
Pemberantasan (lihat bab berikutnya)
c.
Tebangan D2 hama dan penyakit
Berdasarkan
hasil rekomendasi dari BAP, maka KPH membuat usulan suplisi RTT
pemeliharaan/pemberantasan HPT dan atau tebangan D2 penyakit ke SPH untuk
mendapatkan pertimbangan dan selanjutnya untuk mendapat pengesahan dari Biro
Perencanaan Unit..
Bersamaan
dengan itu, KPH mengajukan usulan otoritas anggaran kepada Biro Pembinaan dan
Konservasi yang selanjutnya mendapatkan pengesahan anggaran.
PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
A. Secara
Fisik Mekanik
Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan
melalui:
1.
Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas,
hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman,
lalu dilakukan pembakaran.
2.
Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau
bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka tanaman
tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang
terbuka dan aman lalu di bakar.
3.
Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman
diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan tanaman
berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit. Prosedur
penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.
4. Dalam
kegiatan pemangkasan dan penebangan harus memperhatikan aspek keselamatan kerja
dengan mengacu pada prosedur kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang
sudah ada.
5.
Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah penyebaran
hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan perundang-undangan
6.
Pemberian abu kayu pada serangan rayap
7.
Perlakuan panas
Pembasmian hama dan penyakit secara mekanik dapat
dilakukan melalui:
1. Pengambilan menggunakan tangan.
Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan belalang, dengan intensitas serangan
hama dalam skala kecil.
2. Penangkapan bersama-sama oleh
banyak orang (gropyokan-Jawa) pada
hama belalang.
3. Pemasangan perangkap antara lain ;
o
Penggunaan lampu perangkap (light
trap) untuk hama penggerek batang pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini
dipasang pada saat malam hari, peralatan
yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu bohlam/neon, dan nampan
penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh kemudian dimusnahkan.
Penggunaan
perangkap kertas warna (colour trapping)
untuk hama lalat putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau
lainnya yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus
atau ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.
B.
Penggunaan Pestisida
1. Biopestisida/Pesticida
organik
Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida
atau insektisida yang disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai
dengan dosis yang dianjurkan (sesuai Lampiran buku petunjuk pengendalian hama
dan penyakit). Beberapa contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pesticida
misalnya daun mimbo, mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau
jika dalam keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan
catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) yang sudah ada. Contoh-contoh pestisida organik dan
cara pembuatannya sesuai Lampiran 3.
2.
Pestisida kimia
Penggunaan pesticida kimia harus diminimalisir. Jika
atas pertimbangan ekologi dan social terpaksa harus menggunakan pesticida
kimia, maka pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC,
WHO maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur
keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan
masing-masing (lihat MSDS). Beberapa jenis pesticida kimia yang beredar di
Indonesia terlampir (Lampiran 2). Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama
dan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :
a) Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk
jenis pesticida sistemik, contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau
penggerek pucuk. Aplikasinya dengan membuat
lubang pada batang dengan paku kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang
atau melukai kulit batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan
sebelah dalam jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas
atau disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut melalui jaringan gubal ke bagian
batang atas.
b) Ditabur pada
tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai. Cara ini digunakan
untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam kemasan).
c) Disemprot langsung pada target
hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida racun kontak atau racun
lambung yang memiliki kode SC, WP, EC.
d) Fumigasi; cara ini digunakan untuk
jenis-jenis pestisida fumigan. Contohnya untuk memberantas oleng-oleng dalam
fase larva. Caranya dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek
kemudian lubang ditutup malam.
Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan
kondisi tanaman yang diserang.
C. Musuh Alami
Penggunaan musuh alami dengan pengendalian
biologis yaitu penggunaan serangga atau
bakteri dalam pengendalian hama secara innundative
(pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara
tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh alami yang
paling dekat dengan target hama, kita pilih yang terbatas/lebih sedikit
sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan musuh alami harus
mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.
Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan
penciptaan habitat hidup bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon
atau tegakan sebagai tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator.
Secara umum prinsip penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan
ekosistem yang ada.
PENGELOLAAN PASCA PENGENDALIAN
A.
Pengumpulan Data Dan Informasi Kerusakan
Sebagai bahan
evaluasi diperlukan pengumpulan data lebih lanjut terkait dengan jumlah pohon
dan volume pohon per m³ serta analisa tingkat kerugiannya. Juga dilakukan
pemetaan lokasi yang diserang dengan peta kerja skala 1 :10000.
B.
Sanitasi Lokasi Bekas Serangan Hama Dan Penyakit
Sanitasi lokasi bekas serangam dilakukan guna lebih
menjamin bahwa pada lokasi tersebut sudah benar-benar bersih dari sumber dan
faktor-faktor yang dapat menstimulasi berkembang kembali hama dan penyakit.
