KEBUN JATI

Terletak di Desa Talaga Kecamatan Dampelas, dengan Luas 7 ha.

PANTAI BAMBARANO

Pantai berkarang indah ini terletak di Desa Sabang kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.

JEMBATAN PONULELE

Jembatan Kebanggan warga Palu ini berada diwilayah pantai talise menuju arah donggala.

TANJUNG KARANG

salah satu objek wisata pantai, yang terletak di ujung pantai Donggala, dengan suasana pantai yang terasa nyaman.

situs Tadulako dan Pokekea

situs sejarah ini berada di lembah Besoa, Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah..

Jumat, 04 April 2014

Materi Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis



Dari Repelita hingga masa Reformasi”
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi hutan diluar jawa, melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen pembangunan selama tiga dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75 persen diantaranya eksport.

Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun 1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.

Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang selanjutnta disebut “hutan negara”. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10 perusahaan.

Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54 juta hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum dan menurunnya nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari 100 HPH tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I – V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.

Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan pemegang konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5 perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.

Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan 17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen, konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan “rent seeker”. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu, pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1 juta meter kubik pertahun.

Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi tanaman terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun 1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2 juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para pemegang HPH dipersya¬ratkan untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan pena¬naman baru di areal yang tidak produktif serta melaksanakan pengamanan hutan.

Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan hak.

Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993 kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasi¬tas industri pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan hutan tanaman industri (HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.

Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare. Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah pula dimulai dalam Repelita V.

Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4 juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan untuk keperluan peru¬-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.

Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun, yaitu terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun dan kegiatan pembalakan (logging) sebesar Rp8,1 triliun.

Industri penggergajian merupakan industri kehutanan terbe¬sar. Walaupun demikian produktivitas per unit industri penggerga¬jian relatif rendah, yaitu sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993 realisasi pro¬duksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta meter kubik dan pulpa 450 ribu meter kubik.

Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan. Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat menjadi ekspor kayu olahan.

Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dike¬nakan pajak ekspor yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu gergajian se¬tengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam negeri yang mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup antara lain industri perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil hutan yang berupa barang jadi.

Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar. Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber daya hutan per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan manfaat nilai tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80 persen pasaran kayu tropis dunia.

Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan

konservasi hutan
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.

Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.

Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas adalah kekhasan, keterancaman, dan kegunaan. Beberapa pendekatan yang digunakan dengan pendekatan jenis / spesies, pendekatan komunitas dan ekosistem, pendekatan kawasan dan manusia. Penilaian kawasan konservasi berdasar Pedoman Penetapan Kriteria Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995) :

Keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya,`luasan kawasan,`keindahan alam ,`kenyamanan,`kemudahan pencapaian nilai sejarah, kehendak politik, aspirasi masyarakat. Kriteria umum penetapan kawasan konservasi dalam memilih calon lokasi konservasi adalah dengan mempertimbangkan Kriteria Ekologi, Kriteria Sosial, Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, dan Kriteria Pragmatik. Fungsi penetapan kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem.


Pendekatan Penetapan Kawasan Konservasi:
1. Pendekatan admistratif dan hukumPendekatan fisik
2. Pendekatan ekologi, meliputi; keanekaragaman hayati, kondisi kealamian, keunikan dan kelangkaan jenis, kerentanan kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain.
3. Pendekatan sosial budaya, meliputi; tingkat dukungan dan kepedulian masyarakat, kepemilikan lahan, konflik kepentingan, kebudayaan, dan Keamanan.
4. Pendekatan ekonomi, meliputi; spesies ekonomis penting, kepentingan perikanan, bentuk ancaman terhadap sumberdaya perairan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
5. Pendekatan kelembagaan, meliputi; keberadaan lembaga sosial, dukungan infrastruktur sosial, dukungan pemerintah pusat dan atau daerah
Kelembagaan Kawasan Konservasi Kriteria Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan konservasi:
1. Kelembagaan Tingkat Nasional
2. Kelembagaan Tingkat Daerah
3. Kelembagaan Tingkat Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Daerah Tk. II dengan menunjuk badan pengelola yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah Tk. II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas masyarakat lokal).

