Kamis, 21 November 2013

Faktor pendorong terjadinya perambahan hutan (okupasi)

foto : perambah hutan diprovinsi jambi.
[Forester untad blog] Perambahan hutan kian marak di setiap pulau diindonesia, penurunan luas kawasan hutan sangat drastis dati tahun-ketahun. Entah siapa yang harus disalahkan. Dari sektor manakah yang harus dibenahi?? Berikut beberapa faktor pendorong / yang melatar belakangi terjadinya perambahan hutan diindonesia
a.    Perekonomian masyarakat disekitar kawasan hutan yang masih rendah
Beberapa penelitian dan pengalaman empiris telah menunjukkan bahwa hutan dan kehutanan di Indonesia sangatlah terkait dengan kemiskinan. Temuan Center for Economic and Social Studies (CESS, 2005) dari hasil pengolahan data Podes (Potensi Desa, 2003: letak desa terhadap hutan),  data BKKBN (2003: jumlah KK miskin) dan data SUSENAS (2002: jumlah KK miskin), memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin per desa yang terletak di dalam dan sekitar hutan, ternyata lebih besar angkanya dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang tinggal di desa luar hutan.  Sekitar 20 juta orang lagi tinggal di desa-desa dekat hutan dimana enam juta orang diantaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (CIFOR 2004).  Jika dikaitkan dengan jumlah keseluruhan penduduk miskin Indonesia yang tinggal di pedesaan (14,6 juta penduduk pada tahun 2004), maka jumlah kaum miskin yang tinggal di lingkungan hutan adalah hampir mencapai sepertiga dari keseluruhan kaum miskin di Indonesia.
Adapun penyebab utama angka kemiskinan pada masyarakat disekitar hutan yang tinggi adalah:
Laju pertumbuhan penduduk disekitar kawasan hutan yang tinggi  tidak diiringi dengan alternatif sumber mata pencarian dan keterampilan teknis yang memadai.
Masyarakat disekitar hutan rata-rata memiliki mata pencaharian dengan mengelola sumber daya alam yang dimiliki/dikuasai. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi memunculkan konsekuensi kebutuhan akan lahan perkebunan yang tinggi. Kondisi ini dapat dipenuhi ketika masih banyak lahan terlantar yang belum dikelola, namun kondisi akan berbeda jika lahan yang belum dikelola tersebut terbatas. Kondisi ini memaksa masyarakat untuk membuka lahan untuk kebun mereka didalam kawasan hutan.

b. Belum optimalnya informasi tentang batas kawasan hutan
Penyebab okupasi/perambahan yang kedua adalah tidak diketahuinya batas kawasan hutan oleh masyarakat disekitar kawasan. Kondisi ketidaktahuan masyarakat ini menyebabkan mereka (masyarakat) dalam melakukan pembukaan lahan untuk berkebun masuk kedalam kawasan hutan.
Kondisi ini minimal disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu:
- Kurangnya  informasi tentang cara mengakses untuk memperoleh informasi tentang batas kawasan hutan.
Masyarakat tidak mengetahui tempat dan cara untuk mengakses informasi terkait batas kawasan hutan terutama kawasan hutan disekitar mereka. Informasi tentang batas kawasan hutan telah tersedia di Dinas Kehutanan dan dapat diakses oleh publik namun masyarakat belum mengetahui hal ini.
- Kurangnya kesadaran masyarakat disekitar hutan untuk mengetahui batas kawasan hutan disekitar mereka.
Masyarakat kurang memiliki kesadaran untuk mengetahui informasi tentang batas kawasan hutan yang ada disekitar mereka. Kondisi ketidakpedulian masyarakat ini juga disebabkan oleh belum tegasnya penegakan hukum terkait perambahan/okupasi, sehingga masyarakat cenderung untuk tidak peduli terhadap batas kawasan hutan.
- Lemahnya komunikasi antara masyarakat dengan pemegang mandat kawasan hutan.
Pemegang mandat kawasan adalah Pemerintah maupun perusahaan pemegang izin. Kurangnya komunikasi antara pemegang mandat kawasan dengan masyarakat menyebabkan masyarakat tidak mengetahui batas kawasan hutan.
- Belum optimalnya keterlibatan masyarakat dalam proses penunjukan, penataan batas, penetapan dan pemanfaatan kawasan hutan.
Proses menjadikan suatu areal menjadi kawasan hutan membutuhkan proses dari dari tahap penunjukan, penataan batas ( sementara dan definitif ), penetapan dan pengukuhan. Kesemua proses ini dilakukan oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah. Ketidakterlibatan atau kurang terlibatnya masyarakat dalam rangkaian proses ini terutama keterlibatan dalam artian strategi (turut berperan dalam pengambilan kebijakan) adalah hal yang penting. Selama ini keterlibatan masyarakat hanya dijadikan pemandu atau buruh dari Tim Tata Batas dalam melakukan kegiatannya.
- Masih terbukanya pasar yang menampung hasil produksi kebun  (misal: kelapa sawit dan karet) masyarakat yang ada didalam kawasan hutan
Adanya pasar bagi produk perkebunan masyarakat baik karet maupun kelapa sawit memunculkan keinginan untuk menambah jumlah produksi. Hingga saat ini belum ada pasar yang menampung karet maupun sawit untuk mengambil kebijakan untuk tidak menerima produksi dari perkebunan yang berada didalam kawasan hutan. Ketiadaan sistem yang mengontrol pasar untuk mencegah dipasarkannya produk kelapa sawit dan karet yang berasal dari areal perkebunan illegal didalam kawasan hutan, menjadikan produksi perkebunan sawit dan karet dari dalam kawasan hutan dapat dengan bebas beredar dan diperjualbelikan. Untuk itu butuh mekanisme kontrol terhadap peredaran produksi perkebunan ilegal dari dalam kawasan hutan.

0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???