Sanitasi dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Pembakaran Tumbuhan Bawah
Pada proses pembakaran tumbuhan
bawah diharuskan untuk membuat sekat bakar/ilaran api dengan menggunakan sekat
bakar alami (menggunakan tanaman yang dapat menahan api)
b. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
Pengolahan tanah tetap mempertahankan
kesuburan tanah
Peralatan yang digunakan tidak merusak
tanah
Pembersihan areal dilakukan dengan
tujuan mengurangi sumber hama.
C.
Rehabilitasi
Kegiatan
rehabilitasi ditujukan untuk kembali memulihkan kondisi sumberdaya hutan
seperti pada kondisi semula. Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan penggunaan
bibit unggul, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan arealnya, dan
penggunaan jenis tanaman resisten dengan penjelasan sebagai berikut :
Pemilihan bibit
yang sehat
Pemilihan
bibit yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT
yang dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang),
fisik tidak tampak adanya serangan bakteri patogen dan lain-lain.
Pengolahan tanah
Pengolahan
tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat aerasi yang baik yang berguna bagi
tanaman pokok dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi hama dan
penyakit.
Pengolahan
tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk sehingga kandungan humus akan
meningkat. Dengan demikian kemampuan tanah untuk mengikat air menjadi tinggi
dan tanah menjadi tidak mudah kering. Pengaturan drainase untuk menciptakan
sistem tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga
tingkat kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan
berkembangnya hama dan penyakit.
Pemilihan jenis
yang tepat
Jenis tanaman
dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh
secara karakter alami atau dengan penerapan bioteknolgi berupa pemuliaan pohon.
Setiap spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan
penyakit yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini bukan bertujuan untuk
menghilangkan hama sama sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi
tersendiri untuk beradaptasi, tetapi minimal dapat menekan laju perkembangan
hama dan penyakit.
Pemilihan jenis
yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama
tumbuh di tempat (indigenous trees)
dengan mempertimbangkan aspek lain tentu saja. Panaman jenis eksotis harus
dicampur dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan
penyakit.
Pengaturan pola
tanam dan jarak tanam
Pengaturan pola
tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat
kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam tumpangsari dapat
mendukung berkembang biaknya hama dan penyakit jika tidak tepat dalam pemilihan
jenisnya. Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis
tanaman. Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari
yang tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila
kondisi lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang
toleran terhadap kelembaban tanah yang tinggi.
D. Monitoring dan Evaluasi
Untuk
mengetahui efektifitas dari upaya pemberantasan mendapatkan data pengamatan
dari upaya penanggulangan yang dilakukan, dilakukan pengamatan periodik pada
lokasi yang pernah terserang hama dan penyakit
dibuat plot pengamatan permanen yang terdiri atas berbagai perlakuan
yang diterapkan
Monitoring
dilakukan satu bulan sekali/penilaian kondisi tanaman dilakukan sebelum
pembuatan maupun secara berkala setelah aplikasi perlakuan sangat penting
dilakukan.
KESIMPULAN
Pengendalian hama dan penyakit pada hutan tanaman yang
menerapkan sistem monokultur harus dikelola dengan baik. Pemilihan teknik
pengendalian yang tepat sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang
akan menentukan keberhasilan dan efectivitas pengendalian, dan untuk mengetahui
jenis hama dan penyakit yang menyerang perlu dilakukan identifikasi gejala dan
atau tanda serta kondisi lingkungan yang mendukung.
Pemilihan teknik pengendalian harus mempertimbangkan
aspek lingkungan, social dan ekonomi. Sehingga penerapan pengendalian hama
penyakit terpadu adalah lebih baik, dan penggunaan pestisida kimia harus
diminimalkan. Dan jika dengan terpaksa harus menggunakan pestisida kimia maka
aspek keamanan dan keselamatan harus diterapkan serta tidak menggunakan jenis pestisida
kimia yang dilarang digunakan di dalam kawasan hutan yang bersertifikasi FSC.
DAFTAR PUSTAKA
Hendromono dkk. 2001. Mindi Melia azerdarach L. Balitbang Kehutanan
Departemen Kehutanan. Jakarta
Nair, KSS. 2001. Pest Outbreaks In Tropical Forest Plantation. CIFOR. Bogor
Nair, KSS. 2000. Insect Pests And Diseases In Indonesia Forest. CIFOR.
Bogor
Priyanto, Hari. 1999. Survey Of Entofauna with Emphasis On Pest In Teak
(Tectona grandis L.f) In Central Java And East Java, Indonesia. Thesis.
Gottingen, Germany
Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2007. Prosiding Hasil
Penelitian dan Pengembangan. Puslitbang SDH Perhutani. Cepu
Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2008. Seri Informasi
Teknik Pengendalian Hama-Penyakit Tanaman Hutan (Jati, Pinus, Kayu Putih,
Sengon). Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. Cepu.
Veronique de tillese et al, Tanpa Tahun. Damaging Poplar Insects,
Internationally Important Insects. International Poplar Comissión. Belgia.