Jenis Tujuan Pengelolaan
Taman Nasional Perairan (TNP) Kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
Suaka Alam Perairan (SAP) Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Suaka Perikanan (SP) Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air
Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memulihkan dan menjaga, serta meningkatkan kelestarian sumber daya hutan terutama di kawasan lindung, sehingga fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan meningkat dan lestari. Unsur sumber daya hutan dalam kegiatan ini mencakup hutan lindung, Daerah Aliran Sungai (DAS), suaka alam dan ekosistem khas lainnya, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya.
Kegiatan-kegiatan utama yang dilaksanakan, antara lain :
(1) memelihara fungsi dan kemampuan sistem tata air yang dikem¬bangkan secara terpadu dengan pengelolaan DAS;
(2) membina dan mengembangkan taman nasional, taman buru, taman wisata, taman hutan raya, pengelolaan hutan lindung;
(3) mengembangkan kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
(4) membina dan mengembangkan pemanfaatan satwa;
(5) mem¬bina dan mengembangkan daerah penyangga;
(6) membina dan mengembangkan kawasan suaka alam;
(7) membina dan mengem¬bangkan konservasi eksitu;
(8) meningkatkan pelestarian keaneka¬ragaman hayati; dan
(9) melaksanakan pengamanan hutan terpadu dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan instansi terkait dengan sumber daya hutan, secara terkoordinasi dengan aparat keamanan setempat.




Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati


Pendekatan ekologi
Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu terjadi karena mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling membentuk.Karena itu sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya manusia dengan lingkungan hidupnya terdiri atas berbagai macam makhluk hidup beserta benda tak hidup membentuk suatu ekosistem, dimana masing-masing merupakan suatu sub ekosistem yang mempunyai fungsi masing-masing dalam satu kesatuan yang utuh. Kerusakan pada salah satu sub ekosistem akan mempengaruhi ekosistem yang lain termasuk manusia.

Dengan demikian, pendekatan ekologi dalam operasionalisasi CATUR PROGRAM pembangunan Kabupaten Belu menuntut seluruh lembaga pemerintah, swasta, LSM dan segenap warga masyarakat Kabupaten Belu untuk senantiasa memelihara kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem ( pembangunan yang berwawasan lingkungan ). Pembangunan yang merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan ekosistem harus dicegah sehingga tidak mengakibatkan bencana bagi masyarakat Kabupaten Belu kini dan generasi mendatang.

Cara Melindungi Keanekaragaman Hayati
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
§  Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
§  Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
§  Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
Usaha untuk memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya dari sumber-daya alam sering mengakibatkan menurunnya kemampuan sumberdaya alam yang bersangkutan bahkan terkadang dapat mengakibatkan kepunahan dari sumberdaya alam tersebut.
Belum semua sumber plasma nutfah yang ada di sekitar kita dapat dimanfaatkan. Dengan usaha penelitian yang lebih baik di masa depan akan diketahui sumber plasma nutfah bagi manusia yang dikembangkan pemanfaatannya. Khususnya pada beberapa sumberdaya alam yang kini sudah diketahui manfaatnya namun masih belum dapat diolah atau dibudidayakan.

Sampai saat ini masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dengan 3 cara yaitu:
§  Memanfaatkan secara langsung sumberdaya alam hayati dari alam, sehingga kesinambungan ketersediaannya semata-mata diserahkan kepada alam.
§  Cara pemanfaatan seperti ini hanya berjalan baik bila ada keseimbangan antara eksploitasi atau pengambilan dan kecepatan tumbuh untuk memperbanyak diri atau berkembang biak. Namun jika sebaliknya, maka tentu saja akan mengancam sumberdaya alam hayati.
§  Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan cara mengolah atau membudidayakannya.
Pada cara ini kesinambungan ketersediaannya tidak hanya semata-mata tergantung pada alam akan tetapi ada usaha dari manusia untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati cenderung menurun atau rusak, bahkan beberapa jenis sumberdaya alam hayati sudah dinyatakan punah. Dalam skala internasional, kayu hitam dan burung Dodop dari Mauritius sudah punah dari muka bumi. Di Indonesia Burung Gelatik (Padda oryzovora) misalnya, merupakan fauna yang populasinya menurun. Sementara itu, Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah dinyatakan punah. Penurunan dan perusakan diduga juga terjadi pada jenis flora dan fauna yang belum diketahui manfaatnya secara langsung bagi kehidupan manusia atau yang belum diteliti fungsinya dalam ekosistem.

Ekosistem hutan mengandung atau memiliki keanekaragaman jenis dan genetika yang sangat tinggi. Akan tetapi ekosistem hutan mendapat tekanan terus-menerus karena pemanfaatan ekosistem dan jenisnya yang mengancam kelestarian dari keanekaragaman hayati tersebut. Eksploitasi hutan melalui kegiatan pertambangan, konversi hutan menjadi lahan transmigrasi, pertanian dan perkebunan akan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah. Dengan demikian diperlukan adanya upaya perlindungan untuk mempertahankan agar keaneka-ragaman genetik tetap tinggi sehingga pemanfaatannya tetap menggunakan prinsip lestari.

Perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati dapat diwujudkan dengan mempertahankan serta tidak merubah fungsi ekologi suatu kawasan yang menunjang habitasi flora dan fauna. Usaha perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan terhadap ekosistem hutan beserta seluruh jenis dan genetiknya. Konsep terbaru strategi konservasi sedunia bertujuan untuk memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis serta ekosistem secara lestari.
Sumber : http://garifucahyani.blogspot.com/2013/07/makalah-pengelolaan-dan-pengamanan-hutan.html


Kehutanan Sosial Dan Kehutanan Masyarakat Menurut Para Ahli

Hutan Masyarakat


Istilah Kehutanan Sosial (Social Forestry) sudah muncul sejak tahun 1978 ketika Kongres Kehutanan Sedunia Ke-8 dilaksanakan di Jakarta dengan tema besar Hutan untuk Rakyat (Forest for People). Tema ini bergema ke seluruh dunia, dan baru mendapat perhatian dan implementasinya di Indonesia pada tahun 1986. Jadi kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema tersebut setelah 8 tahun kongres berlalu. Hal ini disebabkan pada zaman tersebut Indonesia sedang disibukkan oleh Boom minyak dan Boom kayu, yang berimplikasi hampir setiap orang khususnya diinstitusi-institusi pemerintahan melupakan peran masyarakat khususnya lagi masyarakat di dan sekitar hutan dalam pengelolaan SDH.

Westoby, seorang ahli kehutanan untuk pertama kalinya pada tahun 1968 telah menggunakan istilah Kehutanan Sosial (Social Forestry) dalam salah satu strategi pembangunan kehutanan. Menurut Westoby, Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari, 1983).
Sementara itu FAO pada tahun 1978 memperkenalkan istilah Kehutanan Masyarakat atau Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan.
Spektrum dari defenisi Kehutanan Masyarakat (CF) oleh FAO pada tahun 1978 tersebut meliputi kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan kebun kayu (woodlots) di wilayah yang kekurangan kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan penduduk lokal, menanam pohon kayu-kayuan dilahan usahatani masyarakat agar dapat menyediakan tanaman yang menguntungkan petani. Sangat mungkin sekali dalam spektrum defenisi tersebut juga meliputi kegiatan procesing hasil hutan pada tingkat usaha rumah tangga seperti industri kerajinan rumah tangga untuk menambah pendapatan, sebagai salah satu kegiatan masyarakat di sekitar desa-desa hutan. Kemudian FAO menyatakan bahwa Kehutanan Masyarakat (CF) sebenarnya berangkat dari pengertian partisipasi aktif dari masyarakat (Alavalapati and Gill, 1991).
Perkembangan Kehutanan Sosial (Social Forestry) di India agak sedikit berbeda. Komisi Nasional Pertanian India pada tahun 1976 bahwa defenisi Kehutanan Sosial (Social Forestry) didasarkan kepada pengertian yang berkaitan dengan “Sick Land” (Phisically) dan “Sick People” (Economically). Dengan luas lahan yang kecil dan kondisi hutan yang sebagian besar rusak, maka di India Kehutanan Sosial (Social Forestry) dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menghasilkan barang-barang seperti kayu bakar, fodder (pakan ternak berupa pohon), kayu-kayu berukuran kecil dan lain-lain, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disekitar hutan, terutama sekali masyarakat yang kurang mampu (Shah, 1985).
Menurut Foley dan Barnard (1984), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat.
Menurut Tewari (1983), Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan erat sekali melibatkan masyarakat dengan suatu kepentingan pada penyediaan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk individu dan juga masyarakat.
Bachkheti (1984) mendefenisikan Kehutanan Sosial (Social Forestry) sebagai suatu kegiatan penanaman kayu di dalam dan sekitar lingkungan manusia. Tujuannya untuk menyediakan secara lokal kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk dengan penekanan pada kayu, bahan bakar (kayu bakar, buah-buahan, fodder) dan memulihkan keseimbangan ekologi yang semakin memburuk.
Dalam kaitannya dengan Kehutanan Sosial (Social Forestry) ini, Noronha dan Spears (1985) menyatakan bahwa yang paling utama dalam proyek Kehutanan Sosial (Social Forestry) terletak dalam kata “Social”, yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan memasukkan manfaat bagi masyarakat di dalam membuat rancangan dan pelaksanaan kegiatan penghutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat lokal. Perbedaan Social Forestry dengan Conventional Forestry, terutama sekali terletak pada aspek non-monetized bidang ekonomi, termasuk manfaat partisipasi, dan secara tidak langsung termasuk perbedaan sifat dan keahlian yang dimiliki oleh para rimbawan. Dalam kasus seperti ini memang antara Traditional Forester dengan Social Forester memiliki perbedaan yang mendasar, terutama sekali dalam pendekatan pengambilan keputusan mengenai perencanaan hutan.
Pelinck et al (1984) telah menggambarkan Community Forestry (CF) sebagai suatu kegiatan yang mempromosikan “kesadaran pembangunan”, pengetahuan dan bertanggungjawab atas kelestarian SDH dan masyarakat sekitar hutan serta memberi manfaat kepada mereka.
Sementara itu Wiersum (1984) memandang Kehutanan Sosial (Social Forestry) harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan kehutanan.
Hadley (1988) menggunakan istilah “Extention Forestry” dalam menggambarkan kegiatan kehutanan yang melibatkan masyarakat. Dalam kaitan ini menurut Hadley, pengertian Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah suatu proses pendidikan informal yang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan, sepenuhnya melalui individu dan kelompok kecil masyarakat yang mempunyai kaitan dengan kegiatan komunikasi yang dicirikan oleh adanya partisipasi dari para anggotanya.
Foley and Barnard (1984) menjelaskan bentuk Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah “Farm and Community Forestry” dan mempunyai tujuan membantu memecahkan masalah supply kayu pada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memelihara lingkungan dimana mereka hidup, dengan jalan menamam pohon pada lahan pertanian mereka yang ada di sekitar desa mereka.
Sementara itu Cernea (1985) menyatakan bahwa program Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah suatu upaya mempercepat tindakan perubahan budaya dalam kaitan dengan tingkah laku sejumlah besar masyarakat, dengan kewajiban mematuhi menanam dan melindungi pohon-pohon.
Vergara (1985) telah berusaha meringkas mengenai karakteristik Kehutanan Sosial (Social Forestry) sebagai berikut : Kehutanan Sosial merupakan suatu operasi skala kecil tentang penggunaan lahan yang menjangkau pengertian dari kehutanan murni sampai agroforestry, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu atau kelompok/komunitas, untuk menghasilkan barang dan jasa, sehingga bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Dalam hal ini lahan lokasi kegiatan dapat berupa lahan milik, komunitas atau pemilikan bersama atau lahan yang dikontrak masyarakat dari pemerintah, tetapi petani mendapatkan beberapa kemudahan.

Berdasarkan pada pengertian defenisi-defenisi diatas dan gambaran dari tinjauan literatur serta pengalaman praktis lapangan maka defenisi Kehutanan Sosial (Social Forestry) yang lebih komprehensif dan tepat guna dapat diusulkan sebagai berikut (berdasarkan Alavalapati dan Giil, 1991) : Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengolahan, dimana sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara individu atau komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsistem, komersial masyarakat dan untuk kebutuhan lingkungan.

Walaupun defenisi di atas mempunyai elemen-elemen yang sama, tetapi keberadaannya berbeda di dalam hal cakupan, tujuan dan pendekatan. Misalnya Komisi Nasional Pertanian India (1976) menetapkan target groupnya adalah bagian masyarakat yang serba kekurangan atau kurang mampu. Sementara Westoby, Pelinck et al (1984) menitikberatkan pada seluruh komunitas masyarakat. Noronha and Spears (1985) membatasi defenisi mereka pada kegiatan-kegiatan kehutanan yang meliputi hanya sektor “non-monetized”. Dalam banyak program Kehutanan Sosial (Social Forestry), usahatani kehutanan komersial merupakan suatu komponen utama. Kehutanan Sosial (Social Forestry) di Gujarat India merupakan salah satu contoh terbaik. Didalam tujuannya, mereka seperti Westoby dalam Tewari (1983), NCA (1976) dan Bachkheti (1984) membatasi defenisi mereka pada manfaat lingkungan, bahan bakar, fodder, buah-buahan dan ketersediaan kayu ukuran kecil. Defenisi FAO (1978) meliputi semua bidang kegiatan dari penanaman pohon sampai processing hasil-hasil hutan, mulai tingkat subsistem sampai tingkat komersial. Westoby dalam Tewari (1983), NCA (1976) dan Bachkheti (1984), defenisi partisipasi masyarakat tidak dinyatakan dengan tegas. Dalam defenisi Hadley (1988), Pelick et al (1984) dan Cernea (1985), pendekatan pendidikan dikhususkan pada pengembangan kesadaran dan pengetahuan, dalam rangka mengembangkan perubahan tingkah laku masyarakat.
Dalam sebuah seminar internasional satu dekade yang lalu mengenai Kehutanan Social (Social Forestry) yang dilaksanakan di Fakultas Kehutanan UGM tanggal 29 Agustus sampai 2 September 1994, berdasarkan perumusan hasil seminar, terdapat 6 macam defenisi Kehutanan Social (Social Forestry) yang dapat diuraikan sebagai berikut (Simon et al, 1994):
1).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) merupakan suatu nama kolektif untuk berbagai strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus pada distribusi pemerataan hasil-hasil hutan yang berkaitan dengan kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dalam populasi dan untuk meningkatkan partisipasi organisasi lokal dan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan biomasa kayu (Wiersum, 1994).
2).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) dapat didefenisikan sebagai satu strategi pembangunan atau intervensi organisasi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk aktif merangsang pelibatan penduduk lokal dalam skala kecil. Diversifikasi kegiatan pengelolaan hutan sebagai satu tujuan untuk meningkatkan kondisi pekerjaan penduduk tersebut (Wiersum, 1994).
3).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah satu strategi yang dititikberatkan pada pemecahan masalah-masalah penduduk lokal dan pemeliharaan lingkungan. Oleh karena itu, hasil utama kehutanan tidak semata-mata kayu. Lebih dari itu, kehutanan dapat diarahkan untuk menghasilkan berbagai macam komoditi sesuai dengan kebutuhan penduduk disuatu wilayah, termasuk bahan bakar, bahan makanan, pakan ternak, air, hewan alam yang liar dan yang menarik (Simon, 1994).
4).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah secara mendasar diarahkan pada peningkatan produktivitas, pemerataan, dan kelestarian didalam pembangunan hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi penduduk yang efektif (Rebugio, 1994).
5).     Sistem Kehutanan Sosial (Social Forestry) yang dilaksanakan oleh Perhutani adalah suatu sistem dimana penduduk lokal berperanan aktif di dalam pengelolaan hutan dengan memberikan tekanan khusus kepada pembangunan hutan tanaman. Tujuan sistem Kehutanan Sosial (Social Forestry) adalah berhasilnya suatu kegiatan penghutanan kembali untuk mendapatkan fungsi hutan yang optimum dan pada saat yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk lokal (Perum Perhutani, 1994).
6).     Kehutanan Sosial (Social Forestry) dilaksanakan dalam wilayah hutan yang sedang dikelola oleh Perum Perhutani, sementara Community Forestry (CF) dilaksanakan di lahan milik (Perum Perhutani, 1994).